Kedaulatan Rakyat Digugat

Ahmad Nasir

Sun, 1 April 2001

KORAN tertua di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, digugat. Penggugatnya Bambang Muriyanto, wartawan koran itu

KORAN tertua di Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat, digugat. Penggugatnya Bambang Muriyanto, wartawan koran itu. Ia menuntut ganti rugi Rp 69 juta gara-gara dipecat tanpa alasan.

Resminya Bambang diberhentikan pada 12 Desember 2000. Dia baru menerima surat pemecatan pada 2 Januari 2001. Tiga hari kemudian Bambang menemui pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat Oka Kusumayudha.

Kusumayudha mengatakan Bambang diberhentikan karena tidak disiplin, tidak pernah mengisi presensi harian, dan tidak loyal pada perusahaan. Ia sering menulis di media lain.

Bambang sengaja tak mengisi presensi harian dengan harapan dipanggil pemimpinnya. “Itu bagian dari protes saya terhadap kinerja Kedaulatan Rakyat yang sangat memeras wartawannya,” ujar Bambang.

Kendati demikian Bambang tetap bekerja seperti biasa. Setiap hari pria berusia 34 tahun ini menyusuri sudut-sudut Yogyakarta, mengendarai motor tua Honda C-70 miliknya, untuk meliput dan menulis berita. Tapi, Bambang bukan wartawan ngepos yang tulisannya bisa tiap hari dimuat dan koran dua belas halaman itu kian sempit digerogoti iklan.

Ia mulai bekerja di Kedaulatan Rakyat pada Agustus 1996. Bambang bertugas di desk berita internasional sebagai penerjemah. Ketika halaman berita internasional dihilangkan pada 1998, ia pindah sebagai reporter berita kota. Agar asap dapur tetap mengepul, Bambang mencari berita di luar pos. Biasanya, berupa tulisan reportase mendalam yang muncul sekali dalam seminggu.

Honor bulanan yang diterima dihitung berdasarkan tulisan yang dimuat. Berita straight news dihargai Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Feature dibayar Rp 25 ribu. Jika tulisannya menjadi headline, ia menerima Rp 30 ribu.

Beruntung, Bambang juga trampil memotret. Jika dimuat, imbalan per foto Rp 50 ribu. Di luar itu ia mendapat honor tetap setiap bulan. Jumlahnya setara dengan upah minimum regional Yogyakarta. Waktu pertama masuk Kedaulatan Rakyat, honornya Rp 106 ribu. Kini, empat tahun kemudian, honor bulanannya mencapai sekitar Rp 230 ribu. Jika ditambah dengan honor tulisan yang dimuat, ia bisa membawa pulang sekitar Rp 500 ribu.

Sejak April 2000 Bambang menulis untuk koran The Jakarta Post. Setiap tulisan yang dimuat ia menerima honor antara Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu. Rupanya Oka Kusumayudha tak senang. Bambang dianggap tidak loyal.

“Wartawan yang lain sudah diperingatkan dan segera berhenti, tapi dia jalan terus,” ujar Oka Kusumayudha. Ia menambahkan Bambang juga melamar kerja di koran berbahasa Inggris itu. “Presensinya banyak yang bolong, perusahaan boleh mempertimbangkan untuk memperpanjang kontrak atau tidak,” jelas Oka Kusumayudha.

Bagi Bambang, tuduhan tak loyal dibantahnya. Ada dua wartawan Kedaulatan Rakyat yang menulis untuk The Jakarta Post. Toh, mereka dibiarkan saja. Lagipula dalam kontrak kerja tak ada larangan bagi wartawan Kedaulatan Rakyat menulis di media lain.

Bambang mengaitkan pemecatannya dengan kejadian lain. Pada Maret 2000 polisi Yogyakarta membongkar kasus perjudian di sebuah hotel. Kepala polisi Yogyakarta Anwarudin Budiono menduga ada keterlibatan wartawan.

Belakangan Anwarudin meralat keterangannya dan justru menyalahkan wartawan yang dianggapnya tak akurat. Sikap ini mendatangkan protes dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Kecuali Kedaulatan Rakyat , media di Yogyakarta saat itu gencar memberitakan peristiwa terbongkarnya kasus perjudian yang diduga melibatkan wartawan.

Menurut Bambang seringkali berita tentang perjudian yang sudah di-lay-out, tidak dicetak. Karena itu, Bambang yang anggota AJI Yogyakarta menulis opini di Jawa Pos Radar Yogya edisi 1 April 2000.

Tulisan itu berjudul Menyoal Demoralisasi Wartawan, mengupas ulah wartawan yang mendukung perjudian.

Mulai saat itu Nurhadi, redaktur Kedaulatan Rakyat yang menangani rubrik kriminal, tak pernah lagi mengajak Bambang bertegur sapa. Menurut Bambang, Nurhadi dekat dengan para bandar judi.

“Itu kan dugaan dia saja. Saya juga bingung mengapa dia mengaitkan itu,” tutur Nurhadi. Kusumayudha menolak berkomentar. Bagian manajemen juga sudah menyiapkan pesangon, tapi Bambang tak mau datang.

AJI Yogyakarta telah membentuk tim advokasi yang siap membela Bambang. Mereka melayangkan somasi kepada direksi Kedaulatan Rakyat. Koordinator tim advokasi, Afnan Malay telah mengirim surat peringatan dengan batas waktu 14 hari. “Jika sampai batas waktu tidak ada tanggapan, kami akan menempuh jalur hukum,” tandasnya.

Kedaulatan Rakyat tampaknya tenang-tenang saja. Mereka tak menanggapi somasi itu. Kusumayudha merasa tidak pernah memecat wartawannya. Baginya tidak memperpanjang kontrak sangat berbeda dengan memecat. Karena itu ia siap meladeni gugatan. *

kembali keatas

by:Ahmad Nasir