Kegusaran Tom Wolf

Septiawan Santana Kurnia

Mon, 1 October 2001

TOM Wolfe terpikat ketika membaca “Joe Louis: the King as a Middle-aged Man.” Cerita itu unik. Kisahnya dibuka lewat nada dan mood cerita pendek. Lengkap dengan keintiman adegannya.

TOM Wolfe terpikat ketika membaca "Joe Louis: the King as a Middle-aged Man." Cerita itu unik. Kisahnya dibuka lewat nada dan mood cerita pendek. Lengkap dengan keintiman adegannya.

"Hai manis!” sapa Joe Louis pada istrinya, yang menunggu di bandar udara Los Angeles.

Istrinya tersenyum, mendekati, menjinjitkan kaki hendak mencium – tapi mendadak berhenti.

"Joe, mana dasimu?"

"Aduh, manis," seru Louis, mengangkat bahu, "Aku keluar semalaman di New York dan tak punya waktu…."

"Sepanjang malam! Tiap kamu kesini, kerjamu hanyalah tidur, tidur, dan tidur."

"Manisku," jawab Louis, meringis, lunglai, "Aku sudah tua."

"Ya. Tapi tiap kamu ke New York kamu coba jadi muda lagi.”

“What the hell is going on?” Wolfe gusar.

Wolfe terkesan karena Gay Talese, penulis cerita itu, menghadirkan berbagai adegan sisa-sisa hidup petinju legendaris Joe Louis, yang sudah tua, lapuk, dan botak, dengan cara yang memikat.

Laporan itu, dibaca Wolfe, di majalah Esquire, pada 1962. “Saya tak habis pikir, bagaimana seseorang bisa membuat laporan sedekat itu,” kata Wolfe. Bagaimana sebuah reportase terasa amat riil? Pembaca seolah ada di sana, menyaksikan langsung ruang kehidupan seorang tokoh yang dulu begitu heroik. Sosok dan gayanya tergambar secara rinci.

Wolfe tergerak, melakukan observasi, dan mempraktekkan, dalam pekerjaannya sebagai wartawan harian New York Herald Tribune.

Sepuluh tahun kemudian, Wolfe menjelaskannya dalam artikel bertajuk “The Birth of The New Journalism: An Eyewitness Report” yang dimuat majalah New York. Setahun kemudian, 1973, bersama E.W. Johnson, Wolfe menerbitkan buku berjudul The New Journalism –sebuah antologi dari orang-orang yang disebutnya new journalists (jurnalis baru). Beberapa artikelnya sendiri, ia jadikan pengantar antologi itu dengan uraian yang cukup ruwet, dan mirip risalah. Buku itu juga disertai appendix yang panjang dan luas, menerangkan soal sastra.

Maka Wolfe memicu suatu debat panjang di Amerika Serikat. Gaya kesastraan yang dipakainya jadi pangkal keributan. Khususnya, di urusan jurnalisme yang memandang kebenaran, fakta, etika, fairness, dan seterusnya, sebagai sesuatu yang sangat suci. Bagaimana fakta bisa dicampur dengan fiksi? Bagaimana jurnalisme bisa dicampur sastra?

Namun, jurnalisme baru bukanlah laporan fiktif. Sastra diadopsi cuma untuk urusan gaya. Fakta tetap jadi bahan maha penting. Pembaca dibuat terpikat oleh gaya kesastraan yang dipakainya. Gaya kesastraan itu pula yang membuat wartawan baru sering bekerja lebih dari wartawan biasa.

Fakta-fakta dicari para jurnalis baru dengan sangat mendalam. “Lebih dari sekadar menyajikan fakta secara kronologis,” kata Fred Fedler dalam buku An Introduction to the Mass Media. Mereka mencari ulang keseluruhan adegan, menjadikannya sebuah kisah yang bergerak dari satu adegan ke adegan lain. Mereka mewawancarai lusinan orang, hanya untuk mempelajari sebuah peristiwa, lalu merekonstruksi kejadiannya ke dalam laporan.

Wolfe menunjuk ada empat hal yang membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional: (1) Pemakaian konstruksi adegan-per-adegan; (2) Pencatatan dialog secara utuh; (3) Pemakaian sudut pandang orang ketiga; dan (4) Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orang-orang yang muncul dalam ceritanya.

KONSTRUKSI adegan-per-adegan merupakan gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film. Dalam jurnalisme baru, penciptaan adegan diperkirakan bisa membuat pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan.

Menurut Tom Wolfe, reportase yang bagus bisa diceritakan melalui cara ini. Yakni, dengan menyajikan rangkaian adegan demi adegan ke dalam penuturan cerita.

Cerita Jimmy Breslin dijadikan contoh oleh Wolfe. Breslin adalah seorang wartawan yang sangat hidup dalam menggambarkan adegan. Kisahnya sederhana, cuma soal cincin berlian merah jambu di jari seorang bos penjahat bernama Anthony Provenzano.

Adegan dibuka lewat sinar matahari yang menerobos jendela tua, berjamur, di sebuah gedung pengadilan.

Tony Provenzano, salah satu orang kuat di Teamters Union, sebuah serikat buruh yang juga bergerak dalam dunia kriminal, mondar-mandir di koridor pengadilan negeri Newark. Ia tersenyum kecil dan menjentik-jentikan rokok putihnya.

“Hari ini enak untuk memancing,” kata Tony.

“Kita harus pergi ke luar dan mendapatkan ikan.”

Kemudian ia meregangkan kakinya dan menghampiri kawannya, Jack, yang bertubuh besar dan bersetelan abu-abu. Tony mengeluarkan tangan kirinya seperti siap meninju Jack.

Cincin besar Tony berkilat-kilat merah jambu kena sinar jendela. Tony mengubah posisi dan menepak Jack dengan tangan kanan ke bahu.

