SEBUAH bangunan berlantai dua terdapat dekat tanah lapang, di Jalan Guntursari Wetan 27, Bandung. Tiga kotak telepon umum bersandar di dinding pintu masuk. Tower setinggi 86 meter menjulang kaku di sayap kirinya. Inilah markas besar Mara, stasiun radio yang bekerja pada gelombang FM 106,85 MHz.

Pagi itu, 1 Oktober 2001 sekitar pukul 06.00, suasana terasa lengang betul. Di atas genting, embun yang menyelimutinya semalaman, terlihat hendak mencair membentuk garis-garis kecil yang mengkilat-kilat bagai lelehan lilin. Enceng Achmad, warga Cicadas, petugas satuan pengamanan gedung, berjongkok melap sepeda motornya. Ia bersiap hendak pulang setelah piket sepanjang malam. Sendirian.

Lengang di luar, lengang di dalam. Ruang depan, bagian pemasaran, diskotik, teknik, monitoring internet, dan ruang tamu, beku dari aktivitas. Di lantai dua, empat awak Mara masih tidur di ruang serba guna, yang diapit ruang produksi rekaman dan ruang pemancar yang menyimpan peralatan DB Electronica Telecommunication buatan Itali, berkekuatan pancar enam kilowatt.

Satu-satunya tempat yang berdenyut hanyalah di ruangan tengah lantai satu, yang terdiri dari kamar kerja redaksi dan kamar kendali siaran.

Di ruang redaksi, Suparno sibuk menerima telepon pendengar. Menit ini gagang telepon ditempelkan di kuping sebelah kiri, menit lain pindah ke kanan. Tersekat kaca, penulis berita Army Dian Kurniawan sedang memelototi layar komputer. Sesekali tangannya mengucek-ngucek mata, mungkin masih belum bebas sepenuhnya dari serangan kantuk.

Di kamar kendali siaran, Benny—panggilan akrab buat Fitriadi Alibasah, manajer produksi yang pagi itu ketiban jadwal siaran—sedang ngocol bersama pendengar yang meneleponnya. Ia ditemani operator Deden Supardi.

Hari itu “Hari Caci Maki”–begitu awak Mara menyebutnya. Ini tradisi yang telah berlangsung sejak 10 tahun silam. Dalam kesempatan ini seluruh fans radio Mara dipersilakan untuk melontarkan unek-uneknya. Apa saja boleh dijadikan sasaran: penyiar, mutu siaran, tayangan iklan. Pendeknya segala sesuatu yang berhubungan dengan kinerja radio Mara.

Event semacam tadi rutin digelar menjelang hari ulang tahun Mara, yang jatuh pada 2 Oktober. Waktunya, berlangsung sehari-semalam, mulai pukul 06.00 dan berakhir tepat pukul 24.00. “Pujian dan ucapan selamat dilarang hari ini. Besok, sebaliknya. Mara tidak menerima caci-maki,” kata Benny.

Awak Mara beruntung pagi itu. Selama tiga jam pertama siaran, mereka terhindar dari caci maki. Orang hanya menyampaikan saran agar iklan tak dirangkai-rangkai jadi satu. Kesannya, durasi iklan jadi kepanjangan. Pendengar ingin, iklan disebar merata dalam satu paket siaran.

Dari puluhan penelepon masuk, caci maki lebih tertuju pada perusahaan air minum kota Bandung yang dianggap kurang becus mengatur distribusi air. Selama empat hari terakhir, kota Bandung memang dilanda krisis air. Jeritan dan sumpah serapah warga bergaung di se-antero pelosok kota. Mara jadi tempat buat mengadu.

Jarum jam terus bergerak mematangkan siang. Awak Mara satu per satu berdatangan. Sebagian langsung tenggelam dalam pekerjaannya masing-masing. Sebagian lagi mengambil air kopi atau teh yang mulai mendingin. Lainnya menyantap bubur ayam.

Benny yang sudah usai siaran, menyempatkan diri bertegur sapa dengan sejawatnya. Ia mengambil sebatang rokok kretek dari bungkusnya yang sudah kumal dan menyalakannya. Tapi, kegiatan merokok rupanya harus ditunda dulu. Pemandangan di sebuah sudut, di kamar kerja redaksi, mengganggunya. Di sana, Yully Tarangkuta, seorang reporter, yang juga diberi tugas untuk mengurus administrasi pekerjaan redaksi, sedang termenung-menung di depan komputernya.

“Buletin data na teu lengkap siah (buletin datanya nggak lengkap lho),” ucap Benny.

“Enggak! Lengkap kok, Kang Aben,” timpal Yully.

Yully bangkit dari tempat duduknya. Benny segera mengambil alih kursi. Ia geser-geserkan mouse membuka dokumen-dokumen komputer.

