Bagai Menerbitkan Benang Basah

Adi Prinantyo

Mon, 5 November 2001

SUATU siang di ruang kerja seorang komisaris besar polisi di Kediri, Jawa Timur, ada tiga wartawan sedang mewawancarainya.

SUATU siang di ruang kerja seorang komisaris besar polisi di Kediri, Jawa Timur, ada tiga wartawan sedang mewawancarainya. Salah satu topik wawancara adalah soal ditangkapnya seorang putra kiai ternama di Kediri, gara-gara ketahuan membawa shabu-shabu.

Ketiga wartawan itu sudah memiliki detail peristiwa tersebut. Siapa namanya, berapa banyak shabu-shabu yang dibawanya, dan bagaimana kisah penangkapannya. Para jurnalis itu minta konfirmasi saja kepada si polisi. Mereka juga ingin tahu proses kelanjutan penangkapan itu. Jalan terus yang berarti mejalankan asas persamaan di muka hukum? Atau memberi toleransi kepada si anak kiai, sebagai salah satu tokoh masyarakat Kediri?

Saya termasuk satu di antara tiga wartawan itu. Si polisi ternyata minta kasus tersebut tak diekspose di media massa. Alasannya, polisi ingin menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh agama di Kediri. Dia tak ingin, gara-gara pemberitaan kasus ini, apalagi jika diketahui dengan jelas siapa sumber beritanya, hubungan polisi dengan ulama merenggang. Polisi itu juga minta agar namanya tak ditulis di koran.

Kami tak mengiyakan permintaan itu, dan juga tak menolak. Dalam hati kecil saya, muncul penolakan keras. Tapi mengungkapkan penolakan secara terbuka rasanya tak tepat waktu. “Yang penting, keluar dari ruangan ini, berita langsung saya tulis,” pikir saya.

Ketika wawancara selesai kami berpamitan. Polisi itu mengambil tiga amplop dari laci mejanya, dan menyerahkan ketiga amplop berisi uang kepada kami. Saya menolak sementara kedua rekan wartawan itu menerima. “Pak, mohon pengertiannya. Tanpa ini pun saya tetap akan berhubungan baik dengan Bapak. Kalau polisi ada prestasi pun akan saya tulis, tanpa ada harapan mendapatkan ini. Apalagi, koran tempat saya bekerja melarang menerima yang semacam ini,” kata saya.

Si polisi memandang saya dengan heran. Dia menjawab, ”Sudahlah, terima saja itu. Ayo, bawa saja,” katanya. “Anda baru pertama kali (wawancara) ke sini kan? Tanya wartawan-wartawan yang sudah biasa ke sini. Bagaimana kebiasaan saya?” ujarnya.

Amplop itu akhirnya saya terima. Dua hari kemudian, dengan dilampiri surat berkepala surat harian Kompas, suratkabar tempat saya bekerja, saya kembalikan uang itu kepada ajudan si polisi. Bagi saya, masalah selesai.

Berita tentang kasus itupun dimuat Kompas dengan judul “MAJ Kepergok Bawa Shabu.” MAJ adalah inisial putra si kiai. Koran-koran lokal, mungkin karena himbauan dari kalangan kiai serta polisi, tak ada yang menyiarkan. Tak terkecuali dua koran lokal terkemuka di Kediri, yang biasanya untuk kasus-kasus kriminal lokal, selalu tampil terdepan.

Kedua koran lokal itu, tak lain adalah Radar Kediri dan Memo Kediri. Redaktur pelaksana Radar Kediri Abu Muslich mengatakan hariannya tak memberitakan kasus itu karena terlambat mengetahui. “Ketika kami tahu, faktanya sudah agak basi. Lucu kan, kalau koran lokal ternyata kalah cepat dibanding media lain,” ujarnya.

Abu mengatakan memang ada imbauan yang diterima Radar Kediri terkait pemberitaan kasus itu. Tapi sikap umum redaksi harian milik Jawa Pos News Network dari Surabaya itu tetap memberitakannya sepanjang itu fakta. Singkatnya, pihak luar redaksi boleh saja mengimbau berpuluh-puluh kali, tapi jika redaksi memutuskan dimuat, ya tetap saja itu termuat.

“Dalam setiap peliputan, kami ingin bisa tetap obyektif dan proporsional. Terhadap kalangan kiai dan tokoh agama di Kediri, Radar Kediri bisa menjaga jarak. Buktinya, kasus penyelewengan dana kredit usaha tani yang banyak melibatkan kiai dan pondok pesantren, juga sering kami tulis,” kata Abu, yang juga menjabat ketua Gerakan Pemuda Ansor, sebuah organisasi dari Nahdlatul Ulama, di Kediri.

