AWAL September 2000. Sebuah berita dimuat koran-koran: polisi menangkap Adrie Taniwidjaya, seorang insinyur teknik fisika lulusan Institut Teknologi Bandung. Ia dituduh mencuri pulsa telepon.

Penangkapan bermula dari aktivitas Taniwidjaya mengoperasikan Voice over Internet Protocol (VoIP), suatu temuan teknologi terkini yang memungkinkan konsumen berhemat besar-besaran saat berhubungan telepon. Untuk jangkauan lokal, telepon VoIP mungkin tidak istimewa-istimewa amat. Tapi cobalah gunakan untuk SLI (sambungan langsung internasional), seumpama ke Amerika Serikat. VoIP hampir dapat dipastikan super irit. Orang hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp 2.000 per menitnya atau kurang lebih 20 persen dari tarif normal.

Onno Widodo Purbo punya cara sederhana untuk menjelaskan mengapa VoIP tidak bisa diidentikan dengan pencurian pulsa. Ia mengambil analogi bisnis kendaraan bus. Taruhlah PT Telkom sebagai pengusaha bus, yang kemudian menyewakan busnya kepada seseorang. Si penyewa bisa saja mengubah kapasitas kursinya, yang semula diperuntukkan tiga orang menjadi delapan orang.

VoIP dengan sendirinya tidak bisa dianalogikan memparalelkan saluran telepon atau mencatut listrik milik Perusahaan Listrik Negara, seperti dituduhkan polisi. Ini karena pengusaha VoIP tetap menggunakan kabel telepon secara biasa, membayar abonemen secara biasa dan membayar tagihan pulsa pun secara biasa. Yang tak biasa, lalulintas data suara VoIP diatur oleh provider internet atau ISP (internet service provider).

“Adrie enggak salah apa-apa kok. Tuduhannya kan mencuri pulsa. Padahal leased line dia bayar ke Telkom, padahal akses internet dia bayar ke ISP-nya, padahal abodemen telepon dia bayar ke Telkom, engga ada pulsa yang dicuri,” ungkap Purbo.

Purbo bukan anonim dalam jagat telematika. Bersama Asia Internet Interconnection Intiatives (AI3) Project, organ riset internet paling berpengaruh di Asia, dan Computer Network Research Group (CNRG), lembaga yang diprakarsainya, Purbo ikut memberikan cetak biru terhadap pengembangan internet di Indonesia.

Untuk ketekunan dan kepakarannya, sederet penghargaan telah diraihnya. Sebut saja Golden Award for Indonesian Telematika Figure dari Kamar Dagang Indonesia (2000), ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award dari ASEAN Federation of Engineering Organization (1997), atau Penghargaan Pemenang Adhicipta Rekayasa dari Persatuan Insinyur Indonesia. Ia juga tercatat dalam buku American Men and Women of Science (1992). Masyarakat internet bahkan menggelarinya “profesor internet”, sebagian mendaulatnya jadi “menteri internet” —suatu penghargaan yang acap membuat Purbo merasa geli.

“Modal saya,” kata pria yang biasa menuliskan namanya Onno W. Purbo ini, ”betul-betul modal dengkul. Saya tidak pernah belajar formal tentang teknologi informasi, tidak pernah belajar formal tentang internet. Saya jelas lebih bodoh daripada adik-adik mahasiswa di ITB. Lha wong sering nanya ke mereka kok saya ini. Terus terangnya, saya praktis tidak punya apa-apa secara formal.”

Purbo agaknya telah memperkaya khazanah humor dunia, melengkapi dongeng Albert Einstein yang mampu menciptakan teori relativitas yang terkenal itu padahal dia pernah mendapat nilai D untuk fisika; atau kisah pemikir ekonomi kaliber doktor sekelas Karl Marx yang justru berkubang dalam kemiskinan.

ONNO W. Purbo tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu dan memuliakan pendidikan. Ia sulung dari tiga adik: Heru Wibowo Poerbo, Lita Widayanto Poerbo, dan Benyamin Wirawan Poerbo. Empat bersaudara ini menamatkan program kesarjanaannya di Institut Teknologi Bandung. Nama Poerbo yang mereka sandang berasal dari ayahnya, Hasan Poerbo; juga alumnus Institut Teknologi Bandung. “Semua anak ibu memakai ejaan seperti bapaknya. Hanya dia sendiri tuh yang ndak mau,” ungkap Tini H. Poerbo, sang ibu, menerangkan ‘keganjilan’ ujung nama si sulung.

Poerbo senior meninggal tahun lalu dalam usia 74 tahun. Jabatan terakhirnya, direktur Pusat Penelitan Lingkungan Hidup, lembaga subordinan kementrian negara lingkungan hidup, yang pernah dikendalikan salah seorang teman lamanya, Emil Salim.

