PADA dinding ruang kerjanya terpampang sebuah poster menyolok dengan ukuran lumayan besar. Poster film The Mod Squad Undercover. Claire Danes, karakter wanita dalam film tersebut, diapit dua pria gagah.

”Saya sengaja memajangnya. Ini film semi action, kisahnya seru. Mereka ini berhasil, karena tim kerjanya solid, dan Claire cukup berperan,” kata wanita mungil ini.

Petty Siti Fatima, pemimpin redaksi majalah remaja Gadis, majalah remaja putri terbesar di Indonesia, memperkaya inspirasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya dengan meletakkan poster tersebut.

Ruang kerjanya juga ramai oleh warna. Hal ini semata-mata untuk menyesuaikan dengan selera pembaca Gadis yang kebanyakan remaja puteri. Kalau tamu-tamu kecilnya datang, suasana jadi riuh. Ada saja topik pembicaraan yang seru. Sesekali mereka menyelinap ke ruang kerja Petty.

“Petty pandai bergaul dengan siapa saja, termasuk anak-anak remaja. Di Gadis yang sering jadi problem, orang yang pandai menulis belum tentu pandai berkomunikasi dengan remaja,” kata Dewi Dewo, mantan pemimpin redaksi Gadis.

Memimpin majalah remaja memang tak mudah. Menurut Petty, orang sering beranggapan bahwa membuat majalah remaja sama dengan membuat majalah wanita dewasa tapi dikecil-kecilkan. Itu pendapat yang keliru.

“Remaja, ya remaja. Mereka punya gaya hidup sendiri,” kata Petty.

Pembaca Gadis adalah remaja yang tinggal di kota-kota besar, juga sangat terbuka terhadap perkembangan teknologi, pandai, aktif, gaya, dan senang musik. Tapi, pembaca remaja bukan pembaca setia. Kalau Gadis dianggap tak lagi mewakili selera mereka pasti ditinggalkan. Terlebih lagi, banyak majalah remaja yang beredar saat ini. Mereka lebih banyak pilihan.

“Kami ingin membuat Gadis jadi bacaan yang menyenangkan. Ringan dan santai. Jauh dari sifat menggurui pembaca. Kita tahu, kalau remaja nggak mau didikte,” katanya.

Belum lama ini Gadis memuat artikel berdasarkan sinetron Pernikahan Dini yang ditayangkan RCTI, salah satu stasiun televisi swasta. Artikel tersebut untuk menunjukkan pada pembaca betapa rumitnya sebuah perkawinan yang tak didasari persiapan yang matang.

“Kalau kita membahas masalah remaja berpacaran, kenyataannya umur-umur segitu kan sudah mengenal lawan jenis. Kami menulis dengan arahan yang positif. Nggak asal bicara. Tentu disesuaikan dengan zaman. Kita nggak mau jadi bacaan kolot,” Dewi Dewo ikut berkomentar dalam suatu wawancara dengan saya baru-baru ini.

Dewi melihat ada warna lain saat Gadis dipimpin Petty, “Saya dan Petty, bukan lahir dari satu generasi. Petty adalah Petty. Saya adalah saya.Tapi kami toh, punya tujuan yang sama.”

Petty sekarang sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan anti-minuman keras. Di masa Dewi, ancaman alkohol tak separah sekarang.

Ketika saya mewawancarai Petty, seorang pelayan datang menyuguhkan minuman. Dua cangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul diletakkan di hadapan kami. Petty penggemar kopi. Sebelum minuman ini datang, entah sudah berapa kali ia merogoh permen kopi dari toples merah muda yang berada di atas meja.

Petty juga orang yang ceria, tapi ia juga akan sibuk berpikir keras saat berhadapan dengan protes pembaca kecilnya.

Suatu hari Gadis menerima kekecewaan pembaca setelah memuat tulisan tentang The Moffats, grup musik remaja asal Amerika Serikat.

