AWAL era Orde Baru, Bung Karno bagaikan hantu yang menakutkan. Bayang-bayangnya bikin para penguasa Orde Baru tak bisa tidur nyenyak. Kondisi ini tak berubah setelah Bung Karno meninggal pada 21 Juni 1970. Seluruh perangkat kekuasaan Orde Baru digunakan untuk memutus mata rantai pengaruh Bung Karno dalam memori birokrasi, militer, dan masyarakat. Segala yang berbau Bung Karno dicurigai, ditekan, bahkan kalau perlu diberangus.

Dalam kebekuan itu sungguh mengejutkan ada sebuah media yang berani memuat laporan tentang peranan Bung Karno dalam sejarah Indonesia. Ini terjadi pada Agustus 1977. Menariknya, ide itu muncul dari majalah Prisma, sebuah media yang tergolong serius dan bertendensi ilmiah.

Prisma nomor 8 tahun 1977 terbit dengan tajuk “Manusia Dalam Kemelut Sejarah” yang mengangkat biografi singkat beberapa tokoh sejarah Indonesia termasuk Bung Karno, Kahar Muzakkar, Amir Sjarifudin dan Tan Malaka.

Ide laporan ini datang dari Daniel Dhakidae, ketua dewan redaksi Prisma periode 1978-1984. Dhakidae terinspirasi oleh buku Men in Dark Times karya wartawan-cum-filsuf Hannah Arendt. Bahkan judul yang ia ajukan pun “Manusia dalam Kemelut Sejarah” sepenuhnya ditiru dari judul yang dipilih Arendt.

Men in Dark Times dengan bagus menceritakan tokoh-tokoh yang di masa kegelapan dan penuh kemelut, namun masih memberikan cahaya pencerahan bagi masyarakat. Ada Paus Yohanes XXIII dari Vatikan yang membuat perubahan besar dalam gereja Katolik, ada filsuf eksistensialis Karl Jasper yang menentang diktator Jerman Hitler, dan lainnya.

“Saya ingin melihat apakah kualifikasi Men in Dark Times itu ada dalam diri Bung Karno, Sjahrir, Kahar Muzakkar, Tan Malaka dan lain-lain. Namun ada syaratnya bahwa yang ditulis adalah tokoh yang sudah mati. Kami tak mau repot-repot berurusan dengan orang yang masih hidup,” tandas Dhakidae.

Prisma edisi tokoh sejarah itu mendapatkan respon yang luar biasa. Bung Karno jadi bahan perbincangan publik di mana-mana. “Ali Murtopo bahkan menyerukan pentingnya semua pihak menghargai Bung Karno. Kalangan elit pemerintahan mulai berani membicarakan Bung Karno. Padahal sebelumnya mana ada yang berani,” kata Dhakidae, bangga.

Tanggapan dari media juga tak kalah semarak. Harian Kompas menurunkan resensi istimewa di halaman depan. Harian Sinar Harapan meluangkan sebuah tajuk untuk menyampaikan tanggapannya. Bali Post lebih berpanjang-lebar lagi dalam mengulasnya.

Prisma edisi tokoh sejarah itu dicetak dua kali dalam format majalah dan dalam format buku. Total penjualannya mencapai angka 22 ribu eksemplar. “Saya berani katakan, ini adalah rekor fantastis yang hingga kini belum ada duanya di dunia untuk penerbitan majalah ilmiah,” kata Hari Wibowo, redaktur Prisma periode 1991-1995.

MASYARAKAT Indonesia pada awal 1970-an adalah masyarakat yang trauma dan letih oleh huru-hara politik yang begitu hebat pada 1965-1966 di mana lebih dari 500 ribu orang kiri dibunuh. Tak mengherankan jika masyarakat bersemangat merespon ide-ide pembangunan dan modernisasi yang dikampanyekan Orde Baru.

Pada momentum sejarah inilah Prisma tampil sebagai media yang menyuarakan ide-ide alternatif dan kritis. Pertama kali terbit November 1971, Prisma secara reguler menampilkan pemikiran-pemikiran kritis kaum intelektual Indonesia tentang berbagai masalah pembangunan. Prisma berusaha memberikan patokan ilmiah tentang alternatif pembangunan dan mendeteksi potensi kegagalan program pembangunan pemerintah.

Prisma juga secara intensif melakukan kritik terhadap ide modernisasi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial sebagai prasyarat untuk perubahan politik, dan bukan sebaliknya.

“Prisma memang difungsikan sebagai suatu antisipasi terhadap munculnya Orde Baru dan berkembangnya gagasan modernisasi, sehingga orang dapat diarahkan untuk memahami asumsi-asumsi modernisasi dengan tepat dan dapat menerapkan di lingkup kerjanya,” kata Ignas Kleden, dalam orasinya pada peringatan ulang tahun LP3ES ke-30 pada 20 Agustus 2001.

Kleden adalah salah seorang cendekiawan terkemuka yang banyak menulis buat Prisma.

Ikhwal lahirnya Prisma bermula pada 7 Juli 1970 ketika sejumlah intelektual dan tokoh masyarakat di Jakarta membentuk lembaga swasta nirlaba bernama Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos). Sejumlah teknokrat ada di dalamnya seperti Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, Emil Salim, Selo Sumardjan, Soedradjad Djiwandono, Taufik Abdullah dan lain-lain. Bekerjasama dengan sebuah yayasan asal Jerman, Friederich Nauman Stiftung, Bineksos membentuk Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 19 Agustus 1971.