Sugiharto, redaktur pelaksana Memo Kediri, mengatakan tak dimuatnya berita putra kiai itu semata karena masalah teknis. Anak buahnya terlambat mendengar informasi tersebut. Sugiharto mengatakan sering ada imbauan tak resmi pada redaksi Memo Kediri, namun khusus untuk kasus shabu tersebut, tak ada imbauan.

Imbauan tidak resmi adalah “kelakar setengah serius” yang acapkali dilakukan terhadap awak redaksi Memo Kediri. “Misalnya, sering ada yang berujar, ‘Ah, seperti itu mosok mau diberitakan.’ Kalau imbauan resmi lewat surat atau telepon, rasanya sudah tidak pernah kami terima,” kata Sugiharto.

Soal dugaan saya bahwa para kiai sebagai komunitas tokoh masyarakat yang dominan di Kediri sering menyisipkan “pesan-pesan” kepada redaksi, Sugiharto juga menepisnya. Pasalnya, ia banyak menemui kiai-kiai yang mendukung pemberitaan mengenai warga pondok pesantren yang bertindak kurang benar. “Salah satu contohnya, mereka mendukung pemberitaan Memo, soal penyelewengan KUT di kalangan koperasi pondok,” kata Sugiharto.

Bagi saya, kendati problem amplop itu teratasi, namun sebetulnya kejadian tersebut menampakkan betapa soal kebebasan pers masih agak rumit menjalankannya di kota macam Kediri. Dalam keseharian liputan saya di Kediri dan sekitarnya, budaya amplop alias sogokan, muncul dan ada di mana-mana.

Kediri berpenduduk sekitar 1,5 juta orang. Mayoritas penduduknya berkultur Jawa sehingga budaya ewuh pakewuh atau saling memberi toleransi sangat tinggi. Perusahaan besar di kota ini adalah industri rokok PT Gudang Garam. Untuk kota Kediri saja, pendapatan per kapita tanpa Gudang Garam, berdasar data 1998, hanya Rp 11,2 milyar. Jika dengan Gudang Garam, mencapai Rp 41,3 milyar. PDRB, tanpa Gudang Garam hanya Rp 2,9 milyar, dan dengan GG mencapai Rp 14,9 milyar.

HAMPIR setiap pejabat menyiapkan amplop bagi wartawan jika diwawancarai. Apalagi, bila sedang ada acara dan mereka butuh publikasi. Penolakan wartawan terhadap amplop langka terjadi. Tak heran, ketika seorang wartawan menolak amplop, si pejabat atau stafnya, tetap tak percaya bahwa si jurnalis benar-benar tak ingin menerima amplop. Yang ada dalam pikiran mereka adalah, wartawan itu mungkin basa-basi saja atau menolak karena ada orang lain. Nanti kalau sudah sepi akan saya coba lagi. Menolak amplop, sebagai salah satu keharusan untuk menegakkan integritas dan independensi wartawan, dalam pengalaman pribadi saya, bagai menegakkan benang basah di kota macam Kediri.

Rasanya era reformasi, yang diikuti dengan munculnya euforia pers, dan terwujud dalam keleluasan olah kata redaksional, tak berpengaruh positif terhadap berkembangnya integritas pers. Pers daerah juga bebas. Tapi dalam kebebasannya, ia diskriminatif.

Terhadap kasus-kasus di mana yang terlibat adalah pelaku-pelaku dari kalangan orang biasa, pers daerah meliputnya dengan gegap gempita. Hal serupa juga dilakukan terhadap pelaku dari kalangan pejabat sipil, yang notabene sudah tak mempunyai kemampuan untuk melemahkan mereka. Misalnya berita ditangkapnya seorang kepala bagian di pemerintahan Kabupaten Kediri.

Tapi kalau terkait dengan pejabat yang masih berkuasa, atau juga pengusaha, pers daerah tetap tak berkutik. Situasi di mana kontrol sosial pers lemah, sehingga ia tak mampu mengontrol kebijakan yang menyalahi aturan, seperti halnya terjadi semasa Orde Baru, masih berlangsung dengan nyata hingga kini.

Melihat dengan kepala sendiri proses pemberian amplop dan dilaksanakannya imbauan polisi itu membuat saya curiga terhadap independensi Radar Kediri dan Memo Kediri. Permintaan agar berita itu tak dimuat benar-benar dilakukan.

Mungkin persoalannya juga terkait dengan ulama penting Kediri. Ada keengganan kultural dengan kiai. Terbukti, pers daerah pun punya kesungkanan kultural itu dengan tokoh-tokoh tersebut.