“Selalu di bahu,” canda seorang penjaga di koridor, “Tony pasti memukul Jack di bahu.”

Adegan berlanjut ke penjaga. Seorang penjilat. Tapi, kilatan cincin hilang. Matahari mematikannya.

Breslin lalu mengubah adegan ke ruang kafetaria. Jaksa muda, yang menangani kasus itu, tengah menyantap kerang dan salad buah ….

Breslin, nilai Wolfe, sepertinya menyajikan cerita pendek. Lengkap dengan simbolisme. “Tapi itu benar-benar merupakan sebuah kejadian!” Itu sebuah reportase yang penuh detail.

Kemampuan ini, nilai Wolfe, adalah kemampuan seorang wartawan yang dicampur dengan kemampuan seorang novelis.

Dengan kata lain, memakai adegan merupakan sebuah upaya. Wolfe menawarkan alternatif baru dari jurnalisme yang biasanya hanya menjelaskan (baik ekspositoris maupun historis). Lewat adegan, jurnalis baru mencoba tampil beda.

KESEMPURNAAN adegan terkait dengan penciptaan dialog yang utuh sebagai hasil ketekunan mencatat kata-kata berbagai nara sumber.

Karena, dari dialog, pembaca tahu apa yang terjadi. Bagaimana kejadiannya. Bahkan, bisa menilai nara sumber dari cara dia bicara. Bagaimana karakternya, sikap dan pemikirannya. Tujuan dimasukkannya dialog ialah menjelaskan kepada pembaca. Sekaligus, menarik minat. Tanpa perlu dijelas-jelaskan si wartawan.

Menurut Wolfe, cara membuat dialog diambil para wartawan majalah Amerika Serikat dari kebiasaan novelis. Mereka melakukan trial and error hingga dicapai kemampuan mengungkap keutuhan dialog yang paling mendekati kenyataan di lapangan. Dialog di sini bukan cuma memaparkan percakapan. Tapi mengandung juga upaya penggambaran karakter, secara ringkas dan efektif.

Para jurnalis baru menyusun dialog lewat hasil wawancara. Proses wawancara, dengan demikian, menyangkut urusan yang tidak sekadar merekam pembicaraan. Momen-momen nara sumber bicara juga diperhatikan.

Untuk itu, jurnalis baru melakukan riset. Mereka pelajari latar belakang tokoh mereka. Wawancara dilakukan secara mendalam, bahkan berulang-ulang, dengan sumber-sumber yang sama maupun berbeda, agar mendapat rekonstruksi pikiran dan emosi yang pas. Hingga, ketika disajikan, subyek beritanya tampil leluasa, tidak kaku. Tiap kata yang diomongkan punya nuansa ide, atau makna lain, sesuai konteks saat dialog terjadi.

Jurnalis baru harus sering merekonstruksi ucapan yang direkam dan dicatatnya. Mereka bertekun-tekun untuk mendapat potongan dialog yang tidak tercatat, lupa, atau rusak rekamannya. Reka ulang kutipan dilakukan agar dicapai dialog persis “apa yang dimaksud oleh perkataannya” atau “apa yang dijelaskan dalam jawabannya.”

Contohnya bisa disimak melalui tulisan Susan Orlean, “The American Man At Age Ten”, di majalah Esquire – yang oleh Norman Sims dan Mark Kramer (eds) jadi salah satu contoh dalam buku mereka Literary Journalism: A New Collection of the Best American Nonfiction.

Colin adalah anak lelaki umur 10 tahun yang diminta untuk menilai dunia. Semula, Orlean dipesan Esquire menulis keseharian Macaulay Culkin, aktor cilik yang mencuat lewat film Home Alone. Orlean menolak. Ia mau menulis anak 10 tahun pilihannya sendiri, Colin Duffy: seorang anak biasa dari Glen Ridge, New Jersey.

Colin tidak tertarik, awalnya. “Hari-hari pertama ia tidak mau menoleh pada saya,” kata Orlean. “Lalu, suatu hari setelah sekolah usai, tahu-tahu saja ia berkata, ‘Mau nggak menengok kamarku, dan bertemu dengan anjingku?’”

Hasilnya, Orlean, melaporkan:

…Sepanjang jalan pulang, saya main tebak-tebakan dengan Colin tentang pandangannya soal dunia.

“Siapa orang paling asyik di dunia?”

“Morgan Freeman.”

“Olahraga paling oke?”

“Football.”

“Cewek paling keren?”

“Nggak ada. Tau’ deh …aku nggak tahu.”

Atau, omongan monolog begini:

“… Ia menyukai iklan-iklan. Ia juga menggemari tayangan komersial di televisi. Secara umum bisa dikatakan, ia menyukai produk-produk konsumsi dan budaya pop. Sepanjang waktu kami bersama, tak habis-habisnya ia memberi komentar tentang merchandise, media dan hiburan.”

“Reebok Pumps adalah satu-satunya sepatu yang bakal dipakai siapa saja. Yang keren itu T-shirt gede, bukan kaos-kaos sempit yang menempel di badanmu, tapi yang gedombrangan, baggy, dan panjang, bukan kaos yang berhenti di perutmu.”

“Makanan terbaik adalah Chicken McNuggets dan sereal Life dan Frosted Flakes.”

“Jangan pergi ke Blimpie’s. Servisnya paling jelek di dunia.”

“Aku nggak nonton Kura-Kura Ninja lagi. Aku suka Donatello, tapi aku bukan fansnya, lho. Aku nggak pernah beli bonekanya lagi.”

“Acara televisi paling bagus itu malam Jumat di ABC. Namanya TGIF, juga serial Family Matters, Step by Step, Dinosaurs dan Perfect Strangers … itu tuh, yang orang-orangnya bicara dengan aksen lucu!”

