MAJALAH Gatra yang sekitar empat tahun berkibar dengan jaya, tiba-tiba bagai dilanda gempa. Sebagian karyawannya bertekad angkat kaki dan mendirikan majalah baru. Gejala akan pecahnya biduk Gatra menyembul ke permukaan pada pertengahan November 1998. Berbagai media pun segera mewartakan krisis tentang majalah milik pengusaha Bob Hasan tersebut.

Apa yang sebenarnya terjadi? Buat Herry Komar, pemimpin redaksi Gatra ketika itu, sebenarnya tak ada yang istimewa. Ketika reformasi bergulir, sebagai pemimpin redaksi, Komar ikut mewarnai isi majalah Gatra dengan berbagai berita-berita baru menyangkut reformasi. Karena tak ingin ketinggalan dari media lain itulah Gatra juga memuat berbagai berita tentang Bank Umum Nasional (BUN) milik Bob Hasan yang terseret utang termasuk tuntutan agar Bob digantung. “Kalau pemilik saham majalah ini merasa kurang enak dengan berita-berita seperti itu, saya kira wajar saja,” kata Herry Komar.

Pemilik saham yang dimaksudkan Herry Komar adalah Mohammad Hasan yang lebih dikenal dengan nama Bob Hasan. Pada saat itu memang Bob Hasan pemilik saham terbesar dalam perusahaan yang menerbitkan Gatra yaitu PT Era Media Informasi. Perseroan terbatas ini didirikan bersama oleh Mohammad Hasan dan Sukrisman mewakili PT Anugerahterang Saranaindah. Saat pendirian perseroan terbatas ini, Bob Hasan hanya memiliki 900 saham dan Anugerahterang Saranaindah memiliki 1.100 saham. Dari jumlah tersebut 880 saham dimiliki Sukrisman dan 220 saham diserahkan kepada Koperasi Kesejahteraan Karyawan Majalah Gatra (K3MG). Belakangan Sukrisman menjual 200 sahamnya kepada Mohammad Hasan, 280 saham kepada K3MG dan 400 saham kepada Tigor M.Tanjung. Persentase terakhir saham PT Era Media Informasi ketika rapat umum pemegang saham dilaksanakan adalah 55 persen milik Bob Hasan, 25 persen milik K3MG, dan 20 persen milik Tigor M.Tanjung.

Sebenarnya, menurut Herry Komar, sejak awal redaksi telah menegaskan kepada Bob Hasan bahwa mereka harus independen dalam menulis berita. “Kami tak mau didikte,” ujar Komar lagi. Merasa telah menegaskan sikapnya sejak awal berdirinya majalah, Gatra tak segan-segan pula menulis tentang keterangan empat mahasiswa yang tertangkap di Australia karena membawa narkoti dan obat bius, yang menyebut-nyebut nama Tommy Soeharto. Karena berita itu pula Komar berurusan dengan polisi. Padahal menurut dia media lain juga menulis berita yang sama. Mengapa hanya dia yang dipanggil polisi? Masalah ini tak tuntas karena polisi bingung mencari pasal apa yang harus dikenakan kepada Herry Komar.

Perasaan tak senang pemilik modal mayoritas terhadap kebijaksanaan redaksi mencapai puncaknya dengan munculnya berita tentang Tommy Soeharto itu. Rapat pemegang saham segera diadakan. Dengan dalih mengadakan perbaikan, rapat memberhentikan empat direktur yaitu Lukman Setiawan, Mahtum Mastoem, Harjoko Trisnadi, dan Herry Komar. Jabatan direktur utama yang dipegang Budiono Kartohadiprodjo ditiadakan dan perusahaan hanya dipimpin seorang direktur. Posisi ini diberikan kepada Budiono. Keempat direktur yang diberhentikan diangkat menjadi komisaris.

Perbaikan yang dimaksudkan rapat tampaknya tak dipahami Komar. Ia berpendapat penjualan majalah bagus, iklan tetap banyak, dan pemasukan keuangan senantiasa baik.

Ternyata ketiga direktur lainnya sependapat dengan Komar. “Kalau orang tak setuju dengan kita mengapa harus bertahan? Apalagi ide-ide kita tak disukai,” kata Komar. Lukman Setiawan merasa yang mereka terima ketika itu unfair treatment dari pemilik modal. “Rencana penunjukan sebagai komisaris, hanya disebut-sebut tetapi tak dinyatakan secara tertulis,” ujar Lukman. Dengan alasan itu pula keempat direktur yang kena gusur memilih meninggalkan Gatra. Apa lagi rapat juga memutuskan mengganti pemimpin redaksi Herry Komar dengan Widi Yarmanto.

Menurut Komar, pada mulanya semua mantan direktur ini tak berniat mendirikan majalah baru. Mereka memilih istirahat dulu. Rupanya simpati muncul di kalangan sebagian karyawan terhadap keempat bekas atasan mereka itu. Mereka menyarankan agar keempat bekas bos tersebut mencari investor untuk mendirikan majalah baru.

Melihat solidaritas yang tinggi itu akhirnya keempat mantan direktur ini tunduk kepada keinginan sebagian karyawan Gatra yang ingin hengkang itu. Lukman Setiawan menghubungi beberapa temannya untuk menjadi investor. Investor didapat, perencanaan majalah baru segera dimulai.

Dalam hal eksodus ini tampaknya ada hal yang kebetulan. Seperti halnya Komar, Mahtum tak bersedia duduk sebagai komisaris, begitu juga Harjoko Trisnadi dan Lukman Setiawan. Karena itu mereka lebih memilih keluar tanpa ada rencana apa-apa. Di pihak lain, di kalangan karyawan baik di redaksi maupun nonredaksi timbul pemikiran yang sebenarnya sangat rasional. Sebuah rezim akan jatuh digusur reformasi. Kebetulan pemilik majalah Gatra adalah orang terdekat dengan pemimpin rezim yang rontok itu. Berarti pemilik majalah maupun majalahnya juga akan ambruk.

Nah, mengapa tak bersiap menghadapi situasi yang tak diharapkan itu pada waktu bersamaan empat direktur akan angkat kaki. Peluang ini tak dilepaskan karyawan dan mereka bergabung dengan keempat mantan direksi itu di samping meminta mereka mencari pemodal untuk mendirikan majalah baru. Ini diungkapkan redaktur pelaksana majalah Gamma, Bersihar Lubis, yang menjelaskan situasi menjelang eksodus ketika saya tanya.

Menariknya, Budiono tak tahu bahwa ada rencana anak buahnya untuk eksodus dan mendirikan majalah baru. Dia baru tahu setelah beberapa karyawan Gatra mengungkapkan rencana cabut ramai-ramai itu. Budiono juga tak tahu apa sebab sebagian besar karyawan akan keluar.

Sikap Budiono menghadapi rencana eksodus tersebut juga mengejutkan. Buat Budiono, siapa pun boleh keluar dari Gatra karena itu hak mereka dan hak itu harus dihormati. Karena itu ia tak berbuat apa-apa dan memilih menunggu. Siapa yang ingin keluar, silakan. Karena tak menanyakan langsung kepada orang-orang yang akan keluar, Budiono tak tahu persis mengapa mereka memilih meninggalkan Gatra.

Ia mengambil sikap seperti itu karena ia tak ingin dianggap sombong. “Siapa tahu mereka lebih bahagia di tempat yang baru,”ujarnya. ”Sedangkan kalau terus di sini mungkin mereka tak akan sebahagia di tempat yang baru itu,” katanya. Tetapi pada waktu yang sama ia juga khawatir. Kalau keluar dari Gatra mereka lebih bahagia, Budiono akan merasa senang. Namun, jika keluar mereka tak bahagia, nah, ini akan menjadi beban pikirannya. Tampaknya, Budiono benar-benar ingin menampilkan sosok dirinya sebagai bapak.