Mau bukti lain? Lihat saja keengganan beberapa media daerah di Kediri terhadap PT Gudang Garam, perusahaan Kediri yang sering jadi salah satu 10 pembayar pajak terbesar di Indonesia. Sampai-sampai, adanya demonstrasi buruh yang melumpuhkan operasional pabrik rokok ini pun, Radar Kediri hanya memuat sepotong foto dan keterangannya saja. Keengganan dengan Gudang Garam ini, menurut analisis kalangan independen Kediri, terutama terkait dengan kue iklan. “Beberapa media daerah khawatir dengan ancaman Gudang Garam, yang akan menghentikan permintaan iklan ke koran-koran lokal, seperti Radar Kediri, jika mereka kritis terhadap Gudang Garam,” kata Elia Krisanto dari Yayasan Sosial Ganesha Tivikrama Kediri.

Redaktur pelaksana Radar Kediri Abu Muslich membela diri dan mengatakan harian tempatnya bekerja punya kemandirian dalam menentukan sikap soal pemberitaan. Buktinya, unjuk rasa karyawan Gudang Garam dan anak-anak perusahaannya, selalu dimuat. Saat saya tanya soal berita demonstrasi seluruh pekerja Gudang Garam yang hanya dimuat dengan foto dan keterangannya, Abu menyatakan, pemuatan hanya dengan foto tetap merupakan paparan peristiwa.

“Rasanya, justru dengan berita yang objektif, pemasang iklan justru senang. Sebab, berita objektif dan proporsional akan menaikkan oplah. Kondisi naiknya oplah ini kan harapan para pemasang iklan. Sebab iklan mereka juga akan dibaca dan dilihat lebih banyak orang,” ujarnya.

Kepala bagian hubungan masyarakat PT Gudang Garam M. Hasyim mengatakan sepanjang ia tahu tidak ada niat dari Gudang Garam untuk mengintervensi pemberitaan di koran tempat Gudang Garam mengiklankan produknya. “Ini pendapat dan analisis saya pribadi lho. Rasanya kok tidak ada,” katanya.

Yang dibutuhkan Gudang Garam dari pemberitaan media massa, terhadap liputan sebuah kasus, adalah pemberitaan yang seimbang. Singkatnya, tak masalah muncul pemberitaan tentang unjuk rasa pekerja Gudang Garam atau kasus lainnya. Namun, berita itu ditulis secara berimbang. Dengan kata lain, ada kesempatan bagi manajemen Gudang Garam untuk bicara sesuai apa yang diyakininya benar.

“Dan memang syarat berita yang baik, menurut kaidah jurnalisme, ya harus seimbang itu kan. Jadi permintaan Gudang Garam ini tidak mengada-ada. Kalau soal intervensi pemberitaan, kok menurut saya tidak ada. Justru kadang-kadang ada institusi pers yang datang menawarkan penawaran beriklan, dengan embel-embel dia mau bekerjasama. Maksudnya Anda tahu sendiri, kalau Gudang Garam mau beriklan, nanti berita-berita miring tentang Gudang Garam tidak akan dimuat,” kata Hasyim, tersenyum. Dia enggan menyebut media mana yang menawarkan kerjasama itu.

LAN Kediri lain Jember. Ada amplop unik untuk wartawan-wartawan di Jember. Sekitar 1998-1999, Koperasi “Pena Nusantara” milik Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jember, ikut menerima kucuran Kredit Usaha Tani (KUT). Ya, KUT yang seharusnya diberikan kepada petani itu.

Celakanya lagi, hingga kini koperasi milik wartawan itu masih menunggak pengembalian kredit. Jumlahnya miliaran rupiah lagi. Tak pelak, nama Koperasi “Pena Nusantara” termasuk dalam daftar 30 penyalur kredit petani yang hingga Maret 2001 belum melunasi pengembalian KUT.

Saya kira ada dua kekeliruan korps wartawan PWI di Jember dalam kasus ini. Pertama, wartawan ikut menerima kredit dan berkolusi dengan birokrasi sedemikian rupa sehingga KUT yang seharusnya untuk petani, nyelonong ke wartawan. Wartawan saya kira ikut merampas hak petani, kelompok masyarakat yang relatif sangat miskin, yang seharusnya menerima kredit itu.

Kekeliruan kedua, wartawan dengan mudah bisa terkooptasi pemerintah Jember. Inpendensi wartawan dipertaruhkan. Justru di tengah kebebasan seperti sekarang inilah, pemerintah butuh segala alat untuk melakukan kooptasi terhadap wartawan. Mereka bisa jadi lebih waswas dan khawatir, karena kemungkinan boroknya diungkap lewat media, lebih besar daripada masa-masa Orde Baru.

Kooptasi lewat kucuran kredit tani itu terbukti cukup manjur. Sejumlah wartawan yang menerima kredit itu, menurut pengamatan saya, amat jarang menulis berita-berita kritis tentang pemerintah Jember. Saya yakin, di luar kasus KUT, kongkalikong kalangan pers dan pihak luar pers berbungkus sogokan, sangat banyak terjadi.