TITIK pandang orang ketiga. Dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh. Pembaca diajak masuk dalam cerita. Seakan pembaca berada di tiap keinginan, tiap pikiran, tiap pengalaman: yang terjadi di dalam suatu cerita.

Selain itu, alat ini mempresentasikan pandangan mata seseorang, atau beberapa orang. Pembaca disuruh melihat “apa yang dilihat” mereka. Perasaan mereka, dan berbagai pengalaman emosional lainnya.

Berbagai sudut pandang itu dicari di berbagai tempat. Bisa didapat dari orang yang diwawancarai, atau dari orang yang sekilas diajak ngobrol. Bahkan, Wolfe mencomotnya dari orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan. Semuanya dianggap mewakili pikiran, emosi, pengalaman, dan seterusnya dari realitas yang terjadi.

Point of view yang campur aduk ini dikerjakan Wolfe dalam artikel The Girl of The Year tentang konser musik kelompok musik rock Rolling Stones. Karakter yang dijadikan tokoh dalam laporan itu adalah seorang penggemar Rolling Stones, bagian dari pemberontakan generasi muda pada 1960-an, bernama Baby Jane Holzer:

Bangs manes bouflant beehives Beatle caps butter faces bruhs-on lashes decal eyes puffy sweaters French thrust bras flailing leather blue jeans stretch pants stretch jeans honeydew bottoms eclair shanks elf boots ballerinas Knight slippers, hundreds of them, thes flaming little buds, bobbing and screaming, rocketing around inside the Academy of Music Theater underneath thar vast old moldering cherub dome up there – aren’t they super-marvelous!

“Aren’t they super-marvelous!” says Baby Jane, and then: “Hi, Isabel! Isabel! You want to sit backstage – with the Stones!”

The show hasn’t even started yet, the Rolling Stones aren’t even on the stage, the place is full of a great shabby moldering dimness, and the flaming little buds.

Girls are reeling this way and that way in the aisle and through their huge black decal eyes, sagging with Tiger Tongue Lick Me brush-on eyelashes and black appliques, sagging like display-windows Christmas trees, they keep staring at – her – Baby Jane – on the aisle.

Wolfe memakai gaya penyiar radio dalam melukiskan meriahnya konser ini: cepat, ramai, penuh ikon. Suasana rush digiring. Tanda-tanda heboh dicatat. Lalu, masuk ke “pandangan mata” Baby Jane, mengulang amatan orang ketiga, “Aren’t they super-marvelous!” Berganti lagi. Orang ketiga melihat, antara lain, lewat mata Jane, gadis-gadis muda yang seperti “the flaming little buds” tengah berlarian ke sekitar panggung. Seterusnya, pembaca diajak berpindah-pindah, sampai akhirnya, secara mendadak, pembaca diajak menatap “mata” Baby Jane sendiri: “What the hell is this? She is gorgeous in the most outrageous way….”

Saya sengaja tidak menerjemahkan karya Wolfe ini untuk memperlihatkan keaslian gayanya.

Menurut Wolfe, ia menggunakan tiga point of view pada pembukaan pendek itu. Sudut pandang subyek (Baby Jane), sudut pandang orang-orang yang melihatnya, dan Wolfe sendiri sebagai seorang reporter. Eksperimen itu dilakukan Wolfe dalam banyak tulisan, dari 1963 sampai 1965. Sampai seorang penulis menudingnya bunglon (chameleon).

“Itu artinya buruk. Tapi saya menganggapnya pujian. Bunglon … betapa tepatnya!” kata Wolfe.

Ketiga posisi point of view itu bisa juga disimak melalui cuplikan kisah In Cold Blood karya Truman Capote. Laporan ini mengisahkan dua narapidana bernama Dick dan Perry yang membunuh sebuah keluarga petani di Kansas, Amerika Serikat. Kisahnya dimuat, secara bersambung, di majalah The New Yorker, pada musim gugur 1965, beberapa saat setelah keduanya dihukum mati, dan setahun kemudian dibukukan. Belakangan difilmkan oleh Hollywood.

Karya Capote, yang sempat diterjemahkan majalah Matra, memberi momentum kuat pada fenomena new journalism. Cerita dan tokoh-tokohnya bersandar kepada fakta: ditulis melalui masa riset lima tahun, dengan wawancara-wawancara intensif bersama saksi mata, polisi, tetangga, dan kedua pembunuh itu di penjara.

Orang ketiga muncul melalui deskripsi Truman Capote ini:

Hotel Somerset adalah salah satu hotel kecil berdinding semen yang berjajar di sebuah jalan sepi dan suram. Pada bulan Desember 1959, fasilitas yang diberikan Hotel Somerset untuk digunakan di pantai hanya dua payung untuk berteduh yang terletak di bagian belakang hotel itu. Di salah satu payung, yang berwarna merah muda, tertulis Es Krim Valentine Tersedia Untuk Anda.

“Tepat tengah hari pada Hari Natal, empat wanita berbaring di bawah dan di sekitar payung itu, di samping sebuah radio yang mengalunkan musik. Payung kedua, berwarna biru, yang bertuliskan Berjemur dengan Coppertone, digunakan oleh Dick dan Perry, yang telah lima hari tinggal di Hotel Somerset, menyewa sebuah kamar untuk dua orang dengan sewa 18 dolar per minggu.”

Lalu, orang ketiga mulai masuk ke dalam sudut pandang:

“Perry berkata, ‘Kau tidak pernah mengucapkan Selamat Hari Natal kepadaku.’”

“Selamat Hari Natal, sayang. Dan Selamat Tahun Baru.”

Ketika Dick berdiri dan mulai bergaya – dengan bertopang pada kedua tangannya ia mengangkat kedua kakinya sehingga tegak lurus, untuk menarik perhatian empat wanita di bawah payung merah muda itu –Perry menyibukkan dirinya dengan membaca Miami Herald. Tiba-tiba sebuah berita di halaman dalam menyita seluruh perhatiannya.