Dengan niat memberi kepuasan kepada pembacanya, wartawan Gadis mewawancarai empat pemuda tanggung yang tergabung dalam grup ini di Kopenhagen, Denmark, dan mengulas kiprah mereka habis-habisan. Tapi, reaksi pembaca di luar dugaan.

“Hebatnya di mana sih The Moffats jika dibandingkan dengan Westlife,” ujar Petty, menirukan ucapan pembaca.

Apa boleh buat, The Moffats sudah dimuat. Petty tak tinggal diam. Pada edisi berikutnya, Gadis menerbitkan tentang kelompok musik Westlife.

“Agar mereka tahu kita nggak pernah pilih-pilih. Semua penggemar dari pembaca kita, punya kesempatan tampil dengan porsi yang sama.”

Petty menghabiskan pikiran dan tenaganya hampir 14 tahun di majalah yang telah berusia 27 tahun ini. Waktu terus bergulir. Petty makin terlatih dalam menyelami keinginan-keinginan pembacanya.

Dia punya kebiasaan membuka surat-surat yang dilayangkan ke meja redaksi begitu tiba di kantor. Tak jarang ia memperoleh banyak masukan berharga dari surat-surat pembaca tersebut.

Ia memang gemar belajar. Beberapa kali Petty mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan managerial skill, seperti yang diselenggarakan Stanford Proffesional Publishing Course di Stanford University, Palo Alto, California, Amerika Serikat. Juli lalu, ia juga menghadiri acara “Teen Power Asia” MTV di Singapura.

Dalam acara itu terlihat bahwa anak-anak muda Asia ternyata bisa bertahan saat krisis melanda beberapa negara Asia dengan cara mereka masing-masing.

“Dalam seminar tiga hari ini, penekanannya lebih ke bagaimana suatu negara dapat sukses tanpa menjiplak dari negara luar. Di situ sekaligus mendidik remaja, jangan hanya melihat ke negara lain. Mereka diharapkan dapat berkreasi untuk negerinya sendiri. Kalau bisa demikian, itulah sebetulnya yang dikatakan sukses,” urai Petty, panjang lebar.

Petty terobsesi mempraktikkan apa yang didapatnya lewat seminar itu. Terciptalah rubrik baru yang bernama “Picnic” di Gadis. Makna kata ini sama dengan “jalan-jalan”. Petty memilih kata “picnic” supaya lebih mengena di hati pembaca. Lewat rubrik ini pula, Gadis mengajak pembacanya lebih mengenal suatu daerah dan kekhasannya.

Ide tak pernah berhenti memenuhi benak Petty. Gadis, menurutnya, masih bisa dikembangkan lebih bagus lagi. Ia sudah membuat beberapa rencana yang akan diluncurkan dalam waktu dekat. Kali ini lebih berkaitan dengan posisi Gadis sebagai sebuah brand dan mengarah pada pemilik produk yang akan memasang iklan di majalah remaja tersebut.

”Kami katakan kepada mereka, we are the first very best, so we are the best. Kami berani bilang, kalau mau memilih, pilihlah Gadis. Pembacanya banyak, 63 persen ada di Jakarta, dan di kota-kota besar lainnya,” kata Petty, bergaya promosi.

Sayang Petty tak menerangkan mengapa majalah yang dipimpinnya itu tak menghormati prinsip pagar api. Ini sebenarnya salah satu prinsip dasar dalam jurnalisme di mana iklan dan berita dipisahkan dengan jelas. Lambangnya adalah garis tipis yang memisahkan artikel dengan iklan. Tapi Gadis memang bukan sendirian. Banyak suratkabar Indonesia yang berita-beritanya berbau sponsor.

PETTY Siti Fatima lahir di Bandung pada 16 November 1964, sebagai anak pertama dari pasangan Undang Sobana dan Mien Siti Aminah. Ia mempunyai dua orang adik, Poppy Siti Rahayu Sari Resmi dan Ihsan Prakasa.

Ayah Petty bekerja sebagai karyawan bagian farmasi di sebuah perusahaan negara Jakarta, sedangkan ibunya memakai seratus persen waktunya buat rumah tangga.