Sebagian besar waktu Poerbo dihabiskan untuk mendidik—seperti juga leluhurnya, Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, lembaga pendidikan bumi putra di zaman kolonial Belanda. Sebagai pendidik, Poerbo mengajar di Institut Teknologi Bandung, selain di Universitas York, Amerika Serikat dan Universitas Waterloo, Kanada.

Hasan Poerbo disebut-sebut orang pertama dari Indonesia yang berhasil menembus program beasiswa Universitas Liverpool, Inggris, salah satu institusi pendidikan tinggi terbaik Inggris. Ia meraih master dalam studi desain perencanaan kota, melengkapi kesarjanaannya dalam disiplin arsitektur. Selama belajar di sana, ia sempat digoda Presiden Soekarno untuk pulang. Keahlian Poerbo diperlukan untuk menggarap sejumlah proyek mercusuar sebagai bagian dari propaganda politik Soekarno dalam menghadapi kekuatan Barat. Poerbo tak bergeming. Ia memilih belajar sampai khatam.

Rezim Presiden Soeharto, yang agaknya mencium juga potensi kepakaran dalam diri Poerbo, hendak merangkulnya. Namun, kasus Taman Mini Indonesia Indah menyurutkan langkah Poerbo untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.

Masih segar dalam ingatan Tini, suatu sore rumahnya didatangi sejumlah orang yang mengatasnamakan utusan Soeharto, presiden kedua Indonesia. Mereka meminta Poerbo untuk segera ke Jakarta menemui orang nomor satu itu. Dengan bekal uang belanja sehari-hari, Poerbo berangkat. Tak tahunya, ia harus menghadap Tien Soeharto, ibu negara, yang selama ini sering menghubunginya via sejawatnya di Institut Teknologi Bandung. Tien Soeharto mengemukakan keinginannya untuk membuat sebuah miniatur semacam kompleks Madurodam di Belanda, yang kelak dinamakan Taman Mini Indonesia Indah.

Poerbo menyanggupi. Syaratnya, pembangunan dilakukan pada rencana pembangunan lima tahun berikutnya. “Sebaiknya tidak sekarang,” kata Poerbo sebagaimana dikutip Tini, “sekarang ini masanya kita mengembangkan sarana dan prasarana untuk pembangunan ekonomi, sekolah-sekolah dan puskesmas.” Puskesmas yang dimaksud adalah pusat kesehatan masyarakat, klinik tempat orang berobat yang sebagian besar dana operasinya ditanggung oleh pemerintah.

Tien Soeharto berang. Tanpa basa-basi lagi, ia meninggalkan tempat pertemuan. Malang bagi Poerbo. Ia tak urung kena interogasi pasukan pengawal kepresidenan dan aparat intelijen selama dua hari. “Saya cemas. Tapi saya bersyukur akhirnya dia pulang. Soalnya, dulu itu, yang kontra suka dibuang ke pulau Buru. Bapak diselamatkan oleh Ali Sadikin,” ungkap Tini, mengacu pada nama seorang gubernur Jakarta yang populer dan pada 1980-an dikenal sebagai pentolan kelompok pembangkang Petisi 50.

Di mata anak-anaknya, Tini—bersepupu dengan Karlina Leksono, aktivis masalah perempuan dari Suara Ibu Peduli, istri Ninok Leksono, wartawan Kompas—ibu yang penuh tanggung jawab. Ia memilih berhenti mengajar di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta kemudian memusatkan diri sepenuhnya pada rumah tangga. Ia menjadi pengasuh yang teliti bagi anak-anaknya, dan manajer yang cekatan bagi suaminya. Seluruh kegiatan suaminya, ia organisasikan dengan rapi mulai jadwal memberikan kuliah, menyampaikan ceramah di luar kampus, sampai merapikan buku, makalah, dan karya tulis lainnya. Di kemudian hari, Tini menjadi prototipe buat para istri anak-anaknya.

PADA Jumat Kliwon, 17 Agustus 1962, menjelang subuh di Bandung. Onno W. Purbo lahir dari sebuah kecelakaan. Sang ibu terpleset gara-gara menginjak sabun kala usia kandungannya masih delapan bulan. “Bleeding. Darah di mana-mana,” kenang Tini.

Sebagai anak yang lahir prematur, Purbo harus hidup dalam inkubator. Setelah beberapa hari, ia harus diangin-anginkan untuk mendapat udara yang cukup dan mempertinggi kekebalan tubuhnya. Pelan-pelan Purbo jadi bayi normal. Namun, memasuki usia ke seratus hari, Purbo terserang batuk ganas. Mulutnya tak jarang mengeluarkan darah segar. Padahal, di kandungan ibunya sebentar lagi akan lahir seorang adik. “Ibu melahirkan setahun sekali,” ucap Tini.

Sigap, Purbo segera dilarikan ke eyangnya di Jakarta. Selama berbulan-bulan, Purbo diselimuti panasnya udara Jakarta. Ini ternyata banyak menolong memulihkan kesehatannya. Pada usia 11 bulan, Purbo ditarik ke Bandung. Empat tahun kemudian ia disekolahkan.

Masa sekolah dasar dan menengah Purbo dihabiskan di lembaga pendidikan Taruna Bakti. Semuanya di Bandung. Selama sekolah, prestasi Purbo biasa-biasa saja. Sekalipun demikian, Purbo tak pernah dipaksa-paksa untuk belajar lebih giat lagi.

“Penggunaan otak optimal nanti saja saat kuliah. Kalau masih sekolah, biarkan saja apa adanya. Yang penting, harus ditumbuhkan keberanian berpikir dan mengambil inisiatif. Jangan lupa pula aspek rekreatifnya,” kata Tini.

Tini biasa memberikan lalapan daun antanan tiga lembar sehari agar Intellegence Quotient (IQ) anaknya berkembang. Antanan, yang berdaun seluas kuku jempol, ini banyak ditanam di halaman belakang rumahnya, di Bandung. “Khasiat Antanan sudah diriset di Beijing lho.”

Dan soal otak, Tini punya kisah yang tersimpan dalam benaknya.

Saat Purbo duduk di kelas keempat sekolah dasar, gurunya datang ke rumah. Sang guru mengeluhkan Purbo yang berkali-kali tidak menyetorkan PR (pekerjaan rumah). Katanya, selain bisa menghadirkan preseden jelek buat teman-temannya, hal itu pun besar kemungkinan akan melahirkan kebiasaan buruk bagi Purbo sendiri. Ia bisa menjadi siswa malas.

“Kenapa ndak mengerjakan PR?”tanya Tini saat sarapan. Bagi keluarga Hasan Poerbo, acara sarapan, demikian pula makan siang, bukan sekadar mengisi perut, tapi juga ajang komunikasi dan berbagi hati.

“Pusing,” Purbo buka mulut.

“Pusing? Pusing tidak bisa atau pusing…”

“Pusing aja.”

“Maksudnya sakit? Pening gitu?”

Purbo mengangguk.

Pertanyaan yang sama diulang-ulangnya. Jawaban Purbo tetap itu-itu juga.

Tini memutuskan membawa Purbo ke dokter. Sekurang-kurangnya, kata dokter, ada sepuluh penyebab sakit kepala, di antaranya duduk siswa yang terlalu jauh dari papan tulis atau justru terlalu dekat. Bahkan mata kena kapur tulis pun bisa membangkitkan rasa pusing. Nasihat dokter berikutnya yang masih diingat Tini kurang lebih, “Bawa saja anak ibu ke dokter bedah. Di sana kan ada rontgen.”

“Dokter bedah?” Tini terbeliak.

Berat hati campur deg-degan, Tini melarikan Purbo ke dokter bedah. Kepala Purbo difoto. Bertolak dari rontgenogram, dokter menyarankan agar otak Purbo dibedah saja.

“Dibedah?” Tini makin terbeliak.

Ragu-ragu dengan diagnosis dokter, Tini meminta foto ulang, sekalipun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Tidak sia-sia. Gambar yang dihasilkan kali ini benar-benar menggembirakan. Tak ada bintik apa pun di otak Purbo. Ia dinyatakan tak memiliki kelainan. Tapi hasil itu tidak membuat rasa pening di kepala Purbo jadi berkurang. Tini pun mengikuti saran dokter agar Purbo diperiksakan juga ke dokter mata. Tini tahu akhirnya, ternyata ada kelainan di mata Purbo.

“Sejak itu ia memakai kacamata,” kata Tini.

KETIKA lulus dari Institut Teknologi Bandung, Onno W. Purbo menyandang predikat mahasiswa terbaik fakultas teknik elektro. Itu tahun 1987. Ditengok ke belakang, predikat tersebut sepertinya lebih merupakan buah dari keuletannya. Sejak duduk di bangku kelas tiga menengah pertama, Purbo memang sudah memformat otaknya dengan pernak-pernik elektronik. Ia mulai dengan mengotak-atik tabung radio bekas pakai; mencoba membuat pesawat radio amatir. Ia berhasil mewujudkan impiannya meski hanya bisa berkomunikasi lewat bahasa morse.

Di sekolah menengah akhir, keahliannya makin terasah, terutama setelah dia mendapat buku elektronika dari teman sekelasnya, Krishna Ariadi Pribadi. Berbagai tabung radio bekas pakai, ia kumpulkan dengan tekun untuk dirakit jadi pesawat radio amatir. Waktu perakitan hanya memerlukan waktu dua hari. “Yang lama cari komponennya,” kata Purbo.

Menjelang masuk perguruan tinggi, Purbo memanen lagi buah keuletannya. Ia tidak hanya mampu membuat pesawat, tapi juga pemancar. Bahasa verbal brik-rojer-kopi pun akhirnya meminggirkan tat-tit-tut morse. Purbo hampir tak punya lagi kendala untuk mengudara. Ia merasa, radio amatirlah yang membentuk karakter dan pola pengembangan diri dalam berinteraksi dengan dunia elektronika, termasuk komputer yang mulai dikenalnya sejak tahun 1981.

Perkenalan dengan komputer diawali oleh persahabatannya dengan Bachti Alisyahbana, putra Iskandar Alisyahbana, salah seorang guru besar Institut Teknologi Bandung. Tidak hanya mencoba menjalankan dan menangguk kegunaannya, Purbo yang dasarnya suka ‘ngoprek’, mengobok-obok komputer itu. Di lain waktu, ia mencoba membuat program BASIC (Beginner’s All-purpose Symbolic Instruction Code), bahasa program aljabar sederhana dan mudah dipahami, yang kemudian banyak diaplikasikan dalam penghitungan bisnis dan industri.

Merasa dirinya banyak dibantu oleh teman-temannya, terutama fasilitas peralatan elektronik, suatu hari ia datang kepada ayahnya untuk meminjam kendaraan. Ia mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Jakarta, membeli komputer. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung: 10 unit. Uang pembelian berasal dari hasil patungan dengan teman-teman kuliahnya. Komputer-komputer inilah yang turut menghidupkan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa di lingkungan fakultas teknik Institut Teknologi Bandung. Satu komputer, disewakannya Rp 500 per jamnya. Untuk urusan ini, Purbo sampai memutuskan cuti kuliah selama satu semester.

Tahun 1985, Purbo mulai menaruh perhatian besar pada pengembangan gabungan teknologi radio dan komputer. Hingga menjelang kuliahnya berakhir, di udara ia melakukan kontak intens dengan amatir radio senior seperti Robby Soebiakto dan Achmad Zaini atau IGK Manila untuk berdiskusi. Dari diskusi dan belajar informal, Purbo mendapat banyak pengetahuan.

Bersama teman-teman udaranya, ia merintis teknik komunikasi gelombang 40 meteran (27 MHz). Teknik ini dikenal sebagai packet radio. Modusnya, radio disambungkan ke komputer lewat modem. Ia terkagum-kagum melihat layar komputer bisa bercakap melalui kibor.

“Itu mula pertama saya berkenalan dengan teknik komunikasi data yang relatif canggih,” katanya.

Pada saat itu, kenang Purbo, jumlah amatir yang menggunakan packet radio dapat dihitung dengan jari. Asal tahu saja, Organisasi Radio Amatir (Orari) pertama di Indonesia yang bekerja di packet radio adalah Lokal Orari Cibeunying, yang dibangun Purbo bersama kawan-kawannya.

Tak sebatas kongko-kongko dengan sejawatnya di dalam negeri, Purbo pun menjalin komunikasi dengan amatir di luar negeri. Pada tahap ini, Purbo memang sudah sampai pada penggunaan jaringan media penyimpanan dan pengiriman PBBS (Packet Bulletin Board System) amatir radio, yang kini lebih dikenal dengan email.

“Komunikasi digital sederhana ini,” ungkapnya, “kami lakukan di tahun 1986, mungkin belum terbayangkan oleh sebagian besar dari kita yang menikmati internet pada hari ini. Kekaguman demi kekaguman terus dirasakan dan mendorong untuk terus membaca dan mempelajari teknik-teknik komunikasi data secara otodidak.”

Selepas Institut Teknologi Bandung, Purbo berangkat ke Kanada untuk meneruskan program belajar strata 2 (S-2). Ia merasa beruntung memilih kota kecil Hamilton. Di sana, ia satu-satunya orang Indonesia. Ini memaksanya untuk lebih fasih berbahasa Inggris. Lebih beruntung lagi, di kota tersebut terdapat perkumpulan packet radio yang terbilang aktif: Hamilton Amateur Packet Network yang mengembangkan peralatan packet radio sendiri. Purbo tertarik dan bergabung.

Purbo memandang perlu mendalami sisi teknologisnya, kemudian menafsirkannya dalam bahasa sederhana, agar pengetahuan itu bisa dibagikan kepada siapa saja yang sehobi. Baginya, teknologi radio mendesak untuk dimasyarakatkan dan digunakan seoptimal mungkin untuk mengatasi kendala-kendala komunikasi di Indonesia, yang dideterminasi oleh hambatan geografis dan psikografis masyarakat.