Sebuah berita tentang pembunuhan sebuah keluarga di Florida, Tuan dan Nyoya Clifford Walker, putra mereka yang berusia empat tahun dan putri mereka yang berusia dua tahun. Masing-masing korban ditembak di kepala dengan senjata api kaliber 22. Pembunuhan yang tidak meninggalkan bukti dan motif apa-apa itu terjadi Sabtu malam, tanggal 19 Desember di rumah keluarga Walker, yang dikelilingi peternakan sapi, tidak jauh dari Tallahassee.

Perry menggangu Dick dengan membaca berita itu keras-keras dan bertanya, “Kita di mana Sabtu malam yang lalu?”

“Tallahassee?”

“Itu yang kutanyakan.”

Capote menelusuri ingatan tokoh tulisannya:

Dick mulai memusatkan perhatian. Kamis malam, ketika gilirannya menyetir, mereka meninggalkan Kansas dan melalui Missouri mereka masuk ke Arkansas dan setelah melewati Ozark, mereka menuju Louisiana. Di sanalah mesin berulah, sehingga mereka tidak dapat meneruskan perjalanan pada Jumat pagi.

Pagi itu mereka tidur dengan memarkir mobil di pinggir jalan di suatu tempat dekat perbatasan Alabama-Florida. Ketika perjalanan dilanjutkan, mereka singgah di peternakan buaya dan ular, naik kapal berlantai kaca di sebuah danau yang airnya jernih, makan siang dengan hidangan udang besar di sebuah restoran di pinggir jalan. Suatu hari yang menyenangkan. Keduanya merasa lelah sekali ketika tiba di Tallahassee dan bermalam di sana.

“Ya, Tallahassee,” ujar Dick.

“Menakjubkan”, kata Perry sambil kembali membaca berita itu. “Tahu, mengapa saya tidak terkejut? Ini bukan dilakukan orang gila. Tapi oleh orang yang telah membaca berita tentang apa yang terjadi di Kansas!”

ALAT keempat adalah mencatat dengan rinci semua detail status kehidupan karakter-karakter yang ada dalam laporan. Wolfe menjelaskan, “… catatan rinci mengenai segala gerak perilaku, kebiasaan, gaya atau cara atau adat hidup, pakaian, dekorasi rumah, travelling, makan, merawat rumah, dalam berhubungan dengan anak-anak, dengan pembantu, teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain atau pun yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai lambang lain.”

Jurnalis baru mencatat semua itu. Tiap hal melambangkan setting dari sebuah komunitas sosial. Selain itu, menyangkut status dan prestise sosial, meliputi pola laku dan ekspresi sosial di berbagai posisi, juga pemikiran dan harapan.

Pembaca dikenalkan dengan berbagai keterangan. Sebuah tempat dideskripsikan bentuk bangunannya, ornamen, sejarahnya, dan keterangan lain. Begitu pun sosok orang-orang digambarkan bagaimana rautnya, tubuhnya, cara berjalannya, penampilannya, dan seterusnya. Emosi mereka diungkap pula, dari ekspresi pengakuan diri sampai ke penyakit psikis atau perilaku unik.

Tom Wolfe menyebut sastrawan Prancis, Honoré de Balzac (1799-1850), yang menulis La Comédie humaine sebagai seseorang yang mengembangkan gaya realisme dalam novel-novelnya. Di satu karyanya, La Cousine Bette (1846), sebelum mengantarkan pembaca kepada Monsieur and Madame Marneffe, Balzac memberi pembaca gambaran ruangan di mana mereka berada dan perilaku sosialnya. Dari jenis perabot, karpet, lampu dinding, lukisan, dan seterusnya: digambarkan. Segala yang ada di ruangan disebut, melukiskan kehidupan pasangan yang ingin memiliki gengsi sosial, Monsieur and Madame Marneffe.

Kecermatan Balzac memberi efek. Pembaca sekaligus dikenalkan dengan gambaran status kehidupan, ambisi-ambisi sosial, kegelisahan, kesenangan, kemalangan pasangan itu. “Plus segala perilaku kesehariannya,” kata Wolfe.

Dengan kata lain, alat keempat ini memberi kepada pembaca suatu deskripsi sosial. Memotret latar belakang kehidupan seseorang. Mencatat lambang-lambang sosial.

Meminjam kalimat Tom Wolfe, pendekatan ini seakan-akan mengatakan pada pembaca, “Datanglah kesini! Lihat! Ini kehidupan orang-seorang tiap harinya! Di sini terlihat pikiran mereka ketika mengerjakan sesuatu!” Ciri-ciri sosial itulah yang dilaporkan jurnalis baru.

Pengamatan bisa hadir melalui sudut pandang penulis, lewat seorang “saya.” Bisa juga melalui tokoh-tokoh kisahnya. Namun, yang penting, pengamatan ini menampilkan deskripsi yang tajam, detail, lengkap, dan bermakna.

Potongan tulisan Joseph Mitchell dalam karya klasiknya “The Rivermen” juga menampakkan hal itu:

Di tengah Edgewater, sekitar River Road dan kaki Dempsey Avenue, di mana pangkalan feri mestinya ada, terdapat distrik bisnis yang kecil. Sejumlah toko dan himpitan salon-salon, yang di New Jersey disebut tavern (warung kopi), bertebaran di sepanjang River Road, di atas dan bagian bawah kota.