Aom Kusman, salah seorang penyiar senior Mara—yang terkenal dengan “Kuis Siapa Dia” TVRI dan melambung bersama kelompok lawaknya, De Kabayans—menghampiri Benny dan menepuk-nepuk bahunya. Benny hampir tak bereaksi, selain melirik dan mengernyitkan alis.

“Maksud saya, gini. Data diurut berdasarkan laporan harian. Nanti bisa kita sort,” Benny menerangkan. Raut mukanya serius.

“Tapi kalau berdasarkan data harian, data bertumpuk. Nggak bisa di-print, Kang Aben,” balas Yully.

Benny meninggalkan komputer. Ia menjawab sambungan telepon.

“Hari dan nama pembuat berita harus dicantumkan,” kata Benny begitu ia kembali menghadapi komputer. “Ini tidak bisa di-sort.”

“Kan yang ditulis Kang Aben itu gini,” sela Yully seraya mengambil mouse dari tangan Benny. Ia menampilkan sebuah dokumen.

“Tapi Mbak Ea minta ada harinya.” Mbak Ea yang dimaksud Benny adalah Noor Achirul Layla S. Mirza, general manager Mara.

“Ada yang produksi dubbing, terima jangan?” redaktur Dani Ramdhani menyela perdebatan mereka, meminta pertimbangan Benny. Yang ditanya cuma menggeleng-gelengkan kepala.

Sebuah dering telepon lagi-lagi memaksa Benny meninggalkan tempat duduknya. Di balik gagang telepon, Benny berbicara pelan setengah berbisik, “Honor belum pada keluar. Perhitungan masih kacau.”

Ia menutup telepon. Sebatang rokok kembali dinyalakan. Benny mengisapnya dalam-dalam. Tampangnya gamang kali ini.

BANDUNG 1968. Di Jakarta elit penguasa baru di bawah Jendral Soeharto sibuk membangun kekuasaan. Di Bandung, sekelompok anak muda kelas menengah kota sibuk membentuk band. Tempat mereka kongko-kongko, hanya beberapa meter dari markas Komando Daerah Militer Siliwangi, didaulat jadi namanya: Irama Jalan Sumatra 27. Mereka biasa menyingkatnya Irama 27.

Saban hari mereka berlatih. Saban hari pula mereka merenda impian untuk ikut memperkaya blantika musik nasional. Tapi, apa boleh buat, keadaan ekonomi yang kacau-balau tak bisa diatasi segera seperti legenda Sangkuriang membuat perahu. Masyarakat kehilangan daya beli untuk menonton pagelaran musik. Jangankan menonton, orang kebanyakan harus antre berjam-jam sekadar untuk mendapatkan seliter minyak tanah dan beberapa kilogram beras. Irama 27 tak laku jual.

Sebuah ide, untuk memberi perekat pada kelompok, pun digagas. Di belakang hari, mereka sepakat untuk membangun radio siaran. Sebanyak 27 orang—antara lain Harkat Somantri, Bawono Yudho, Ubung Djubardi dan Moch. S. Hidayat—meneken pembentukan yayasan dan mengajukan permohonan izin pada kepolisian setempat. Tanggal 2 Oktober 1968, izin didapat. Irama Jalan Sumatra 27, yang tadinya disingkat Irama, kini diubah akronimnya menjadi Mara. Dengan peralatan seadanya, berkekuatan 150 watt, mereka memperkenalkan diri.

Para eksponen pendiri Mara mempromosikan radionya di pesta dansa, pagelaran musik terbatas atau acara mabuk bersama ala hippies. Promosi macam begini ternyata cepat berkaki. Kota Bandung demam Mara. “Kami bahkan terkaget-kaget waktu menerima surat dari Malang. Isinya mengabarkan, radio kami dapat diterima di sana dengan baik,” kata Sutomo Yudo, salah seorang pendiri, dan kini menjadi penanggung jawab siaran Mara.

Tak ada ramuan spesial untuk membuat radio Mara populer. Satu-satunya yang mereka lakukan ketika mengudara adalah keluar dari mainstream siaran seperti yang direpresentasikan oleh RRI dengan segala keformalannya. Siarannya pun tak berbatas waktu. Kapan saja mereka mengudara, siang atau malam. Menu tetapnya, ngocol. Dalam suatu kesempatan, mereka terkadang siaran rame-rame lengkap dengan gurauan segar khas anak muda, ditemani bir atau minuman mahal Chivas Regal.

“Kita seneng-seneng saja,” kata Yudo.

“Sekenanya. Bahkan lebih banyak ngaconya,” komentar Mohamad Sunjaya, penyiar senior.