Pada pengujung Agustus 2001 saya berkunjung ke rumah Petty, sebuah rumah kontrakan berukuran sedang dengan halaman mungil di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Di ruang tamu ada seperangkat kursi berlapis kain hijau kotak-kotak dan polos. Lima potret kecil menghiasi dinding. Lampu sudah dinyalakan. Jam tangan saya menunjukkan pukul 20.00.

“Hari ini Petty pulangnya agak malam,“ ujar Undang Sobana, ramah. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan celana panjang warna gelap.

Sobana bercerita bahwa hampir setiap minggu ia dan istrinya datang ke rumah ini.

”Kasihan Petty hanya sendirian tinggal di sini,” katanya, lagi.

Menurut Sobana, Petty anak yang berani, “Dia memilih jurnalistik, karena dia berani. Saya membayangkannya saja sudah takut. Jadi wartawan, kan suka pergi ke mana-mana. Padahal dia perempuan. Semula saya ingin Petty jadi pegawai negeri, makanya saya sarankan masuk humas. Pekerjaannya tidak terlalu berat, dan cocok buat dia.”

Sobana memang selalu khawatir terhadap anak-anaknya. Ia tak bisa memejamkan mata bila Petty dan kedua adiknya belum pulang ke rumah. Petty sering pulang agak larut, karena menjadi penyiar di sebuah radio Bandung. Dengan sabar, Sobana menunggui putrinya di depan rumah mereka.

Petty melalui masa kanak-kanaknya di kota Bandung. Jika dibandingkan adik-adiknya, Petty agak berbeda. Petty kecil pemalu.

”Kalau ngomong hanya seperlunya saja. Petty rajin belajar, suka bebenah, dan pembersih. Semenjak kecil, tas sekolah, dan buku-bukunya rapi, nggak ada yang robek. Semua barang-barang Petty terurus. Karena pembersih, baju bekas-bekas Petty nggak ada yang kotor,” papar Sobana.

Hubungan Petty dengan adik-adiknya tak terlalu dekat, tapi mereka saling menyayangi. Jarak usia antara Petty dan kedua adiknya cukup jauh.

Sobana sengaja mengatur jarak kelahiran anak-anaknya, “Saya ini pegawai negeri, sadar betul menyekolahkan anak-anak tidak gampang, perlu biaya yang cukup. Inginnya mereka bisa menyelesaikan sekolah, kalau bisa ke sekolah yang baik, sesuai kemampuan saya.”

Petty menjalani masa sekolah dasar sampai perguruan tingginya di Bandung. Tapi, masalah mulai muncul saat ia kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Massa, Universitas Padjadjaran. Petty ingin memilih jurusan jurnalistik, sedang teman-temannya memilih jurusan hubungan masyarakat.

“Ngapain lu ke jurnalistik. Emang mau jadi wartawan, Pet,” kata Petty, menirukan teman-temannya.

Petty sempat gundah, karena protes yang senada juga datang dari sang ayah. Sobana berharap Petty mengikuti jejak teman-temannya.

Saat itu Undang Sobana tengah kuliah di Amerika, mengambil master di Universitas Hawai. Petty mengirim daftar nilai semester pertamanya kepada Sobana dan menegaskan kembali minatnya semula. Sang ayah terpaksa menyetujui keinginan putrinya yang keras hati.

Setahun kemudian, Petty memperoleh kejutan dari ayahnya. Ia menerima paket yang berisi sebuah tape recorder dan sebuah kamera.

”Papa cuma bilang, barangkali ini perlu buat kamu untuk wawancara,” kata Petty, terharu.

Di awal kuliahnya, ia juga aktif dalam Perkumpulan Filatelis Remaja Bandung, bahkan pada 1987-1988, ia terpilih sebagai ketua. Minatnya terhadap perangko telah dimulai sejak ia duduk di sekolah dasar. Setiap kali ayahnya mengirim surat dari luar negeri, tak lupa menyelipkan satu-dua perangko untuk koleksi Petty.