Cuma berbeda dengan keterangan Herry Komar, Budiono mengatakan Gatra sedang mengalami kerugian akibat timbulnya krisis moneter, karena itu perombakan internal perlu dilakukan. Dalam keadaan sulit itu ia meninjau kembali struktur perusahaan dan kemudian melaksanakan apa yang disebutnya paket hemat, agar pengeluaran dapat ditekan.

Pada waktu itu adanya lima direksi yang membawahi sekitar 200 karyawan dirasakan Budiono terlalu mewah. Karena itu reshaping merupakan satu-satunya jalan. Dalam rapat umum pemegang saham semua direksi diberhentikan. Rapat kemudian memutuskan menunjuk Budiono sebagai satu-satunya direktur. Dan jabatan direktur utama ditiadakan. Keempat direktur lama, Harjoko Trisnadi, Mahtum Mastoem, Herry Komar, dan Lukman Setiawan ditunjuk rapat sebagai komisaris.

Sebenarnya Budiono pernah melakukan hal seperti itu dalam perusahaan lain yang dipimpinnya. Ia menetapkan jumlah anggota direksi hanya tiga orang. Ganjil terkecil menurut istilah Budiono. “Saya tak tahu apakah ini yang membuat mereka keluar dari Gatra,” ujar Budiono.

Budiono terus menduga-duga karena orang-orang yang akan keluar tak pernah mengutarakan alasan mereka. “Kalau ada yang menanyakan tentang perusahaan akan saya jawab. Dan kalau ada masalah bisa dibicarakan secara manajerial,” katanya melanjutkan.

Mengapa Budiono tak tahu banyak tentang apa yang terjadi di Gatra dapat dipahami setelah mendengar penjelasan Widi Yarmanto yang kini memegang jabatan pemimpin redaksi Gatra. “Pak Budiono tak terlibat terlalu jauh,” katanya. “Dia juga jarang datang ke kantor. Ia tahu beres saja,” ujarnya menekankan.

Widi merasa bila dilihat dari tugas-tugas redaksional sebenarnya saat itu tak ada masalah. Cuma karena krisis harga kertas naik, harga tinta cetak naik. Akibatnya biaya produksi tak tertutupi. Tentang keluarnya semua mantan direksi yang diangkat menjadi komisaris, Widi juga hanya dapat menduga-duga. “Dengan diangkatnya mereka sebagai komisaris tentu pendapatan yang mereka terima berkurang. Mereka hanya memperoleh Rp 7,5 juta, tak sampai setengah dari yang mereka terima sebelumnya. Mungkin ini yang membuat mereka kecewa,” katanya. Widi juga menduga mungkin itulah yang membuat mereka mengajak teman-teman untuk keluar dari Gatra dan membuat majalah baru.

Widi mengatakan ketika krisis terjadi gejolak timbul di Gatra. Krisis tersebut yang berbarengan dengan gelombang reformasi membuat direksi berpikir apa yang harus dilakukan. Di kalangan direksi dan para karyawan timbul kekhawatiran seandainya Pak Harto jatuh, Bob Hasan juga akan tersungkur, dan Gatra pasti akan ambruk karena tak ada lagi orang yang percaya pada Gatra. Pada waktu itulah timbul pemikiran membuat sekoci penyelamat. Mengingat waktu itu Tempo akan terbit kembali, timbul pemikiran menerbitkan media seperti Tempo. Jadi sekoci penyelamat itu menjadi bahan pemikiran bukan semata-mata karena krisis tapi juga karena adanya pesaing baru. Tetapi sebagian karyawan juga berpikir mengapa dalam keadaan krisis kapal harus ditinggalkan. Artinya terdapat dua kutub, pro dan kontra.

Keadaan ini membuat suasana dalam Gatra agak panas antara yang akan keluar dan yang bertahan. Namun, menurut Widi, suasana panas tersebut tidaklah segegap-gempita dulu, ketika karyawan Tempo mengadakan referendum untuk bergabung dengan Gatra atau tidak sesudah dibredel pada Juni 1994.

Benarkah ada ketakpuasan terhadap anggota direksi lama yang meninggalkan Gatra? Widi tak menyatakan pendapatnya. Ia hanya mengungkapkan berbagai pendapat yang beredar di majalah itu. “Ada keluhan, karena Herry Komar terlalu banyak mendelegasikan tugasnya,” ujar Widi.

Lukman Setiawan sebagai pemimpin umum hanya datang ke kantor satu atau dua jam, itu pun tak setiap hari. Mahtum Mastoem juga sangat banyak kegiatannya di luar, sedangkan Harjoko Trisnadi tak dirasakan peran sertanya mengelola Gatra. Tapi karena Gatra terbentuk dari kebersamaan, majalah tersebut tetap dapat berjalan dengan baik. Namun, buat Widi, adalah tak etis kalau direksi masih nyambi di luar Gatra.

Setelah ditinggalkan sebagian besar karyawannya Gatra baru pulih ke dalam kondisi semula pada 2000. Kondisi memaksa Gatra pindah dari Wisma Kosgoro yang megah di Jalan Thamrin, Jakarta ke gedung sendiri di kawasan Kalibata yang dibeli dengan mencicil. Dengan berpindahnya lokasi kantor tersebut lebih banyak penghematan yang dapat dilakukan. Seluruh saham Bob Hasan juga telah dialihkan kepada Budiono sebagai satu-satunya direktur.

Lahirnya Gamma memang dapat ditafsirkan macam-macam. Yang paling keras bicara tentang majalah baru ini hanyalah Amarzan Lubis, yang kini bertugas sebagai redaktur pelaksana Gatra. ”Gamma lahir dengan niat tunggal membunuh Gatra,” tuturnya. Menurut Amarzan di kalangan pembaca ada kesan bahwa Gatra majalah politik. Sementara itu Tempo yang dulu diberedel telah terbit. Kalau Gamma terbit sebagai majalah independen peluangnya sangat besar dan Gatra akan mati, dijepit oleh Tempo dan Gamma. “Begitulah perhitungan para pendiri Gamma,” ujar Lubis.

Ternyata hal itu tak terjadi. Bahkan kolumnis seperti Umar Kayam dan Ashadi Siregar, keduanya dari Universitas Gadjah Mada, yang telah diumumkan akan menjadi kolumnis Gamma dalam kampanye Gamma, menolak untuk menjadi kolumnis majalah tersebut. Rupanya nama kedua kolumnis tersebut “dijual” sebelum mereka sendiri dihubungi.

Kata “membunuh Gatra” ini dibantah Herry Komar. “Kami tak pernah berpikir untuk menghancurkan Gatra,” katanya. Lalu Komar menceritakan bahwa ketika berhenti ia hanya mendapat gaji bulan November, bulan terakhir ia bekerja di Gatra. Ia dan rekan-rekannya sama sekali tak menerima pesangon. “Kalau ada niat untuk menghancurkan Gatra, kita bisa saja membawa kasus ini ke pengadilan,” ujarnya. Tapi itu tak mereka lakukan. Masih menurut Komar, semangat mengalahkan Gatra, bahkan Tempo, memang ada dan itu semata-mata urusan bisnis. “Dalam bisnis tak istilah nomor dua,” ujarnya melanjutkan.

