Ganjalan tentang Tempo

M. Said Budairy

Mon, 1 October 2001

BANYAK komentar, kritik, termasuk yang sangat pedas, juga pujian, diterima PANTAU. Pertanda majalah ini makin mendapat banyak perhatian.

BANYAK komentar, kritik, termasuk yang sangat pedas, juga pujian, diterima PANTAU. Pertanda majalah ini makin mendapat banyak perhatian.

Untuk edisi Agustus 2001, misalnya, Andreas Harsono memberi tahu saya dia menerima respon dari sekitar 40 orang. "Umumnya positif, pujian, tapi di antaranya berupa kritik keras. Terus terang tak pernah saya mendapat protes lisan, terbuka, dan langsung sekeras ini seumur-umur saya jadi wartawan," ujarnya.

Respon yang diterima redaktur pelaksana PANTAU itu berkaitan dengan disiarkannya tulisan, "Konflik Tak Kunjung Padam” tentang bagaimana majalah Tempo mengatasi masalah dan meletakkan budaya perusahaannya.

Permasalahan yang dikemukakan para pengkritik diberitahukan kepada saya. Memang, seperti tercantum dalam masthead PANTAU, kritik, masukan, atau gugatan dapat dialamatkan pada redaksi atau ombudsman. Ombudsman bekerja secara independen dari redaksi PANTAU.

Tujuan penerbitan majalah ini, seperti pernah diungkapkan, adalah untuk meningkatkan mutu media dan jurnalisme serta memperkokoh kebebasan pers di Indonesia. PANTAU menjalankan misinya lewat sajian informasi yang benar, akurat, dan fair tentang media dan jurnalisme itu sendiri. Majalah ini berkehendak menerangkannya. Membuat laporan macam-macam, dari struktur organisasi media, orang-orangnya, anggarannya, mutu produknya, dan lain-lain.

Ada adagium, media meliput semua isu tapi satu hal yang paling jarang diliput: media itu sendiri. Kebijaksanaan editorial PANTAU independen. Baik dari pemasang iklan, penyandang dana maupun organisasi wartawan dan media di mana orang-orangnya berada.

Lalu siapa yang memantau PANTAU? Jawabnya adalah ombudsman. Ombudsman juga jadi jembatan antara pembaca dengan majalah dan sebaliknya. Jadi, bila Anda punya keluhan, protes, atau gugatan terhadap isi atau cara kerja majalah ini, Anda bisa menyampaikan kepada saya selaku ombudsman PANTAU. Saya akan menelisik asal muasal dan sebab musababnya. Saya diberi wewenang menanyai wartawan, memeriksa catatan, atau rekaman hasil wawancaranya. Lalu melalui kolom ombudsman ini saya paparkan duduk soalnya.

Sebagai pemantau media, PANTAU harus berusaha keras untuk konsisten pada patokan yang telah ditetapkan: benar, akurat dan fair dalam menyajikan setiap tulisan. Usaha ke arah itu telah dilakukan. Dari menetapkan kriteria kontributor sampai tatanan mekanisme kerja redaksionalnya. Saya perhatikan ada usaha meningkatkan terus. Misalnya, belakangan ini saya ketahui ada pesan Harsono kepada calon-calon kontributor tulisan. Pesan itu berbunyi, "Buat keperluan pengecekan fakta, kami minta agar semua nomor telepon rumah, telepon kantor, telepon seluler, dan email sumber-sumber Anda dicantumkan di bawah naskah. Kami hendak meningkatkan akurasi majalah ini dengan melakukan pengecekan ulang semua angka, ejaan, tahun, data dan sebagainya". Ditambahkan, "Praktek ini kami mulai perlahan-lahan sejak September 2001 karena memang mekanismenya berat dan lama sekali. Tapi mudah-mudahan pada 2002 kami sudah bisa melembagakan proses pengecekan fakta ini." Usaha yang bagus seperti itu jika secara istiqomah dilaksanakan, akan menjadikan PANTAU pemantau media yang berwibawa.