LP3ES dimaksudkan sebagai alternatif politik untuk mengimbangi gagasan atau kekuatan yang cenderung jadi mainstream politik. Partai Golongan Karya milik Presiden Soeharto pada awalnya dimaksudkan sebagai alternatif politik dari Orde Lama. Namun pada perkembangannya Golkar justru jadi mainstream politik itu sendiri. Usaha untuk mencari alternatif di luar Golkar dilakukan baik pada tataran politik, maupun pada tatatan sosial dan menyangkut lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks inilah LP3ES secara aktif dan terencana mencoba melembagakan alternatif politik itu.

Ismid Hadad, salah seorang pendiri LP3ES dan pemimpin redaksi Prisma, mengatakan pada awal Orde Baru, teman-temannya dari kesatuan aksi mahasiswa makin banyak yang terserap dalam rekrutmen politik kekuasaan Orde Baru. “Di DPR saja waktu itu sudah lebih dari 13 orang. Belum lagi yang terserap ke struktur birokrasi. Oleh karenanya, kami berpikir aktivis kesatuan aksi mahasiswa membutuhkan wadah alternatif. Dan waktu itu ada tiga pilihan: pers, perguruan tinggi dan LSM,” ujar Hadad.

Dapat dikatakan LP3ES adalah perintis perkembangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Tujuan LP3ES adalah membantu generasi muda Indonesia agar dapat berswadaya dan swakarya di masa depan dengan memberi bekal pendidikan, tambahan pengetahuan, perangkat metode dan keterampilan, serta kesempatan praktik kerja. Untuk mewujudkan perannya sebagai lembaga penerangan, LP3ES membentuk divisi penerbitan yang selain menerbitkan buku-buku berkualitas juga membidani lahirnya majalah Prisma.

Friederich Nauman Stiftung sejak awal menyarankan agar LP3ES menerbitkan sebuah majalah ilmiah populer. Hadad memanfaatkan kunjungannya ke Amerika Serikat selama sebulan, atas undangan United States Agency for International Development (USAID), untuk mencari ide tentang majalah itu. Hadad tertarik dengan Daedallus, jurnal ilmiah enam bulanan terbitan Universitas Harvard, yang amat tebal dengan isi sangat berat, serta majalah Dialogue yang diterbitkan oleh United States Information Service di Washington. Model intelektual Daedallus dia gabungkan dengan gaya penyajian dan format fisik Dialogue jadi majalah Prisma.

Momentum sejarah dan nama besar tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya membuat Prisma dan LP3ES dalam waktu singkat jadi pusat kegiatan intelektual yang prestisius. Prof. Djojohadikusumo, orang yang paling senior dalam jajaran pendiri LP3ES, juga dikenal sebagai orang yang bertangan dingin. Dua lembaga ini pada 1970-an jadi tempat berkumpul dan berkarya kaum intelektual muda, yang tak berafiliasi dengan partai politik, tak bekerja dalam birokrasi, dan juga tak masuk dalam formalitas dunia akademis.

“LP3ES dan Prisma itu ibaratnya seperti Utan Kayu saat ini. Menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda yang ingin mencari sesuatu yang alternatif, sesuatu yang baru. Mereka bisa berdiskusi dengan kalangan yang sangat beragam, menggali pemikiran tentang demokrasi, pembangunan, dan modernisasi. Ya, seperti Utan Kayu saat inilah. Bedanya, mungkin yang ngumpul di Utan Kayu spektrumnya lebih luas dan suasananya lebih cair,” ujar Hadad, mengacu pada Komunitas Utan Kayu di bilangan Utan Kayu, Jakarta, yang didirikan penyair-cum-wartawan Goenawan Mohamad dan kawan-kawan.

Seperti tertulis dalam “Pengantar Redaksi” edisi pertamanya, Prisma bertujuan menampung dan menseleksi pemikiran-pemikiran konstruktif atau kontroversial, serta membiaskannya kembali sebagai pancaran pandangan-pandangan yang layak dipertimbangkan dalam derap pembangunan ekonomi, perkembangan sosial, dan perubahan kultural yang yang terjadi di era Orde Baru.

Sejarah mencatat Prisma kemudian mampu memposisikan diri sebagai wahana intelektual yang alternatif dan kritis. Tak sedikit orang yang memanfaatkan tulisan-tulisan Prisma untuk mempelajari perkembangan teori-teori pembangunan di Indonesia era Orde Baru.

Berbagai akademisi ilmu sosial, terutama ilmu ekonomi, muncul dengan pemikiran yang tajam dan kontekstual dalam majalah ini. “Biodata para penulisnya, kalau disatukan, merupakan suatu ensiklopedia-biografis yang menampilkan profil intelektual Indonesia masa kini,” tandas Richard Z. Leirissa dalam artikel berjudul “Prisma dalam Dasawarsa 80-an” pada Prisma 1 Januari 1994.

Selama dua dekade pertama Orde Baru Prisma memainkan peran yang sangat penting dalam membuka cakrawala pemikiran kaum terpelajar, dan memberikan masukan berharga kepada kalangan intelektual maupun pemerintahan. “Prisma telah meletakkan standar bagi bangsa kita mengenai tulisan-tulisan ilmiah, terutama karena hampir semua tulisan yang dimuatnya ditopang oleh penelitian,” kata peneliti Mochtar Pabottingi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Popularitas Prisma dan LP3ES tak lepas dari orang-orang yang menahkodainya seperti Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, Sjahrir, Dawam Rahardjo, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, yang dikenal sebagai intelektual sejak di bangku kuliah. Sebagian dari mereka juga pendukung Orde Baru yang sangat kritis sejak awal 1970-an.

