IDE cerita adalah awal pembuatan sebuah sinema elektronik atau sinetron. Sumbernya bisa dari kehidupan sehari-hari, tapi bisa juga berasal dari sejarah, novel, atau cerita pendek.

“Ide cerita dibicarakan secara internal, lalu dituangkan ke dalam sinopsis. Itu akan tergambar siapa pemainnya, bagaimana karakternya, bagaimana konfliknya. Kalau dimasukkan unsur action, misalnya, pada bagian tertentu berlebihan atau tidak?” kata Rudianto Soedjarwo dari griya produksi Kipascomm.

Menurutnya, setelah sinopsis selesai, story line pun dibuat. Story line berisi cerita dalam garis besar. Dalam story line terlihat ending dan solusi cerita tersebut. Tahap berikutnya adalah treatment, yaitu sinopsis dikembangkan dengan dialog dan action.

Soedjarwo sendiri sudah menyutradarai sinetron lepas Tanah Air, film layar lebar Bintang Jatuh, Tragedi, dan dua film layar lebar Rumah Ketujuh dan Ada Apa dengan Cinta yang sebentar lagi bakal diputar.

Setelah treatment didiskusikan dan semua pihak menyetujuinya, termasuk produser dan sutradara, tahap berikutnya adalah pembuatan skenario. Skenario pun masih mengalami revisi beberapa kali, jika terdapat kekurangan.

Apakah semua sinetron dibuat melalui tahapan ini? “Sinetron yang kejar tayang, tidak mungkin mengikuti yang ideal,” ujar Soedjarwo, mengacu pada kebanyakan film serial yang dibuat sambil filmnya disiarkan televisi bersangkutan.

Sistem rating juga menentukan nasib sebuah sinetron. Semakin tinggi rating diperoleh, semakin banyak penonton, maka semakin tinggi pemasukan iklannya. Kondisi ini menguntungkan stasiun televisi, rumah produksi, dan pemasang iklan. Alhasil, rumah produksi membuat sinetron lantaran kejar tayang. Apalagi dengan adanya monopoli jam tayang prime time, yakni saat-saat masyarakat biasa menonton televisi. Rumah produksi yang besar membeli jam tayang untuk satu tahun, misalnya. Maka, rumah produksi tersebut harus memproduksi sebanyak-banyaknya sinetron demi mengisi slot yang kosong. Kualitas dinomorduakan.

Salah satu contoh serial yang cukup baik persiapannya adalah Keluarga Cemara, dengan produser sekaligus penulis skenario, Arswendo Atmowiloto.

Keluarga Cemara berkisah tentang sebuah keluarga bersahaja. Kepala rumah tangganya seorang tukang becak. Dia berhasil membangun keluarga yang harmonis di tengah kesederhaan. Serial ini disiarkan stasiun televisi RCTI tiap hari dari Senin hingga Jumat sejak tahun lalu dan sekarang sudah mencapai 253 episode.

Ketika merencanakan Keluarga Cemara, Arswendo sadar ia melawan arus. Betapa tidak, di saat televisi membanjiri penontonnya dengan cerita yang penuh kemewahan, Keluarga Cemara justru menghadirkan kehidupan sederhana yang penuh dengan kejujuran dan kasih sayang. Ia menawarkan skenario ini pada teman-temannya, termasuk pada Edward Pesta Sirait, seorang sutradara.

Arswendo juga tak kenal bosan memberi semangat pada teman-temannya. Selama tiga bulan, di hari-hari tertentu ia berkata, “Pada awalnya kayaknya sih tidak meledak-ledak. Tapi, kalau kita sabar, akan ada hasilnya.”

Arswendo bersama Edward Pesta Sirait membutuhkan waktu casting sampai 40 hari.

“Kita cari pemain sendiri. Bukan dari nama-nama yang ada. Kita cari pemain-pemain baru di sana, di Sukabumi. Kesulitannya, karena kita memilih anak-anak, yang ini kurang sreg, yang ini cocok, cari yang ini. Waktu itu yang jadi Abah bukan Adi Kurdi. Kita coba, kita take, nggak cocok ganti lagi. Saya agak keras kepala saat itu,” ujar Arswendo pada saya.

