Katharine Graham

Hendri Kuok

Mon, 3 September 2001

MATAHARI bulan Juli yang panas seakan tidak terasa bagi orang-orang yang memadati Washington National Cathedral pada tanggal 23 Juli 2001. Ratusan orang berdiri di luar gereja untuk mengikuti upacara penguburan Katharine Graham

MATAHARI bulan Juli yang panas seakan tidak terasa bagi orang-orang yang memadati Washington National Cathedral pada tanggal 23 Juli 2001. Ratusan orang berdiri di luar gereja untuk mengikuti upacara penguburan Katharine Graham, mantan Pemimpin Perusahaan The Washington Post Co dan Pemimpin Umum harian The Washington Post. Meski tidak bisa masuk ke gereja, mereka tetap setia berdiri mendengarkan jalannya upacara dari pengeras suara.

Graham, meninggal dalam usia 84 tahun di Boise Hospital akibat perdarahan di kepala setelah terjatuh di Sun Valley, Idaho, tanggal 14 Juli 2001, dimana dia sedang menghadiri pertemuan para pimpinan media.

Hampir seluruh 3,340 kursi di gereja terisi, sementara balkon juga dipadati oleh para pengunjung yang ingin melepas kepergian Graham. Di barisan VIP terlihat Wakil Presiden Amerika Serikat Dick Cheney beserta istri, mantan Presiden Bill Clinton bersama istrinya Senator Hillary Rodham Clinton, Alan Greenspan, Chairman of the Federal Reserve Board dan dibelakang mereka duduk Senator Edward Kennedy, adik mendiang Presiden John F. Kennedy.

Sejumlah petinggi media seperti Tina Brown—mantan editor majalah Vanity Fair dan The New Yorker, Tom Brokaw—managing editor NBC Nightly News, dan Barbara Walters—koresponden ABC News juga terlihat di barisan depan. Bersama mereka juga hadir CEO Microsoft Bill Gates, Warren Buffet, salah satu pemegang saham mayoritas di The Washington Post Co. dan CEO Berkshire Hathaway INC, serta Steve Case—CEO America Online INC.

Upacara penguburan Graham telah menjelma menjadi pertemuan lintas sektoral dari berbagai segmen masyarakat. Hal ini mencerminkan besarnya peran yang dimainkan oleh Graham di pentas nasional maupun internasional sebagai seorang pemimpin sebuah media.

Lagu “ American the Beautiful “ mengiringi masuknya peti mati Graham yang dibawa masuk ke dalam gereja. Kain putih yang menutupi peti mati dibuka, Pendeta Jane Holmes Dixon, Uskup Washington, memberkati jenasah Graham. Dua buah lilin besar mulai dinyalakan disamping peti mati. Karangan bunga delpinia, mawar dan lisianthus yang semuanya berwarna putih diletakkan di atas peti mati yang terbuat dari kayu pohon kenari.

Suasana syahdu terus menggantung di gereja selama upacara berlangsung, karya Johan Sebatastian Bach, “Allemande,” diperdengarkan oleh pemain selo Yo-Yo Ma, seorang artis keturunan Cina kelahiran Paris, pemenang 14 buah Grammy Awards. Selesai Ma memainkan selonya, berturut-turut National Symphony Orchestra dan The Kennedy Center Opera House Orchestra memainkan karya Respighi, Gabrieli dan Handel.

Laly Weymouth, putri tertua Graham, wartawan Newsweek, maju ke mimbar untuk memberi pidato. Weymounth mengingatkan hadirin akan pesan mendiang ibunya yang bisa berguna bagi orang-orang yang hadir di gereja pada hari itu. “ Kematian adalah tidak berbeda dengan kelahiran, proses pertumbuhan, kedewasaan dan proses penuaan. Oleh karena itu saya sama sekali tidak takut akan kematian,” Weymounth mengulangi pesan ibunya.

Donald Edward Graham, putra Graham yang sekarang menjadi Pemimpin Perusahaan The Washington Post Co. dalam sambutannya mengatakan Katharine Graham adalah , “ seorang patriot, internasionalis, ibu, nenek dan wanita yang selalu memberikan yang terbaik dalam setiap krisis yang dia hadapi.”

Sambil mengusap-ngusap air matanya, Benjamin C. Bradlee, mantan Chief Editor The Washington Post maju ke mimbar untuk memberikan kata sambutan. “ dia adalah boss yang hebat, seorang boss yang memiliki etos kerja yang tinggi untuk mencari kebenaran dengan kejujuran dan keberanian. Boss yang mampu memberikan cahaya bagi para reporter dan editor yang berjalan di tengah kegelapan.”

Akhir kata Bradlee mengatakan, “ dia adalah wanita yang luar biasa dan saya sangat menyayangi dia.”

“Kematian Mrs Graham bukan hanya kepergian sebuah generasi, tapi kepergian putra terbaik Amerika Serikat,” kata Bob Woodward, managing editor The Washington Post yang berhasil membongkar kasus Watergate.

Upacara di gereja yang berlangsung kurang lebih 90 menit ditutup dengan alunan selo Yo-Yo Ma yang mengiringi rombongan pengantar menuju Oak Hill Cemetary, sebuah kuburuan ekslusif bergaya abad ke-19. Graham dikuburkan disamping suaminya Philip L Graham yang telah berbaring sejak tahun 1963.

Kepergian Graham tidak hanya ditangisi oleh keluarga dan sahabatnya. Orang-orang yang pernah berseberangan dengan Graham pun ikut memberikan penghormatan yang setinggi tingginya.

“Saya pikir Kay adalah wanita yang luar biasa dan juga teman yang hangat, bahkan ketika berada dalam posisi yang berbeda dia tetap menjadi teman yang hangat kendati korannya atau dia sendiri berseberangan dengan pemerintahan yang saya wakili,” tukas Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negri pada jaman Presiden Richard Nixon.

Mantan Presiden Bill Clinton yang pernah kebakaran jenggot karena liputan The Washington Post tentang skandal seksnya dengan pegawai Gedung Putih, Monica Lewinsky, mengatakan ,”usaha Graham untuk mempertahankan kebebasan pers pada masa-masa kritis dalam sejarah Amerika akan memberikan keteladanan tentang keberaninan dan kepemimpinan yang kuat.”

Pendahulu Clinton, George H.W. Bush mengatakan kendati dia memiliki banyak ketidaksepakatan dengan koran yang dipimpin Graham, dia harus mengakui bahwa, ”Graham adalah wanita yang memiliki integritas tinggi.”

Banyak pujian diberikan kepada Graham di hari kematiannya tapi jasa terbesar Graham adalah seperti yang dituturkan oleh Arthur Ochs Sulzberger, pemimpin umum The New York Times,“Graham menggunakan kecerdasan, keberanian dan akalnya untuk mengubah wajah jurnalisme di Amerika.”

KATHARINE Meyer lahir di New York pada tanggal 16 Juni 1917, anak keempat dari lima bersaudara, putra-putri Eugene dan Agnes Meyer. Pasangan Meyer adalah pasangan yang sukses dan mereka membesarkan anak mereka tidak hanya dengan gelimang kekayaan tapi juga semangat hidup yang tinggi.

Eugene Meyer lahir dari sebuah keluarga Yahudi yang kaya. Pada usia yang cukup muda Eugene telah menjadi seorang investor ulung di Wall Street dan dijuluki Wall Street’s Golden Boy. Meyer adalah Chairman Federal Reserve Board dibawah Presiden Herbert Hoover dan Presiden Bank Dunia yang pertama di bawah Presiden Harry S. Truman.

Istrinya, Agnes Meyer, adalah aktivis seni dan pendidikan. Pada masa mudanya dia tinggal di Paris dan banyak berkecimpung di bidang seni. Sepanjang hidupnya dia banyak menulis untuk The Washington Post dan berbagai jurnal serta mempublikasikan beberapa buku.

Katharine Meyer tumbuh di New York dan Washington dimana keluarganya memiliki sebuah rumah mewah di Crescent Place. Ketika liburan tiba Katharine sering menghabiskan waktu di tempat peristirahatan keluarga di Mount Kisco, New York atau di ranch milik ayahnya di Jackson Hole, Wyoming atau kadang-kadang berlibur ke Eropa.

Ketika Katharine masih duduk di bangku sekolah di Madeira School, Washington, suatu siang keluarga mereka sedang bersantai di villa Mount Kisco, Katharine mendengar orang tuanya berbicara tentang The Washington Post. Katharine bertanya dengan penuh kebingungan tentang pembicaraan mereka. Ibunya berkata ,” Oh sayangku, apakah tidak ada orang yang memberitahumu bahwa ayahmu telah membeli Post.” “Tidak”, jawab Katharine. Meyer membeli koran The Washington Post dengan harga 825.000 US dollar pada tanggal 13 Juni 1933.

The Washington Post didirikan tahun 1877, dan saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan yang parah. Ketika membeli koran ini, Meyer harus bersaing dengan koran-koran lain yang memiliki belajan iklan dan sirkulasi yang jauh lebih baik.

Setelah lulus dari Madeira School, Katharine melanjutkan studinya di Vassar College.Ketika memasuki College, Katharine adalah pendukung Partai Republik seperti kedua orang tuanya. Di akhir masa studinya dia telah menjelma menjadi seorang pendukung sayap kiri Partai Demokrat dan menjadi pendukung program ekonomi New Deal.

Sambil bersekolah diVassar, Katharine bekerja sebagai wartawan untuk Miscellany News, dan Katharine pernah diminta untuk meliput pertemuan American Student Union (ASU). Dari sinilah awal perkenalan dia dengan ASU, sebuah organisasi mahasiswa yang terdiri dari gabungan kelompok mahasiswa komunis, sosialis, liberal radikal yang mempunyai platform anti fasis.

Setelah lulus di Vassar dan masuk di University of Chicago, Katharine terpilih sebagai anggota Dewan Eksekutif Nasional ASU. Ketika dia memberitahu ayahnya tentang aktivitasnya, Meyer menulis surat panjang kepada Katharine yang menyatakan keberatannya. Meyer berargumentasi bahwa sebagai wartawan Katharine tidak boleh bergabung dengan organisasi apapun, “ semakin sedikit predikat yang kau sandang maka semakin baik kamu menjadi wartawan”, pesan Meyer.

Sikap keras Meyer ini tidaklah mengherankan, sejak hari pertama dia menjadi pemilik Post, dia telah menekankan bahwa Post akan menjadi koran yang independen. “Saya membeli koran ini atas nama pribadi dan bukan atas nama orang lain atau kelompok tertentu,” tegas Meyer. Kendati banyak orang yang sinis mendegar itu tapi Meyer memberi jaminan bahwa Post tidak akan menjadi corong Partai Republik tempat ia bernaung.

Di antara kelima anak-anak Meyer, Katharine adalah satu-satunya anak yang menunjukkan minat pada jurnalisme. Sejak duduk di bangku SMA, Katharine telah bekerja paruh waktu di Post sebagai copy girl atau kurir untuk rubrik perempuan. Setelah lulus menyelesaikan studinya di tahun 1938, dia bekerja sebagai wartawan di San Fransisco News dengan gaji 24 US dollar per minggu. Kisah suksesnya disini adalah liputan tentang pemogokan buruh galangan kapal. Di musim semi tahun 1939, atas permintaan ayahnya, Katharine kembali ke Washington dan bekerja sebagai editor surat untuk redaksi.

Tidak lama setelah bekerja di Post, seorang rekan Kathrine memperkenalkan dia dengan teman-temannya. Diantara mereka adalah seorang pemuda lulusan Harvard Law School, Philip Leslie Graham. Graham lahir di kota pertambangan Terry, San Diego dan besar di Florida. Di Washington, Graham bekerja sebagai asisten Hakim Agung, Stanley Reed dan asisten Felix Frankfurter, seorang professor dari Harvard.

Setelah kenal satu sama lain dan berdiskusi panjang lebar tentang kehidupan dan politik, Katharine Meyer dan Philip Graham jatuh cinta. Mereka menikah pada 5 Juni, 1940.

Berbeda dari Katharine, Philip Graham lahir dari keluarga sederhana di kota pertambangan Terry, San Diego, dan besar di Florida. Di Washington, Graham bekerja sebagai asisten hakim agung Stanley Reed, dan asisten Felix Frankfurter, seorang profesor dari Harvard, yang juga jadi anggota mahkamah agung.

AWALNYA, Philip Graham bercita-cita mengikuti jejak ayahnya untuk terjun ke dunia politik dan berharap suatu hari nanti ia bisa menjadi seorang senator, tetapi mertuanya mempunyai ide lain yang mengubah rencana itu. Putra satu-satunya di keluarga Meyer, Eugene III yang biasa dipanggil Bill, telah menjadi seorang dokter dan Meyer berpikir bahwa peran pemimpin sebuah surat kabar tidak cocok untuk seorang perempuan. Meyer memutuskan untuk menyerahkan tongkat estafet kepada menantunya. Setelah berdiskusi dengan istrinya, Graham setuju untuk menerima tongkat estafet tersebut.

Rencana Meyer tertunda karena Perang Dunia II, Graham terkena wajib militer pada tahun 1942. Katharine memutuskan untuk meninggalkan Washington dan mendampingi suaminya yang mendapat tugas di Sioux Falls, South Dakota.

Katharine sedang mengandung anak kedua mereka, ketika Graham mendapat tugas untuk berangkat ke Philipine sebagai perwira intelejen. Anak pertama mereka, Elizabeth Morris Graham, atau sekarang Lally Weymounth saat itu baru berusia satu tahun. Donald Edward Graham lahir menjelang akhir perang Dunia II tanpa didampingi sang ayah. William Welsh Graham lahir tahun 1948 dan si bungsu Stephen Meyer Graham lahir tahun 1952.

Dari Philipine, Philip Graham memulai pekerjaan jurnalistiknya dengan secara reguler berikirm surat kepada Meyer yang berisi kritik dan pendapat dia seputar pemberitaan Post tentang perang.

Pada 1 Januari 1946, Graham mulai bekerja sebagai associate publisher. Enam bulan kemudian ketika Meyer diangkat menjadi Presiden Bank Dunia, Graham diangkat menggantikan Meyer sebagai pemimpin umum.

Meyer hanya bertahan tujuh bulan sebagai Presiden Bank Dunia, setelah mengundurkan diri, dia kembali ke Post sebagai Honorary Chairman dan terus memberi dukungan kepada Graham. Tidak lama kemudian, Meyer menyerahkan 3.500 lembar saham kelas A dengan hak suara kepada Graham dan 1.500 lembar saham yang sama kepada putrinya.

Perhatian utama Meyer pada saat transisi di Post adalah independensi surat kabar yang harus tetap dipertahankan. Meyer akhirnya membentuk sebuah komisi pengawas yang terdiri dari lima orang diluar Post, yang mempunyai hak veto terhadap segalam macam keputusan yang dibuat oleh Philip dan Katharine Graham.

Di bawah kepemimpinan Graham, dalam waktu singkat Post berhasil meraih penghargaan “National Headliners’ Club” atas pemberitaan mereka yang mendukung Marshall Plan, program bantuan bagi negara Eropa yang dilancarkan oleh Presiden Truman.

Graham dan Meyer dalam waktu singkat juga menjelma menjadi pasangan kerja yang kompak. Di tahun 1954, mereka berhasil membeli saingan mereka, koran pagi the Times-Herald. Mereka menggabungkan kedua koran ini menjadi satu koran, sembari mempertahankan feature, kolom dan komik serta rubrik favorit the Times-Herald. Tidak lama kemudian, gabungan kedua koran ini telah berhasil melampaui sirkulasi saingan mereka the Evening Star. Graham juga membeli dua buah stasiun televisi dalam waktu yang tidak lama berselang.

Sambil berusaha keras membangun Post, Graham secara tidak langsung terlibat dalam politik praktis dan ini berpengaruh pada independensi Post. Menjelang pemilihan presiden tahun 1952, editorial Post terlihat jelas-jelas mendukung Dwight Eisenhower dalam memperebutkan tiket presiden dari Partai Republik.

Sikap yang diambil oleh Graham mendapat tentangan dari Eugene dan Agnes Meyer, tidak ketinggalan para staff Post juga bereaksi keras menentang sikap Graham. Menanggapi hal ini Katharine Graham dalam autobiografinya mengatakan ,” saya masih percaya bahwa Phill berusaha untuk menjadi independen, suatu hal yang tidak mudah karena dia mempunyai latar belakang yang sangat liberal.”

Masalah independensi ini akhirnya mulai menggangu Katharine ketika Graham semakin dekat dengan Senator Lyndon Johnson dari Partai Demokrat. Ketika Johsnon mengundang suami istri Graham ke ranchnya, Johnson memberikan sejumlah gelang emas kepada Katharine. Saat itu Katharine menolak dengan mengatakan ,” orang pers tidak seharusnya menerima hadiah dalam bentuk apapun.”

Merasa tak enak, Graham memaksa istrinya menerima hadiah itu. Katharine terpaksa menerima itu demi menghargai suaminya di depan Johnson. Beberapa hari kemudian Katharine mengirimi Johnson alat penjernih air yang harganya hampir sama dengan harga kalung emas pembelian Johnson.

GRAHAM semakin dekat dengan Johsnon dan secara tidak resmi menjadi penasehat pribadi dan penulis naskah pidato Johnson. Di tahun 1960, Grahamlah yang berjasa membujuk John F. Kennedy yang juga temannya, untuk memilih Johsnon sebagai wakil presiden.

Graham menyadari sikap kritis istrinya terhadap kedekatannya dengan Johnson, Graham pun memutuskan Post untuk tidak berpihak pada kandidat manapun saat pemilihan presiden tahun 1960. Meskipun demikian dalam arena politik praktis Graham berjuang mati-matian untuk kemenangan kubu Demokrat.

Satu tahun setelah Kennedy menjadi presiden, Graham membeli Newsweek. Dalam autobiografinya, Katharine mengatakan ,” ide membeli Newsweek membuat saya sangat cemas, karena akan menambah beban yang lebih banyak pada Phill. Saya khawatir ini akan menjadi masalah baru buat dia.”

Kekhwatiran Katharine ini beralasan, karena pada tahun 1957 Graham didiagnosa doketer mengidap manic depression. Ketika itu dia harus beristirahat cukup lama sampai bisa kembali bekerja.

Tidak lama setelah membeli Newsweek, Graham mulai mengalami depresi dan dia harus berada dirawat di rumah sakit jiwa, Chestnust Lodge di Rockville. Pada awal tahun 1963, Graham meninggalkan istrinya dan berselingkuh dengan staff Newsweek di kantor cabang Paris yang bernama Robin Webb.

Perselingkuhan ini dengan segara menjadi rahasia umum. Sekretaris Graham bahkan menyakan kepada Katharine, apakah dia ingin dipanggil sebagai “ Nyonya Katharine Graham” atau “ Nyonya Philip Graham.”

Dalam autobiografinya, Katharine mengatakan ,” ini adalah masa yang paling sulit bagiku—sangat membingungkan, sulit dan menyakitkan. Tidak hanya aku akan kehilangan suamiku tapi aku juga akan kehilangan Post.” Graham telah berencana untuk menceraikan Katharine dan membeli semua saham Katharine dengan uang perusahaan sehingga dia dan pacarnya bisa menguasai Post.

Katharine menyadari bahwa ayahnyalah yang membeli Post dan menanamkan modal disana, sedangkan Graham hanya mendapat warisan dari ayahnya. Menghadapi masalah ini Katharine memantapkan hatinya dengan mengatakan ,” saya tidak akan menyerahkan koran ini tanpa perlawanan.”

Teman dekat Katharine pada saat duka ini adalah wartawan senior The New York Times, Scotty Reston. Suatu siang Katharine menemui Reston dan mengatakan bahwa dia seakan tidak kuat lagi menanggung penderitaan. Reston mengatakan , “Kay, kamu harus berjuang demi koran itu. Itu bukan milik Phil Graham. Kita tidak bisa berbuat banyak menolong Phil, tapi kita bisa mulai mendidik Donny—nama panggilan Donald Graham dan saya menawarkan diri untuk mengangkat dia sebagai asisten musim panas mendatang.”

Sejak itu Katharine pun memantapkan diri untuk menerima cerai dari Graham kalau dia melepaskan kepemilikan sahamnya di Post. “ Kalau suamiku akan meninggalkanku, saya harus mempertahankan koran ini karena saya tidak mau kehilangan kedua duanya,” tegas Katharine.

Pada tanggal 20 Juni 1963, setelah mengakhiri perselingkuhannya dengan Webb, Graham kembali masuk ke rumah sakit jiwa di Chestnut Lodge.

Tanggal 3 Agustus, setelah merasa mulai pulih, Graham dizinkan meninggalkan rumah sakit dengan didampingi Katharine, untuk beristirahat di villa mereka di Glen Welby. Siang itu setelah beristirahat, Graham menembak dirinya sendiri, Katharine menemukan dia dalam keadaan tidak bernyawa di kamar mandi.

Graham mengatakan, “ saya mempunyai tiga pilihan saat itu. Menjualnya. Mencari orang lain untuk memimpinnya atau saya mencari pekerjaan lain. Semuanya bukan pilihan yang tepat.”

Beberapa hari setelah suaminya meninggal, Graham mengumumkan kepda Dewan Direksi bahwa The Post Co. akan tetap berada dibawah kepemimpinan kelurga. Tanggal 20 Septemer 1963, Graham diangkat menjadi pemimpin perusahaan.

TANTANGAN pertama yang dihadapi oleh Graham muncul menjelang pemilihan presiden tahun 1964. Graham menegaskan bahwa Post tidak akan berpihak pada siapapun. Hal ini mengecewakan Presiden Johnson yang dikenal dekat dengan mendiang Philip Graham. Johnson sangat kesal karena dia bisa memenangkan hati berbagai surat kabar milik orang Republiken dan koran-koran sayap kanan lainnya, tapi dia tidak mendapat dukungan sama sekali dari The Washington Post.

Graham bertekad untuk membangun Post menjadi lebih baik. Scotty Reston adalah orang pertama yang mendorong Graham untuk maju. “ Tidakkah kamu berpikir untuk mewariskan sebuah koran yang lebih baik kepada anakmu?” tanya Reston kepada Graham.

Salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh Graham adalah mengangkat Ben Bradlee sebagai asisten managing editor. Bradlee pernah bekerja pada Post selama tiga tahun, tapi kemudian dia bekerja pada Kedutaan Besar Amerika di Paris dan kemudian bergabung dengan Newsweek biro Paris. Kemudian dian menjadi Kepala Biro Washington dan dialah yang menganjurkan Philip Graham untuk membeli Newsweek.

Karier Bradlee segera meroket, dia menjadi managing editor dan kemudian executive editor. Graham sangat mengagumi keteguhan sikap dan kejelian Bradlee dalam menangkat sebuah berita. Graham pun tidak keberatan ketika Bradlee mengusulkan peningkatan anggaran untuk pemberitaan. Dalam waktu singkat mereka menjadi pasangan kerja yang serasi

Pada pertengahan tahun 60-an, perang Vietnam sudah memanas. Perang ini juga berpengaruh pada keluarga Graham, putra keduanya Donny berangkat ke Vietnam untuk berperang, sementara putra ketiganya Bill berdemonstrasi menentang perang Vietnam dan tertangkap dalam sebuah aksi konfrontasi dengan polisi di San Fransisco. Graham sadar bahwa dia harus menghargai pilihan sikap anak-anaknya, peristiwa ini pula yang menjadi inspirasi bagi dia untuk menentukan sikap Post terhadap perang Vietnam.

Post mengambil sikap yang kritis terhadap kebijakan pemerintahan Johnson, dan ini kembali membuat Johnson kebakaran jenggot. Johnson menuduh Graham sebagai aktor yang ingin menyerang kebijakan pemerintah. Menjawab hal ini Graham mengatakan ,”saya tidak pernah mendikte wartawan harus menulis apa dan tidak berkomentar terhadap tulisan mereka.” Dengan marah Johnson menjawab ,” kalau saya memiliki koran sialan itu maka saya akan memerintahkan apa yang harus mereka lakukan dan mendidik mereka dengan cara saya.”

Perang Vietnam masih berlanjut meski terjadi pergantian pemerintahan dengan naiknya Richard Nixon sebagai presiden. Sejak awal Nixon sudah menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan dunia pers. Di bulan November 1969, Nixon memberikan pernyataan bahwa , “ semua orang Amerika mendukung perang Vietnam, hanya pers saja yang kritis terhadap itu.” Sementara Wakil Presiden Spiro Agnew mengatakan Post adalah bukti nyata monopoli yang harus diberangus.

Di bulan Juni 1971, The New York Times mempublikasikan artikel tentang dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat tentang Perang Vietnam yang dikenal dengan “Pentagon Papers”. Pemerintah mengajukan gugatan dan meminta pengadilan untuk menghentikan pemberitaan lebih lanjut sampai ada keputusan pengadilan. Post berhasil mendapatkan copy “Pentagon Papers” saat pengadilan mengeluarkan keputusan agar The New York Times menghentikan pemberitaan.

Pengacara Post meminta Bradlee agar menunda pemberitaan sampai ada keputusan pengadilan atas kasus The New York Times. Tetapi para editor sudah memutuskan untuk menulis berita itu untuk keesokan harinya. Reporter veteran Chalmers Roberts mengancam akan mengundurkan diri kalau berita itu gagal dimuat, Bradlee menyadari bahwa langkah ini akan diikuti oleh para reporter yang lain.

Team pengacara tetap bersikeras agar pemberitaan ditunda karena ada kemungkinan bahwa The New York Times akan dijerat dengan Espionage Act, dan kalau itu juga diterapkan pada Post, maka kedua stasiun televisi di Florida yang dimiliki The Post Co. akan ditutup dan didenda sebesar 100 juta US dollar. Disamping itu kalau Post digugat ke pengadilan, maka akan berpengaruh pada proses penawaran publik yang melibatkan saham sebesar 35 juta US dollar.

Perdebatan berlangsung selama berjam-jam. Mereka akhirnya sepakat untuk menyerahkan keputusan pada Graham. Graham menerima telepon dirumahnya ketika dia sedang mengadakan pesta perpisahan dengan eksekutif Post yang memasuki masa pensiun. Dari perpustakaan pribadinya Graham mendengarkan dengan seksama penjelasan team pengacara tentang posisi kasus The New York Times.

Graham bertanya kepada Bradlee, “mengapa harus terburu-buru, tidak bisakah ditunda hanya untuk satu hari?” Bradlee menjawab,” Tidak. Penting bagi kita untuk mempertahankan momentum publikasi ini dan tidak membiarkan satu hari berlalu. Semua orang sudah tahu kita memiliki Pentagon Papers. Semua wartawan menunggu kita.”

Graham akhirnya mengatakan ,”Go ahead, go ahead, go ahead. Let’s go. Let’s publish it,” dan dia pun menutup telepon.

Hal yang dicemaskan pengacara pun terjadi, pemerintah menuntut Post ke pengadilan. Dengan tenang Graham memimpin anak buahnya menghadapi gugatan pemerintah. Kasus ini berlanjut sampai ke Mahkamah Agung, dan pada tanggal 30 Juni 1971, Mahkamah Agung memutuskan dengan suara 6 melawan 3 bahwa pemerintah tidak boleh melarang publikasi Pentagon Papers.

Satu tahun kemudian konfrontasi dengan pemerintah kembali terjadi. Pada tanggal 17 Juni 1972, Managing Editor Post, Howard Simmons menelepon Graham untuk mengabarkan bahwa ada berita aneh tentang lima orang aneh yang tertangkap setelah kedapatan menyusup di Markas Dewan Nasional Partai Demokrat yang berlokasi di gedung Watergate.

Serangan terhadap Gedung Putih dikomandoi oleh dua orang reporter muda Post yaitu Bob Woodward dan Carl Bernstein. Woodward dan Bernstein bekerja keras untuk menemukan hubungan antara lima orang penyusup itu dengan Gedung Putih. Mereka tidak hanya menemukan hubungan komunikasi antara Gedung Putih dengan para penyusup tapi juga menemukan dugaan penggelapan dana oleh pemerintah untuk mengawasi lawan politiknya.

Skandal Watergate berlangsung selama kurang lebih dua tahun, dan Post harus berjuang sendirian untuk menyakinkan publik akan kebenaran berita mereka. Sementara itu pemerintahan Nixon mulai melancarkan serangan terhadap Post. Nixon sendiri mengatakan,”mereka memiliki stasiun televisi… dan mereka akan mengajukan perpanjangan izin.” Tidak lama kemudian perpanjangan izin stasiun televisi di Florida mengalami hambatan karena banyaknya permintaan dari sejumlah kalangan agar izin tidak diperpanjang lagi.

Sejumlah wartawan Post dilarang untuk meliput acara-acara di Gedung Putih dan pihak pemerintah melakukan boikot untuk diwawancarai oleh wartawan Post. Sementara itu Nixon mencoba menggunakan tangan sobatnya, seorang milyuner sayap kanan dari Pittsburgh, Richard Mellon Scaife untuk membeli Post.

Dalam kondisi ini Graham kembali berdiri di belakang Bradlee dan staff-staffnya. Graham mengatakan, “ketika pemberitaan kita sudah berkembang jauh artinya kita sudah masuk ke dalam pusaran arus. Kalau kita sudah berada di dasar yang paling dalam dan di tengah arus, maka tidak ada lagi jalan untuk kembali.”

Titik balik skandal Watergate terjadi pada bulan Juni 1973 ketika Komisi Penyelidik Senat menemukan adanya alat perekam di Gedung Putih yang merekam semua pembicaraan di sana. Artinya pembicaraan Nixon di Oval office juga terekam, sehingga bisa diketahui apakah Presiden terlibat atau tidak terhadap rencana memata matai kubu Demokrat.

“Tanpa tape itu, rasanya cerita sesungguhnya tidak akan terungkap. Saya pecaya bahwa kami diselematkan oleh tape yang untungya tidak dimusnahkan oleh pemerintah”, kata Graham dalam autobiografinya.

Satu tahun kemudian, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa Nixon tidak bisa menyimpan tape tersebut dan harus menyerahkannya sebagai barang bukti kepada pihak penyidik.

Tanggal 5 Agustus 1974, Gedung Putih mempublikasikan transkrip pembicaraan antara Nixon dan Kepala Staff Gedung Putih, Bob Haldeman pada tanggal 23 Juni 1972, enam hari setelah peristiwa penyusupan di markas kubu Demokrat. Transkrip itu menunjukkan bahwa presiden sendiri yang memerintahkan untuk menyembunyikan bukti-bukti keterlibatan orang dekatnya terhadap peristiwa penyusupan di markas kubu Demokrat.

Tanggal 8 Agustus, Nixon mengumumkan bahwa dia akan mengundurkan diri pada keesokan harinya.

Watergate telah mengubah wajah The Washington Post, dari sebuah koran yang hampir bangkrut menjadi sebuah koran yang diperhitungkan di Amerika Serikat dan dunia Internasional. Watergate juga telah mengubah wajah Katharine Graham dari seorang istri yang pendiam menjadi seorang pemimpin umum yang tangguh.

KATHARINE Graham telah sukses menjadi seorang pemimpin surat kabar tapi dia masih harus menghadapi tantangan sebagai seorang pemimpin perusahaan.

Tantangan terbesar yang dihadapinya adalah mengubah The Post Co. dari sebuah perusahaan keluarga yang kecil menjadi sebuah perusahaan modern yang besar. Graham melihat masalah terbesar ada pada aspek produksi koran yang dilakukan oleh para buruh yang tidak mempunyai rangsangan untuk meningkatkan efisiensi atau peningkatan tekhnologi. Kalau keuntungan ingin ditingkatkan maka dia harus mengubah hal ini.

Pada awal tahun 70-an, serikat buruh “tukang ketik”—para pekerja yang mengetik berita dan serikat buruh “tukang cetak”—para pekerja yang mencetak koran, menggunakan taktik memperlambat pekerjaan untuk menekan perusahaan agar memperbaharui kontrak mereka dengan kondisi yang menguntungkan mereka. Akibatnya koran sering terlambat naik cetak dan terlambat didistribusikan kepada pembaca. Komplain dari para pembaca dan pemasang iklan pun meningkat.

“ Setiap malam saya selalu dibayang bayangin pertanyaan : Bagaimana kami akan mencetak koran besok dan berapa lama akan terlambat,” demikianlah kecemasan yang melanda Graham.

Pada tahun 1973, Graham dan managemennya memutuskan untuk melatih para buruh yang tidak bergabung dengan serikat buruh untuk menggunakan komputer dan photocomposition tekhnologi sehingga tidak perlu menggunakan mesin ketik lagi.

Negosiasi dengan serikat buruh tukang cetak semakin memanas ketika mendekati batas akhir kontrak pada tanggal 30 September 1975. Pukul 05.00 pagi, Graham ditelepon oleh The Post Co. General Manager, Mark Meagher, bahwa para buruh telah melakukan sabotase dengan menduduki dan membakar ruang cetak serta memukuli penjaga.

Pagi itu tanggal 1 Oktober, Graham menyopiri mobil sendiri menuju kantornya dan menemukan mobil pemadam kebakaran, mobil polisi dan teriakan-teriakan marah dari para buruh. Suatu hal yang ironis, puluhan tahun yang lalu Graham adalah seorang mahasiswa dan wartawan muda yang sangat pro buruh, dan sekarang dia harus berhadapan dengan buruh yang mengancam eksistensi perusahaan yang dia pimpin.

Graham kembali menunjukkan ketegaran hatinya untuk tetap menerbitkan koran dengan berbagai cara. Sembari menunggu mesin cetak diperbaiki, mereka harus menemukan cara membawa keluar master cetakan dari kepungan demonstran yang mulai beringas. Beberapa orang wartawan bahkan sempat dipukuli oleh demonstran. Akhirnya mereka menyewa helikopter yang mendarat di atas atap gedung Post untuk membawa master koran yang akan dicetak di tempat lain.

Di dalam kantor Post, Graham turun tangan sendiri untuk menangani komplain dari pembaca dan pemasang iklan, dia juga ikut membantu membersihkan sampah-sampah di ruang cetak yang mulai dipenuhi oleh buruh-buruh yang baru direkrut.

“Ketidakpastian, kesulitan dan kekerasan terhadap para wartawan, dan ancaman dari Star semuanya menjadi bercampur menjadi satu” cemas Graham. “ Saya khawatir kalau semuanya tidak bisa diatasi dan saya akan kehilangan koran ini,” kata Graham lebih lanjut.

Meski dilanda kecemasan, Graham memantapkan diri untuk tidak ragu-ragu menyingkirkan buruh-buruh yang terlibat aksi kekerasan dan menolak sejumlah tuntutan dari kaum buruh. Pemogokan berlanjut tanpa ada kompromi dan Post terus berhasil mencetak koran tanpa bantuan para buruh yang melakukan pemogokan.

Di bulan Desember, setelah para buruh menolak tawaran kontrak yang diajukan perusahaan, Post mulai merekrut dan melatih buruh-buruh pengganti. Hal ini merupakan pukulan telak bagi serikat buruh. Munculnya buruh-buruh baru ini membuat sebagian buruh akhirnya menerima kontrak kerja yang disodorkan oleh perusahaan. Para “tukang cetak” terus mempertahankan aksi pendudukannya selama beberapa minggu, tapi pemogokan sudah berakhir dan serikat buruh “tukang cetak” mati tanpa dikuburkan.

Di tahun 1981, Washington Star mengalami kebangkrutan dan Post menjadi satu-satunya koran yang mempunyai sirkulasi terbesar di Washington.

Pada bulan Desember 1988, majalah Business Month memasukkan The Post Co. sebagai salah satu dari lima perusahaan dengan manajemen terbaik di Amerika Serikat. Majalah Fortune memilih Graham masuk kategori “Business Hall of Fame.”

Ketika mulai memimpin perusahaan di tahun 1963, The Post Co. pendapatan mereka hanya 84 juta US dollar. Di tahun 1991, ketika Graham menyerahkan kepemimpinan kepada putranya Donald E. Graham, pendapatan mereka sudah mencapi 1,4 trilliun US dollar.

Mendiang suaminya hanya mewariskan Post dan Newsweek, di bawah Graham mereka sudah memiliki koran Herald di Everett, negara bagian Washington; stasiun televisi di Detroit, Houston, San Antonio, Miami, Orlando, dan Jacksonville; televisi kabel yang beroperasi di 19 negara bagian ; Kaplan INC, yang menjalankan jasa pendidikan untuk jurnalistik; Washingtonpost.Newsweek Interactive, sebuah perusahaan informasi elektronik yang memproduksi washingtonpost.com di internet; Post Newsweek Tech Media Group, sebuah terbitan bisnis; Gazette Newspapers, penerbit koran lokal di daerah pedesaan di Maryland; dan Robinson Termnal Warehouse Co. The Post Co. juga memiliki saham di Bowater Mersey Paper Co., koran Internatioanl Herald Tribune dan Los Angeles Times-Washington Post News Service.

Ketika ditanya tentang kunci sukses membangun perusahaan, Graham mengatakan jawabannya adalah kecintaannya pada perusahaan. “ I loved my job, I Loved the paper, I loved the whole company,” kata Graham.

Setelah pensiun Graham masih aktif melakukan aktivitas sosial, dia mengundang presiden terpilih Bill Clinton dan George W. Bush jr di rumahnya, dia aktif berpartisipasi dalam beberapa kegiatan jurnalistik Post dan Newsweek, ikut dalam delegasi editor dan reporter yang berkunjung ke sebuah negara dan mengurus yayasan-yayasan yang dikelola oleh The Post Co.

Graham tampil dalam beberapa forum diskusi dan seminar tentang media yang menyangkut jurnalisme investigatif, peran koresponden internasional dan imbas internet terhadap media cetak.

Di tahun 1997 dia mempublikasikan autobiografi yang diberi judul Personal History. Buku setebal 600 halaman ini memenangkan Pullitzer Price. Hampir 70 halaman dihabiskan Graham untuk menulis tentang pemogokan buruh dan 45 halaman untuk skandal Watergate. Dia menyakini bahwa pemogokan itu adalah ujian terberat dalam kariernya dan dia merasa telah menanganinya dengan sukses, karena itu bukan hanya kemenangan atas buruh “tukang cetak,” tapi juga kemenangan Graham atas ketidakpercayaan akan kemampuannya sendiri.

Sebelum meninggal Graham masih mengerjakan penulisan buku, sebuah ontologi yang berisi cerita dan essay tentang Washington dari 1917—ketika ia lahir dan ayahnya pindah ke Washington—sampai sekarang. Graham telah menyelesaikan bahan awal buku ini, meskipun dia sendiri tidak yakin kapan buku ini bisa diselesaikan.

Ketika Graham meninggal muncul spekulasi bahwa kepemilikan saham The Post Co. akan berubah, sehingga harga saham sempat naik sebesar 4,82 persen. The Post Co. merupakan salah satu dari sedikit perusahan media yang masih dikontrol oleh sebuah keluarga dan banyak orang yang tergiur untuk mengambil alih perusahaan ini.

Seperti perusahaan media lainnya, The Post Co memang sedang mengalami hantaman dengan menurunnya belanja iklan. Dalam tiga bulan bulan pertama tahun ini, keuntungan perusahaan mengalami penurunan sebesar 61 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa mereka akan terpaksa menjual sejumlah saham kelas A kepada publik untuk mengatasi masalah keuangan.

Pihak perusahaan sendiri telah membantah rencana penjualan saham tersebut, untuk sementara bearti keluarga Graham masih menguasai 70 persen saham di The Post Co. yang berarti mereka masih menjadi pemegang saham mayoritas.

Di masa depan The Post Co. mungkin akan dipimpin oleh generasi keempat keluarga Meyer-Graham atau mungkin juga akan beralih kepemilkan kepada pihak lain. Tapi yang jelas Katharine Graham telah memberikan warisan terbesar bagi penerusnya yaitu independensi dari sebuah media.

Robert G. Kaiser, seorang wartawan Post, di hari kematian Graham mengingat-ingat peristiwa lima belas tahun yang lalu ketika Graham memimpin team Post dan Newsweek untuk mewawancarai pemimpin Uni Soviet, Mikail Gorbachev.

Setelah wawancara selesai, ada telepon dari Kremlin yang menyatakan bahwa Gorbachev merasa terganggu dengan pertanyaan tentang perpecahan di Partai Komunis dan dia merasa keceplosan berbicara dengan menyebut nama seorang petinggi Uni Soviet yang dianggap sebagai lawannya. Gorbachev meminta agar bagian itu dihilangkan.

Seorang pejabat tinggi Uni Soviet diutus untuk menemui Graham dan meminta dia menghilangkan bagian tersebut. Setelah mendengarkan penjelasan sang pejabat tersebut Graham menjawab, “ The Washington Post tidak akan melakukan sensor terhadap dirinya sendiri. Kami tidak akan menuruti permintaan apapun dari presiden Amerika Serikat dan kami juga tidak akan menuruti permintaan dari presiden Uni Soviet.”

Katharine Graham telah mengakhiri perjalanan panjangnya, dan dunia akan tetap mengenang namanya. Di hari ketika dia diumumkan menerima Pullitzer Price, Graham sedang berada di kantor executive editor Len Downie. Para wartawan sudah menunggu di depan kantor tesebut.

Ketika Graham keluar, semua orang bertepuk tangan—dan tidak berhenti. Tanpa ada kata-kata yang dikeluarkan, semuanya menyadari bahwa ini adalah saat dimana semuanya dapat mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada wanita yang telah memberikan dukungan dan kebebasan yang tak terbatas bagi mereka untuk bekerja. Ketika tepuk tangan mulai berhenti, Graham menangis dan para anak buahnya pun ikut menangis.

Sekarang Katharine Graham telah mengakhiri perjalanan panjangnya, dan dunia akan tetap mengenang namanya. Dan semua kembali menangis kepergiannya untuk selama-lamanya.*

kembali keatas

by:Hendri Kuok