Bagian bawah Edgewater bernama Shadyside; nama dari kapal feri. Daerah ini merupakan campuran rumah tinggal dan pabrik. Mayoritas pabrik terletak di bawah, menuju sungai, terhubung dengan jaringan rel kereta api, dan jelujuran cerobong asap mencuat darinya. Di antaranya, pabrik Aluminum Company of America, pengeringan tanaman kopi, pabrik pembuat bahan-bahan atap, pabrik pembuat asam sulfur, dan pabrik ragi bermerk Spry. Di atap pabrik ragi Spry terdapat lampu listrik raksasa; cahayanya berpendaran di permukaan sungai, dan pada malam hujan berkabut, tak henti mengulang-ulang pesan, “Spry Untuk Roti,” “Spry Untuk Roti,” “Spry Untuk Roti,” bagai rahasia samar New Jersey, yang sia-sia, melintasi New York.

Segala detail sosial ala Joseph Mitchell itu tidak tampil begitu saja. Mitchell adalah wartawan dari mingguan The New Yorker yang punya kecintaan khusus terhadap Sungai Hudson. Dia sering menghabiskan waktunya di sepanjang sungai. “The Rivermen” adalah laporan yang bercerita soal kehidupan orang-orang kecil, nelayan, tukang ikan, dan sebagainya, yang hidup dari Sungai Hudson.

Detail yang dipaparkan Micthel, masing-masing mewakili keterangan, yang mengandung sejarah. Dan, yang terpenting, fakta. Ada narasi di sana. Lengkap dan padu. Serta, efektif. Sebab, bila tidak, pembaca akan jenuh, bosan, dan menyudahi bacaan.

Keempat alat itu dipakai Wolfe untuk menerangkan beda jurnalisme baru dengan jurnalisme sehari-hari yang dikenal di Amerika Serikat pada 1960-an dan 1970-an.

TOM Wolfe sendiri memulai kerja new journalism-nya tidak dengan impian jadi pencetus. Dia lahir 2 Maret 1930, di Richmond, Virginia, sekolah serius, dan mendapatkan doktoralnya di bidang American Studies di Universitas Yale pada 1957. Dia sering menulis buat sejumlah koran seperti Springfield Union dan The Washington Post. Pada 1962 Wolfe mulai bekerja sebagai wartawan buat harian New York Herald Tribune.

Sejak itu, dia mengembangkan teorinya tentang new journalism. Ia juga menulis buku pada dekade 1960-1970-an lewat judul-judul Farrar, Straus and Giroux (1965), The Pump House Gang dan The Electric Kool-Aid Acid Test (1968) yang terbit secara simultan serta Radical Chic and Mau-Mauing the Flak Catchers (1970).

Melvin Mencher, dalam buku News Reporting and Writing, menyebut temuan Wolfe sebagai anteseden bagi jurnalistik lama. Wolfe melanjutkan gaya nonfiksi 1950-an dengan warna baru.

Gaya lama tidak memberi peluang banyak untuk melaporkan berbagai atmosfir fakta. Fakta-fakta telah dipatok begitu rupa oleh straight news: dalam pola piramida terbalik dan pelaporannya. Wolfe ingin melaporkan fakta-fakta dengan berbagai suasana, tingkah, emosi, dan pikiran orang-orang. Untuk itu perlu reportase yang dalam sekali. Wolfe terkadang disebut jurnalis yang “gila” dengan detail, yang risetnya dilakukan dengan amat tekun dan cermat. Jangan lupa bahwa Wolfe juga seorang doktor yang terlatih dengan metodologi penelitian. Persoalannya, memang, bagaimana bisa seorang jurnalis menulis nonfiksi, dengan tepat dan akurat, menembus pikiran-pikiran orang lain?

Jawabannya sederhana. “Wawancarailah dia, segala pikiran dan segala emosinya, sepanjang berhubungan dengannya,” kata Wolfe.

Kritik pun bermunculan. Banyak penulis menyatakan tidak ada yang baru dari new journalism. “New journalism tidak benar-benar ada,” kata Jack Newfield dalam Village Voice. “Ia cuma kategori salah kaprah. Dalam jurnalisme cuma ada tulisan buruk dan tulisan bagus, ide cerdas dan ide tolol, kerja keras dan para pemalas.” Ditambahkannya, “Tiap orang yang berumur 35 tahun dan bekerja sebagai penulis, akan menyebut dirinya seorang jurnalis baru.”

Jack Newfield mengatakan bahwa new journalism sesungguhnya merupakan lusinan perbedaan gaya menulis, dan banyak darinya yang tidak baru. New journalism telah digunakan sejak lama: dalam pemunculan penny press pada 1830-an, yellow journalism selama 1890-an, dan interpretative reporting usai Perang Dunia II.

Nilai sastra yang digunakan Truman Capote, Gay Talese, dan lainnya juga telah dipraktekkan jauh sebelumnya. Richard Henry Dana menggunakannya dalam buku Two Years Before the Mast yang terbit 1840. Mark Twain juga memakainya ketika menggambarkan kehidupan di sungai Mississippi. John Hersey memanfaatkannya dalam Hiroshima yang terbit pada 1946. Hersey mewawancarai enam orang yang lolos dari maut sehabis Hiroshima diluluhlantakan bom atom dan melaporkan peristiwa itu dari kacamata mereka.

Para kritikus juga mengecam bahwa new journalism telah mengembalikan kembali keburukan masa lalu: an era of bias. Fred Fedler menjelaskan, “Banyak jurnalis baru yakin tidak ada ketentuan ihwal laporan yang akurat. Bila memang harus mengubah kelaikan yang ada, mereka akan melakukannya. Mereka bekerja dengan moral seperti itu!” Para jurnalis baru dianggap melecehkan nilai-nilai jurnalisme, seperti fakta dan objektifitas. Maka itu, mereka dinilai dapat membawa bias, menjungkir-balikan fakta, kepada pembaca.

Mereka, antara lain, disebut pembawa jurnalisme subyektif. Richard Schickel dalam Commentary, mengatakan jurnalis baru terlalu subyektif, melebih-lebihkan individualisme wartawan: dalam memandang ruang dan waktu suatu peristiwa.