Ngaco? Begitulah mereka. Saat sedang seru-serunya mengudara, mereka bisa dengan enteng memutus siaran hanya karena ditelepon pengusaha bioskop yang mengajak mereka untuk nonton preview sebuah film. Dan perilaku macam ini mengalir jauh sampai Mara berstatus komersial.

Gaya urakan awak Mara tak urung mengundang perhatian Jendral H.R. Dharsono, panglima Komando Daerah Militer Siliwangi. Hampir setiap malam ia datang ke stasiun Mara yang menempati sepetak kamar berukuran 3 x 4 meter persegi. Dari sekadar ikut begadang dan menikmati alunan musik, H.R. Dharsono akhirnya sampai pada keinginan untuk ikut siaran. Petinggi militer yang dekat dengan para aktivis mahasiswa masa itu pun dianugerahi gelar kebangsawanan versi mereka: Bang Kalong.

Di sela-sela siaran, Dharsono acap mengingatkan masyarakat tentang bahaya komunisme. Ini menempatkan Mara sebagai alat perang melawan Partai Komunis Indonesia di Jawa Barat, yang belum sempat dibubarkan pemerintah. “Mereka memilih membubarkan diri dan bergerak di bawah tanah,” kata Herman Ibrahim, beberapa waktu lampau. Ibrahim adalah seorang perwira intelijen militer, yang sempat memegang jabatan kepala Dinas Penerangan Komando Daerah Militer Siliwangi.

Buat awak Mara sendiri, kehadiran Dharsono adalah berkah. Ia memiliki banyak referensi mengenai musik, terutama klasik. Ia memberi sentuhan kedewasaan, selain namanya sebagai petinggi militer nomor satu di Jawa Barat bisa dijual. “Bang Kalong itu romantis. Dan pintar. Inggris bisa, Belanda oke. Rayuannya juga maut,” kata Sunjaya.

Lebih dari itu, mereka dapat begadang dengan perut terisi dan mulut tidak asam. Dharsono memang biasa membelikan mereka nasi goreng, gula kopi, atau rokok. Jika koceknya sedang tebal, Dharsono tak jarang membawakan mereka berkotak-kotak rokok putih. Rokok-rokok ini kadang-kadang mereka timbun untuk dijual ke Toko Siong di Jalan Dago. Uangnya mereka gunakan untuk melengkapi koleksi diskotik.

Mereka pun disiplin dalam membayar iuran anggota kelompok sebesar Rp 100 per orang sebulannya. Hasilnya juga lumayan. Minimal, mereka bisa membeli piringan hitam lima sampai enam keping per bulan.

Dalam keadaan mendesak, seiring munculnya stok album-album baru, mereka tak segan-segan mendatangi Toko Hidayat di Jalan Braga. Seluruh album keluaran baru mereka borong. Duitnya? Mereka membisiki pemilik toko untuk mengirimkan kuitansi ke rumah dinas H.R. Dharsono.

“Teu kira-kira siah barang beuli teh (Nggak kira-kira kamu belanja),” sembur Dharsono suatu sore ketika dirinya dibanjiri tagihan belanjaan awak Mara. Yang disembur saling tunjuk. Selebihnya, “he he he ….”

TAK jauh dari kampus Universitas Padjadjaran, di daerah Dipatiukur yang tenang, Mohamad Sunjaya berkantor, memimpin sanggar: Actors Unlimited atau AUL. Sejumlah nama terkenal mengisi jajaran dewan patron kelompok teater yang didirikan pada 1999 itu. Katakan saja Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Suyatna Anirun atau Jeihan Sukmantoro. “Siapa pun boleh keluar-masuk. Kita bebas-bebas saja,” kata Sunjaya, seraya mengungkapkan bahwa AUL —diilhami The Singers Unlimited, kelompok vokalis jazz dari Amerika Serikat— sejak awal dirancang untuk menolak batas-batas geografis, budaya, ideologi, agama.

Untuk ukuran sanggar, ruang berukuran seluas sekitar 4 x 7 meter persegi itu terbilang rapi. Juga menyimpan peralatan yang lebih cukup untuk kebutuhan kantor. Ada meja dan kursi yang sepenuhnya dari bahan kayu, pesawat televisi, komputer multimedia, kulkas, lemari, buffet, cangkir, gelas, piring, panci buat menanak nasi, kompor gas, sandal jepit. Di sini orang bisa memasak, dan tidur di kamar yang hanya diberi tirai layaknya tempat praktek dokter.