Sempat muncul anggapan LP3ES hanya merekrut mereka yang dekat dengan Himpunan Mahasiswa Islam atau subkultur Partai Sosialis Indonesia. “Waktu saya mau masuk Prisma tahun 1976, banyak orang dalam yang keberatan karena menganggap saya Katolik versi CSIS. Saya ingat betul, waktu itu hanya Ismid (Hadad) yang setuju saya masuk. Namun seiring dengan perkembangan waktu, tahulah mereka bahwa saya bukan dari blok ini atau blok itu,” kata Dhakidae, seorang peneliti asal Pulau Flores, yang dominan dengan orang Katolik, mengacu pada Center for Strategic and International Studies, sebuah think tank Jakarta yang dianggap didominasi oleh orang Katolik.

Anggapan itu masih belum jelas kebenarannya, tapi kalau pun benar, tampaknya tak berpengaruh pada suasana kerja internal LP3ES maupun Prisma. Semangat kolegial terjaga dengan baik di antara intelektual-intelektual yang terlibat di dalamnya. Meminjam istilah Ignas Kleden, bahkan terjadi proses fertilisasi-silang secara kultural dan secara intelektual dalam LP3ES dan Prisma yang membuat lembaga ini jadi tempat pembibitan dan pengembangan hibrida baru untuk para kaum terpelajar muda tanpa pandang bulu.

Vedi R Hadiz , anggota dewan redaksi Prisma 1988-1989, memperkuat pendapat Kleden. Menurutnya, pertarungan serius antar kubu yang jelas tak pernah terjadi dalam Prisma. “Walaupun kadang-kadang ada perbedaan pendapat antara pengelola yang lebih sekuler dengan yang lebih memakai referensi Islam modernis. Juga mungkin di akhir 1980-an dan 1990-an ada sedikit perbedaan visi antara yang senior dengan tenaga yang lebih muda,” ujar Hadiz, yang kini mengajar di National University of Singapore.

BOLEH dikata, praktis tak ada pesaing bagi Prisma pada zamannya. Prisma adalah pelopor penerbitan media ilmiah, seperti halnya LP3ES menjadi pelopor organisasi swadaya masyarakat di Indonesia. Memang pada perkembangannya bermunculan jurnal ilmiah di kampus-kampus. Mereka banyak yang meniru Prisma baik dalam isi, format, perwajahan dan lain-lain. Namun rata-rata mereka bukan jurnal yang berwibawa dan terbit kontinyu.

Kekuatan Prisma juga berkaitan dengan pilihan tema yang diangkat. Tema biasanya kontekstual dan dibahas hampir tuntas oleh akademisi yang kompeten. “Prisma hampir-hampir jadi simposium bulanan, yang selalu dijadikan trade mark kalangan intelektual Indonesia waktu itu. Tradisi membahas tuntas suatu persoalan itu tetap dipertahankan meskipun kemudian terjadi perubahan format,” ujar Dhakidae.

Dhakidae juga menyebut Prisma edisi “Industri Seks” sebagai contoh betapa majalah ini mampu membangkitkan dialog publik yang semarak. Edisi yang muncul pada Juni 1976 ini merangsang diskusi hampir di semua kampus. “Sebab Prisma menawarkan cara pandang yang benar-benar baru dan unik dalam melihat masalah seks. Seks dilihat dari perspektif industrial. Sebuah cara pandang yang berbeda sekali, tidak teknokratis dan moralis seperti sebelum-sebelumnya,” tambah Dhakidae.

Prisma juga merupakan satu-satunya majalah ilmiah yang dijual di kios-kios koran atau oleh penjual asongan. Fenomena ini merupakan buah dari usaha pengelola Prisma untuk membuat media yang lebih diterima khalayak yang lebih luas.Dalam perjalanannya, Prisma sempat mengalami perubahan format. Prisma periode 1971-1975 tampil sebagai majalah dwibulanan.

Sejak 1976 Prisma mulai terbit bulanan. Prisma tak lagi sekedar media untuk menampung pemikiran, namun juga memberikan penerangan dan pencerahan kepada masyarakat. Mulailah ditampilkan tulisan-tulisan bermuatan jurnalistik, di samping terus mempertahankan artikel-artikel ilmiah. Ada reportase, wawancara, rubrik laporan khusus, rubrik dialog yang membuat Prisma menampakkan format yang lebih populer. Tata letak dan sampul majalah juga dibuat lebih menarik.

Prisma mencoba menggabur format jurnal dan majalah. Perubahan ini ternyata mampu meningkatkan oplah. Edisi “Industri Seks” mendongkrak oplah hingga angka 11-12 ribu eksemplar. “Boleh di bilang, Prisma adalah satu-satunya jurnal yang beredar luas di kalangan masyarakat, di tengah-tengah iklim pasar yang kurang kondusif bagi penerbitan jurnal,” kata Arselan Harahap yang mengelola manajemen Prisma akhir 1970-an.

Oplah Prisma sangat tergantung pada tema yang dibicarakan. Ada tema yang mampu mendongkrak oplah seperti topik biografi tokoh sejarah, industri seks, politik Islam, politik mahasiswa, nasionalisme, dan politik militer. Namun ada juga tema yang membuat jeblok oplah seperti tema sastra, olahraga, pembangunan, musik, dan kebudayaan. Tak ubahnya barang dagangan, makin menarik topik yang disajikan, makin banyak pula yang membelinya.

Terlepas dari berbagai kelebihannya, Prisma tidaklah sepi dari kritik. Prisma menjadi media yang kurang lazim karena ia mewadahi spektrum persoalan yang begitu luas. Dari persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya. “Jika merujuk pada jurnal ilmiah yang ideal, harusnya ada platform dan fokus yang jelas. Harus ada positioning. Nah Prisma inikan tidak, temanya melompat-lompat. Edisi ini bicara tentang pembangunan, edisi berikutnya bicara tentang pendidikan, lalu politik Islam, industri seks dan seterusnya. Ini membuat pembaca Prisma berubah-ubah, dan sulit untuk menjaring pelanggan tetap. Lucu kan majalah seperti Prisma lebih laku dijual secara eceran,” tandas Ade Armando, redaktur Prisma tahun 1986-1989 yang kini menjadi Ketua Program S-1 Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI.

Onghokham melalui artikel berjudul “Potret Cendekiawan Indonesia sebagaimana Terekam dalam Prisma,” dalam Prisma No 11 Nopember 1980, melihat Prisma dari sudut pandang yang lain. Ia berpendapat kecenderungan Prisma untuk mengangkat masalah-masalah teknokrasi berkaitan dengan karakteristik intelektual Indonesia pada jamannya. Prisma adalah cermin dari sikap sebagian besar intelektual-teknokrat Indonesia yang cenderung bersikap optimistik, netral dan melihat persoalan dari atas, serta cenderung menghindari wacana konflik. Penolakan Prisma terhadap pendekatan konflik dalam melihat suatu persoalan menyebabkan dominannya kesimpulan-kesimpulan yang bernada generalis, umum dan menggurui masyarakat.

“Prisma berusaha ‘baik-baik’, enak bagi semua pihak, bersifat lunak, dan karena itu bernada naif optimis. Namun penyingkiran unsur pemikiran konflik dapat berakikat pada sikap yang tidak prihatin (concerned). Hal inilah yang membuat Prisma dan para cendekiawan Indonesia tidak merupakan pressure-group di luar pemerintah, namun selalu membuntutinya atau paling-paling sebagai unsur tambahan padanya,” tandas Onghokham.

Kecenderungan Prisma untuk mengangkat masalah-masalah teknokrasi menguat pada awal tahun 1990-an. Kesulitan keuangan yang semakin serius hendak dipecahkan dengan bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintah untuk mengangkat tema teknis tertentu. Dari sisi tema, kebijakan ini sesungguhnya tidak masalah, karena toh Prisma tetap mendapatkan tema yang aktual. “Namun problemnya adalah instansi pemeritah itu turut menentukan siapa yang menulis, tulisan apa saja yang mau disajikan. Mereka turut mengontrol penerbitan. Hal ini menjatuhkan kualitas Prisma. Pembaca fanatik yang kecewa semakin banyak yang meninggalkan Prisma yang kian berciri teknokratis,” ujar Armando.

“Sungguh mengherankan bahwa Prisma mengangkat hal-hal yang sangat teknokratik, justru ketika teknokrasi dihantam di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sebuah langkah yang jelas-jelas keliru,” tambah Dhakidae.

Prisma dalam perjalanannya senantiasa mencoba menawarkan gagasan alternatif terhadap ideologi developmentalisme Orde Baru. Ketika pemerintah lebih menekankan pertumbuhan, Prisma mengimbanginya dengan gagasan pemerataan. Ketika pemerintah lebih memprioritaskan masalah efisiensi, Prisma mengampanyekan pentingnya partisipasi. Ketika pemerintah hanya menetapkan tingkat konsumsi kalori sebagai alat ukur tingkat kemiskinan, Prisma mengingatkan pentingnya indikator lain seperti tingkat pendidikan, kepemilikan dan kualitas tempat tinggal, serta tingkat kesehatan.

Namun berbagai pihak menilai Prisma mengalami kegamangan dalam menempatkan diri sebagai pemberi tafsir alternatif. “Sekritis-kritisnya Prisma terhadap pembangunan, saya tidak melihat Prisma mencoba membongkar epistemologi pembangunan. Dengan kata lain, Prisma sesungguhnya tetap berada dalam paradigma developmentalisme. Ini bisa dimengerti karena pandangan yang benar-benar radikal terhadap Pembangunanisme baru berkembang awal 1990-an, dan baru masuk ke Indonesia pada pertengahan 1990-an. Pada saat itu, Prisma telah menunjukkan tanda-tanda kematiannya,” ujar Purwadi.

Selaras dengan Purwadi, Kleden menyayangkan bahwa kritik dan resistensi Prisma terhadap faham modernisasi tanpa dibarengi dengan munculnya pemikiran alternatif. Modernisasi tak lebih dari sekedar fokus perhatian. “AKibatnya, yang terjadi dengan Prisma adalah gejala modernization writes back, yang secara tanpa sengaja justru memperkuat kedudukan teori modernisasi sendiri. Ini analog dengan kritik feminis sekarang ini yang terus-menerus menyerang dominasi patriakhi kaum laki-laki, namun pada akhirnya secara umpan-balik justru semakin memperkuat kedudukan patriarkhi…,” kata Kleden yang pernah terlibat dalam keredaksian Prisma.

BANYAK media lahir dan berkembang karena kebutuhan spesifik suatu fase sejarah tertentu. Begitu juga tampaknya yang terjadi dengan Prisma. Prisma besar pada jamannya, dan kehilangan relevansi ketika jaman itu berubah. Prisma dengan segala kelebihannya sesungguhnya tak lebih dari forum khusus modernisasi. Seperti halnya majalah Poedjangga Baru pada tahun 1930-an adalah forum untuk pemikiran tentang masyarakat dan kebudayaan baru menuju Indonesia Merdeka. “Ketika pemikiran post-modernis mulai melanda pemikiran para orang muda di sini (Indonesia), jurnal seperti ini (Prisma) jelas kehilangan relevansinya karena dia tidak siap menghadapi tantangan baru yang bukan saja menolak dengan tegas tetapi juga mencemooh secara argumentatif berbagai asumsi modernisasi,” tandas Kleden.

Ada banyak faktor yang dapat menjelaskan redupnya sinar Prisma pertengahan 1980-an. Masmimar Mangiang, wakil pemimpin redaksi Prisma 1984-1989, menyebut faktor kejenuhan dan keletihan awak redaksi Prisma. “Kita sering mendiskusikan suatu usulan topik panjang lebar. Setelah topik disepakati, lalu kita runut lagi ke belakang, ternyata topik itu sudah pernah diangkat. Hal ini berkali-kali terjadi. Hampir semua hal penting rasanya sudah kita angkat. Saya selalu bingung mencari angel baru,” ujar Mangiang.

Dhakidae kurang sepakat dengan pendapat ini. Sebab jika problemnya adalah kelelahan intelektual, mestinya dapat teratasi ketika masuk figur intelektual berpendidikan tinggi seperti Farchan Bulkin dan Ignas Kleden tahun 1984. Kenyataannya, Prisma tetap mengalami trend kemunduran.

Yang dihadapi Prisma menurut Dhakidae bukan sekedar persoalan human resources. Namun lebih pada masalah relevansi dengan perkembangan-perkembangan aktual. “Perubahan-perubahan sosial yang terjadi, dan perkembangan teori-teori sosial yang bergerak begitu cepat sudah tak dapat dikejar lagi. Mengherankan sekali, Prisma menjadi sebegitu tua dalam usia yang sangat muda, baru 15 tahun.”

Sebagai contoh, ketika otoritarianisme Orde Baru mulai menguat sekitar tahun 1983-1984, Prisma tak mampu menangkapnya dan memberikan landasan teoritis buat memahaminya. Prisma tak bisa mempersambungkan diskusi tentang otoritarianisme itu dengan publik. “Ketika rezim otoriter menguat, orang akan mencari alternatif kepada social sciences. Pada saat otoritarianisme itu hidup, biasanya selalu didampingi suatu critical social sciences. Hal ini tidak bisa diberikan Prisma,” ujar Dhakidae.

Lebih problematis lagi karena otoritarianisme ternyata mempunyai cara tersendiri untuk bertahan. Sebagai bagian dari politik NKK/BKK, pemerintah memberikan subsidi bagi tumbuhnya penerbitan kampus. Maka menjamurlah jurnal-jurnal akademik di kampus yang disponsori rezim otoriter pada awal tahun 1980-an. Mahasiswa “dikandangkan” di kampus-kampus untuk sekedar menggeluti disiplin ilmu masing-masing. Perkembangan ini benar-benar menjadi pukulan telak bagi eksistensi Prisma. Bagaimana tidak, kampus adalah basis utama pembaca Prisma.

Sayangnya, para pengelola Prisma kurang jeli dalam melihat perkembangan-perkembangan eksternal. Mereka kurang menyadari bahwa Prisma bukan lagi satu-satunya pusat kegiatan intelektual. “Sementara di luar sana sudah berkembang pusat-pusat intelektual baru, Prisma tetap saja asyik dengan dirinya sendiri. Prisma tetap menganggap dirinya sebagai ‘polling’ intelektual exercise di Indonesia,” ujar Dwi Arya Wisesa, mantan redaktur Prisma, kini editor PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Pada tahun 1980-an, media massa juga semakin banyak memberikan ruang untuk tulisan-tulisan serius dan analisis pakar. Rubrik kolom dan opini semakin populer di kalangan intelektual dan penulis. Secara komparatif honor menulis di media cetak populer juga lebih menggiurkan daripada menulis di media ilmiah seperti Prisma. “Padahal untuk menulis artikel di surat kabar, seorang penulis paling membutuhkan 3-5 jam. Sedangkan untuk menulis di Prisma, orang membutuhkan berhari-hari untuk riset, studi pustaka dan lain-lain,” ujar Maruto MD, direktur PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Artikel-artikel di media massa yang singkat dan padat semakin lazim dijadikan referensi. Sebaliknya, tulisan di jurnal yang panjang dan teoritis semakin ditinggalkan. “Selera masyarakat terhadap instant knowledge yang disajikan media populer kian tak terbendung, sehingga menggerogoti nilai plus media seperti Prisma,” kata Hadiz.

Kondisi ini diperparah oleh booming penerbitan buku pada tahun 1990-an.

LP3ES memang menjadi perintis penerbitan buku di Indonesia. Namun ketika penerbitan buku mengalami booming, penerbitan LP3ES gamang dalam mengantisipasi persaingan yang semakin ketat. Ironis memang, ketika para penerbit baru mengeruk banyak keuntungan, penerbitan LP3ES justru lesu darah. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap Prisma. Popularitas Prisma semakin tergeser seiring dengan semakin banyaknya alternatif bacaan serius dan berkualitas. Di sisi lain, lesunya bisnis penerbitan buku LP3ES juga mempengaruhi kelangsungan hidup Prisma. Sebab antara penerbitan buku LP3ES dan Prisma sebenarnya terjadi subsidi silang.

Kemunduran Prisma di sisi lain juga disebabkan oleh terabaikannya proses kaderisasi. Prisma memang sebuah tempat yang unik. Seorang intelektual bertahan di Prisma rata-rata 3-4 tahun. Setelah itu akan masuk orang-orang baru untuk menggantikannya. Pergantian demi pergantian ini baik untuk penyegaran, sehingga dapat dihindari kejenuhan dan pengulangan tema. Namun menjadi problematis ketika suatu saat Prisma tidak mendapatkan orang baru yang berkualitas.

“Saya melihat, Prisma dan LP3ES itu hanya jadi batu loncatan. Orang datang dan pergi begitu saja, dan lembaga tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan pentingnya merekrut orang baru untuk dikader,” ujar Mangiang.

Status alumnus LP3ES atau Prisma memang sangat dihargai. Orang keluar dari LP3ES atau Prisma biasanya akan mendapatkan posisi bagus di tempatnya yang baru. Di satu sisi, hal ini sebenarnya justru menunjukkan keberhasilan LP3ES dalam mendidik para intelektual muda yang di kemudian hari dapat berkiprah di luar lingkup LP3ES. Namun secara institusional hal ini bisa merugikan karena bisa saja LP3ES kekurangan tenaga berkualitas.

GEDUNG di Jalan S Parman 81, Slipi, Jakarta Barat itu masih terlihat anggun. Halaman yang luas, pepohonan yang rindang, serta arsitektur bangunan yang unik, membikin betah tamu yang datang. Apalagi jika melihat gedung-gedung tinggi menjulang di kanan-kirinya, gedung itu sungguh terasa teduh dan asri. Hanya saja, jika kita masuk ke ruangan-ruangan di dalamnya, kita akan mendapati meja, kursi, rak buku, AC dan berbagai perabotan lain yang terlihat kuno dan usang.

Gedung itu adalah bukti kejayaan LP3ES di masa lalu. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya sebuah LSM mempunyai kantor sebesar itu, serta di tempat yang sestrategis itu, pada tahun 1976. Namun kejayaan itu sekarang tinggal sisa-sisa. Peran dan keberadaan LP3ES telah mengalami banyak kemunduran oleh berbagai sebab.

“Jasa yang tidak laku, manajemen buruk dan anemia intelektual saling kait-mengkait,” demikian Nono Anwar Makarim menjelaskan penyebab kemunduran LP3ES dalam buku Profil & Pendapat, Kenangan 30 Tahun LP3ES.

Gejala kurang duit merupakan ciri pengenal LSM di mana pun. Namun apabila gejala ini dijadikan sebab hilangnya vitalitas, maka menurut Makarim hak hidup sebuah LSM perlu disangsikan. LSM, sebagaimana setiap manusia, harus berguna untuk kelangsungan hidup masyarakat. Kegunaan ini diukur dari kadar kesediaan masyarakat memberi nilai dan membayar jika mengambil manfaat dari nilai ini.

“Secara singkat, yang jadi persoalan bagi setiap LSM adalah apakah fungsi yang dijalankannya laku atau tidak laku di pasaran masyarakat itu. Kalau jasa yang dijajakan tidak laku, maka LSM itu harus secara serius melakukan introspeksi tentang sebab-musabab ketidaklakukan itu. Kerapkali sebab-musabab itu terletak dalam diri LSM itu sendiri. Tapi, hampir selalu kita cenderung menyalahkan faktor eksternal,” ujar Makarim merujuk pada apa yang terjadi di LP3ES.

Lima Juli 1985, LP3ES membentuk badan usaha dengan konsentrasi utama pada bisnis penerbitan buku, yaitu PT Pustaka LP3ES Indonesia. Pembentukan badan usaha ini merupakan strategi untuk menyiasati kondisi di mana LP3ES maupun Prisma tidak bisa seterusnya tergantung pada bantuan funding. Institusional support dari Friederich Nauman Stiftung berakhir sejak awal 1980-an, dan ini berarti LP3ES harus mencari sumber dana yang lain untuk menghidupi diri.

Namun tansformasi daripola berpikir NGO menuju pola berpikir badan usaha tidak berjalan mulus. “Pihak PT senantiasa bersikeras bahwa profit oriented harus dikedepankan, sementara divisi lain tak beranjak dari pola berpikir NGO, yaitu bagaimana kita menghabiskan dana funding,” tandas Wisesa. Problem ini berimbas pada Prisma. Bagian manajemen selalu berpikir bagaimana agar Prisma bisa laku dijual, sementara redaksi senantiasa berpikir tentang standart ilmiah dan idealisme.

Sebuah perdebatan klasik, yang bisa dijumpai hampir di semua media. Antara kepentingan manajemen dan redaksi memang sulit dipertemukan, bahkan lebih sering berbenturan. Nah ketika trend penurunan oplah Prisma semakin tak tertahankan, sempat muncul anggapan hal ini karena redaksi kurang dapat berkompromi dengan pasar dalam pemilihan tema dan kontinuitas penerbitan.

Namun anggapan ini disanggah Hari Wibowo. “Oplah nggak ada urusannya dengan pemikiran. Merosotnya oplah Prisma adalah soal manajeman yang nggak beres dan tidak mau mengubah diri. Coba bayangkan, redaksi itu tiap 3-4 tahun berganti personel, sedangkan manajemen dari awal Prisma berdiri hingga saat terakhirnya ya diisi orang-orang itu juga,” tandas Wibowo.

Wibowo menganggap manajemen Prisma tidak bisa menjadikan dirinya sebagai manajemen yang profesional. Mereka tidak kreatif dalam menghadapi pasar. Sementara manajemen para pesaingnya, seperti Tempo dan Kompas, dipegang orang muda-muda yang mempunyai semangat besar dan menguasai pemasaran modern. “Kalau masalah pemasaran digarap dengan baik, saya yakin Prisma bisa dijual dan oplah tinggi. Masak di jaman yang sudah berubah, Prisma masih diurus dengan manajemen ala warung kopi tahun 70-an,” tandas Wibowo.

Bagaimana pendapat orang manajemen? Arselan Harahap tidak mengingkari, manajemen Prisma tidak cukup tanggap mengantisipasi perubahan. Berakhirnya bantuan Friederich Nauman Stiftung tahun 1981 misalnya, seharusnya menjadi titik tolak untuk melakukan konsolidasi. Namun ternyata Prisma tetap berjalan dengan pola lama.

Namun menurut Harahap posisi manajemen Prisma memang serba sulit. Manajemen Prisma berada satu atap dengan Divisi penerbitan LP3ES. Divisi penerbitan ini sebenarnya dapat menghasilkan keuntungan dari penerbitan buku. Kalaulah divisi ini terlihat tidak melakukan ekspansi untuk mengembangkan pasar, karena cadangan dananya juga harus digunakan untuk menopang divisi lain. Divisi buku dan Prisma tidak bisa berjalan sendiri, karena ada komitmen untuk membantu divisi lain.

“Selain itu, perlu diingat bahwa Prisma itu benar-benar proyek idealis. Paling-paling Prisma bisa untung pada edisi yang best seller saja. Selebihnya, praktis disubsidi penerbitan buku,” ujar Harahap.

Terlepas dari perdebatan di atas, berakhirnya komitman funding untuk memberikan institusional support kepada LP3ES, benar-benar menempatkan Prisma pada situasi sulit. Harapan hidup Prisma tinggal pada proyek-proyek teknokratis dari berbagai instansi pemerintah. Perolehan oplah dan iklan tak realistis untuk diharapkan. Begitu juga dengan subsidi dari usaha penerbitan buku LP3ES yang sedang lesu darah.

Sebagai sebuah penerbitan ilmiah, Prisma kemudian berusaha hidup tanpa bantuan funding. Berbagai pihak menilai langkah ini sebagai sebuah “eksperimen yang terlalu berani”. Sebab dalam sejarahnya tidak ada penerbitan ilmiah yang bisa mandiri, tanpa subsidi dari luar. Apalagi Prisma tidak berinduk pada organisasi tertentu, katakanlah Ikatan Sarjana Politik Indonesia. Pasar media sesungguhnya sangat terbatas. Oleh karena itu, sebuah majalah ilmiah mau tidak mau harus hidup dengan cara di luar mekanisme pasar.

“Dana operasional yang kian menurun, fasilitas kantor yang tidak memadahi, gaji dan honor yang semakin tidak kompetitif, benar-benar memperburuk semangat dan antusiasme dalam tubuh Prisma,” kenang Armando. Ini terjadi pada awal tahun 1980-an, ketika terjadi gelombang industrialisasi yang begitu besar di Indonesia. Tak pelak, tarikan untuk keluar dan bekerja di tempat yang lebih “menjanjikan” secara finansial semakin besar di kalangan staf Prisma dan LP3ES.

Sebagaimana dikeluhkan Makarim, terjadi kebocoran tenaga dan pemikir yang kreatif dalam LP3ES. Istilah penyakit anemia intelektual digunakan Makarim untuk merujuk pada staf LP3ES yang darah intelektualnya yang cemerlang habis tersedot untuk kegiatan di keluar.

Staf LP3ES dan Prisma semakin terhimpit di antara idealisme pribadi dan pressure lingkungan untuk menjalani kehidupan gaya kelas menengah ibukota yang semakin konsumtif tahun 1980-an dan 1990-an. “Mungkin pengalaman LP3ES dan Prisma adalah contoh kasus yang sangat baik tentang bagaimana perubahan sosial yang terjadi dengan berkembangannya kapitalisme di Indonesia menyediakan dilema yang sulit diatasi bagi mereka yang berkeinginan mencurahkan tenaga untuk kegiatan intelektual yang independen dan bersifat kritis,” tandas Hadiz.