Reportase new journalism memang tidak gampang. Mereka harus memiliki daya tahan. Capote meriset para narapidana, mewawancarai berbagai orang, serta melukis ulang kejadiannya, makan waktu tahunan. Wolfe yang dikenal banyak mengutip statement, omongan ngalor-ngidul orang, dikenal akurat dalam kutipan nara sumbernya.

“Para amatir, termasuk wartawan pers kampus dan pers bawah tanah, menyalahgunakan teknik-tekniknya, dan mempublikasikan kisah-kisah yang dangkal, lemah di penulisan, dan menyesatkan,” ujar Fedler. Jauh dibandingkan karya Truman Capote, Tom Wolfe, dan Gay Talese.

Tudingan tambah keras dialamatkan. New journalism dinilai punya banyak masalah.

New journalism akhirnya agak dijauhi. Tingkat fenomenalnya surut. Berbagai kritik menyebut banyaknya pelanggaran etika. Baik karena ada wilayah privasi yang diserobot begitu saja. Para pembaca menuntut bacaan jurnalistiknya tidak gurem, tidak mencampur aduk fakta dan fiksi, serta membedakan dengan jelas mana si penulis mana subyeknya.

Dalam etika jurnalistik, tiap gerak wartawan memang diurut sampai jauh. Contohnya, dalam pekerjaan mencari fakta. Ketika seseorang ditanya, ia mesti tahu penanyanya ialah wartawan dalam keadaan wawancara. Bukan berbincang-bincang dan jadi maling (informasi).

Terutama, jika dikaitkan dengan rambu-rambu kejujuran, masalah pribadi, dan rasa hormat yang dimiliki publik. Bukankah orang berhak jengkel bila wartawan, misalnya, menggeledahi keranjang sampahnya. Apalagi dengan tindakan menguping atau menyadap. Apalagi dengan tindakan memalsukan identitas, walau cuma mengaku petugas kamar mayat ketika bertanya ini-itu kepada keluarga korban pembunuhan.

Jurnalis baru, seperti wartawan umumnya, berhadapan dengan isu-isu etika, seperti keterbukaan dan objektiftas, mis-representasi, pelanggaran privasi, konflik kepentingan, nara sumber anonim, pemberian materi, dan jarak.

“Ini menyangkut kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap media,” kata William T. Newill, editor Burlington County Times –yang dikutip Bruce D. Itule dalam buku News Writing and Reporting for Today’s Media.

Pembaca punya hak untuk tahu, misalnya, siapa sumber anonim itu? Kenapa sumber itu tak disebutkan namanya?

Selain itu, arogansi jurnalistik. Arogansi orang pers sering mirip para pengacara, dokter, dan lainnya: yaitu, tidak suka dikritik. Mestinya, menurut Itule, pers selalu harus siap diperiksa moralnya oleh masyarakat, “Pers mesti menjelaskan kepada masyarakat apa yang dikerjakannya dan mengapa – dan, kapan sesungguhnya, ia melakukan kesalahan.”

Ini membuat new journalism juga menambal kelemahan-kelemahannya. Berbagai pihak kemudian menyempurnakannya. Mereka menelusuri unsur-unsur dan metode yang dapat mengatasi kelemahan reportasenya.

LITERARY journalism kemudian hadir. Ia jadi konstituen penting new journalism.

Ketika istilah new journalism mencuat pada 1960-an, banyak pihak kesulitan merumuskannya. Masalahnya, new journalism dipraktekkan juga oleh pihak lain, yang ingin menggugat objektifitas dalam jurnalisme.

“Kekerasan di dalam negeri dan peningkatan ketegangan usai Perang Vietnam, menyulitkan pembuatan liputan yang objectif,” kata Edward Jay Whetmore ketika membahas “The Evolution of American Journalism” dalam buku Media America.

Literary journalism atau jurnalisme kesastraan kemudian mengambil tempat jurnalisme baru. Perkembangan literary journalism banyak ditarik dari pendahulunya: berbagai metode dan teknik diperluas, disempurnakan, untuk mengatasi kritik-kritik yang ada terhadap new journalism Wolfe!

Para inovatornya bukan hanya kalangan pers. Para penulis bidang lain, macam sains dan teknologi, bisnis dan kedokteran, turut mengembangkan genre ini. Berbagai penelusuran mereka, bersama kalangan jurnalis, meletakkan literary journalism lebih jauh lagi.

Immersion reporting, antara lain, diperkenalkan mereka. Teknik peliputan ini menjawab kritik, yang dilontarkan orang, pada new journalism. Kedalaman fakta, misalnya, mereka cari dan ungkap tanpa rekonstruksi. Tiap cerita sering diliput sejak awal. Si wartawan mendampingi orang-orang yang hendak dilaporkannya dari awal kejadian. Dari operasi otak manusia hingga kelahiran bayi yang mengalami kelainan. Dari membangun sebuah supercomputer hingga take over sebuah perusahaan. Tak ketinggalan bagaimana sebuah operasi militer dijalankan. Si wartawan meliput dari dekat bagaimana kejadian-kejadian itu berkembang.

Richard Preston, misalnya, dalam artikel The Mountains of Pi, di majalah The New Yorker, menampilkan ahli matematika Amerika keturunan Rusia, Gregory Volfovich Chudnovsky, yang bukan saja jago desain rumus “Pi kurang lebih sebesar 3.14” –sebuah angka dalam menentukan diameter lingkaran– tapi mencarinya dengan komputer hingga mendapatkan angka 3.1415926535897932384626433832795028841971693993751…. Chudnovsky pun tampil “dari tempat tidurnya” dan bicara dengan aksen Rusia.