Awal Oktober ini Sunjaya dan kawan-kawan mudanya sedang menyiapkan pementasan teater seniman-seniman Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang tergabung dalam Komunitas Teater Perempuan. Tatkala kritikus Suyatna Anirun—dari Studiklub Teater Bandung, yang juga dosen luar biasa Sekolah Tinggi Seni Indonesia—bertamu sore itu, Sunjaya memperlihatkan pamflet pertunjukkan bergambar perempuan telanjang dada. “Gurihhh,” serunya.

Hampir tak ada yang berubah dari Sunjaya. Usianya 64 tahun dan masih tetap melajang, bersuara lantang, kadang-kadang nyinyir, minum bir, bercelana jins, doyan menyantap gule kambing. Perubahan fisik yang cukup kentara barangkali terletak pada rambutnya yang makin disuburi uban, serta matanya yang mulai tulalit sehingga saat membaca kadang-kadang harus dibantu lampu senter.

Sunjaya bukan nama asing bagi sebagian aktivis pers. Pada 1995, ia ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi bersama wartawan-wartawan senior Indonesia seperti Aristides Katoppo dari Sinar Harapan, Ashadi Siregar dari Universitas Gadjah Mada, Fikri Jufri dari Tempo, Mochtar Pabottingi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Goenawan Mohamad dari Tempo. Salah satu sumbangannya adalah 39 kaset rekaman hasil monitoringnya selama dua tahun (1994 – 1996) atas siaran radio-radio asing berkaitan dengan peristiwa menjelang dan sesudah pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Rekaman ini dibukukan Institut Studi Arus Informasi dengan judul Bredel di Udara, yang diluncurkan pada 21 Juni 1996 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Seluruh dokumentasi kaset kini disimpan Pusat Data dan Analisa Tempo.

“Saya punya koleksi pesawat radio untuk memantau siaran-siaran radio asing,” katanya. Ia beranjak mengambil sebuah pesawat penerima gelombang radio berbentuk handy-talkie dengan antena sepanjang kurang lebih semeter. “Dengar ini,” diputarnya sebuah tombol.

Terdengar dengan jernih, tak hanya siaran radio luar negeri, tapi juga gelombang siaran televisi swasta dan gelombang polisi. Pesawat ini sekaligus menjelaskan kenapa awak Mara sering lebih cepat sampai ke lokasi kejadian di mana suatu peristiwa berlangsung, mulai kasus perampokan hingga kecelakaan di jalan tol.

Sunjaya bergabung dengan Mara sejak 1971. Di senja usianya ia masih siaran sepekan sekali, membawakan mata acara “Warung Kopi.” Tulang punggung acara ini musik klasik, musik yang menyedot lapisan terdalam minatnya sejak usia belasan tahun.

Berbeda dengan dulu, “Warung Kopi” kini tak lagi dibawakannya secara langsung. Ia merekamnya dulu. Untuk acara dua jam, ia bisa menghabiskan waktu selama empat jam di ruang produksi. Rekaman dilakukan selain untuk menjaga mutu vokal, juga demi menghindari telepon-telepon pendengar saat ia mengudara. “Kalau tahu saya siaran langsung, telepon biasanya krang-kring. Capeklah. Tapi, telepon masuk yang terekam tetap saya jawab pada acara berikutnya,” kata Sunjaya.

Kekuatan vokal Sunjaya banyak terbantu oleh kehidupannya sebagai aktor. Ia memang menggeluti dunia teater sejak remaja. Di usia 18, ia mulai bermain dalam lakon Di Langit Ada Bintang garapan Utuy T. Sontani, dengan sutradara Noor Asmara. Kecintaannya pada dunia teater menuntunnya jadi sekretaris umum Studiklub Teater Bandung, organisasi seni peran tertua di Bandung, yang berdiri sejak 1958.

Sebagai aktor, lebih 20 lakon telah ia mainkan. Julius Caesar karya William Shakespeare, Pagi yang Cerah (Manana de sol) Serafin & Joaquin Alvares Quintero, Anarkis itu Mati Kebetulan Dario Fo dan Perang Troya Tidak Akan Meletus Jean Giraudoux, adalah beberapa judul di antaranya.

Mereka yang mengikuti riwayat hidupnya niscaya mengakui, Sunjaya bisa disebut sebagai peletak dasar jurnalisme radio Mara. Dalam jangkauan yang lebih luas, radio-radio di Jawa Barat. Tahun 1979, ia sempat menjadi pemimpin redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat. Akhir Nopember 1991, Sunjaya dipecat dari jabatannya itu gara-gara dianggap bersalah menugaskan reporter radio untuk melaporkan berita aksi demonstrasi mahasiswa menentang proyek judi nasional berkedok Sumbangan Dana Sosial Berhadiah. Tak hanya sampai di sana. Sunjaya pun dapat bonus hukuman dilarang siaran, selain menjadi tahanan kota di luar proses pengadilan.