Namun demikian mungkin saja suatu ketika ada bagian tulisan yang "terpeleset" tak akurat. Kejadian semacam itu tak serta merta boleh dituding sebagai hasil kerja seorang yang tidak jujur. Karena, seperti orang bilang, "Sometimes mistakes are just mistakes." Bisa dilacak kok penyebab terjadinya kesalahan semacam itu. Dan PANTAU punya kebijakan dan cara memperbaiki kekeliruannya. Ada kebijakan meralat atau memuat surat pembaca. Dan PANTAU juga bersedia minta maaf secara terbuka.

Tapi adanya niat baik dan menetapkan aturan-aturan untuk menjaga akurasi itu saja belum cukup. Pelaksanaannya mesti sungguh-sungguh dan cermat.

Kejadian berikut ini contoh ketidakcermatan. Dalam laporan Coen Husain Pontoh tentang Tempo tertulis, "Dalam hal akurasi, Tempo baru masih sering kedodoran. Misalnya, salah nama Hasyim Muzadi menjadi Wachid Hasyim. Dua tokoh yang berbeda. Kesalahan fatal ini dikutip mentah-mentah Jawa Pos Surabaya."

Pontoh keliru. Salah nama itu bukan Hasyim Muzadi menjadi Wachid Hasyim (wafat tahun l953). Coba baca ulang laporan Tempo 1-7 Mei 2000 yang seharusnya diamati Pontoh. "Sapuan lalu mencairkannya dalam dua tahap. Pertama Rp 10 miliar, berikutnya 25 miliar. Dana itu lalu diserahkan ke Hasyim Muzadi, yang belakangan ini berkantor di Badan Penyehatan Perbankan Nasional." Pada bagian lain disebutkan, "Sapuan menolak berkomentar dan Hasyim Wahid tak menanggapi permohonan konfirmasi Tempo.”

Atas kekeliruan itu ralat dari PANTAU berbunyi, "Nama Wachid Hasyim seharusnya Hasyim Wachid." Cuma begitu saja. Ini ralat yang perlu diralat. Seharusnya bunyi ralatnya ialah, "Nama Hasyim Muzadi seharusnya Hasyim Wahid dan nama Wahid Hasyim seharusnya Hasyim Muzadi." Menuliskannya pun Wahid, bukan Wachid. Memang, walau pun tak boleh dijadikan excuse, nama-nama tersebut mudah membingungkan. Tiga orang masing-masing dengan nama terdiri dua kata, salah satunya "Hasyim." Letaknya ada yang di depan dan ada yang di belakang kata lainnya.

HASIL pantauan jarang bisa bikin happy semua orang yang terkait. Dan itu memang bukan tujuannya. Di antara mereka pasti ada yang beranggapan pantauannya tidak komprehensif, narasumbernya tidak lengkap. Atau, yang diwawancarai tidak relevan. Bahkan, bagi yang sangat kesal bisa melontarkan ungkapan, penulisnya "sok tahu" atau masih "ingusan." Reaksi-reaksi seperti itu, jika substansinya obyektif dan konstruktif, tetap bermanfaat bagi PANTAU. Bisa menjadi bekal menggeladahi tubuh PANTAU sendiri. Bisa jadi masukan untuk penyempurnaan kerja selanjutnya.

Ketika saya menghubungi Fikri Jufri untuk mengklarifikasikan beberapa hal, pemimpin umum majalah Tempo itu agaknya sedang resah. Pagi itu ia baru saja membaca harian Kompas yang menyajikan tulisan Sjahrir "Anggaran Negara, Kontraksi yang Menajam." Dia puji tulisan itu dan Syahrir dijulukinya independent writer, ekonom, kritis. Fikri Jufri juga sudah membaca tulisan "Rampingkan Anggaran dan Ketatkan (Lagi) Ikat Pinggang" yang diakhir tulisan tercantum tiga nama wartawan Tempo. Fikri berkomentar, itu sudah bukan mingguan berita lagi, “Itu apa ya? Suara partai, apa suara NGO?"