Setelah itu kru sinetron Keluarga Cemara mengubek-ubek kota Sukabumi, mencari lokasi yang tepat untuk syuting.

“Kita cari rumah, yang bentuk rumah itu kira-kira yang sebelahnya masih ada pemandangan alamnya. Kita perkirakan lima atau tiga tahun lagi belum berdiri pabrik-pabrik,” tutur Arswendo.

Selesai syuting, tahapan berikutnya adalah pascaproduksi, yang meliputi penyuntingan visual (gambar), suara, dan warna. Efek suara mulai dimasukkan dengan menggunakan peralatan sound mixing, equalizer. Ilustrasi musik dan theme song yang berikutnya.

Penyuntingan secara nonlinear sekarang populer dilakukan. Film bisa disunting di sembarang urutan, dari awal sampai akhir dengan cara ini. Proses penyuntingan pun bisa lebih cepat.

Menurut Gotot Prakosa, dosen animasi dan tata visual pada fakultas film dan televisi, Institut Kesenian Jakarta, penyuntingan nonlinear menghasilkan gaya tersendiri secara estetis.

Tahapan setelah pascaproduksi adalah promosi. Griya produksi Starvision, misalnya, melengkapi setiap sinetron yang dibuat dengan promo material standar berupa sinopsis global, sinopsis tiap episode, susunan kru, dan pemain serta pamflet berbagai ukuran untuk materi off air di harian, tabloid, dan majalah. Untuk on air, selain cuplikan adegan, mereka juga membuat materi iklan untuk spot promosi.

Berapa besar biaya keseluruhan untuk memproduksi sebuah sinetron? Tergantung jumlah episode, jumlah bintang, sewa peralatan, lokasi syuting, jumlah dan honor kru, biaya transportasi, biaya untuk pembuatan set, penyewaan busana, uang makan, pengurusan izin-izin, pembelian kaset kosong, dan lain-lain. Semakin banyak episode, semakin besar biaya untuk satu judul sinetron. Semakin banyak memakai bintang mahal, kian membengkak pula biayanya.

Banyak rumah produksi yang tak punya peralatan sendiri, terutama kamera dan lampu. Pihak produser sinetron Keluarga Cemara, untuk 16 episode pertama juga menyewa peralatan. Selanjutnya mereka memiliki peralatan sendiri, termasuk kamera dan peralatan penyuntingan.

Dari sisi kru, sebuah sinetron melibatkan paling sedikit 20 kru, terdiri dari sutradara, asisten sutradara, kamerawan, penata lampu dan tiga orang juru lampu, penata rias dan asisten penata rias, pencatat script, still photo, juru suara, penata set, operator video tape recorder dan teknisi listrik, sisanya pembantu umum, dan sopir. Sinetron Keluarga Cemara, misalnya, melibatkan 35 orang kru.

Biaya produksi akan membengkak jika terjadi error (kesalahan). Harga error ini biasanya dimasukkan dalam anggaran. Misalnya, pemain tiba-tiba sakit begitu sampai di tempat syuting. Peralatan yang sudah disewa jadi mubazir, belum lagi biaya transportasi, konsumsi, dan properti. Kebiasaan pemain terlambat datang pun harus diantisipasi. Para artis atau aktor papan atas biasa jadi rebutan rumah produksi. Akibatnya, mereka sering merangkap syuting di dua atau tiga sinetron.

Perizinan yang dibatalkan secara mendadak juga dimasukkan dalam harga error. Rudianto Soedjarwo mengalaminya saat hendak syuting di sebuah rumah sakit di Tangerang. Semula sudah mendapat izin, tapi ketika syuting dilakukan, pihak rumah sakit tiba-tiba berubah pikiran.

Satu episode Keluarga Cemara, menurut Arswendo, mengeluarkan biaya produksi sekitar Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. Arswendo mengatakan pengeluaran terbesar bukan untuk bintang, melainkan untuk kesejahteraan kru.

Bila dibandingkan dengan pembuatan film iklan, ongkos produksi sinetron tak seberapa. Kondisi dan etos kerjanya pun berbeda. Membuat iklan merupakan kerja cepat, perfeksionistis, membutuhkan dukungan teknologi canggih, dan honor kru tinggi. Menurut Gotot Prakosa, biaya produksi satu iklan dari klien berkisar Rp 400 juta sampai Rp 4 miliar, untuk satu iklan yang hanya satu menit. Apalagi bila dibandingkan dengan pembuatan film layar lebar macam Pasir Berbisik, biaya produksi sinetron kalah jauh. Film yang dibintangi Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, dan Dian Sastrowardoyo itu menghabiskan biaya Rp 3 miliar untuk durasi 90 menit.

Namun, kelahiran sebuah sinetron tak hanya menyangkut angka dan proses di atas kertas. Tenaga manusia yang berada di balik pembuatannya turut jadi faktor penentu.

SUATU pagi, sebuah mobil, yang di kacanya ada tulisan film, memasuki kampung Cipecang, Cileungsi, Jakarta Timur. Di pinggir jalan, di depan sebuah rumah, banyak anak muda berkumpul. Rata-rata para pemuda itu penganggur. Mobil itu berhenti. Seorang bernama Daud turun dari mobil.

Daud langsung menyapa mereka, “Kalian masih nganggur?”

“Ya, nganggur,” kata Sulaeman, salah satu dari pemuda itu.

“Ayo ikut ke mobil,” kata Daud.

“Ke mana?” tanya Sulaeman.

“Syuting.”

“Syuting apaan?” tanya Sulaeman.

“Ya, syuting sinetron,” jawab Daud.

Sulaeman dan teman-temannya agak terkejut. Daud buru-buru menerangkan bahwa ia sedang mencari figuran untuk sinetron Misteri Gunung Merapi. Tanpa banyak berpikir Sulaeman dan teman-temannya setuju. Setelah terkumpul 12 orang, mereka dibawa ke bumi perkemahan Cibubur.

Sulaeman dan teman-temannya disuruh buka baju, didandani, diberi arahan, dan jadilah figuran sebagai rakyat biasa.

“Senang bisa ketemu artis. Dikasih makan tiga kali. Dikasih rokok. Dapat honor, waktu itu, Rp 5.000. Sekarang Rp 12 ribu. Kalau pakai dialog, dikasih Rp 15 ribu,” ujar Sulaeman.

Mencari figuran memang mudah. Tapi untuk pemain utama dan pemain pembantu, pihak griya produksi biasa merekrut pemain yang sudah terkenal. Kadang griya produksi merekrut calon pemain dari agensi.

Fukaseba, sebuah agensi yang berkantor di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, adalah salah satunya. Agensi ini memfokuskan diri pada pelatihan calon pemain film laga.

“Kita ingin melahirkan bintang-bintang laga, yang sudah punya dasar bela diri. Selain itu, kami juga melatih stuntman,” ujar Wisja Sikumbang dari Fukaseba.

Menurut Wisja, ide itu berawal dari kesulitan griya produksi mencari pemain yang punya latar belakang bela diri, terutama pemain wanita. Padahal, sekarang banyak diproduksi sinetron legenda atau silat klasik.

“Beberapa rumah produksi tertarik ide kami,” tutur Wisja.

Biasanya rumah produksi sudah punya file calon pemain, yang antara lain berasal dari agensi. Muhayan, unit manager Multivision untuk sinetron Indera Keenam, menjelaskan, “Kami bikin daftar pemain, tokohnya begini, karakter begini, status sosialnya begini. Hasilnya dilaporkan ke sutradara, apakah sutradara setuju atau tidak. Untuk mendapatkan pemain, di kantor ada file-file pemain, berusia tujuh tahun sampai sekian tahun. Ada remaja, ibu-ibu, bapak-bapak.”

Calon pemain diuji saat casting. Mereka dites di depan kamera, untuk melakukan adegan tertentu. Sutradara atau asisten akan menilainya. Kalau perlu adegan itu direkam. Di lain waktu, rekaman itu dianalisis berbagai kemungkinannya. Dari situ diperkirakan, apakah si calon berbakat atau tidak. Kalau nanti berakting sungguhan di depan kamera, apakah ia akan gampang grogi atau tidak.

Lulus casting bukan berarti lulus ujian di lapangan. Ada lagi proses yang namanya reading, yaitu membaca naskah skenario secara utuh. Bisa jadi pada saat reading, calon pemain bisa melakukannya dengan baik sekali. Lingkungan pada saat reading tenang, tak ada tekanan waktu. Tetapi belum tentu ia bisa melakukan adegan dengan baik di lapangan. Lingkungannya sudah berbeda. Kamerawan, sutradara, penata lampu, penata rias, penata artistik, operator video tape recorder, pembantu umum, berada di sekelilingnya. Bahkan, ia ditonton sekian banyak warga di sekitar lokasi.

Pemain baru lebih sulit melakukan perubahan suasana hati dengan cepat. Satu ketika ia dituntut sedih dan menangis, lalu berikutnya harus riang gembira. Sementara itu seluruh kru terus menunggunya. Menit demi menit berlalu, tapi si pemain belum juga menangis. Meski akhirnya ia berhasil menangis, bisa jadi lantaran stres.

“Kalau bisa karakter sehari-hari dan di film tidak berbeda jauh. Kalau tidak berbeda jauh, antara karakter sehari-hari dan di lapangan, itu lebih gampang buat dia,” tutur Rudianto Soedjarwo.

Arswendo Atmowiloto punya pengalaman menarik dengan pemain anak-anak saat pertama kali syuting.

“Waktu itu mereka sangat gugup. Ketika itu, anak-anak masih kecil sekali. Saat syuting, ada yang ngompol, pernah ada yang ketiduran. Bahkan, pernah tiap kali take, mereka bilang ngantuk, dan ingin tidur dulu.”

Berkat ketelatenan sutradara Edward Pesta Sirait, kendala ini perlahan-lahan bisa diatasi. Proses tersebut membutuhkan waktu dua bulan. Sepulang sekolah, anak-anak berkumpul di rumah yang dijadikan base camp. Mereka makan, mandi, dan belajar di sana. Keakraban antara sutradara dan pemain mulai terjalin di sana, layaknya teman.

“Begitu suasananya masuk, mereka memanggil kakek kepada Edo. Mereka mulai mau digendong. Mereka mudah diarahkan, misalnya, dari sini ke sana, nengok baru dialog. Hitung saja satu, dua, tiga, baru omong. Setelah itu mereka melihat di monitor. Ada yang nggak puas, lalu minta take ulang,” ujar Arswendo.

Pemain berpengalaman, seperti Adi Kurdi, bisa cepat beradaptasi dengan pemain anak-anak. Ia mengimbangi akting mereka, walau pada mulanya agak sulit. Pasalnya, bahasa tubuh anak-anak itu seperti tidak sedang beraksi di depan kamera. Mereka kelihatan tenang-tenang saja.

Pengalaman sutradara Suprantio Djarot, yang terlibat dalam produksi film Tjoet Nya’ Dhien bisa juga dijadikan pelajaran. Djarot menekankan pada pembinaan emosi dan pengalaman batin. Sebab, menurutnya, tiap manusia punya emosi dan pengalaman batin. Pengalaman batin ini kalau diolah lagi dapat membuat pemain menangis, tertawa, dan marah secara wajar.

Tak mudah mendidik pemain pemula. Namun, Soedjarwo sengaja memasang mereka.

“Walaupun pemain baru tidak punya dasar akting, saya lebih banyak pakai pemain baru. Mereka masih fresh, mudah dibikin natural,” katanya.

Bagaimana dengan pemain yang berasal dari kalangan teater? Sejak televisi swasta berdiri, orang teater mulai terjun ke dunia sinetron. Renny Djajusman, dari Teater Yuka, misalnya, kini ikut membintangi sebuah sinetron jotos-jotosan. Orang teater punya kelebihan. Mereka menguasai tetek-bengek seni peran, sehingga lebih mudah menyelami karakter yang diperankan. Namun, lain padang lain belalang. Di mata beberapa sutradara, pemain teater yang hijrah ke sinetron punya sejumlah kekurangan.

“Orang teater kadang aktingnya berlebihan dan punya keseragaman cara omong,” kata Soedjarwo.

Ekpresi kemarahan ditampilkan dengan mata melotot, urat leher menegang, dan mulut berteriak-teriak. Kalau menangis diiringi jeritan dan sedu-sedan berlebihan.

“Mungkin mereka mengacu pada pemain-pemain dulu, lulusan Institut Kesenian Jakarta. Karena di Institut Kesenian Jakarta ada jurusan sinematografi, sepertinya sah-sah saja pemain film bermain seperti itu. Dan, itu akhirnya jadi pola, jadi anutan, baik di film lebar maupun sinema elektronik,” ujarnya, lagi.

Gotot Prakosa mempunyai pandangan berbeda. “Sutradara yang harus bisa mengarahkan, harus bisa mengubah akting yang berlebihan, disesuaikan dengan kebutuhan.” Ia sendiri sudah menghasilkan 40 film pendek.

LEDAKAN sinetron seiring dengan bertumbuhnya televisi swasta di Indonesia sejak awal 1990-an. Industri yang tengah bergerak ini ternyata belum diimbangi dengan pencetakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan formal tak memberikan jalan keluar yang signifikan. Lulusan Institut Kesenian Jakarta yang benar-benar bagus bisa dihitung dengan jari, termasuk pemain, penulis skenario, sutradara, kamerawan, dan editor. Padahal institut itu satu-satunya sekolah seni di Indonesia yang punya departemen berkaitan dengan film dan televisi.

Menulis skenario, misalnya, bukan pekerjaan mudah. “Kalau hanya seminggu harus jadi, bagaimana bisa maksimal. Kalau lima episode, mereka masih serius, tapi lebih dari itu sudah nggak maksimal,” ujar Soedjarwo.

Tapi, tak urung ia menyebut nama-nama yang bisa dikategorikan sebagai penulis skenario yang baik, seperti Jujur Prananto dan Casandra.

Prananto seorang penulis cerita pendek berbakat. Cerita pendeknya, “Kado Perkawinan” dimuat dalam antologi Cerita Pendek Pilihan Kompas 1991. Karyanya yang berjudul Parmin meraih Piala Vidia untuk bidang teleplay di Festival Sinetron Indonesia 1994. Adapun Casandra, menurut Gotot Prakosa, punya prospek yang baik, “Ia belum lulus saja sudah punya kerangka berpikir yang bagus. Karya-karyanya pun cukup bagus. Ia menjadi fenomena.”

Chand Parwez Servia, direktur utama PT Kharisma Starvision, juga mengatakan bahwa penulis skenario di Indonesia masih kurang, apalagi yang bisa menulis cerita dengan rangkaian konflik dari berbagai tokoh dan pengembangan karakter yang sesuai dengan jalan cerita.

Penulis skenario mempunyai kualifikasi tersendiri. “Ada penulis yang siap jadi, setengah jadi yang masih perlu banyak koreksi, dan pemula yang perlu didampingi penulis jadi sebagai supervisi,” kata Parwez.

“Memang, tak ada keharusan skenario itu lengkap dengan arahan kamera, close up, long shot, medium shot, aerial shot, dan sebagainya. Yang pasti, format skenario harus detail dan jelas: malam, siang, deskripsi karakter, tinggi, kecil, karakter tokoh, dan sebagainya,” kata Soejarwo.

Kamerawan juga tak memiliki kemampuan memadai. Suprantio Djarot pernah bertemu kamerawan yang tak mengerti frame dan fungsi dolly.

“Kalau kita omong frame, di sana ada nuansa, suasana, dimensi, bunyi, rasa, dan estetika. Kalau kita omong shot, shot by shot itu kan direct emotion.”

“Misalnya kita ingin big shot, tahu-tahu dia ambil long shot. Misalnya kita menginginkan disolve shot begini, tapi yang dia berikan lain, yang jadi malah close up. Di Indonesia, kamerawan hanya merekam gambar. Asal ada gambar,” tutur Djarot, tak habis pikir.

Bagaimana dengan soundman? Setali tiga uang. Djarot pernah punya pengalaman meminta gambar dua orang berjalan di atas jembatan. Kedua orang itu menuntun sepeda, berjalan menuju kamera.

“Suara pemain saya seperti ada jarak. Aku ingin mendapatkan suara burung, air, daun, angin. Semakin dekat suara-suara itu semakin dominan, suara-suara alam semakin tipis. Soundman kita itu belum bisa. Padahal alat yang dipakai sama, mengapa tidak bisa,” katanya.

Mutu editor juga menyedihkan.

“Tuntunannya seperti membaca abjad. Mengemas shot by shot kurang kreatif.”

Apakah faktor tadi yang membuat tenaga mereka dihargai murah?

Harian Kompas pernah memerinci honor kru per episode pada 1996, saat nilai tukar rupiah Rp 1800 per dolar Amerika. Gambaran tersebut sebagai berikut: sutradara Rp 2 juta, kamerawan Rp 1 juta, kepala penata lampu Rp 750 ribu, art director Rp 1 juta, asisten sutradara Rp 1 juta, penata rias Rp 250 ribu, asisten-asisten lain Rp 250 ribu. Kalau dijumlahkan untuk keperluan para kru per episodenya seluruhnya menghabiskan sekitar Rp 10 juta. Di luar honor itu, produser juga masih harus membayar honor penulis cerita/skenario antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.

“Honor kru sinetron masih belum memenuhi syarat untuk hidup layak. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga masih kurang,” kata Satari, seorang penata artistik.

Kru lighting, menurut Satari, dari zaman film layar lebar sampai sinetron tak pernah bergaji layak. Padahal kru lighting kerjanya sangat berat, dari pagi hingga malam.

“Kalau sutradara, apalagi yang punya nama, masih mencukupi untuk keluarga.”

“Ada pembantu umum yang honornya cuma Rp 75 ribu untuk satu episode. Ada kru yang honornya Rp 100 ribu per episode. Art director yang baru ada yang honornya cuma Rp 100 ribu per episode,” ungkap Gotot Prakosa.

Padahal, satu episode diselesaikan dalam tiga sampai empat hari untuk sinetron yang kejar tayang.

Para kru bekerja dengan sistem kontrak, sehingga harus memperoleh kontrak berikutnya agar dapur tetap mengepul. Pihak rumah produksi tak mengangkat kru tetap, karena merasa produk mereka belum tentu diterima oleh televisi. Risikonya tak bisa terus membayar karyawan. Padahal, status ini membuat posisi kru lemah.

“Sementara itu, organisasi karyawan film atau sinetron tidak bisa memperjuangkan standar gaji yang layak. Karena mereka tahu sendiri kualitas mereka sulit dipertanggungjawabkan, karena sumber daya manusia masih harus ditingkatkan kualitasnya. Risikonya, mereka yang punya pendidikan tinggi, pendidikan sinematografi, merasa dirugikan, lalu mereka bikin produksi secara independen,” ujar Gotot.

Honor pemeran pengganti atau stuntman pun termasuk murah. Ada stuntman yang dibayar Rp 150 ribu untuk sekali menabrak kaca.

“Di Indonesia kalau ada adegan menabrak kaca, kacanya beneran, yang bisa melukai orang. Di Amerika pakai kaca tiruan yang bila ditabrak akan hancur berkeping-keping kecil-kecil dan tidak melukai. Mesiu yang biasa dipakai untuk syuting di Indonesia juga bisa melukai,” ujar Satari.

Stuntman di Indonesia sebenarnya lebih berani. Menurut Satari, stuntman Amerika tak berani jatuh dari gedung lantai enam ke sungai yang airnya kotor. Alasannya, airnya tak steril. Stuntman Indonesia berani, karena biasa mandi di kali.