Hambatan geografis yang dimaksud adalah luasnya wilayah, yang belum terkoneksi semuanya oleh infrastruktur transportasi. Sedangkan hambatan psikografis lebih disebabkan oleh masih banyaknya warga yang masih buta huruf, selain masih rendahnya budaya baca. Kedua hambatan ini sulit dipenetrasi oleh suratkabar atau media-media cetak lainnya. Radio dan televisi, yang ditakdirkan bekerja melalui gelombang udara, jelas dapat diandalkan untuk menerobos kendala ruang dan waktu.

Masalahnya, tutur Purbo, di Indonesia, gelombang udara diidentifikasi sebagai sarana transportasi udara dan menjadi sumber daya alam yang “terbatas.” Hanya mereka yang punya uang yang dapat berkarib dengan regulasi. Pertumbuhan radio jadinya sulit berkembang. Praktis, sirkulasi informasi berjalan lamban.

Ceritanya akan lain, sekiranya rakyat kecil di pedesaan diberi keleluasaan untuk membuat pemancar-pemancar siaran. Tak perlu berkekuatan pancar 100 kilowatt seperti izin yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha radio, rakyat di dusun cukup diberi 10 watt saja. Mungkin tidak bisa digunakan untuk adu gengsi, tapi kekuatan sebesar itu sudah cukup untuk menghidupkan komunikasi interaktif, prasarat utama terbentuknya masyarakat informasi.

DARI Kanada, pada 1994, Purbo membawa pulang dua gelar akademik. Dari Universitas McMaster, ia meraih master dalam bidang laser semikonduktor dan fiber optik. Dari Universitas Waterloo, ia mendapatkan doktor dalam bidang devais silikon dan rangkaian terintegrasi.

Hasil pendidikan memberinya spirit dan tenaga baru untuk ikut membenahi sistem jaringan komputer dan internet di Indonesia. Ia memulainya dari lingkungan terkecil, Institut Teknologi Bandung, tempat dirinya mengabdi. Purbo segera tenggelam dalam riset-riset yang digalang Asia Internet Interconnection Intiatives Project. Bermarkas di Jepang, jaringan kerja riset antar negara ini dimotori oleh dua samurai internet: Jun Murai, pelopor internet pendidikan di Jepang, serta Suguru Yamaguchi, ilmuwan muda berusia 30 tahun. Yamaguchi adalah pemimpin langsung jaringan ini. Di Institut Teknologi Bandung, satuan tugas jaringan dipimpin Widiadnyana Merati, ketua lembaga penelitian setempat.

Institut Teknologi Bandung punya rencana besar, yakni membangun pintu gerbang internet pendidikan untuk mengkoneksikan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dalam suatu kesatuan sistem informasi. Tahun 1996, gateway berhasil dibangun dengan total kecepatan 2 Mbps. Ini sebuah lompatan besar, jauh melampaui total kecepatan provider-provider internet semacam RadNet (512 Kbps), IndoNet (256 Kbps) atau CBN-Net (256). Lebih-lebih dibanding Wasantara-Net Bandung milik PT Pos Indonesia yang hanya berkekuatan 128 Kbps. Seperti Anda tahu, bps atau bit per second adalah satuan yang dipakai untuk menunjukkan kecepatan pemindahan data di antara komputer yang saling berkoneksi. Huruf M dan K di depannya merujuk pada bilangan romawi untuk mega dan kilo.

Pembangunan gateway itu bernilai strategis, agaknya. Purbo menditeksi, topografi internet Indonesia lebih didominasi oleh pengguna komersial dan pendidikan, yang secara geografis terkonsentrasi di Jakarta dan Bandung. “Menarik sebetulnya untuk ditelaah lebih lanjut, bahwa ternyata user Jakarta didominasi oleh user ISP komersial, sedang di Bandung didominasi oleh user perguruan tinggi, khususnya ITB,” katanya.

Pertumbuhan internet Institut Teknologi Bandung, yang sekaligus menjadi tiang pancang pembangunan internet pendidikan di Indonesia, tentu saja tak dapat dilepaskan dari Computer Network Research Group (CNRG), sebuah organisasi riset informal, yang didirikan Purbo bersama rekan-rekannya pada 1994.

Sekalipun mengambil domisili di Institut Teknologi Bandung dan diawaki seluruhnya oleh orang-orang Institut Teknologi Bandung, CNRG hampir tidak pernah mendapat dana riset dari perguruan tinggi tertua di Indonesia itu, kecuali dana awal sebesar Rp 100 juta yang dialirkan oleh lembaga penelitiannya. “Sebagian besar kegiatan pembangunan ini dilakukan secara mandiri dan swadana. Praktis tidak melibatkan langsung Bank Dunia, IMF, ADB. Hal ini paling tidak mengurangi rasa berdosa kepada rakyat,” kata Purbo, mengacu pada tiga lembaga keuangan internasional yang banyak membantu Indonesia: Bank Dunia, International Monetary Fund, dan Asian Development Bank.