Norman Sims, dalam The Art of Literary Journalism menjelaskan terjadinya perluasan konsep. Indikasinya terlihat dengan unsur kedalaman reportase (immersion reporting), teknik-teknik naratif yang membebaskan pandangan si wartawan, dan peningkatan standar akurasinya.

Pandangan penulis, yang tadinya disembunyikan, makin dibuka. Para penulis kian dimungkinkan hadir dalam cerita, kadang malah dengan ironi dramatis. Selain itu, perbedaan perspektif, suara, dan pengalaman, diangkat ke permukaan, dalam rincian yang mendalam. Sudut pandang orang pertama jadi tampil menguasai laporan, mengangkat perbedaan-perbedaan tersebut.

Pada 1984, literary journalism menciptakan karakteristik yang terdiri dari kedalaman reportase, akurasi, suara, struktur, tanggung jawab, dan representasi simbolik. Struktur pengisahan menjadi semakin kompleks, dan tak tertutup bagi suara penulis dilibatkan. Metode liputan pun telah mencampur gaya fiksi dengan etnografi, dalam mengakses simbolisme fakta, strategi riset, dan teknik-teknik pencariannya.

Nilai aktualitas makin ditekankan. Pembaca menjadi tamu-kedua yang menyaksikan sebuah pengalaman dituturkan penulis. “Literary journalism menjadi genre yang menghargai pembaca dan bacaan yang menjunjung kemandirian masyarakat,” nilai Mark Kramer, seorang wartawan sekaligus dosen Universitas Boston, yang menulis pengantar buku Literary Journalism: A New Collection of the Best American Nonfiction. Kekuatan prosanya tergantung pada penerimaan masyarakat terhadap cara kerja pelapornya. Nilai faktualitas diminta hadir, dan bisa ditelusuri.

Jurnalis kesastraan menggerakkan sikap tidak setertutup penulis novel. Pembaca langsung mengenali penulis dari tiap bagian tuturannya. Ketika penulis memakai gaya naratif, posisi “pengetahuan si penulis” menjadi sejajar dengan apa yang hendak disampaikannya di dalam laporan.

Dengan demikian, literary journalism semakin mendetailkan fakta, lebih bersifat naratif, dan dipenuhi dengan “keintiman suara” dari si penulis. Kompleksitas masyarakat disorot lebih dalam. Ia menjadikan informasi sebagai alat pengungkap pengalaman keseharian. Pembaca diserahkan untuk mendapat gambaran kehidupan lain, dalam konteks yang begitu dalam dan luas. Prosesnya mengajak pembaca dan penulis, seakan melihat sendiri, dengan penuh gairah, dan menjadi bijak.

“Saya sering mengklaim bahwa di sini terkait dengan nilai politis, yang sangat kuat nilai demokratisnya,” kata Kramer. Literary journalism menjadi sesuatu yang bersifat pluralistik, proindividual, antipemihakan, dan antielit. “Kebenaran ada di detail-detail kehidupan nyata.”

Maka itulah, jurnalis kesastraan kini berkeliaran, mewawancarai obyek, dengan teknik partisipan aktif dari antropologi.

Dalam kaitan semua itulah, immersion reporting memainkan peran penting dalam pengembangan literary journalism.

NARRATIVE journalism, kemudian, mencangkoknya. Jurnalisme ini menekankan kekuatan narator sebagai si pengisah.

Melalui peliputan yang immersion, narrative journalism membuka katup literary journalism. Yakni, lebih menegaskan lagi kehadiran penulis kepada pembacanya dari sejak awal kisah. Kekuatan ini, sebenarnya, bisa dilihat dari tulisan-tulisan literary journalism yang dibukukan Sims & Kramer

Kramer mengorganisir pelatihan narrative journalism, dan telah mengundang 700 lebih jurnalis dan penulis dari berbagai belahan dunia, untuk mendiskusikan pendekatan, teknik-teknik, dan patokan narrative journalism di Universitas Boston. Uraian Kramer sendiri telah menghasilkan empat buku, beserta artikel-artikelnya di The New York Times, Boston Globe, Atlantic Monthly, National Geographic and Outside, dan lainnya. Dia menyusun buku Literary Journalism, bersama Norman Sims, yang jadi bacaan di berbagai sekolah jurnalisme di perguruan tinggi Amerika Serikat.

Pada dekade 1990-an ini, perkembangannya cukup luar biasa. Para jurnalis, penulis, dan pengamat sosial, banyak yang tertarik oleh gaya narrative dalam menyajikan apa yang terjadi di masyarakat.

JURNALISME ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction.

Apa persamaan atau perbedaannya dengan literary journalism, atau creative nonfiction, or extended digressive narrative nonfiction?

“Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang antara keterampilan penuturan cerita dengan kemampuan seorang jurnalis dalam membuat drama, dan kegiatan mengamati segala orang, tempat, dan kejadian, yang nyata di banyak tempat dunia,” kata Robert Vare, seorang wartawan yang pernah jadi redaktur majalah The New Yorker dan The Rolling Stones, dalam sebuah diskusi tentang narrative journalism, yang dilaporkan majalah Nieman Reports.

Ia merupakan bentuk tercanggih dari penulisan nonfiksi, terutama dalam mengontrol kekuatan fakta, untuk teknik pengontruksian fiksi yang dilakukan secara naratif: dalam menata adegan, lukisan multidimensi karakter, dan terlebih penting, penyampaikan sebuah kisah yang menghadirkan suara (voice) yang ingin didengar pembaca.

“Jika saya mengatakan kepada kamu bahwa raja telah wafat, dan kemudian ratu wafat, ini bukan narrative. Tapi, jika saya mengatakan kepada kamu bahwa raja telah wafat, dan kemudian ratu wafat karena patah hatinya, ini adalah narrative,” kata Robert Vare. Jenis nonfiksi ini memang hendak menjembatani hubungan antara pelbagai peristiwa dengan pemaknaan dan emosinya.