Pada tahun yang sama, Petty diajak salah seorang teman kuliahnya bekerja di radio. Petty tak menampik tawaran itu. “Hitung-hitung untuk tambah-tambah pengalaman,” pikirnya. Memasuki tahun kedua bekerja paruh waktu di radio Bandung, Petty sudah mendapat tugas mewawancarai orang, termasuk menulis naskah-naskah pendek.

Kadang-kadang ia diminta membuat program khusus untuk anak-anak muda. Tapi radio itu, seperti kebanyakan radio Indonesia, tak mengenal jurnalisme. Kalau tugas wawancaranya dianggap menarik, Petty menulis hasil tersebut dalam bentuk artikel dan mengirimnya ke suratkabar Pikiran Rakyat. Beberapa kali tulisan Petty dimuat dalam harian itu dan membuatnya bangga.

Menjadi penyiar tak menyebabkan kuliahnya terbengkalai. Selain itu, ia masih terlibat dalam kegiatan kampus, seperti bergabung dengan majalah Gema Padjadjaran dan menjadi anggota badan perwakilan mahasiswa.

Petty menyelami dua dunia sekaligus. “Kalau di sekolah sifatnya idealis, di luar sekolah glamour. Teman-temanku jadi berbeda-beda,” kata Petty.

Suatu saat muncul iklan lowongan reporter untuk majalah Gadis. Ia mencoba mengirim lamaran. Ternyata ia diterima. Namun, Petty malah bingung. Kuliahnya belum selesai. Lantaran ia harus ke Jakarta untuk memenuhi panggilan dari Gadis, Petty terpaksa berterus-terang pada orangtuanya.

“Kenapa kamu melamar? Kamu kan masih kuliah,” kata ibunya. Pada prinsipnya, mereka tak setuju Petty meninggalkan kuliah.

Petty penasaran. Kuliah yang tinggal dua bulan lagi bukan jadi penghalang, pikirnya. Kesempatan baik seperti ini belum tentu datang dua kali. Kata-kata itulah yang menggelitik dalam hatinya. Di lain pihak, Petty tak ingin mengecewakan orangtuanya. Ia berjanji menyelesaikan kuliah dan tetap minta izin untuk berangkat ke Jakarta.

Ia diterima di Gadis. Petty girang, tapi kembali bingung.

“Nggak mungkin aku bolak-balik Bandung- Jakarta. Apalagi waktu itu belum ada Argo Gede, kereta ekspres tujuan Jakarta-Bandung. Mustahil,” kenangnya.

Petty memutuskan bicara pada bagian personalia, “Saya masih kuliah, dua bulan lagi baru selesai.” Nasib Petty memang baik, Gadis mengizinkan Petty menyelesaikan kuliah.

Menurut Dewi Dewo, mereka meloloskan Petty lantaran ia punya latar belakang bekerja di radio remaja. “Jadi kita sudah punya bayangan, kalau Petty memang sudah terbiasa dengan dunia itu. Itu yang memang kita cari,” kata Dewi.

“Padahal aku nggak pandai nulis. Saya belajar menulis, ya setelah di Gadis,” ujar Petty, tanpa malu-malu.

Semakin hari ia makin menghayati pekerjaannya sebagai wartawan. Untuk menghasilkan wawancara yang bernas, Petty punya cara yang selama ini ia terapkan. Terlebih dulu ia akan membuat orang yang diwawancarai merasa senang.

“Ciptakanlah suasana wawancara yang menyenangkan. Selanjutnya akan lebih gampang.”

Di Gadis ia pun banyak bertemu dan mewawancarai bintang-bintang internasional, seperti Kylie Minogue, David Foster, John Bon Jovi, dan Phil Collins.

Tak semua narasumber yang diwawancarainya menyenangkan. Hal ini terjadi saat Petty meliput Kirab Remaja. Ini sebuah proyek gagah-gagahan yang dibuat oleh Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung diktator Soeharto. Acara yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah itu, menurut Petty, cuma “proyek buang-buang duit” saja.