Buat Purbo, riset swadana bisa menghasilkan energi kreatif yang tak terkira. Semua yang terlibat tak perlu harus cemas dikejar target. Dengan begitu, inisiatif dapat berkembang bebas, inspirasi mengalir lepas. Segera Purbo membuktikan kata-katanya.

Institusi itu, yang ia sebut OTB alias organisasi tanpa bentuk, selain menjadi salah satu organ pendorong jaringan internet pendidikan di Indonesia yang mengaitkan 25 lembaga pendidikan, juga menjadi produsen informasi yang lumayan disegani. Sekitar 20 buku panduan mengenai konsep jaringan dan internet diluncurkan ke hadapan publik dalam bahasa dan metode sederhana, dengan harga sederhana pula: antara Rp 15 ribu-Rp 20 ribu per buku. Taruhlah konsep jaringan tanpa kabel (wavelan) atau konsep tentang warung internet, yang pada Februari 2001 lalu memasuki cetakan kelima dan masuk dalam daftar buku best seller untuk ukuran bacaan panduan.

Pada saat yang sama, ribuan artikel disebarkannya lewat majalah atau koran, selain dalam CD-ROM berkat uluran tangan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia. Sejumlah hasil penelitian lain, dipresentasikannya dalam berbagai seminar, workshop, konferensi, dengan frekuensi rata-rata satu sampai tiga per minggu.

Di awal tahun 1999, ketika Purbo mengepalai Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Bandung, ia membawa sempalan eksponen CNRG untuk mengembangkan pengelolaan perpustakaan di KMRG (Knowledge Management Research Group). Ekornya, Digital Library & Library Network terbentuk. Jaringan ini merangkaikan sedikitnya 20 unit perpustakaan di seluruh Indonesia. Ismail Fahmi, sejawat Purbo, lantas memotori etape selanjutnya hingga menjelma jadi IDLN (Indonesia Digital Library Network).

Sepeninggal Purbo, CNRG memegang rol penting dalam pembangunan jaringan serat fiber optik sepanjang 11 kilometer, yang menyatukan kawasan kampus ke dalam sebuah komunitas virtual. Berkah buat warga Institut Teknologi Bandung. Mereka bisa menikmati internet supercepat untuk ukuran seumumnya di Indonesia dengan harga superhemat: Rp 10.000 per bulan.

Jangan lupa, di tingkat elit, CNRG pun mengaum. Lembaga riset yang menempati beberapa petak ruangan gedung Pusat Antar Universitas Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung ini memang ikut berbicara dalam komisi regulasi telekomunikasi, serta regulasi internet di Indonesia.

“Tapi…yang menurut saya paling berkesan adalah pemantauan pemilu,” kata Basuki Suhardiman, sejawat Purbo yang kini mengendalikan CNRG. Pemilu yang dimaksud adalah pemilihan umum di Indonesia pada 1999, saat Habibie, presiden ketiga Indonesia, berkuasa.

Saat itu CNRG digandeng Forum Rektor. Peran yang dimainkannya melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan umum dari berbagai wilayah. Untuk peran ini CNRG sama sekali tak dibayar. Padahal, ditilik dari angka PvT (Parallel vote Tabulation), pemilihan umum di Indonesia jelas termasuk yang terbesar di dunia karena melibatkan 300 ribu tempat pemungutan suara dan 9.000 di antaranya dijadikan sampel PvT. Sampel ini diperlukan untuk melihat validitas data perhitungan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

“Data-data inilah yang bisa diterima Carter Center,” ujar Suhardiman.

Carter Center, bikinan mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, adalah salah satu lembaga internasional yang turut memantau pemilu 1999. Bersama beberapa organisasi nirlaba Amerika Serikat lainnya, mereka mendapat dana besar-besaran dari United States Agency for International Development, lembaga dana milik negara raksasa itu, untuk memantau pemilihan umum di Indonesia.

“Kalau nggak ada data-data itu?”

“Mungkin no opinion,” Suhardiman mengangkat bahu.

TAHUN 1999 adalah periode penting dalam hidup Onno W. Purbo. Ia menikahi Nurlina, seorang perempuan gesit, staf salah satu lembaga swadaya masyarakat yang mengorganisasikan dana internasional untuk sejumlah organisasi di Indonesia. Ini pernikahan kedua bagi Purbo, setelah dua tahun menduda. Sebelumnya, Purbo menikah dengan Nita Trejuningdyah pada 1988.

“Enak sekarang. Ada yang ngurus,” komentarnya, pendek.