“Syahrir yang juga kritis terhadap teman-temannya di kabinet, tulisannya baguuuus; tulisan di Tempo itu, mengerikan. Penulisnya memaksakan diri. Tidak mau mendalami latar belakang. Tidak tahu macam apa hubungan orang-orang yang menangani ekonomi sekarang ini dengan para orang tua, dengan kelompok yang dulu disebut Mafia Berkeley yang dipimpin Widjojo Nitisastro. Dia tak tahu bahwa sejak Dorodjatun Kuntjorojakti menjadi menteri, tidak pernah berhubungan, menelepon, orangtua-orangtua itu," kata Fikri dengan nada suara dan gaya bicara yang blak-blakan. Padahal tujuan saya menghubunginya untuk mengecek penilaian dia terhadap laporan PANTAU tentang Tempo.

"Nah, apalagi ini. PANTAU ini tidak tahu ujung pangkalnya soal. Tidak tahu sejarah. Jadi sepertinya, ayo sini, elu mau ngomong apa, gua muat. Tambel-tambel gitu. Seenaknya. Begitu itu berani-beraninya menyatakan dirinya mau menjadi The New Yorker. Saya baca The New Yorker tidak begitu," ungkap Fikri agak sengit.

"Boleh-boleh saja majalah itu terus terbit. Tapi kalau wartawannya tidak digodok betul-betul, ya bagaimana bisa menyajikan dengan baik berita yang bergoyang," tambahnya.

"Melakukan liputan mengenai masalah-masalah yang sudah lampau tetapi masih relevan dan juga cukup peka bagi orang yang terkait, sebaiknya menyisakan benefit of the doubt di dalamnya", ujar Fikri lagi.

"Penulisnya janganlah menganggap benar begitu saja peristiwa yang sebenarnya dia tidak tahu. Ibaratnya dia hanya mendengar suara lonceng, tapi tidak tahu sumber suaranya, tidak tahu gentanya", tambahnya.

PANTAU menulis, pada peristiwa ketika Tempo dibredel tahun l982, disadari Tempo kekurangan lobi di pemerintahan. Menurut Goenawan Mohamad, seperti ditulis Pontoh, maka dibentuklah tim lobi tingkat tinggi. Goenawan jadi teman bermain tennis Moerdiono. Fikri sebagai wakil pemimpin redaksi bergandeng mesra dengan Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang secara kelembagaan dekat dengan Jenderal Benny Moerdani. Eric Samola mendekat ke arah Sudharmono. Kedekatan itu malah menjadikannya bendahara Golongan Karya. Di seberang lain ada kelompok Prabowo Subianto. Jadilah Amran Nasution sebagai orang Tempo untuk berdekatan dengan Prabowo.

Menurut Fikri, yang disebut lobi tingkat tinggi itu nggak ada apa-apa. "Itu sekedar untuk melegalisasi posisi Eric yang dekat dengan Sudharmono. Kita kan tidak bisa menghalangi Eric berdekat-dekat pada Sudharmono. Ya lalu kita ngobrol-ngobrol, lalu entah ucapan Goenawan atau siapa waktu itu, tidak secara formal, membagi-bagi urusan. Goenawan sama siapa, lalu saya dengan CSIS, Ali Moertopo, Benny Moerdani. Eric dengan Sudharmono."

"Ketika itu saya diam saja. Kalau dengan CSIS sudah lama sekali saya berhubungan, sejak awal l970-an, baru-baru berdiri," ujarnya. "Saya suka, di lembaga kajian itu banyak orang pintar," tambahnya.

A. Margana, orang lama Tempo yang sekarang pemimpin redaksi Kontan, pada kesempatan berbeda kepada saya memperkuat bahwa apa yang disebut "lobi tingkat tinggi" itu dibuat "not by design."