Amarzan Lubis dapat bercerita banyak tentang Gamma, karena ia telah ikut berperan sejak masa persiapan majalah itu. Mahtum Mastoem menugaskannya untuk menggarap launching promotion Gamma. Karena itu dialah yang mengerjakan teks iklan untuk suratkabar, teks narasi untuk televisi, dan semacam mukadimah Gamma.

Hubungan Mahtum dan Lubis sebelumnya memang dekat. Karena itulah ketika dulu Gatra didirikan, Lubis jugalah yang diminta Mahtum untuk membuat moto majalah baru itu. Kedua moto Gatra yang digunakan hingga kini yaitu Layak Disimak dan Jitu serta Baca Gatra Baru Bicara adalah karya Amarzan Lubis. Nama Gamma pun merupakan usul Lubis. Semula Lubis mengusulkan nama Garda, tetapi ada pihak lain yang telah memiliki surat izin usaha penerbitan pers untuk menerbitkan majalah dengan nama itu. Gamma akhirnya dipilih karena Mahtum tetap ingin ada kaitan majalah baru dengan produk terdahulu. Dengan kata lain, nama majalah baru itu harus dimulai dengan aksara G. Mengapa Gamma? Apa dasar filosofinya? Dengan santai Amarzan Lubis mengatakan, dasar filosofinya dicari belakangan, kemudian disesuaikan dengan nama itu. Gatra rupanya juga begitu.

Tentang keluarnya para direksi dan persiapan untuk mendirikan majalah baru yang bernama Gamma itu, Amarzan Lubis memiliki dugaan yang sama dengan Widi Yarmanto. ”Mungkin penunjukan mereka sebagai komisaris itulah pemicunya,” katanya. Padahal menurut apa yang didengar Amarzan Lubis, Budiono telah memberikan catatan khusus agar gaji Herry Komar tak dikurangi walaupun ia memegang jabatan komisaris. Budiono mempunyai alasan kuat untuk itu: Komar tak memiliki pendapatan lain di luar Gatra.

Mengapa akhirnya Amarzan Lubis memilih bergabung dengan Gatra, padahal ia telah terlibat sejak awal persiapan Gamma?

Ia selalu ditinggalkan dalam rapat-rapat persiapan majalah. Bahkan, ia juga tak diminta hadir pada hari pertama masuk kantor. Merasa dirinya tak diperlukan oleh Mahtum dan kawan-kawan, Lubis menghubungi Gatra. Lubis yang dikenal sebagai wartawan senior yang andal itu akhirnya dipegang Gatra dengan kontrak yang diperpanjang setiap tahun.

KETIKA Gamma dalam proses dilahirkan, Mahtum Mastoem, salah seorang mantan direksi Gatra yang turut dalam proses tersebut menghubungi dan meminta Kemala Atmojo agar nanti bergabung dengan majalah baru tersebut.

Ketika itu Kemala masih mengelola rumah produksi Sinema Sejati. Kemala akhirnya memutuskan bergabung dengan Gamma dengan status karyawan kontrak. Ia enggan untuk terikat sebagai karyawan tetap karena masih ada kegiatan lain yang harus dilakukannya. Kemala semula berpikir ia akan ditugaskan sebagai seorang redaktur yang mengurus soal-soal film, seni, atau rubrik internasional. Ternyata dugaannya meleset. Ketika struktur organisasi diumumkan dan penempatan personel dilakukan ia diberi kepercayaan sebagai redaktur pelaksana.

Posisi tersebut jelas menyita waktu dan pikiran yang banyak. Karena itu boleh dikatakan kegiatan Kemala sehari-hari hanya di majalah Gamma. Majalah baru ini diawali dengan nomor contoh. Awal Februari 1999 Gamma nomor perdana diluncurkan ke pasar. Acara peluncuran yang diadakan di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan, dihadiri berbagai kalangan berlangsung meriah. Gamma edisi perdana dicetak 110 ribu eksemplar dengan harga Rp 7.000 per eksemplarnya. Namun, karena masih dalam masa promosi, Gamma dijual hanya dengan harga Rp 5.000.

Majalah edisi perdana ternyata terjual 60 ribu eksemplar, jauh di bawah jumlah yang dicetak. Jumlah 60 ribu tersebut adalah jumlah yang lumayan. Mungkin banyak pembaca ingin tahu apa bedanya Gamma dengan berbagai majalah berita mingguan pendahulunya. Ternyata itulah penjualan tertinggi Gamma. Sejak itu dari nomor yang satu ke nomor berikut, oplahnya terus merosot. Pada Desember 1999 oplah Gamma bahkan jatuh ke bawah 20 ribu eksemplar.

Hanya dalam beberapa minggu setelah Gamma terbit, Kemala segera dapat menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tak beres di perusahaan yang menerbitkan Gamma. Pertama kali yang dideteksi Kemala adalah masalah di bagian redaksi. Setelah itu baru di bagian-bagian lain.

Kesimpulan yang ditariknya mengejutkan Kemala sendiri. Ternyata tak seluruh personel yang ikut mendirikan atau pindah ke Gamma memiliki visi yang sama tentang penerbitan majalah baru itu. “Sebagian menginginkan majalah ini benar-benar independen, bersih, berani, dan mandiri tetapi sebagian lain menghendaki agar majalah Gamma berpihak kepada kelompok atau pihak tertentu. Itu problem pertama,” kata Kemala.

Problem kedua tak kalah serunya. Tak semua personel yang menggotong Gamma sesuai satu dengan yang lain. Karena itu konflik timbul di redaksi dan nonredaksi. Konflik tersebut semakin menganga ketika ditetapkannya personel jabatan-jabatan tertentu, karena ketetapan tersebut tak memuaskan semua orang termasuk orang-orang yang sedang terlibat konflik. Suasana kerja tentu saja tak tenang. Boleh dikatakan panas. Bisik-bisik terdengar di mana-mana. Berbagai ketegangan mewarnai suasana kerja setiap hari.

Melihat keadaan seperti itu Kemala merasa beruntung karena memilih status kontrak. Artinya, ia bisa hengkang begitu kontraknya selesai. Tetapi, menurut dia, keadaan menjadi demikian karena tak adanya seleksi awal yang ketat mengenai siapa yang akan diajak ikut serta dalam majalah baru ini. Tampaknya bagi direksi ketika itu, semakin banyak karyawan Gatra yang eksodus dan bergabung dengan Gamma, secara “politis” merupakan “kemenangan.” Ini merupakan public relations yang menguntungkan untuk majalah yang akan diterbitkan.

Akibatnya beban yang ditanggung menjadi begitu berat. Gaji yang harus dibayarkan sangat besar dan sangat memberatkan perusahaan. Masa kerja sebagian besar karyawan yang bergabung dengan Gamma telah cukup lama bila dihitung sejak mereka bekerja di Tempo dan Gatra. Karena itu gaji yang mereka terima sesuai pula dengan masa kerja yang cukup panjang itu. Sedangkan Gamma sebagai perusahaan baru belum dapat mengeruk keuntungan besar yang dapat digunakan untuk memenuhi biaya rutin dan operasional. Risikonya pun tak terelakkan, yaitu kerugian yang terjadi setiap bulan.

Ketika ditanyakan kepada Lukman Setiawan mengapa karyawan Gamma digaji sesuai dengan apa yang mereka peroleh di Gatra sebelumnya, Lukman menjawab, ”Saya tak terlalu terlibat dalam soal keuangan. Rekan-rekan pimpinan yang lain menggebu-gebu menerbitkan majalah baru ini dan mereka sangat percaya pada sumber daya yang ada. Dan gaji yang diterima karyawan akhirnya dianggap wajar saja.”

Analisis Kemala juga menjalar ke bagian pemasaran. Di bagian ini ia melihat tak adanya strategi pemasaran yang baik. Kemala tak pernah mendengar adanya analisis pasar yang serius. Tak ada perencanaan yang sunguh-sungguh atau konseptual tentang pengembangan pemasaran. Analisis juga tak pernah dilakukan mengapa tingkat pengembalian majalah demikian tinggi.

Pada saat yang sama Kemala menyadari, sebagaian besar karyawan nonredaksi dibekali pengalaman cukup di bidang mereka masing-masing. Sayang sekali, bekal dan pengalaman yang mereka miliki tak lagi mencukupi untuk menjawab tantangan zaman. “Mestinya,” ujar Kemala, “mereka harus menambah pengetahuan teoretis di bidang masing-masing.” Tetapi harapan Kemala itu hanya tinggal harapan. Yang bertugas di bidang nonredaksi hanyalah para pekerja rutin yang kurang wawasan dan sangat minim semangat untuk mengembangkan diri.

Namun, karena dana yang tersedia masih banyak, kerugian dan kelemahan tersebut tampaknya tak menjadi persoalan penting. Secara intens direksi tak pernah membicarakan masalah kerugian ini dengan karyawan. Segalanya berlangsung seperti tak ada sesuatu yang perlu dipecahkan. Dari luar kelihatan seakan-akan tak ada masalah dalam pengelolaan perusahaan.

Belakangan dana yang terkuras tanpa pemasukan yang memadai membuat direksi mengambil langkah yang mengejutkan, yakni pemotongan gaji karyawan. Pemotongan terbesar dilakukan pada tingkat atas yaitu sekitar 25 persen sedangkan yang terbawah mendapat potongan 10 persen. Program yang tak populer ini tak menolong banyak. Beban yang diangkut masih tetap terlalu berat. Kerugian dan utang terus pula membengkak. 

PADA Juli 1999 para direksi mulai tak menerima gaji. Tapi kinerja Gamma semakin tak menggembirakan, oplah dan iklan juga merosot. Karena direksi mulai gelisah karyawan pun ikut resah. Konflik terbuka antarkaryawan, juga antara karyawan dan direksi semakin menjadi-jadi. Suasana menjadi semakin tak menentu. Sebagian anggota direksi sebenarnya mengetahui adanya konflik antarkaryawan ini. Tetapi mereka tak berupaya menyelesaikannya. Konflik semakin sulit diatasi.

Awal November 1999 direksi berencana mengadakan perombakan besar-besaran. Selain struktur organisasi, pemimpin redaksi juga akan diganti. Tujuannya tak lain memberi penyegaran agar kinerja Gamma membaik.

Saat itu digunakan Kemala untuk mengemukakan pendapatnya. Pendapat tersebut dianggapnya perlu diutarakan karena kontrak kerjanya berlaku hingga Desember 1999. Dalam sebuah rapat karyawan-direksi ia mengusulkan Gamma ditutup sementara agar pembenahan dapat dilakukan. Bagi Kemala masalah Gamma, terutama menyangkut keuangan dan hubungan antarpersonelnya sudah sangat buruk. Selain itu Kemala mengingatkan rapat tentang sulitnya mencari pengganti pemimpin redaksi dari kalangan dalam perusahaan. Permusuhan dan persaingan di dalam perusahaan telah demikian parah. Dalam kondisi seperti itu menunjuk salah seorang karyawan menjadi pemimpin redaksi sama artinya dengan membuka konflik baru yang dapat berakibat fatal.

Saran Kemala agar Gamma ditutup sementara ditolak direksi dan sebagian besar karyawan. Bagi yang menolak saran Kemala penutupan Gamma untuk sementara sama artinya dengan memamerkan kegagalan. Apalagi kalau ternyata kemudian Gamma benar-benar tak dapat terbit lagi. Mereka pasti tak dapat menyembunyikan rasa malu terhadap rekan-rekan mereka di Gatra dan di tempat lain.

Bersamaan dengan itu Mahtum berkali-kali menawarkan kepada Kemala agar bersedia menggantikan Herry Komar sebagai pemimpin redaksi. Kemala mengungkapkan kepada saya, ia menolak jabatan tersebut karena kontraknya akan selesai di samping ia berniat bergiat dalam bidang usaha lain. Tapi alasan utamanya menolak tawaran itu karena ia sendiri telah benar-benar muak dengan suasana kerja di redaksi. ”Saya ingin buru-buru meninggalkan Gamma, walaupun dalam hati, saya benar-benar sedih jika Gamma mati,” ujarnya.

Menurut Kemala, Mahtum juga mencoba mencari pemimpin redaksi dari luar Gamma, tapi entah mengapa tak seorang pun akhirnya duduk di posisi itu. Akhirnya, atas permintaan seluruh direksi ia ditunjuk sebagai pemimpin redaksi menggantikan Herry Komar. Bagi Kemala ini merupakan fait accompli. Mengapa? Pada suatu sore ia diundang menghadiri rapat direksi. Begitu ia memasuki ruangan rapat satu persatu anggota direksi langsung memberikan ucapan selamat kepadanya. Kemala terperanjat dan langsung meminta penjelasan kepada direksi.

Namun, Kemala menyetujui penunjukan tersebut. Syaratnya satu, ia hanya bersedia memegang jabatan pemimpin redaksi untuk tiga bulan atau enam bulan. Syarat ini ditolak direksi. Belakangan dicapai kesepakatan. Kemala memegang jabatan pemimpin redaksi selama satu tahun. “Sejak 9 Desember 1999 itulah saya mulai memegang jabatan pemimpin redaksi,” katanya.

Lima hari kemudian, 14 Desember 1999, surat keputusan resmi penunjukan Kemala ditandatangani direksi. Selain itu status Kemala yang semula karyawan kontrak diubah menjadi karyawan tetap PT Garda Media Mandiri, penerbit Gamma. Agak aneh memang, jika pemimpin redaksi sebuah media berita nasional berstatus kontrakan. Di samping itu, mungkin akan timbul masalah bila ada konsekuensi hukum yang harus ditangani seorang pemimpin redaksi.

Sebagai pemimpin redaksi Kemala sering mendengar pertanyaan yang cukup menyakitkan hati. Ada temannya yang bertanya apakah Gamma masih terbit? Kalau masih, mengapa tak pernah kelihatan dijajakan di jalan? Seorang temannya yang lain dengan lugu bertanya, “Kantor pusat Gamma itu di Bandung, ya?” Padahal rumah temannya itu tak jauh dari kantor Gamma di Jalan Kapten Tendean. Pertanyaan-pertanyaan ini sering menyedihkan Kemala.

Ketika Kemala ditunjuk menjadi pemimpin redaksi, organisasi perusahaan pun diubah secara keseluruhan. Direksi menetapkan empat orang general manager yang membawahi semua manajer. Salah seorang yang ditunjuk di keempat posisi baru ini adalah Kemala Atmojo dengan status general manager redaksi. Dengan status seperti itu Kemala membawahi seluruh komponen di bagian redaksi dan yang berkaitan dengan redaksi. Sigit Pramono diangkat menjadi general manager pemasaran yang membawahi sirkulasi dan iklan, Nuroji dipercayakan menjadi general manager umum dan personalia, dan Kurijanto diberi tugas menjadi general manager keuangan. Semua general manager ini bertanggung jawab langsung kepada direksi.

Di bagian yang dibawahi Kemala, perubahan juga dilakukan sampai di tingkat paling bawah. Seseorang diangkat menjadi redaktur pelaksana baru dengan tugas-tugas baru pula. Bersamaan dengan itu dilakukan pula pergantian tanggung jawab rubrikasi yang ditangani. Ini dimaksudkan sebagai penyegaran sekaligus memberi kesempatan kepada para wartawan yang dianggap lebih netral dalam penulisan.

Perubahan yang dilakukan itu sebenarnya secara tak langsung menyiratkan: bisa saja seorang editor atau managing editor tak netral dalam kebijaksanaan pemberitaan. Karena itu pula sejak memegang jabatan pemimpin redaksi, Kemala menekankan sikap netral dalam pemberitaan. Beberapa kata yang digunakan dalam kebijaksanaan redaksi bahkan terdengar sangat muluk. Misalnya, Gamma harus menjadi pancaran nurani dan refleksi akal budi masyarakat. Gamma harus mengabdi kepada kebenaran faktual, mengabdi kepada pembacanya. Analisis harus ditulis dengan pikiran dan hati yang bersih. Ini menegaskan, Kemala tak ingin Gamma menjadi lap dog (anjing kecil piaraan yang patuh) tokoh politik tertentu.

Di redaksi perubahan dapat berjalan lancar. Tak demikian halnya di bagian lain. Tak lama setelah perubahan dilaksanakan, kasak-kusuk mulai menyebar di bagian nonredaksi. Sejumlah staf dan manajer tak dapat bekerja sama dengan general manager mereka. Ini menimbulkan masalah.

Tiga bulan setelah Kemala bertugas sebagai pemimpin redaksi kondisi sedikit demi sedikit berubah. Oplah Gamma secara perlahan meningkat. Terkadang peningkatannya lumayan besar, terutama jika laporan utama Gamma menyinggung tentara. Namun, pemasukan dari iklan tak banyak berubah. Bagi Kemala yang penting suasana kerja terasa lebih nyaman. Ribut-ribut dan intrik pelan-pelan juga menyusut walaupun belum seluruhnya hilang. Yang masih menjadi persoalan utama adalah kondisi keuangan Gamma yang tetap parah. Jumlah karyawan masih terlalu besar dan berbagai kesalahan masa lalu yang berakibat pada pemborosan uang belum dapat dipecahkan. Dengan kondisi demikian tidak mungkin bagi Gamma berbuat sesuatu bagi pengembangan produk atau meningkatkan promosi.

Memang Gamma, menerbitkan suplemen Auto, Liga, dan Virtual sebelum masa-masa sulit itu. Dari ketiga suplemen itu hanya Virtual yang tampak sangat menjanjikan. Pengelolaan Virtual ini dipercayakan kepada Akmal Nashery yang juga berasal dari Gatra. Virtual sebagai suplemen bahkan pernah memasukkan pendapatan iklan yang jauh lebih besar daripada pemasukan iklan yang dipasang majalah Gamma. Virtual, suplemen yang sulit mengandalkan pengembangan dari dana perusahaan akhirnya dilepas dan bekerja sama dengan Koridor Sinergi Paramedia. Kerja sama ini berlangsung enam bulan. Ketiga suplemen itu juga tak terlalu banyak menolong.

Beberapa bulan setelah bertugas sebagai pemimpin redaksi, pada 24 April 2000, direksi mengangkat Kemala Atmojo menjadi pemimpin harian semacam chief executive officer (CEO). Dengan pengangkatan tersebut semua urusan sehari-hari baik di bidang redaksi maupun nonredaksi menjadi tanggung jawab penuh Kemala. Walaupun ia tak memahami apa pertimbangan direksi mengambil langkah itu, Kemala tak menolak.

Perubahan juga dilakukan dalam organisasi perusahaan. Jabatan general manager dihapuskan dan semua general manajer lama ditetapkan sebagai manajer biasa, setingkat dengan manajer-manajer yang ada. Sejak itu pula dalam hal yang menyangkut perusahaan, direksi tak lagi berhadapan langsung dengan karyawan. Ini menguntungkan direksi karena sebagian karyawan menilai direksi gagal mengelola perusahaan dan tak bertanggung jawab. Paling tidak demikianlah menurut pengamatan Kemala. Karena perubahan ini direksi hanya berurusan dengan Kemala dan Kemala seorang diri menghadapi karyawan.

Pada saat kondisi keuangan perusahaan semakin kritis, Mahtum mengundang Kemala ikut serta dalam rapat direksi dan investor. Ketika itulah untuk pertama kalinya Kemala bertemu dengan para investor Gamma. Kehadiran Kemala dalam rapat itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran kondisi real Gamma kepada investor. Di samping itu Kemala diharapkan mengemukakan ide atau program agar Gamma dapat survive.

Dalam rapat itu ditemukan salah satu jalan keluar untuk meringankan beban perusahaan yaitu program pengunduran diri bagi karyawan. Program itu memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengundurkan diri secara sukarela. Mereka yang bersedia mengundurkan diri akan diberi kompensasi sebesar empat kali gaji mereka saat mulai bekerja di Gamma. Artinya bukan gaji yang mereka terima saat program itu diumumkan, yaitu gaji yang telah mengalami pemotongan.

Mungkin karena tertarik pada jumlah pesangon atau karena merasa Gamma tak mungkin dapat bertahan, sejumlah karyawan mengambil paket itu. Sebagian dari mereka adalah karyawan yang hampir pensiun. Karena itu dapat dipahami mengapa sebagian besar kucuran dana investor pada masa krisis tersebut digunakan untuk membayar pesangon karyawan yang mengundurkan diri. Dapat dikatakan, tak ada dana investor pada masa krisis tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas produk atau promosi.

Ironisnya, tak semua karyawan mau menerima pesangon empat kali gaji. Ada yang baru bersedia mengundurkan diri apabila mendapat pesangon enam kali gaji, bahkan ada yang pesangonnya 10 kali gaji. Alasannya, mereka para pejuang awal yang merasa sebagai pendukung awal ide pendirian Gamma.

Sementara pesangon terus dibayarkan kepada karyawan yang mengundurkan diri, isu yang memukul Gamma tak juga kunjung berkurang. Tampaknya tak seorang pun percaya bahwa Gamma akan dapat bertahan. Sebentar lagi pasti bangkrut. Karyawan bagian iklan sangat terpukul dengan isu ini, terutama setelah ada karyawan biro iklan yang tak lagi mau bertemu dengan mereka. Gamma seakan dianggap tak ada.

Redaksi juga terpukul dengan penolakan sejumlah penulis untuk mengirimkan tulisan ke Gamma. Untunglah masih ada penulis, terutama yang junior, yang mengirimkan tulisan. Dalam keadaan terpuruk itu ada pula mantan karyawan yang muncul ke kantor Gamma menagih sisa pesangon mereka yang belum dibayar. Lengkaplah sudah penderitaan Kemala dan rekan-rekannya. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Dalam kondisi yang sangat memusingkan kepala itu, beberapa kali Kemala benar-benar khawatir tak akan dapat membayar gaji karyawan. Namun, dalam keadaan kritis itu selalu ditemukan jalan keluar, misalnya dapat dicairkannya garansi bank atau adanya pinjaman pribadi dari salah seorang anggota direksi.

Tetapi Kemala yang menjadi pemimpin tunggal tampaknya sadar bahwa dari karyawan yang jumlahnya semakin sedikit itu ada yang sudah bersiap angkat kaki. Banyak di antara mereka yang mengirimkan lamaran ke perusahaan lain di samping ada pula yang menjajaki beasiswa dari perguruan tinggi atau lembaga donor. Namun, yang pasti masih ada karyawan yang tetap setia bekerja di Gamma dan masih menyimpan harapan.

Salah seorang di antara mereka adalah Bersihar Lubis yang kini memegang jabatan redaktur pelaksana. Wartawan senior ini merasa benar-benar at home di Gamma. Ia tak menyalahkan rekan-rekannya yang keluar karena alasan realistis dan pragmatis. Yang membulatkan tekadnya untuk bertahan adalah harapan. Ia yakin Gamma masih dapat diselamatkan. Karena itu pula ia pernah berkata kepada Kemala, “Kalau kita lolos dari penderitaan ini, yang telah kita lalui itu akan menjadi kenangan yang manis.”

PERTENGAHAN 2000 tampaknya Gamma tak punya pilihan lain kecuali mencari investor baru. Investor lama tak mungkin mengucurkan dana lagi.

Menemukan investor yang bersedia menanamkan uangnya di perusahaan yang hampir tenggelam seperti Gamma, jelas bukan pekerjaan mudah. Sejumlah proposal untuk mengundang investor pun digarap dengan tekun. Tugas pembuatan proposal dibebankan di pundak Mahtum Mastoem. Pertemuan dilakukan berkali-kali dengan berbagai pihak yang dianggap berminat menanamkan modal mereka. Namun, harapan tampaknya semakin menjauh dari kenyataan karena setelah berminggu-minggu orang-orang yang dinilai berminat tak juga memberikan kepastian.

Selama menunggu datangnya investor baru rapat-rapat terus berlangsung antara direksi, investor lama, dan Kemala sebagai pemimpin redaksi. Dalam berbagai rapat itulah Kemala mendengar langsung kekecewaan para investor lama atas kinerja direksi. Artinya, direksi dianggap gagal mengelola perusahaan. Direksi tentu saja berupaya memberikan penjelasan sekaligus membela diri. Ketika hal ini ditanyakan kepada Harjoko Trisnadi, ia merasa tak mendengar kekecewaan para investor itu.

Hingga Oktober 2000 calon investor yang diharapkan tak muncul. Sementara itu keadaan perusahaan semakin parah. Nasib Gamma pun berada di ujung tanduk. Keresahan melanda seluruh karyawan. Manajer keuangan, Kurijanto, mengungkapkan bahwa nasib Gamma tinggal beberapa minggu lagi. Ia ingin mengatakan, jika pada sebuah minggu penerbitan mendatang Gamma tak mampu membayar ongkos cetak, riwayat majalah ini akan selesai. Percetakan jelas tak bersedia mencetak Gamma karena utang kepada mereka telah menggunung.

Dalam perjanjian dengan percetakan tercantum rasio 1:8. Maksudnya pada pencetakan nomor ke delapan, Gamma harus membayar biaya pencetakan nomor satu. Pada saat Kurijanto menyampaikan laporannya, rasio pencetakan telah berubah menjadi 1:10. Dengan alasan itu Kurijanto yakin, jika Gamma pada minggu penerbitan mendatang tak mampu membayar ongkos cetak, percetakan tak akan bersedia lagi bekerja sama. Mungkin juga percetakan bersedia mencetak Gamma, tetapi kemudian menahannya sementara menunggu pelunasan pembayaran.

Keyakinan Kurijanto terbukti. Pada suatu malam bagian keuangan percetakan PT Dian Rakyat menelepon Gamma memberitahu bahwa majalah yang telah selesai dicetak akan ditahan di percetakan jika pembayaran tak dilunasi hari itu juga. Jika uang tunai tak ada, PT Dian Rakyat siap menerima jaminan berupa mobil atau apa saja senilai ongkos cetak. Untunglah majalah yang telah selesai dicetak itu akhirnya dapat juga dibayar dan tak sempat tertahan di percetakan. Pengalaman menyedihkan ini benar-benar memukul moril semua orang Gamma.

Kondisi yang semakin tak tertolong membuat direksi meminta Kemala untuk ikut mencari investor baru. Kemala menghubungi sejumlah temannya yang kemungkinan berminat untuk membantu menyelamatkan Gamma. Gayung ternyata bersambut. Salah seorang teman Kemala menjajaki kemungkinan menjadi pemilik Gamma. Kemala mempertemukan rekannya itu dengan direksi dan investor lama. Beberapa hari kemudian calon investor itu meminta agar kepadanya dikirimkan laporan keuangan Gamma.

Direksi dan investor lama ternyata memutuskan untuk tak mengirimkan laporan keuangan kepada sang calon investor. Ini dapat dipahami Kemala. Kondisi keuangan Gamma memang sangat parah. Seandainya laporan keuangan itu dikirimkan kepada calon investor, nilai Gamma akan merosot. Investor lama dan direksi tak akan mungkin untuk mendapatkan harga sesuai dengan keinginan yaitu sekitar Rp 10 hingga Rp 15 miliar rupiah.

Namun, di sisi lain, Kemala menilai pilihan ini benar-benar tak bijaksana. Siapa orang yang mau membeli sebuah perusahaan tanpa mengetahui laporan keuangannya? Orang gila mana mau menanamkam modal tanpa mengetahui kondisi real perusahaan yang akan dibelinya? Akibat langkah yang tak bijaksana itu pun telah dapat diduga. Teman lama Kemala yang telah menjamin akan menjaga kerahasiaan laporan keuangan itu tak jadi masuk ke Gamma. Pada saat yang sama Kemala merasa secara moral tugasnya mencari investor selesai. Urusan selanjutnya terserah kepada direksi.

Air semakin banyak menerobos ke dalam kapal bocor ini. Rasa putus asa, cemas, khawatir berbaur dalam diri semua orang yang berada dalam kapal. Dalam keadaan seperti itu, Kemala dan salah seorang anggota direksi, Harjoko Trisnadi, iseng iseng mengemukakan beberapa alternatif. “Saya katakan iseng-iseng sebab pada akhirnya semuanya terpulang kepada investor lama,” ujar Kemala.

Salah satu alternatif tersebut adalah jika investor lama benar-benar tak ingin lagi menerbitkan Gamma, biarlah seluruh aset perusahaan dikelola karyawan. Kemudian karyawan mencari investor lain. Karena, jika Gamma bubar dan seluruh aset diambil investor, mereka tetap saja harus membayar pesangon karyawan yang nilainya mungkin lebih besar ketimbang nilai aset yang ada. Karena itu akan lebih baik jika aset tersebut diserahkan kepada karyawan. Dengan demikian karyawan dapat memutuskan apakah aset tersebut akan dijual dan hasil penjualannya dibagikan merata kepada para karyawan atau aset dikelola dengan investor baru.

Tetapi baik Kemala maupun Harjoko tak pernah mengemukakan alternatif itu kepada investor lama. Mereka tak tega karena investor lama telah mengucurkan dana demikian banyak. Jika alternatif itu diwujudkan investor lama akan kehilangan segala-galanya. Selain itu mereka juga harus membayar utang kepada pihak ketiga yang jumlahnya lumayan besar.

Alternatif kedua sebenarnya tak jauh berbeda dengan alternatif pertama. Cuma 100 persen kepemilikan tetap berada di tangan investor lama. Karyawan hanya akan mencari investor baru sebagai pengelola majalah Gamma. Seandainya, Gamma dapat bertahan dan untung, uang investor lama akan dikembalikan dengan bunga yang telah disepakati sebelumnya.

Alternatif ini pun tak disampaikan Kemala dan Harjoko kepada investor lama. Kemala berpendapat ide itu sulit dilaksanakan. Calon investor tentu akan bertanya Bagaimana status uang yang ia kucurkan? Pinjaman? Berapa lama dan berapa bunganya. Jika penerbit Gamma tetap PT yang lama, bagaimana pembukuannya?

Dalam situasi hidup segan mati tak mau itu Kemala sering berpikir keras dan bertanya kepada dirinya sendiri, ”Layakkah Gamma diteruskan? Bagaimana kalau saya dan teman-teman yang melanjutkannya dan bagaimana caranya?”

“Pada dasarnya, saya pribadi siap jika Gamma terpaksa harus mati,” ujar Kemala dengan yakin. Apalagi menurut Kemala tak sulit baginya untuk mencari nafkah dengan aktivitas lain. “Setidaknya saya mempunyai kemampuan menulis, yang saya pikir hasilnya cukup untuk menghidupi diri saya yang masih bujangan. Atau saya kembali menekuni dunia perfilman seperti sebelum saya aktif di Gamma.”

Tentu saja tak semua karyawan punya keberuntungan seperti Kemala dan beberapa teman mereka yang lain. Lebih banyak karyawan yang tak tahu harus bekerja di mana jika Gamma ditutup. Ini berkaitan langsung dengan kemampuan dan usia yang tak lagi muda. Itulah yang menjadi pemikiran Kemala.

Tetapi ada yang lebih mengukuhkan niat mereka untuk melanjutkan penerbitan. Dalam sejumlah perbincangan santai, beberapa anggota redaksi menyatakan, secara kualitatif mereka merasa tak kalah jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang bekerja di media lain. Mereka yakin, seandainya Gamma memiliki dana untuk bertahan, mereka dapat unggul dan menyamai majalah berita lain. Akhirnya optimisme ini benar-benar meningkatkan semangat semua karyawan Gamma.

“Berbekal optimisme dan beberapa pertimbangan lain itulah saya bertekad melanjutkan Gamma,” kata Kemala. “Selain itu, saya pribadi merasa kasihan kepada para investor yang telah demikian banyak mengucurkan dana, walaupun sangat mungkin mereka merasa tak perlu saya kasihani. Saya juga kasihan kepada para direksi yang dulu dengan gagah berani mundur dari Gatra dan bertekad membuat majalah baru.”

Sejak itu pula Kemala terus berdiskusi dengan beberapa direksi Gamma. Diskusi dilanjutkan dengan wakil para investor.

September-Oktober 2000 adalah bulan-bulan tergawat dalam krisis yang menghantam Gamma. Majalah yang dicetak 10-15 ribu eksemplar terjual hanya 9-10 ribu eksemplar. Hampir semua karyawan bingung dan resah. Setiap kali Kemala selesai mengadakan rapat dengan direksi atau investor, sebagian besar karyawan tersebut mengerubungi Kemala untuk mendapatkan informasi terbaru. Yang tak bertanya tampaknya pasrah menunggu apa pun yang akan terjadi. “Usia kami seakan-akan hanya akan bertahan dalam hitungan jam,” ujar Kemala.

Namun, berkat dukungan sejumlah rekan sesama karyawan, Kemala bertekad melanjutkan penerbitan Gamma. Namun, Kemala harus berpikir tujuh keliling. Uangnya dari mana? Tapi tekadnya sudah bulat, sedikit uang miliknya segera digunakannya dengan harapan sambil berjalan ia akan mengajak sejumlah teman untuk membiaya hidup Gamma.

Pada 1 November 2000 sebagian kepemilikan majalah Gamma secara resmi berpindah tangan. Memorandum of Understanding ditandatangani Kemala Atmojo dan Lukman Setiawan, direktur utama PT Garda Media Mandiri. Dalam upacara penandatanganan memorandum tersebut hadir ketiga direktur PT Garda Media Mandiri yaitu Mahtum Mastoem, Herry Komar, dan Harjoko Trisnadi. Selain itu turut pula menjadi saksi Ali Tanuwidjaja, Surjadi, dan Bruriadi mewakili investor lama.

Memorandum itu menegaskan bahwa Kemala Atmojo dan Lukman Setiawan mewakili pemilik lama mendirikan perusahaan baru, PT Hermes Gamma Media Nusantara, sebagai pemilik, penerbit, dan pengelola majalah berita mingguan Gamma untuk selanjutnya. Kemala Atmojo memegang 75 persen komposisi saham perusahaan baru ini sedangkan Lukman Setiawan hanya memegang 25 persen saham. Modal dasar dan modal setor perusahaan baru ini berjumlah Rp 10 miliar.

Dalam perusahaan baru ini Lukman memegang jabatan komisaris sedangkan Kemala sebagai pemilik saham terbesar menjadi direktur. Dan, sejak saat itu pulalah Kemala menjadi nakhoda kapal bernama Gamma. Kemala mengungkapkan kondisi Gamma saat itu dengan tepat sekali. ”Ibarat rumah, apa yang saya warisi adalah puing-puing yang siap dikirim ke tempat pembuangan.”

Anehnya, di mata satu-dua orang mantan direksi dan investor lama masuknya Kemala sebagai investor baru merupakan keuntungan bagi bujangan ini. Padahal, menurut Kemala, pengambilalihan itu justru membebaninya. Bahkan, hal tersebut telah diungkapkannya dalam rapat sebelumnya dengan mantan direksi dan investor lama. Dalam rapat itu Kemala bertanya, ”Apa sebenarnya dosa saya, sehingga ketika saya bangun besok pagi utang saya telah mencapai miliaran selain menanggung semua problem yang ditinggalkan?”

Menurut Kemala ketika itu mantan direksi dan investor lama tak memberikan reaksi. Pembicaraan bahkan beralih ke masalah lain. Karena itu Kemala kembali mengingatkan bahwa Lebaran sudah di ambang pintu. Artinya perusahaan harus membayar tunjangan hari raya kepada karyawan ditambah satu bulan gaji yang belum dibayar. Salah seorang peserta rapat mengalihkan lagi pembicaraan rapat. Pada dasarnya peserta rapat ingin agar Kemala segera menandatangani memorandum yang telah disiapkan.

Kemala berusaha keras melenyapkan anggapan miring tentang dirinya. Ia kembali mengingatkan kepada saya bahwa hanya karena rasa kasihan kepada para investor, direksi, dan para karyawan yang membuatnya bertekad untuk melanjutkan Gamma. Kalimat panjang berikut ini sangat menegaskan hal itu. “Kalau bukan karena alasan itu tentulah saya tak mau. Saya tahu perusahaan ini penuh masalah dan nyaris tak punya masa depan. Mestinya mereka berterima kasih kepada saya dan teman-teman yang masih mau meneruskan Gamma. Dengan demikian, bukan tak mungkin suatu saat nanti investasi pemilik lama dapat dikembalikan. Bagi mantan direksi, sebenarnya kesediaan saya meneruskan Gamma, paling tidak, dapat menyelamatkan muka mereka di hadapan kawan-kawan dan lawan-lawan mereka.”

Kemala tetap berpendapat, seandainya ia tak bersedia mengambil alih perusahaan, investor lama akan kehilangan segala-galanya. Kucuran dana yang telah habis digunakan tak akan mungkin diperoleh kembali. Di samping itu mereka harus membayar pesangon para karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja. Sedang mantan direksi yang dulu dengan gagah berani meninggalkan Gatra paling tak akan menanggung malu terhadap rekan-rekan mereka di majalah milik Bob Hasan yang terus maju itu. “Celakanya, hanya sebagian investor lama dan mantan direksi yang menyadari itu. Salah satu yang memahami itu adalah Lukman Setiawan,” ujar Kemala.

JIKA kini, Gamma masih terbit, itu merupakan hasil perjuangan yang cukup menguras energi, uang, dan pikiran. Kemala Atmojo sendiri juga tak percaya bagaimana perusahaan yang dulu nasibnya ditentukan dalam hitungan minggu bahkan hari, masih tetap terbit. Ia heran mengapa dirinya tabah dan mampu menghadapi gempuran masalah yang begitu banyak? Ketika direksi merasakan betapa seretnya kemajuan perusahaan dan berupaya mengambil langkah-langkah penyegaran dengan menunjuk Kemala sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin perusahaan, praktis dialah yang menjadi komandan tunggal untuk menanggulangi hampir segala urusan.

Selama memimpin Gamma Kemala selalu menyempatkan diri mengecek langsung perkembangan Gamma di banyak tempat. Ia sering bertanya kepada para pedagang majalah di berbagai kios untuk mengetahui bagaimana hasil penjualan majalah Gamma dan berbagai majalah pesaingnya. Dari pemantauan langsung di pasar itu, ia dan seluruh karyawan bertekad untuk membuat Gamma diperhitungkan. Upaya keras segera dilakukan agar kualitas majalah meningkat dan oplah dapat diperbesar. Konsep pemasaran baru dibuat. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan strategi pemasaran mulai membuahkan hasil.

PT Excelcomindo Pratama, yang bergerak dalam bidang usaha kartu telepon memperlihatkan kesediaannya bekerja sama dengan Gamma. Sejak awal September 2001 lalu, perusahaan ini membeli 30 ribu eksemplar majalah Gamma setiap awal bulan. Pada edisi setiap awal bulan tersebut majalah Virtual yang sangat sesuai dengan bidang usaha PT Excelcomindo menjadi sisipan majalah Gamma. Majalah yang berisi sisipan ini akan diberikan PT Excelcomindo kepada sebagian pemegang kartu pro-XL, produk perusahaan tersebut. Dengan demikian para pelanggan dapat membaca Gamma selain memperoleh sisipan Virtual. Selain pembelian majalah tersebut PT Excelcomindo juga telah menandatangani perjanjian pemasangan iklan secara rutin di majalah Gamma.

Kerja sama juga terjalin dengan Indo Nusa, sebuah perusahaan televisi kabel yang dalam waktu dekat akan berubah nama menjadi Telkomvision. Selama ini Indo Nusa menerbitkan jadwal acara televisi bagi pelanggannya dalam bentuk majalah. Berdasarkan kerja sama yang dicapai, sejak akhir Agustus 2001 lalu, jadwal acara televisi disisipkan menjadi bagian majalah Gamma pada setiap akhir bulan. Dengan cara seperti itu, pelanggan mereka bukan hanya mendapatkan jadwal acara, tetapi juga memperoleh berita dari majalah Gamma.

Bagi Gamma ini berarti peningkatan oplah. Tiras majalah tersebut akan meningkat bersamaan dengan naiknya jumlah pelanggan Indo Nusa. Akhir Agustus lalu jumlah pelanggan Indo Nusa tak lebih dari 4.100 orang. Sebanyak itu pula Gamma menambah tirasnya. Menurut perhitungan Gamma, seandainya kerja sama ini dapat dipertahankan oplah Gamma akan meningkat terus dari waktu ke waktu.

Buat Kemala sendiri, pembelian 30 ribu eksemplar majalah oleh pro-XL dan kerja sama dengan Indo Nusa merupakan selling point yang patut disebarluaskan kepada berbagai biro iklan dan calon pemasang iklan. Pada saat yang hampir bersamaan, pertengahan Agustus 2001, PT Bentoel Prima menandatangani kontrak jangka panjang untuk pemasangan logo di sampul majalah Gamma. Logo yang nanti tetap terpasang selama satu lebih tahun meliputi segala brand yang mereka miliki seperti Bentoel Mild dan Star Mild. Yang menggembirakan Kemala dan semua rekannya di Gamma adalah kesediaan PT Bentoel membayar di depan semua biaya iklan logo tersebut.

Kemala bukan orang yang peduli bahwa pemasangan logo itu adalah sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar jurnalisme. Logo rokok-rokok itu dicetak di kulit depan Gamma tanpa garis atau disain lain yang membedakannya dengan disain kulit depan. Logo-logo itu seakan-akan menjadi bagian dari kulit depan Gamma. Ini sesuatu yang diharamkan karena jurnalisme yang benar selalu memisahkan iklan dan materi redaksi secara tegas.

Tapi kompensasi dari kerja sama ini memang cukup besar walau beban Kemala sebagai penyandang 75 persen dana pengelolaan Gamma jelas tak ringan. Karena itu hingga saat ini ia masih terus mencari investor agar promosi ulang dapat dilakukan dan reposisi yang telah ditetapkan dapat disosialisasikan.

Dalam usianya yang hampir mencapai tiga tahun, 58 karyawan yang semula berasal dari Gatra meninggalkan Gamma. Bekas karyawan Gatra yang masih bertahan hanya 46 orang. Dari jumlah itu hanya lima orang yang masih tetap melaksanakan tugasnya di bagian redaksi yaitu Bersihar Lubis, Syahril Chili, Julizar Kasiri, Sarluhut Napitupulu, dan Khudori.

Yang menarik, Kemala secara terbuka berani mengutarakan penilaiannya terhadap karyawannya saat ini. ”Kalau boleh jujur,” ujarnya memulai, “di kalangan karyawan saat ini, baik yang berasal dari Gatra maupun yang baru, masih ada yang tak produktif, tak profesional, kurang pengetahuan, atau malas.” Kemala merasa mereka patut diberhentikan. Namun, Kemala tak mengambil tindakan apa-apa dengan beberapa pertimbangan, termasuk dan terutama pertimbangan kemanusiaan.

Atas dasar pertimbangan itu pula, beberapa bulan lalu ketika perusahaan masih merugi, Kemala menaikkan gaji karyawan. Mula-mula dilakukan secara merata sebesar Rp 200 ribu dari tingkat paling bawah hingga paling atas. Setelah itu secara bertahap kenaikan gaji dilakukan berdasarkan prestasi setiap orang. Memang benar, belum semua karyawan Gamma mendapat gaji seperti pada saat mereka pindah dari Gatra ke Gamma. Tapi ini hanya menyangkut satu-dua karyawan senior, karena gaji mereka sebelumnya memang cukup besar. Tapi, mayoritas karyawan telah memperoleh gaji lebih besar daripada saat mereka mulai bertugas di Gamma.

Akhir Juli 2001 Gamma menandatangani kontrak kerja sama dengan Business Monitor International (BMI) yang berkantor pusat di London. Kesepakatan dicapai dalam beberapa hal, antara lain Gamma akan menerbitkan hasil studi dan analisis pakar-pakar BMI dalam bahasa Indonesia. Setelah dikurangi biaya produksi, seluruh penghasilan dari penjualan BMI akan dibagi rata oleh kedua pihak.

Gamma tak ingin menjadi lap dog. Gamma juga tak mau menjadi attack dog (anjing penyerang). Pilihan Gamma untuk tetap menjadi watch dog (anjing penjaga) adalah pilihan yang tepat. Tetapi jargon we shift from “news” to “inside” harus dijabarkan lebih mantap lagi. Gamma juga harus membuktikan bahwa pembaca modern memang membutuhkan “cerita dari dalam”(inside story) tak sekadar berita yang “ramai” atau “panas.”

Akhirnya, Gamma sendirilah yang akan menentukan apakah ia akan tetap berada di nomor lima dalam urutan media berita (seperti hasil penelitian ACNielsen tahun lalu) atau akan meningkat menduduki nomor-nomor kecil di atasnya.*

by:Sori Siregar