Nurlina agaknya tahu impian Purbo selama ini. Itu sebabnya, ketika Purbo diberhentikan dengan hormat dari statusnya sebagai pegawai negeri sipil di Institut Teknologi Bandung, Nurlina kalem-kalem saja. Sekalipun tetap di Institut Teknologi Bandung, Nurlina tidak yakin Purbo bisa berkembang.

Nurlina mengungkapkan, pada mulanya Purbo hanya menginginkan mundur dari dosen tetap saja, untuk kemudian menjadi dosen paruh waktu. “Tetapi ternyata malah diberhentikan sebagai PNS.”

Basuki Suhardiman mengesani adanya kecelakaan dalam kasus ini. Menurutnya, akan lain kisahnya bila Purbo membicarakan dulu rencana-rencananya dengan petinggi-petinggi Institut Teknologi Bandung. “Semuanya bisa dibicarakan dulu. Tapi Pak Onno selama ini diam saja dan memilih memakai jalur surat. Ya…di atas juga yang gila tidak kurang,” kata Suhardiman. Ia memelankan suaranya, “Kita doakan saja biar dia selamat.”

Purbo berada berada di lingkungan Institut Teknologi Bandung sebagai pegawai negeri sipil sejak tahun tahun 1989. Lantaran tak pernah mengurusi kenaikan pangkat, dalam 11 tahun perjalanan karirnya, Purbo hanya mampu menempati jenjang kepangkatan III-B atau hanya beda satu tingkat dari lulusan strata 1 (S-1) yang begitu menjadi pegawati negeri langsung III-A. Jabatan terakhir yang diemban Purbo adalah kepala Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Bandung.

Total gaji yang diterima Purbo sebagai pegawai negeri sipil dan kepala perpustakaan sebesar Rp 760 ribu. Jumlah ini jauh lebih kecil dari penghasilannya sebagai penulis artikel, buku, penceramah, selain konsultan teknik jaringan komputer dan internet. Sekadar contoh, satu buku saja—berukuran semi pocket setebal 150-an halaman—Purbo dibayar sekitar Rp 3 juta.

Kalau Purbo bersikap enteng-enteng saja terhadap pemberhentian dirinya, itu barangkali bukan lantaran ia merasa jalan hidup yang ditempuhnya bakal bertabur rupiah. Ia menerjemahkan pemberhentian tersebut lebih sebagai suatu permulaan untuk membumikan prinsip-prinsip yang diyakininya selama ini. Prinsip-prinsip untuk menyebarkan ilmunya ke masyarakat tanpa sekat-sekat birokrasi dan akreditasi.

“Selama mengajar di ITB dan memberikan seminar di luar,” ungkap Purbo, “lama-lama melihat ada gap dari sisi keilmuan antara ITB dengan masyarakat umum.”

Dalam pandangannya, tantangan terbesar di era cepat ini adalah bagaimana mensintesa secara serius ilmu pengetahuan untuk disebar kepada masyarakat secepatnya, seluas-luasnya. Siklus perputaran pengetahuan yang sangat cepat, apalagi didukung teknologi informasi seperti internet, perpustakaan digital, dan manajemen yang tertata dengan rapi, akan melahirkan umpan balik berupa kritik masyarakat. Berbasis kepada umpan balik, pemurnian pengetahuan kemudian dilakukan dengan menjalani siklus tersebut berkali-kali, hingga pengetahuan yang dihasilkan kian hari kian baik

Kunci menuju sistem distribusi pengetahuan semacam tadi menurut Purbo adalah dengan membuka katup-katup proteksi ilmu pengetahuan. “Proteksi knowledge seperti hak cipta, paten dan akreditasi bukan mustahil justru pada akhirnya akan menghambat percepatan siklus pengetahuan dalam platform informasi yang demikian cepat.”

Itulah nasihat terakhir Purbo buat Institut Teknologi Bandung. Juga dirinya.

KARIER akademik Onno W. Purbo mungkin berakhir. Tapi, komitmennya untuk membuat masyarakat pintar, setidaknya melihat lima juta anak bangsa masuk ke internet, belumlah padam. Untuk ini, ia memilih jalan lain, di luar jalur formal seperti memberikan kuliah di kampus-kampus. Jalan itu menulis.

Purbo membubuhi kepala emailnya: “Independent Writer.”

“Saya manusia malam,” ujar ayah dari Ito, Reza, Atik, Dery, dan Dzaq, ini mengungkapkan caranya mengatur waktu. Ia menjelaskan, normalnya ia berangkat tidur pukul 21.00 dan bangun pukul 02.00. Di sela-sela keheningan, ia mengkonsentrasikan pikirannya menggauli bahasa, ikon, dan lambang-lambang ilmu pengetahuan untuk dituangkan ke dalam karya tulis dengan deskripsi sederhana, sehingga dapat disimak oleh mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.