Berkaitan dengan pembredelan Tempo l994, PANTAU mengutip Zaim Uchrowi, wartawan Tempo yang pindah ke Berita Buana pada 1990 yang berpendapat, dalam satu periode ada kesalahan yang dibuat Goenawan. Goenawan menyerahkan tanggung jawab redaksional sehari-hari kepada Fikri Jufri. Padahal, Fikri dikenal dekat dengan Benny Moerdani. Pada saat bersamaan, dalam rangka mendapatkan kepercayaan dari Soeharto, kelompok Prabowo Subianto tengah menciptakan musuh bersama yang harus mereka hadapi: kelompok Moerdani.

"Oh, ya !" ujar Fikri tegas ketika saya tanya apa benar merasa menjadi korban character assassination gara-gara beberapa bagian tulisan PANTAU itu. Dia kemudian menceritakan agak rinci peristiwa terakhir yang di alaminya. Tapi dia minta off the record, yang menggambarkan ada anggapan telah sebegitu jauh dirinya terlibat dalam urusan kerjaannya Benny.

Sambil bercerita menelusuri ulang beberapa kejadian, Fikri bilang ada "kolone ke V" pihak luar di dalam Tempo di kurun waktu seputar pembredelan terakhir majalah tersebut.

EKSODUS wartawan keluar dari Tempo tidak cuma sekali terjadi. Pada eksodus l990, di mana tidak kurang 20 orang keluar spontan, dibumbui isu agama. Kartono Mohamad, kakak Goenawan membenarkan, karena munculnya isu itu Goenawan mengadu kepadanya. Goenawan bilang, beberapa orang menuduh Tempo sudah "dipengaruhi" oleh orang Kristen dan bersikap "memusuhi Islam" karena mengangkat Margana yang beragama Katolik sebagai kordinator liputan.

"Saya mengerti pendirian Goen bahwa pengangkatan Margana tidak ada kaitannya dengan soal agama yang dianutnya. Goenawan ingin tetap menunjukkan bahwa Tempo tidak berpihak ke aliran manapun juga," ujar Kartono melalui email kepada saya.

Margana yang tak diwawancarai dalam laporan Pontoh, bercerita rinci urut-urutan peristiwa munculnya isu kristenisasi itu. Mulanya ada sekelompok wartawan yang ingin keluar karena ada peluang lebih menjanjikan. Ditetapkannya seorang reporter, kebetulan Kristen, membantu Bambang Harimurty untuk memperlancar pekerjaan koordinasinya, sebagai kepala biro Tempo Jakarta, mengalirkan isu itu.

"Semua orang Tempo yang tidak ikut eksodus tidak mengerti di mana letak kristenisasinya itu. Tidak ada," ujar Margana. Dia juga bercerita tentang dirinya yang tak pernah menyangkut pautkan agama yang dipeluknya dalam bekerja. Juga tentang proses penerimaan wartawan baru.

"Waktu menerima orang baru, tidak ada kriteria harus beragama apa. Proses rekrutmen diserahkan kepada Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. Bukan di tangan saya. Seleksi selesai, dipresentasikan kepada kami. Melalui rapat ditetapkan siapa diterima, berdasar jumlah yang dibutuhkan, dimulai dari calon nomor satu yang disodorkan LPTUI," tambah Margana.

Ada dukungan moral untuk redaksi dan kontributor PANTAU. Seorang guru besar Universitas Indonesia mengirim email kepada saya. Isinya antara lain, "Tulisan Anda dan berbagai tulisan di PANTAU sangat menarik saya, dan saya anjurkan kepada mahasiswa S2/S3 di komunikasi UI untuk membacanya." Secara kebetulan selang beberapa saat seorang pengajar komunikasi di Universitas Hasanuddin menyatakan ingin suatu hari nanti menulis di PANTAU.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy