Ledakan Tanpa Hak Cipta

Anonim (sementara)

Mon, 2 July 2001

PASCAREFORMASI Mei 1998, industri buku di Yogyakarta, mengalami ledakan luar biasa. Selain melimpahnya sumber daya intelektual di kota itu juga lantaran kucuran dana besar-besaran…

PASCAREFORMASI Mei 1998, industri buku di Yogyakarta, mengalami ledakan luar biasa. Selain melimpahnya sumber daya intelektual di kota itu juga lantaran kucuran dana besar-besaran dari The Ford Foundation dan Yayasan Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia yang sanggup membiayai penerbitan buku hingga 80 persen.

Tak pelak penerbit baru bermunculan. Dana mudah didapat. Akibatnya, sekali punya penerbitan maka akan beranak-pinak.

Pada 1994 Pustaka Pelajar berdiri. Penerbit yang dimotori Pak Ud, sapaan Mas’ud, direktur Pustaka Pelajar, ini menandai lahirnya angkatan pertama, yakni masa peralihan penjual buku eceran menjadi penerbit.

"Mereka mencoba membangun citra penerbitan yang lebih dekat dengan publik dan lebih sesuai dengan keinginan pasar," papar koordinator penerbitan INSist Eko Prasetyo.

Di tahun yang sama, angkatan kedua ikut ambil bagian. Mereka kalangan yang akrab dengan jalur penerbitan lalu mulai menciptakannya sendiri. Pelopornya Bentang. Bentang mencoba membangun citra penerbit yang menghasilkan buku bukan hanya sebuah kumpulan tulisan, tapi sebagai produk estetis.

"Bentang memprakarsai sebuah penerbitan yang betul-betul berbeda, bahkan dalam manajemen dan penataan kantor," kata Prasetyo.

Beberapa tahun kemudian, ekspatriat dari kedua kelompok ini membidani angkatan ketiga yaitu penerbit Fajar Pustaka, INSist (1998), dan Qalam (2000). Selain mencoba membuat tipologi penerbitan yang membenahi manajemen, kualitas, dan gagasan dua kelompok sebelumnya, mereka juga memprakarsai gerakan intelektual jangka panjang.

"Bukan penerbitan yang semata-mata proses kapitalistik," tegasnya. Karenanya, istilah "industri buku" sendiri menurut sejumlah penerbit Yogyakarta perlu dikoreksi. Karena yang muncul semangat idealisme untuk menyebarkan wacana dalam masyarakat.

Kelompok penerbit di Yogyakarta ini ingin memberikan rangsangan untuk berpikir lebih kritis, analitis, dan rasional. "Industri kan kesenangan teknis-ekonomis. Sementara kami tidak semata-mata mencari keuntungan," elak Sholeh U.G., direktur Navila.

Maret lalu, Asosiasi Penerbit Alternatif yang dimotori Bentang, Navila, Lembaga Kajian Islam Sosial (LkiS), dan lainnya didirikan di Yogyakarta. Maksudnya untuk memberdayakan penerbit: saling tukar informasi tentang agen atau pengarang. Lahirnya lembaga ini juga berkaitan dengan hubungan antara penerbit dan agen di Yogyakarta. Besarnya keuntungan yang diminta agen, antara 50-70 persen yang menelorkan keberatan dari sejumlah penerbit kecil.

Hingga Mei 2001, lebih dari 70 judul buku terbitan Yogyakarta tergolong "bermasalah" dalam perizinan hak cipta. Hampir seluruhnya buku terjemahan, seperti beberapa buku terbitan Bentang, INSist, Fajar Pustaka, Qalam, Putra Langit, Pustaka Pelajar, Mitra Pustaka, Navila, dan lainnya.

Menurut direktur Fajar Pustaka Ahmad Norma Permata, penerbit Yogyakarta hampir tidak ada yang serius mengurus izin hak cipta. Seperti kasus Fajar Pustaka sendiri. Dalam menerbitkan buku terjemahan mereka selalu menyurati si pemilik hak cipta, tapi tidak mesti menunggu jawaban.

Kenyatannya, kalau penerbit-penerbit kecil di Yogyakarta harus membayar hak cipta terang mereka tidak akan bisa hidup. Buldanul Khuri, direktur Bentang, mengungkapkan dalam setahun terakhir ini Bentang mengurus lebih dari 15 hak cipta, dan sebagian sudah disetujui. Namun, karena harga yang diminta tarlalu tinggi antara US $ 500 hingga US $ 1000, Bentang tak sanggup memenuhinya.

Buldan mengungkapkan bahwa di Indonesia kelompok yang sangat mempedulikan hak cipta adalah penerbit yang buku-bukunya selalu dibiayai lembaga dana. Bentang dan beberapa penerbit Yogyakarta lainnya berani menerbitkan buku tanpa minta persetujuan pemilik hak ciptanya, karena didorong oleh visi idealisme: mensosialisasikan gagasan dari luar secara cepat dan murah kepada masyarakat. Meskipun dengan risiko bisa dijerat pasal-pasal pelanggaran hak cipta, di samping tidak bisa beroplah banyak dan tidak laku.

"Kalau ada orang berteriak-teriak dan memaki-maki teman-teman yang tidak pernah mengurus hak cipta, sesungguhnya sedang membela siapa?" tanya Buldan. "Sekali lagi yang kami katakan ini bukan kami kok antihak cipta. Tapi, mungkin lebih tepatnya kami antimembayar hak cipta," tegasnya.

Meski demikian banyak juga buku terbitan Bentang yang diurus hak ciptanya, tapi hak terjemahan bahasa Indonesianya tidak pernah dicantumkan. Misalnya Kuasa Kata karya Benedict R. O’G. Anderson. Kenapa? "Ya nggak apa-apa. Kok le ngehak-haki (kok merasa paling berhak saja)," jawab Buldan.

Bahkan Bentang membiarkan penerbit lain menerbitkan buku yang sama. Karya Benedict R. O’G. Anderson berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa—hak ciptanya ada di tangan Bentang—diterbitkan Qalam.

Pada prinsipnya ia makin senang kalau ada sebuah buku diterbitkan oleh banyak penerbit. Sebab baginya yang diuntungkan nantinya konsumen.

Beda dengan Qalam. Menurut direkturnya Muhammad Taufik Firdaus berusaha menaati aturan hak cipta untuk buku terjemahan yang diterbitkannya. Qalam memandang hak cipta sebagai etika akademik. Oleh sebab itu, Qalam selalu memburu alamat pemegang hak ciptanya. Tapi karena sampai batas waktu tertentu surat yang dikirimkan kepada si pemegang hak cipta tidak direspon, Qalam tetap menerbitkannya.

Apa yang dilakukan Qalam juga dilakukan Putra Langit dan Pustaka Pelajar. Arini Hidajati menyebutkan empat buku terjemahan terbitan Putra Langit belum mendapatkan jawaban dari penerbit aslinya. Salah satunya karena terbitan 1959.

Pihak perpustakaan nasional yang tak pernah mempersoalkan hak cipta saat mengurus International Serial Books Number seolah menjadi lampu lampu hijau bagi penerbit untuk melenggang tanpa hak cipta.

Sementara Pustaka Pelajar ketika menerbitkan buku biasanya menghubungi penerbit aslinya. Lantaran tidak cepat dijawab dan keburu terbit, buku tersebut lantas dicetak begitu saja. Yang jelas menurutnya Pustaka Pelajar ingin terbitannya disertai izin.

Kesulitan mencari siapa pemegang otoritas tulisan juga menjadi penghambat dalam proses perizinan, seperti buku Che Guevara yang diterbitkan INSist, terlebih buku-buku "kiri" seperti Lenin; Pikiran, Tindakan dan Ucapan serta Karl Marx untuk Pemula. "Buku-buku itu sebenarnya pernah diterbitkan, tapi dalam bentuk stensilan," kata Eko Prasetyo.

INSist pernah mencoba mencari penerbit aslinya tapi sulit diidentifikasi. INSist segera menerbitkannya sebelum didahului penerbit lain. Inilah yang kadangkala membuat mereka tidak profesional mengurus hak cipta.

INSist sendiri memandang hak cipta tidak terlalu bermanfaat. Penerbit ini sangat terbuka dengan pembajakan dan ingin memprakarsainya untuk membangun sebuah tradisi intelektual yang bebas dari hambatan prosedural. Konsekuensinya, semua buku INSist boleh dibajak, bahkan terkadang dengan sangat normatif.

"Apalagi buku-buku kampanye. Silakan dibajak, difotokopi, dan diapa-apakan," tutur Prasetyo.

Senada dengan INSist, Navila sejak awal menolak hak cipta. Hak cipta dianggap bentuk penindasan gaya baru yang dikehendaki Barat setelah mereka mencuri dan mengeksploitasi khazanah keilmuan Indonesia. Juga karena keilmuan bagi Navila tidak harus ada transfer of knowledge.

Tentang buku terjemahan dari bahasa Arab, ada kesepakatan umum di kalangan penerbit Yogyakarta untuk tidak dimintakan izin hak cipta. Menurut Sholeh U.G., orang Arab tidak pernah mempersoalkannya. Justru bangga kalau buku mereka diterjemahkan. Bahkan buku-buku sastra Arab yang diterbitkan di London, hak ciptanya ada di kota itu. Bukan di Arab.

"Saya kira letak perbedaannya ada pada landasan filosofis. Kalau Arab itu kan melihat ilmu sebagai kebutuhan yang wajib disebarluaskan, sementara Barat materialistis sehingga semuanya diukur dengan materi. Nah, itu yang membedakan Barat dan Timur soal hak cipta," paparnya.

Ahmad Norma Permata terang-terangan mengatakan bahwa penerbit-penerbit Yogyakarta cukup terbuka untuk mengaku sebagai pencuri. Itu kalau kriteria internasional yang dipergunakan.

"Tapi orang kan dinilai bukan hanya dari perbuatannya, tapi juga dari niatnya," katanya.

Norma meyakini hak cipta dalam kasus ini adalah hak atas kekayaan intelektual. Jadi tidak semata-mata berkaitan dengan penghargaan ekonomis, sebab penerbit setidak-tidaknya sudah punya jasa mensosialisasikan pemikiran para penulis.

Kalaupun suatu saat terjadi penuntutan, menurut Norma akan menyeret berbagai pihak. Dan ia yakin setiap penerbit di Yogyakarta akan saling melindungi karena begitu satu kena, penerbit yang lain akan jatuh.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)