Tulisan-tulisan Purbo tersebar di berbagai media, seperti Kompas dan detikcom. Ia tak tertarik untuk mengarsipkan, apalagi menerakan hak cipta (copy right) terhadap karya-karyanya. “Saya sih copy left atau copy wrong saja…hehehe,” ujarnya. Selain tak punya waktu, ia tak yakin arsipnya akan terawat dengan baik. “Sekalinya bikin hard copy, dibuat berantakan anak saya, kali.”

Sejumlah temannya yang tahu benar gaya hidup simpel ala Purbo menghubunginya, dan meminta izin mengumpulkan tulisan-tulisannya itu, termasuk makalah dan kertas kerja lain. Purbo tak keberatan. Tulisan-tulisan Purbo pun kini mejeng di www.bogor.net. Lumayan bejibun. Ini melengkapi entri dirinya di dunia maya, yang melalui fasilitas mesin pencari Alta Vista saja, umpamanya, mencapai sekitar 15,4 ribu entri. Itu bila memasukkan entri “Onno W. Purbo.”

Jumlah entri akan mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu bila entri “Onno” coba-coba diketikkan. “Di Jerman, nama Onno kan pasaran. Banyak orang pake,” komentar Purbo, dengan

gelak khasnya, yang diikuti gerak lidah menyebrangi giginya.

Ditilik dari tingkah laku bahasa, tulisan-tulisan Purbo agaknya belum bisa dikatakan siap saji, gagahnya press klaar atau fit to print. Ia masih suka keliru menerapkan kata depan dan awalan. Kosa kata bahasa asing pun, yang diambilnya secara mentah-mentah dan bertebaran di sana-sini, sering terasa membebani tulisan-tulisannya.

Purbo berdalih, bukannya tak ingin berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, namun ia memang tak tahu padanan yang tepat dari suatu istilah asing, sementaranya idenya tak dapat dihentikan oleh hal-hal teknis semacam itu.

Sekalipun teknik penulisan belum begitu prima, tulisan-tulisan Purbo tidak bisa dikatakan jelek. Ide-idenya, keberaniannya untuk melabrak definisi-definisi baku, memberi roh terhadap karya tulisnya, sekaligus menutup kelemahan teknis yang dimilikinya. Ditambah tulang punggung keilmuan yang melekat kuat pada dirinya, sepertinya Purbo bakal jadi penulis yang tertib dalam mengeksplorasikan nalar dan intuisinya.

Karya tulis Purbo selalu diiringi tiga tema besar: pendidikan, penguatan arus bawah, pemberantasan monopoli sumber daya. Untuk yang disebut terakhir, Basuki Suhardiman, sejawat Purbo di Institut Teknologi Bandung, kadang-kadang merasakan adanya kecenderungan pemikiran Purbo yang menyederhanakan masalah.

Dalam soal pemisahan (unbundling) di tubuh PT Telkom dan PT Indosat, dua perusahaan telekomunikasi raksasa Indonesia, misalnya, Suhardiman punya kritik untuk Purbo. Menurut Suhardiman, dipecahnya PT Telkom dan PT Indosat ke dalam beberapa perusahaan, yang menurut Purbo akan mendorong persaingan sehat di sektor komunikasi, justru bisa menghadirkan resiko ekonomis pada masyarakat luas.

“Divisi-divisi baru pasti akan membutuhkan biaya operasi yang lebih besar dibanding waktu seatap. Akibatnya, yang rugi ya masyarakat, ketiban kenaikan harga produksi,” ujar Suhardiman.

Perhatian Purbo terhadap PT Telkom dan Indosat, bukan cerita kemarin sore. Dalam ceramah, tulisan dan wawancara-wawancaranya dengan media massa, kedua badan usaha milik negara itu memang sering dikilik-kiliknya. Baginya, kebijakan unbundling akan menghindari terjadinya subsidi silang yang menghambat kompetisi sehat. Di lain pihak, para pemain baru dimungkinkan dapat langsung menawarkan layanan mereka di pasar tanpa perlu menggelar seluruh jaringan.

Dalam jangka panjang, itu dapat mengerem PT Telkom atau PT Indosat untuk tidak mencoba sisa-sisa kekuatan monopolinya ke pasar, tetapi sebaliknya akan memberikan layanan secara nondiskriminatif berdasarkan harga dan perjanjian yang wajar. Ujung-ujungnya, masyarakatlah yang diuntungkan.

Sampai kapan konsistensi semacam itu akan bertahan? Tak jelas. Tapi, sejatinya Purbo bukan orang yang gampang berubah, setidaknya untuk kebiasaan-kebiasaannya. Ia masih terbiasa membalas email teman-temannya pada pagi hari, sekitar pukul 05.00. Ia juga masih terbiasa meminum bergelas-gelas susu, seolah masa kanaknya tak pernah bergerak.*

by:Agus Sopian