Sejak awal, Sunjaya sebenarnya sadar benar betapa tak mudahnya melansir berita radio di sekitar garis demarkasi kekuasaan otoriter, yang hanya menyisakan wilayah sempit untuk bersuara.

Sejak Indonesia merdeka pada 1945, radio swasta, baik pada zaman Presiden Soekarno, apalagi pada zaman Soeharto, hanya diperbolehkan bergerak di wilayah hiburan. Mereka tak boleh, dan juga tak mau, masuk ke wilayah jurnalisme karena selain risikonya secara politis besar juga sangat mahal sekali. Musik sebaliknya. Murah, tanpa perlu memakai wartawan. Radio-radio swasta baru mulai coba-coba masuk ke wilayah jurnalisme sejak Soeharto turun pada 1998. Bisa dibayangkan jika mutunya sangat rendah.

Tapi Sunjaya dan awak Mara selalu punya cara agar siaran berita tetap bisa sampai ke telinga publik. Mereka biasanya berkelit, bahwa yang disiarkan radionya bukan berita, tapi … informasi. Penguasa, yang memang tak punya kriteria resmi apa itu berita dan apa itu informasi, kehilangan daya untuk membredel program. Trik seperti ini juga diterapkan PRRSNI yang kebetulan diawaki hampir seluruhnya oleh kru redaksi Mara.

Seumumnya sifat komunikasi radio, Mara meletakkan unsur kecepatan sebagai daya saing. Dan Mara berhasil. Lebih-lebih dalam persaingan melawan media cetak. Pendengar fanatis Mara mungkin ingat ketika Tembok Berlin diruntuhkan pada 1989. Dalam peristiwa ini, Mara boleh dibilang menjadi media pertama di tanah air yang menyiarkan paling awal. Almarhum Yun Zaenuddin, reporter senior Mara melaporkannya secara langsung dari sekitar lokasi kejadian.

Tidak hanya sekadar siaran kata. Buat Sunjaya, siaran musik pun bisa menjadi medium untuk menyampaikan informasi terkini sekaligus melakukan kontrol sosial. Ketika Tempo, Detik dan Editor dibreidel, umpamanya, Sunjaya mengambil alih kendali studio dan memutar berulang-ulang Song for Liberty dari Opera Nabuco karya Giuseppe Verdi. “Saya protes, saya marah, saya pilu, saya tak bisa apa-apa lagi. Saya ulang-ulang tuh lagu,” katanya, lirih.

Ia memberi contoh lain. “Dengan Autumn Leaves saja,” tuturnya, “Anda bisa ngomong hakekat alam, lalu Anda bisa beranjak ke situasi terdekat, situasi di sekitar kita, tentang pohon, lingkungan, keadaan sosial.”

Dan saat hendak menyentil parlemen yang di masa lalu kerjanya cuma duduk-diam-duit, Sunjaya cukup menyajikan Blowing in the Wind. “Saya kutip syairnya dan memberi tekanan pada ini: how many ears must a man have, berapa kuping lagi yang harus dimiliki untuk mendengar keluh-kelas masyarakat?”

Tentu saja, tidak semua penyiar bisa melakukannya. Mengelaborasi syair ke dalam bahasa sehari-hari menurut Sunjaya, memerlukan referensi yang cukup tentang situasi sosial, pengetahuan tentang syair itu sendiri, dan kepekaan untuk mengatakannya pada saat yang tepat. Ini tidak mudah. Tak jarang, saking merasa tahu, penyiar pamer otak. Padahal, pendengar radio di mana pun sama saja: enggan digurui.

“Emangnya mereka kelompencapir,” katanya merujuk akronim kelompok pendengar-pembaca-pemirsa , yakni suatu kelompok pertanian dan pedesaan yang galib dijadikan target indoktrinasi penguasa Orde Baru dalam menjelaskan keberhasilan-keberhasilan pembangunan, sambil menutup rapat-rapat kegagalan-kegagalannya. “Jangan lupa pendengar itu pintar.”

DARI puluhan radio swasta di wilayah Bandung Raya, radio yang tegas-tegas memposisikan dirinya sebagai stasiun berita dapat dihitung dengan jari. Masuk dalam hitungan ini radio X FM 105,8 MHz, Rase FM 102,30 MHz, Mora 88,65 MHz dan radio Ganesha 93,20 MHz, ditambah K-Lite107,2 MHz yang memfokuskan kebijakan redaksinya pada berita-berita ekonomi dan bisnis.

Youngky, penyiar senior Mara yang dijuluki ‘Buaya Jazz Bandung’, tak menapikan citra yang terbentuk di benak publik pendengar bahwa “radio itu hiburan.”