KEDIRI dan Jember, adalah hanya dua kota. Di luar keduanya, -atau dengan kata lain di semua kota di tanah air-, kooptasi terhadap pers di daerah, gampang ditemui. Sekian lamanya seorang wartawan bertugas di sebuah kota, membuat terciptanya kesungkanan kultural di kalangan wartawan, atau yang dalam bahasa Jawa disebut ewuh pakewuh.

Mereka, dijamin tidak akan berani menulis berita kritis terhadap bupati, wali kota, kapolres, dandim, atau kalangan pengusaha. Bagi mereka yang masih tetap bersuara kritis lewat berita-beritanya, teror dan intimidasi, -dari yang paling lunak hingga kasar-, harus siap untuk dihadapi.

Ketika tulisan ini disusun, saya membaca tentang dua kasus intimidasi terhadap wartawan, di Batam dan Bandung. Di Batam, rumah wartawan harian Sijori Mandiri, Adi Indra Pawennari, dilempar bom molotov. Adi ini, sebelumnya cukup intens menulis berita soal maraknya judi di Batam.

Sedangkan di Bandung, wartawan Radio Mora, Sandy Ferdiana, dianiaya sejumlah orang, usai mewawancarai Wali Kota Bandung AA Tarmana. Saat diwawancarai, Tarmana konon marah-marah pada si wartawan, karena berita yang sebelumnya telah disiarkan. Itu baru dua kasus aktual. Belum terhitung kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan lain yang terdahulu, termasuk pembunuhan wartawan harian Bernas Fuad M Syafruddin, yang sampai kinipun masih kabur.

Kekerasan seperti itulah yang akan terjadi, jika jurnalis di daerah tetap konsisten untuk menulis berita kritis terhadap aparat pemerintah di daerah. Sedikit berbeda dengan di Jakarta, di mana media massa yang berpusat di ibukota sangat banyak, sehingga menimbulkan konsekuensi, banyak pula wartawan yang beredar di Jakarta. Keinginan untuk mengontrol dan mengendalikan pers tetap ada. Hanya, karena jumlah wartawan demikian banyak, aparat sulit mengendalikan.

Di luar Jakarta, jumlah wartawan sangat sedikit. Di kota seperti Kediri dan Jember misalnya, wartawan aktif (tentu saja di luar mereka yang termasuk ‘bodreks’), tak lebih dari 20 orang. Tak pelak, posisi keseharian mereka mudah terbaca aparat, baik sipil maupun militer, dan mudah saja bagi mereka untuk “melunakkan” wartawan.

SEJUMLAH solusi bisa saya tawarkan melalui tulisan ini. Pertama, solusi paling utama adalah dari kalangan jurnalis sendiri. Para jurnalis harus menyadari, bahwa karena profesinya sebagai wartawan, mereka harus menghindarkan dan mencegah masuknya kooptasi pihak luar terhadap pers. Sudah seharusnya, wartawan yang mempunyai kekuatan kontrol sosial, seminimal mungkin melakukan kesalahan berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Bahkan dalam kaitan ini, sering diistilahkan, wartawan haruslah do no harm. Ia sebaiknya jangan sampai melakukan kesalahan yang tak bisa diterima oleh norma dan etika yang berlaku.

Memang tak bisa ditempuh dalam waktu singkat, karena ini penyadaran kultural. Tetapi sejak kini, penyadaran ini harus terus disebarluaskan. Gerakan kampanye anti amplop seperti dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), perlu dilakukan dalam jangkauan seluas-luasnya, terutama di daerah-daerah. Untuk rekan-rekan pers di daerah, sebagai target awal, adalah penumbuhan sikap mempermasalahkan budaya amplop di kalangan mereka. Untuk langsung mengkampanyekan penolakan, tentu masih jauh. Yang paling awal bisa dilakukan, adalah mempertanyakan. Mereka harus digugah pengertiannya, bahwa budaya amplop adalah sebuah masalah. Bukan sebuah budaya yang bisa dimaklumi keberadaannya.

Kedua, adalah pembenahan dari masyarakat non pers. Pemerintah, usahawan, kalangan anggota dewan, serta kelompok masyarakat lain, perlu dibudayakan soal upaya untuk bersama-sama menciptakan independensi pers, dengan tidak membiasakan pemberian amplop, sejak saat ini. Semangat anti amplop ini, jika tidak segera disosialisasikan, di waktu mendatang akan semakin sulit direalisasikan. Dengan pembudayaan secara evolutif, -baik dari internal maupun eksternal pers-, saya yakin independensi yang diidam-idamkan bisa tercapai.*

kembali keatas

by:Adi Prinantyo