Petty sempat mewawancarai beberapa anggota Kirab Remaja. Jawaban mereka tak berbobot sama sekali. Mbak Tutut, demikian putri sulung Presiden Soeharto ini biasa dipanggil, malah buru-buru pulang. Ia dan sejumlah wartawan media lain merasa kecewa.

JENJANG karir Petty di Gadis termasuk cepat meroket. Hanya setahun jadi reporter, ia sudah diangkat menjadi redaktur madya. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai wartawan, ia masih menyisihkan waktu untuk menyalurkan hobi lama. Petty bekerja paruh waktu di radio Female, Jakarta. Tapi, hanya bertahan setahun. Selain itu, ia sempat menjadi script writer untuk acara “Trend Musik” RCTI.

Memasuki 1994, Petty sudah duduk di jajaran redaktur senior, sementara teman seangkatannya berada pada posisi di bawahnya.

“Kalau lagi bikin liputan bareng, Petty paling cepat nyimak. Pikirannya langsung jalan. Dan dia tahu apa saja yang musti kita lakukan untuk menghasilkan tulisan yang bagus. Petty selalu begitu. Cepat, tangkas,” ujar Inka Rizka Perwata, mantan wartawan Gadis.

Hanya dalam selang waktu dua tahun, Petty sudah menduduki posisi redaktur pelaksana. Kesenangannya yang suka keluyuran dengan teman-temannya mulai berkurang. Waktu Petty tersita di kantor.

Pada 9 Maret 1999 Petty diangkat menjadi pemimpin redaksi Gadis oleh Pia Alisyahbana, pemimpin umum sekaligus pemilik majalah tersebut.

“Petty memang hebat. Petty punya leadership yang baik, saya punya nilai plus buat dia,” kata Dewi Dewo.

”Petty nggak ambisius. Dia menjadi pemred, karena prestasinya yang baik,” kata Inka.

“Saya tahu Petty melewati banyak senior. Tapi kalau nggak cocok jadi pemimpin redaksi, Petty nggak mungkin saya ajukan. I don`t believe in seniority in the term of service year. Orang yang masuk duluan bisa menjadi sangat ahli di bidangnya. Belum tentu mempunyai managerial skill,” tutur Dewi.

Petty adalah pemimpin redaksi Gadis yang ketiga. Pertama, Pia Alisyahbana, kemudian Dewi Dewo, yang kini jadi pemimpin redaksi majalah wanita Femina, yang tergolong perusahaan satu grup. Semuanya wanita.

Ia sangat disiplin terhadap tenggat waktu. Namun, naskah yang terlambat tak membuatnya marah. Ia punya pengalaman pribadi bahwa justru menjelang deadline kreativitas wartawan biasa muncul. Ia jadi maklum.

“Petty mana pernah marah. Dia okey banget deh orangnya. Kalau bergaul nggak pilih-pilih, sama siapa aja cocok, “ kata Rosihan Kailoto Nurdin, bagian promosi radio & TV Femina Group.

Sepanjang karirnya, Petty jarang dilanda kritik. Salah seorang yang pernah mengeritiknya adalah Nestor Rico Tambunan. Ketika itu Petty baru bergabung di Gadis.

“Kamu kalau nulis artikel kayak lagi ngomong. Masak ujarannya juga ikut masuk,” cetus Nestor.

Sadar tulisannya masih perlu pembenahan di sana-sini, Petty jadi terpacu untuk terus belajar.

Kini ia termasuk orang yang hanya memiliki sedikit waktu bersantai. Petty melakukannya di salon langganannya, dengan menikmati facial, manicure, atau pedicure. Ia juga tengah gandrung ke spa untuk sekadar relaksasi.

Pada dinding ruang kerjanya di kantor Gadis di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, poster film The Mod Squad Undercover mungkin menggambarkan karakter Petty. Ia kagum pada Claire Danes yang tak hanya sebagai pelengkap film itu. Dalam benak Petty, seorang wanita juga harus jadi penentu.*

by:Ria Clara