“Dan itu ditanamkan betul oleh pemerintah,” timpal Sutomo Yudo, penanggung jawab Mara.

“Orang bisa mendapat berita dari mana saja. Ya koran, ya televisi atau internet. Apa yang bisa diperbuat radio?” Demas Khalid Korompis, direktur utama-cum-penanggung jawab siaran radio Ganesha, menggenapi. Lagi pula, lanjutnya, dari segi rating, siaran berita menempati urutan terbawah.

Sungguhpun demikian, Mara tidak tertarik untuk putar haluan, dan kembali ke titik nol saat titik tujuan sudah di depan mata. Mara tak ingin kehilangan jejak sejarah, investasi sumber daya manusia dan idealisme. Orang tahu, sekurang-kurangnya sejak 1985 Mara sudah terbiasa memproduksi dan menyalurkan berita sendiri. Sumber daya manusia di dalamnya jelas diarahkan ke sana. Dan ini makan waktu panjang, biaya, keringat, pengorbanan.

Untuk mengembangkan sumber daya reporter, Mara biasa mengirimkan salah seorang reporter berbakat untuk magang di radio Deutsche Welle, Jerman, sejak tahun 1987 sebagai bagian dari program kerjasama bilateral. Sementara mereka yang tak memiliki kesempatan ke luar negeri, diberi kesempatan mengikuti kursus-kursus singkat. Mara malahan acap secara khusus mendatangkan instruktur dari luar negeri. Walter von La Rose, seorang newscaster Eropa yang terkenal dengan konsep mini-feature radio adalah salah seorang di antaranya yang ikut memoles awak Mara.

Itu memberi cara pandang mereka tentang mekanisme kerja redaksi, struktur organisasi, dan etika jurnalisme. Hasilnya, setidaknya untuk lingkup kota Bandung, Mara dapat dikatakan paling siap untuk ikut berlaga dalam perburuan dan penyiaran berita. “Siaran Mara relatif lebih dewasa dibanding radio-radio lain,” puji Masduki Attamami, kepala biro Bandung Antara.. Ia terbiasa memonitor siaran radio untuk mengukur isu apa yang sedang berkembang di Bandung, untuk ditindaklanjuti oleh para wartawannya.

Pujian Attamami lebih tertuju pada kemampuan Mara dalam menjaga keakuratan berita-beritanya. Urusan akurasi, memang berada di tempat nomor satu buat awak Mara. Untuk kepentingan ini, sejak 1993, Mara membentuk tim yang disebut Buras (back up room rapidity approaching sources) di bagian redaksi.

“Kami punya kebebasan, tapi kami juga berkepentingan untuk menjaga sistem etika. Buras bertanggung jawab untuk mengecek isu, melakukan konfirmasi atau mengklarifikasi suatu isu,” kata Noor Achirul Layla S. Mirza, general manager Mara.

“Itu master piece Mara,” ungkap Nursyawal, reporter-cum-penyiar Mara yang juga sempat menjalani pemagangan di Deutsche Welle selama empat tahun. Ia mengungkapkan, dalam manajemen newsroom di hampir semua radio—termasuk radio-radio luar negeri seperti Radio Nederland, ABC, atau BBC—Buras tak distrukturkan secara tegas dalam pohon organisasinya. Padahal, menurutnya, Buras memerlukan penanganan khusus dan Mara menyadari soal ini. “Jangan seperti yang lain, inilah yang saya suka dari Mara,” tandasnya.

Keandalan Mara dalam mengolah dan menyajikan berita bukannya pengakuan sepihak. Tak kurang PRRSNI selalu menjatuhkan pilihannya pada Mara untuk jadi semacam crisis center atau rumour clinic manakala muncul peristiwa-peristiwa besar. Peristiwa besar yang paling dekat, semacam sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya, bisa dijadikan contoh.

“Kita tunjuk Mara,” kata Yodhaswara, sekretaris PRSSNI Bandung, “sebab Mara kita anggap capable. Mara telah menunjukkannya pada saat pemilu 1999 lalu.” Di luar itu, kurangnya tenaga reporter di hampir semua stasiun radio bisa dijadikan latar alasan. Mara sendiri sampai saat ini memiliki sekurang-kurangnya 20 reporter.

Dalam program bersama ini, paket berita yang hendak dipancarkan diberi dua kategori: wajib siar dan pilihan. Kategori yang disebut terakhir, boleh dipancarkan atau diabaikan sama sekali. Waktu pancarnya pun tidak dibakukan. Kadang siang, kadang sore, atau bahkan malam. Caranya, redaktur pelaksana Mara mengirimkan pesan radio pager secara serentak ke seluruh radio yang terlibat sindikasi ini. Sekadar contoh, jika pesan pager berbunyi “15.55 dekrit presiden” ini berarti “berita tentang dekrit presiden yang disiarkan pada pukul 15.55 wajib dipancarkan.”

Mara sendiri secara konsisten menayangkan berita antara pukul 06.00 hingga 24.00. Jenisnya bisa teks berita yang dibacakan penyiar, suara reporter lapangan, atau tambahan penyiar. Ini berlangsung satu jam sekali setiap menit ke-30. Pada menit yang sama, dimulai sejak pukul 07.30 sampai 19.30, selama lima menit Mara menyajikan buletin. Isinya pendek-pendek, berdurasi sekitar satu atau dua menit per berita.

Masyarakat yang hendak mengomentari berita diberi kesempatan pada jam-jam tertentu. Resminya antara pukul 06.00–09.00, 12.00–13.00 dan 18.00–20.00. Alhasil, ia menjadi semacam “tumpang sari” dari berita yang baru saja dilansirnya. “Dalam prakteknya, kami membuka phone-in sepanjang hari sampai malam,” ujar Fitriadi Alibasah, manajer produksi siaran. Dalam prakteknya pula, lanjut dia, “masyarakat tidak hanya sekadar mengomentari berita, tapi juga menumpahkan unek-unek, kritik, dan sebagainya.”

Dalam keadaan abnormal, seperti sidang istimewa yang menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid pada Juli 2001 itu, pola acara mengalami perubahan di sana-sini. Hampir setiap 15 menit sekali, reporter-reporter Mara melaporkan situasi terkini. Isinya macam-macam: dari situasi lokal, regional sampai nasional.

Berita-berita nasional didapatkan Mara dari beragam sumber. Selain mengirimkan dua reporternya tepat ke jantung lokasi kejadian, Mara memantaunya dari internet, televisi, koran pagi dan sore. Di luar ini, umumnya secara informal, Mara aktif menggalang kerjasama dengan reporter-reporter lain di lapangan. Untuk liputan Jakarta, Mara mendapat dukungan radio Ramako 106,15 MHz; Trijaya FM 104,75 Mhz; Elshinta 90,05 Mhz, serta jaringan pemberitaan Voice of Human Right, Jakarta. “Kami pun punya hubungan erat dengan reporter-reporter di radio 68 H,” kata Layla Mirza, merujuk radio milik Institut Studi Arus Informasi yang bekerja pada gelombang 603 AM.

RADIO Mara berada di bawah payung PT Radio Maraghita. Sejak tahun 1971 hingga sekarang, komposisi pemegang saham tak mengalami perubahan. Dari 250 lembar saham tercetak, 100 lembar di antaranya dikuasai Yayasan Mara. Sisanya, saham part of de foundateur, dipegang oleh pendiri, 27 orang.

Secara ekonomis, hampir seluruh pendiri Mara hidup mapan. Moch. S. Hidayat, misalnya, selain dikenal sebagai pengusaha real estate terkemuka di Indonesia, juga kini anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di paruh 1980-an, Hidayat sempat masuk ke dalam bisnis media cetak, dengan memodali penerbitan majalah Editor.. “Para pendiri punya kesibukan masing-masing. Mereka tak punya waktu untuk merecoki Mara,” kata Sutomo Yudo, penanggung jawab Mara itu.

Lagi pula, tutur Yudo, para pendiri tak pernah mendisain Mara sebagai kapal keruk untuk memperkaya diri. Mara lebih tepat disebut sebagai pusaka pengikat persahabatan. “Kami merasa bersyukur, sampai setua ini kami masih bisa bersama-sama. Tetap sebagai sahabat,” ujarnya seraya mengungkapkan, dari 27 pendiri, baru seorang yang meninggalkan mereka karena dipanggil Tuhan.

Persoalan kemudian adalah bagaimana agar Mara tetap hidup, dan memberi makan pada semua awaknya. Inilah yang menurut Yudo menjadi landasan pokok bisnisnya. Tak mudah, memang. Sebagai radio komersial, Mara harus zigzag mengais rejeki di antara puluhan kompetitor. Salah siasat dan strategi, bisa fatal akibatnya. Bisa dipahami, sebab untuk ukuran Indonesia, Bandung boleh dibilang sebagai kawasan padat radio. Radio yang bekerja di gelombang FM saja, jumlahnya mencapai 60 stasiun—jauh lebih banyak ketimbang Surabaya yang 50-an atau Jakarta yang memiliki 38 stasiun radio.