Murahnya honor kru sinetron juga dipengaruhi sistem bintang. Dengan sistem bintang, dalam satu episode bisa memakai tiga bintang sekaligus.

“Biaya produksi, kalau dimakan oleh tiga atau empat bintang, bisa dihitung sisanya. Belum biaya operasional, makan tiga kali sehari, dengan 30 kru, sisanya tinggal sedikit. Belum lagi biaya sewa peralatan. Makanya mereka menekan kru,” ujar Gotot.

Harian Warta Kota pada 18 Oktober 2000 memerinci honor bintang mahal tersebut. Paramitha Rusadi sempat mencapai Rp 30 juta per episode sinetron, Desy Ratnasari dan Tamara Blezynski sekitar Rp 25 juta. Ayu Azhari, Meriam Bellina, dan Maudy Koesnaedi mempunyai standar kontrak di atas Rp 10 juta per episode.

“Dapat dibayangkan, mereka merangkap dua tiga sinetron, dengan satu judul sinetron 26 episode. Pada hari pertama syuting saja, mereka dapat 70 persen, dapat ratusan juta,” kata Arswendo.

NASIB para kru tak seberuntung tokoh-tokoh dalam kisah sinetron, tempat orang hidup bergelimang kemewahan. Tak jarang kemewahan tersebut hadir berlebihan. Dalam sebuah sinetron tiba-tiba muncul adegan orang minum wine di tengah hari.

“Ini Indonesia, negara tropis, panas. Apa perut nggak terbakar?” sergah Iga Mawarni, penyanyi dan artis sinetron.

Parwez memberi alasan. Menurutnya, gambar-gambar yang indah relatif lebih mudah diperoleh dengan menampilkan kemewahan, “Seorang sutradara dan kamerawan yang baik seyogianya bisa menghasilkan gambar indah tanpa harus dibungkus kemewahan itu.”

Namun, Parwez membantah tudingan bahwa kemewahan dalam sinetron bertendensi menjual mimpi alias tak mendidik. Buktinya, masyarakat tak protes. Animo masyarakat juga besar dalam mengapresiasi sinetron-sinetron di televisi. Misalnya, sinetron Wah Cantiknya yang dibintangi Anjasmara dan Tamara Blezynski, yang tengah ditayangkan stasiun televisi SCTV, memperoleh sambutan antusias dari masyarakat. SCTV Award pada Agustus lalu menetapkan Anjasmara sebagai aktor ngetop berdasarkan pilihan pemirsa.

“Itu bohong. Karena mereka biasa bedagang yang begitu, ya itulah yang mereka produksi banyak-banyak,” ujar Arswendo. “Masyarakat kita itu apresiasinya pas-pasan. Apa yang ada, itulah yang mereka tonton. Kalau adanya yang mewah-mewah, mereka akan menganggap masyarakat sukanya yang mewah-mewah. Sinetron Tuyul dan Mbak Yul, Jin dan Jun, misalnya, apa masyarakat menginginkan yang seperti itu. Adanya yang seperti itu, ya nonton itu sajalah. Mereka akhirnya biasa dengan yang semacam itu.”

Iga Mawarni malah balik bertanya, “Siapa yang minta. Kapan masyarakat minta sinetron dengan tema-tema seperti itu. Tidak pernah, kan? Kecuali jika ada jajak pendapat apa yang diinginkan masyarakat. Sebenarnya selera pasar dibentuk oleh pembuat sinetron itu sendiri.”

Iga Mawarni mengharapkan pembuat sinetron berkesadaran tinggi untuk mendidik masyarakat. Karenanya harus ada yang mengatur, yang sifatnya lebih resmi. Tidak mesti melalui departemen pemerintah, melainkan pemerintah bisa mendelegasikannya ke sebuah lembaga yang menjadi media yang lebih efektif. Terakhir peniadaan sistem pembelian prime time oleh rumah produksi dengan sistem blocking time. Di televisi harus ada tim. Televisi menayangkan sinetron berdasarkan penilaian tim itu.

Solusi Iga itu baru memasuki tahap ide. But the show must go on.*

by:Ngarto Februana