TEMPO adalah contoh media yang berhasil bangkit kembali setelah lama mati. Meskipun belum berhasil mengembalikan wibawa, kualitas isi dan oplah seperti di masa jayanya, Tempo tetap menjadi yang terdepan untuk kelas majalah berita hingga saat ini. Sebaliknya, Detak adalah contoh media yang gagal mengulangi masa emasnya di masa lalu. Banyak yang menyayangkan mengapa tabloit Detik bereinkarnasi menjadi Detak setelah Orde Baru jatuh.

Sebab Detik sesungguhnya mempunyai sejarah yang manis. Setelah menjadi korban pembreidelan rezim Orde baru bersama Tempo dan Editor Juni 1994, Detik dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Kegagalan Detak menjadi media yang diperhitungkan belakangan ini, tak pelak mengurangi makna historis pendahulunya itu. Dalam hal ini, keputusan eks pengelola Editor untuk tidak menerbitkan kembali majalah ini justru dinilai sebagai keputusan yang tepat.

Bagaimana eks pengelola Prisma mensikapi fakta di atas? Apakah mereka masih terobsesi untuk menerbitkan kembali majalah Prisma? Keinginan ini ternyata masih cukup kuat. Sebagai mantan pemimpin redaksi Prisma, Ismid Hadad masih melihat kemungkinan untuk menerbitkan kembali majalah ini. Dengan bantuan lembaga donor, Hadad optimis Prisma dapat berkibar lagi.

Optimisme ini juga ada pada diri Mangiang. Pemimpin redaksi Harian Neraca ini yakin Prisma dapat diterima kembali sebagai jurnal pemikiran yang prestisius. “Asalkan, Prisma mau menjadi media penyadaran masyarakat tentang demokrasi. Prisma harus lebih fokus pada pesan-pesan demokrasi. Selain itu, harus ada policy untuk membiayai seseorang guna melakukan studi yang serius. Sautu hal ini yang belum dilakukan Prisma di masa lalu,” ujar Mangiang.

Sedikit berbeda dengan Hadad, Wibowo justru membayangkan Prisma dapat terbit lagi dengan menggantungkan diri pada oplah dan perolehan iklan. Menurut Wibowo justru riskan jika Prisma hendak terbit lagi dengan mengandalkan bantuan lembaga donor. “Prisma akan kembali ke suasana lama di mana tidak ada semangat untuk bersaing dan menggarap pasar secara serius dengan manajemen yang modern. Asalkan dipegang orang yang mengerti manajemen modern, mengerti LSM dan sejarah Prisma sendiri, saya yakin Prisma dapat eksis lagi,” ujar Wibowo.

Berbeda dengan para koleganya, Dhakidae merasa spesimis Prisma bisa diterbitkan lagi. Situasi sosial-politik sudah sangat berubah, demikian juga dengan konstelasi media. Belum lagi jika dipertimbangkan perubahan-perubahan besar dalam ilmu pengetahuan populer. Perubahan demi perubahan ini, harus disikapi dengan cara yang benar-benar baru. Dan ini bukanlah pekerjaan yang mudah.

Dhakidae juga membayangkan, beban mental jauh lebih tinggi dari beban intelektual jika Prisma hendak diterbitkan lagi. “Prisma itu sudah menjadi mitos. Dan mengejar-ngejar mitos itu hampir-hampir mustahil, sama dengan mengejar hantu. Bayang-bayang nama besar Prisma inilah yang saya kira akan selalu menyiksa dan mengusik konsentrasi para pengasuh Prisma,” tandas Dhakidae.

Tak salah apa kata Dhakidae, Prisma telah menjadi semacam mitos. Kebesaran Prisma bukan hanya pada kontribusinya bagi khasanah intelektual di Indonesia, bukan pula hanya pada perannya dalam mempersambungkan realitas-realitas kekuasaan dengan wacana publik. Namun juga pada oplahnya yang tak lazim untuk kelas media sejenis. Oplah Prisma yang rata-rata mencapai belasan ribu eksemplar sungguh spektakuler dan sulit tertandingi, bahkan oleh media-media ilmiah ternama kelas dunia sekalipun. Hebatnya lagi, oplah itu dapat bertahan dalam kurun waktu yang panjang pada paruh kedua tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.

Uniknya mitos tentang Prisma memudar seiring dengan pudarnya mitos Orde Baru sebagai orde pembangunan dan orde modernisasi. Jatuh-bangunnya eksistensi Prisma dan LP3ES kurang lebih sejajar dengan naik-turunnya Orde Baru sebagai sebuah rezim. Dan sungguh menarik bahwa tantangan yang dihadapi dua lembaga ini paralel dengan tantangan Golkar sebagai kekuatan politik. Bentuk tantangan itu adalah apakah mereka mampu mempertahankan perannya sebagai kekuatan alternatif, ataukah pada gilirannya justru berubah menjadi mainstream, atau sekurang-kurangnya menyesuaikan diri dengan arus mainstream pembangunan ekonomi dan modernisasi.

Pada paruh kedua dekade 1990-an, oplah Prisma terus merosot, hingga sampai pada angka tiga ribuan. Ironis sekali memang. Namun krisis ekonomi tahun 1997 semakin mencekik manajemen Prisma. Sejarah kemudian mencatat, Orde Baru berakhir pada revolusi Mei 1998, dan Prisma untuk terakhir kali mengunjungi pembacanya Oktober 1998. Garis-hidup Prisma tampaknya memang sebagai pengawas dan pengawal perjalanan kekuasaan Orde Baru.*

by:Agus Sudibyo