Megapolitan sekelas New York saja, pemancar FM hanya 22 stasiun. “Di sana, penggunaan frekuensi radio diputuskan pengadilan atas rekomendasi FCC. Di sini, pemerintah memberikan begitu saja, bahkan terkesan siapa cepat dia dapat,” ungkap Yudo, yang juga ketua Dewan Kehormatan Kode Etik Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Seluruh Indonesia. Yudo mengacu pada sebuah lembaga Amerika Serikat bernama Federal Commmunication Commission yang berwenang memberikan izin frekuensi pada media elektronik.

Kondisi itu, lanjutnya, tidak memberi iklim kondusif, baik secara teknis maupun bisnis. Secara teknis, gelombang FM yang saling berdekatan mengakibatkan beradunya sinyal, sehingga penerimaan oleh masyarakat buruk. Secara teknis pula, sulit bagi sebuah pemancar FM untuk berlaga dalam skala yang lebih luas, lantaran gelombang yang sama bisa saja dipakai oleh radio lain dengan status co-channel. Yudo menyebutkan Mara FM yang berada di gelombang 106,85 tak dapat menembus Jakarta dan sekitarnya, sebab tepat di angka itu Pass Jakarta menggunakannya.

Bisa saja Mara kembali ke gelombang AM demi menghindari kendala teknis semacam tadi. Tapi, menurut Memet, teknisi Mara, sekalipun jangkauannya lebih luas, tingkat gangguan AM pada lingkungan sekitar masih sulit dikendalikan. “Televisi, telepon, bahkan peralatan elektronik lain milik penduduk sekitar bisa terancam,” katanya. Alhasil, jika ingin aman, radio gelombang AM tetap harus membatasi power-nya. Artinya, tetap sebagai radio lokal.

Itu teknis. Ditilik dari segi bisnis, tak gampang bagi AM untuk melakukan positioning, lebih-lebih pada posisi sebagai radio berita. “Sekalipun stereo,” ujar Mohamad Sunjaya, “gelombang AM tetap sulit berkembang. Pemancarnya boleh stereo, tapi kan pesawat radio dengan fasilitas AM stereo jarang ditemukan. Lagian, masyarakat kita kampungan sih. Kalau kita ngomong radio kita AM, mereka akan langsung berkomentar, ‘o masih AM toh.’ Habis kita.”

Memang sulit agaknya buat radio sekelas Mara untuk berlaga di gelombang AM. Sudah menjadi rahasia umum, gelombang AM sepenuhnya dikuasai oleh radio-radio dengan format siaran “3D” alias dangdut-dakwah-dongeng, dengan pangsa pasar menengah ke bawah. Pancaran gelombang mereka sebagian besar tertuju pada wilayah-wilayah pinggiran dan pedesaan; suatu wilayah yang tidak pernah diimpikan Mara.. Toh di tengah persaingan yang sedemikian sengit, Mara masih bisa bernafas lega dalam lima tahun terakhir ini.

Sebagai radio komersial yang memposisikan diri pada berita, Mara masih sanggup mengejar target perolehan iklannya sebesar Rp 85 juta per bulan. Target sebesar ini sudah bisa menutup ongkos produksi yang berkisar Rp 40 – 50 juta, gaji karyawan serta honor penyiar. “Pada bulan lalu saja, iklan yang diperoleh berkisar Rp 90 sampai Rp 95 juta,” kata Fitriadi Alibasah.

“Mara itu radio kadal. Miskin,” Sunjaya nyengir, ”yang kaya man power-nya. Mau bicara filsafat, politik, musik, ayo. Jangan bicara uang. Di masa lalu, lebih-lebih. Mara benar-benar miskin. Mau pinjam ke bank saja susahnya minta ampun.”

Ingat bank, Sunjaya jadi ingat pengalaman pahitnya.

Pernah suatu ketika ia meminta iklan dari BCA. Ia tak habis pikir BCA tidak merespons-nya. Salah seorang sejawatnya bilang, “Bang Kalong itu kan dituduh membom BCA! Saya baru sadar tuh. Pantesan nggak dikasih.” Bang Kalong atau HR Dharsono memang identik dengan Mara, bahkan dianggap sebagai salah seorang pemiliknya.

HR Dharsono hanyalah sebuah nama yang ikut memberikan sentuhan pada sejarah hidup Mara.. Masih ada nama-nama terkenal lain, khususnya buat warga Bandung. Taruhlah Witono, juga bekas panglima Komando Daerah Militer Siliwangi; Benny Likumahuwa atau Buby Chen, musisi jazz; Bana Goerbana Kartasasmita, dosen Institut Teknologi Bandung, Aom Kusman dan Kang Ibing, pentolan lawak De Kabayans yang melambung pada 1980-an. Tiga yang disebut terakhir masih setia mengunjungi pendengar, dengan sapaan khas Mara: “Bung, Nona, dan Nyonya …”*

by:Agus Sopian