“Narrative mengubah rumus 5W dan 1H,” ujar Roy Peter Clark dalam Nieman Reports. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera filem dokumenter.

“Pembaca tidak pernah dibodohi (dibohongi) oleh kisah-kisah mereka. Narrative mereka telah mengimplikasikan sebuah kesepakatan bahwa kelayakan kisah mereka dibuat berdasar kecermatan dan kejujuran,” lanjut Clark.

Dalam sejarah jurnalisme di Amerika Serikat, majalah merupakan pemakai awal kekuatan narrative, menurut Robert Vare. Lalu ia dipakai dalam penulisan buku dan sejak 1990-an ia mulai banyak dipakai oleh suratkabar harian yang merasa butuh laporan-laporan panjang, mendalam, guna menerangkan isu-isu penting kepada pembacanya.

Majalah Texas Monthly dan Philadelphia adalah penggunanya. Diselingi kejutan-kejutan majalah Rolling Stone, yang misalnya menerbitkan karya John Colapinto tentang ketragisan hidup pasangan interseksual "The True Story of John/Joan." Juga, majalah Harper′s dan Outside, serta majalah selebritas Esquire, bahkan majalah olah raga Sports Illustrated.

Pada 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, berbagai majalah Amerika menampilkan gaya naratif lewat, misalnya, The New Yorker di bawah William Shawn, Esquire di bawah Harold Hayes, Harper′s di bawah Willie Morris, Rolling Stone di bawah Jann Wennerall. Beberapa buku yang terkenal juga muncul pada era ini. Misalnya karya Norman Mailers "The Armies of the Night," David Halberstam "The Best and the Brightest," Michael Herr "Dispatches," Tracy Kidder "The Soul of a New Machine."

Dunia suratkabar lalu menyentuhnya. Orang-orang koran secara energik melakukan pengembangan, dalam ruang feature mereka, maupun serial laporan.

Para redaktur koran tertarik karena permasalahan bisnis suratkabar. Mereka dirudung masalah sirkulasi yang stagnan, persaingan dengan televisi, pangsa pembaca yang itu-itu juga, dan bacaan yang dinilai membosankan. “Semua itu menghiasi tampilan dan isi banyak koran di lebih satu dekade ini,” ujar Mark Kramer.

Bagi suratkabar, narrative journalism dipakai untuk menambah kekuatan sajian koran, yang harus menjangkau pembaca dari segala lapisan. Lewat narrative, orang koran berupaya memperbaiki ulasan pemberitaannya. Selalu mencoba mengajak keterlibatan pembacanya, agar mau tetap setia.

Roy Peter Clark menurunkan sejumlah argumentasi penting untuk menyodorkan pentingnya narasi. Argumentasi Clark ini dipakai untuk melawan argumentasi konvensional yang biasa dipakai para redaktur suratkabar:

• Beri pembaca berita yang mereka inginkan. Bukan, beri pembaca apa yang mereka butuhkan. (Give readers the news they want. No, give them what they need.

• Grafik adalah jawabannya. Bukan, penulisan adalah jawabannya. (Graphics are the answer. No, writing is the answer.)

• Ini sebuah suratkabarnya para penulis. Bukan, ini sebuah suratkabar para editor. (This is a writers′ paper. No, it′s an editors′ paper.)

• Jurnalisme investigastif. Bukan, jurnalisme sipil (Investigative journalism. No, civic journalism.)

• Kisah yang panjang. Bukan, kisah yang pendek. (Longer stories. No, shorter stories.)

• Tekankan di penulisan. Bukan, reportase. (Concentrate on writing. No, reporting.)

• Tingkatkan kualitas. Bukan, arahkan ke profit. (Improve quality. No, focus on profits.)

Maka itu, di ruang redaksi suratkabar, menurut Mark Kramer, berkembangnya narrative journalism biasanya dimulai dengan hal-hal sebagai berikut: Pada tema apa dan teknik bagaimana naratif digunakan? Proses reportasenya bagaimana? Siapa yang akan menuliskannya dan siapa mengeditnya?

Banyak editor yang ketakutan ketika hendak memulai laporan yang naratif karena asumsi bahwa itu tak relevan, tak esensial, dan tak mendasar. Mereka tak mau membuka diri terhadap gaya-gaya baru, yang justru komersial. Padahal, banyak berita memiliki daya tarik bila menggunakan potongan-potongan narrative. Daya tarik laporan narrative bakal mengajak pembaca untuk masuk secara langsung ke dalam ilusi kisah. Paparan naratif juga akan banyak mengangkat materi laporan, nuansa kehidupan, bukan untuk laporan yang menonjol melainkan hal-hal yang biasa dilakukan orang-orang biasa.

Infrastruktur keredaksian mesti membantu kemandirian wartawan di lapangan, dalam mengejar kedalaman peristiwa yang ditangkap secara personal.

Narrative journalism memerlukan ambisi si wartawan, yang tak dibebani rutinitas redaksi. Ia harus membangun, dan memegang, kontak personal dengan pembacanya. Liputan yang dilaporkannya harus jadi pengalaman unik yang personal sifatnya. Ia tak hanya mengenali subyek liputan sebagai materi jurnalistik akan tapi mengenali mereka dengan keintiman orang yang memang dekat. Dari paragraf awal sampai akhir, ia menyajikan pengalaman tersebut kepada pembaca, dalam gaya yang laporan yang tetap terkontrol, matang, dan terkadang lucu.

Sejak itu, menurut Mark Kramer, narrative journalism telah membangun gengsi reportase koran. Menjadi kekuatan jurnalisme cetak, menaikkan gengsi halaman-halamannya, dan termasuk reportasenya.*

kembali keatas

by:Septiawan Santana Kurnia