Para Pengganda yang Jahat

Anonim (sementara)

Mon, 5 November 2001

DUA sejoli sedang dimabuk asmara. Di saat liburan, Juli 2001, mereka bermain cinta dan merekamnya dengan handycam.

DUA sejoli sedang dimabuk asmara. Di saat liburan, Juli 2001, mereka bermain cinta dan merekamnya dengan handycam. Dua sejoli itu Adi Hamed, 20 tahun, mahasiswa teknik sipil Institut Teknologi Nasional dan Raden Ajeng Dewi Kemala Bungsu, 18 tahun, mahasiswa fakultas ilmu komunikasi, Universitas Padjadjaran. Kedua institusi pendidikan tinggi tersebut berada di pusat kota Bandung.

Mereka tidak bermaksud membuat film untuk kepentingan festival, apalagi komersial. Mereka hanya ingin menyimpannya sebagai perekat kisah kasih. Selebihnya, koleksi pribadi. Namun, sial bagi mereka, kaset rekaman jatuh ke tangan orang yang salah, digandakan, dan tersebar ke mana-mana. “Biadab sekali,” kata Todung Mulya Lubis, seorang pengacara Jakarta yang sering berperkara soal kebebasan pers.

Santer dispekulasikan, gambar diambil di sebuah hotel berbintang di Jakarta saat mereka mudik, sehabis berlibur dari Bali. Dalam film, Adi mengenakan kostum tim basket Institut Teknologi Nasional. Ia memang pemain inti di situ. Kostum yang biasa dipakainya bernomor empat seperti tampak pada celananya, sedangkan kaus singlet bernomor dada 15 pinjaman dari temannya.

Adegan yang direkam bulan Juli itu pelan-pelan merayap ke kalangan terbatas—terutama komunitas-komunitas kampus di sekitar daerah Dipatiukur, Tubagus Ismail, Sekeloa, Sadang Serang, Suci—sejak akhir Agustus. Dan pada akhir awal Oktober, radius peredaran meluas hingga akhirnya sampai di tangan masyarakat luas. Orang dapat dengan mudah mendapatkannya di kawasan mal Plaza Bandung Indah, Pasar Simpang, atau di pusat kaki lima Dalem Kaum.

Film dikemas dalam video compact disc yang makan durasi 64 menit. Kualitas gambar yang dihasilkan umumnya jelek, kecuali pada rekaman yang menggunakan kepingan compact disc-recordable multi speed berkekuatan 650 MB, yang memiliki masa putar 74 menit.

Apapun, awal Oktober, media massa mengendus isu. Koran-koran lokal seumumnya menurunkan berita kasus film tersebut di halaman satu. Beberapa di antaranya menyatakan sikap dalam tajuk rencananya. Bandung gempar.

Di Jalan Penghulu Hasan Mustofa, lokasi kampus Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional, sivitas akademika gusar. Beberapa mahasiswa sempat melayangkan bogem ke muka Adi. Rektorat berunding. Mereka memecat Adi. Pembantu Rektor III Slamet B. Santoso membenarkan pemecatan ini.

Di Jatinangor, lokasi kampus fakultas ilmu komunikasi Universitas Bandung, kalangan akademik yang tergabung dalam komisi etik, sebagian di antaranya menitikkan air mata setelah menonton film dokumenter itu. Klimaks, Kemala juga dikeluarkan.

Di sudut-sudut kota lainnya, masyarakat dari berbagai kelas sosial menelepon kantor-kantor redaksi suratkabar yang memuat kasus itu. Surat pembaca Metro Bandung, selama dua hari berturut-turut (7 – 8 Oktober), memuat komentar-komentar publik sehalaman penuh. “Kalau diturutin semuanya, tak mungkin kita muat,” kata Tiah S.M., reporter Metro Bandung yang sepanjang Sabtu, 6 Oktober, kebagian piket menunggui pesawat telepon.

Banjir telepon menurut Tiah, berlangsung dari pagi sampai pukul 23.00. Jumlahnya, mencapai puluhan call in. Kaum hawa, umumnya mengumpat dan mengutuk perbuatan mereka, lengkap dengan desakannya agar para pelaku digiring ke meja pengadilan karena dianggap telah melanggar batas-batas etika dan sopan santun.

Kasus itu sebenarnya bukan isu baru bagi fakultas ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran. Sejak Agustus, milis fakultas yang juga beranggotakan para alumnus, membahasnya—walaupun kadarnya masih sebatas menerka-nerka. Baru ketika disket film ditemukan, rumor akhirnya menembus dinding-dinding fakultas dan ditangkap oleh para mahasiswa. Pergunjingan dari mulut ke mulut memaksa pemimpin fakultas berusaha mencari-cari Kemala, setelah mereka menyaksikan sendiri film tersebut. Seperti juga Adi, Kemala sempat menghilang dari kampus untuk beberapa lama.

Awal Oktober, mahasiswa yang terbilang cerdas—terakhir indeks prestasi kumulatifnya di atas tiga—datang menemui Soeganda Priyatna, dekan fakultas, ditemani dua teman perempuan dan tujuh kakak angkatannya. Dalam isak-tangisnya, Kemala mengakui, film tersebut memang melibatkan dirinya dan pacarnya. Kemala dan Adi berpacaran sejak mereka sama-sama bersekolah di SMA 8 Jakarta. Hingga film dibuat, usia pacaran mereka sudah mencapai dua tahun. “Kamu bercucuran air mata, tapi batin saya menangis lebih keras,” ucap Priyatna.

Kepada dekan, Kemala membantah dia sengaja menggandakan rekaman film dalam disket untuk dijualbelikan. “Itu hanya untuk koleksi,” tutur Kemala.

Apa boleh buat, takdir bicara lain. Koleksi pribadi segera menjadi koleksi publik, setelah Adi tergoda untuk mengalihkan rekaman film ke dalam kepingan disket lewat jasa temannya, yang dikenal bernama Jack. Orang inilah yang diam-diam, menkopi disket itu. Tak pelak, file curian itu lalu digandakan sebuah production house di kawasan Sekeloa yang sekurang-kurangnya mengerahkan tiga komputer untuk memperbanyak film ke dalam ratusan kepingan CD-R. Saat media belum meramaikannya, aktivitas transaksi film berlangsung mulus. Belakangan mereka berhati-hati, dan hanya menjual kepada pihak-pihak yang dikenalnya.

Para penjaja, rental VCD, pun mulai menahan diri takut kena sweeping aparat yang berwajib. Kalaupun mereka mengeluarkannya, harga sekeping disket bisa mencapai Rp 40 ribu rupiah. Padahal, sebelumnya mereka hanya menawarkan Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu. Bisa dipahami kalau polisi kesulitan mendapatkannya hingga harus meminta pertolongan kalangan pengelola media. “Polisi juga datang ke kantor,” kata Machmud Mubarok, reporter Metro Bandung, Kelompok Kompas Gramedia, yang beralamat di Jalan Malabar.

“Kasus ini pasti kita selidiki. Tapi, kewenangannya kan sudah dilimpahkan ke Polwiltabes Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung,” ujar juru bicara polisi Jawa Barat Dade Achmad.

Kepala reserse polisi kota Bandung, Asisten Komisaris Besar Siswandi mensinyalir adanya unsur pemerasan dalam kasus ini. Namun, polisi lagi-lagi kesulitan mengungkap keberadaan tersangka sebab Jack telah kabur, begitu film beredar luas dan jadi buah bibir publik.

Berita-berita di koran, majalah, tabloid dan situs web, mendeteksi, sejak akhir September, distribusi disket sekurang-kurangnya telah menjangkau empat kota besar di Pulau Jawa: Bandung, Jakarta, Yogya, dan Surabaya. Sebagian adegan sudah tersebar di internet, dan mungkin sudah tersimpan di ribuan komputer di seluruh Indonesia.

Adi dan Kemala kini hancur hidupnya, masa depannya tak pasti. Keluarga mereka sedih luar biasa. Kemala diludahi saat masuk ke ruang kelas, sebelum ia dipecat dari kampusnya. Bagaimanapun, kedua anak remaja itu, lebih pantas dikasihani daripada dibenci apalagi dihukum. Para pengganda itu sama jahatnya dengan pemimpin perguruan tinggi yang memecat kedua mahasiswa itu.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)