SENJA sudah beranjak menjadi rembang petang. Para pengail di kolam pemancingan itu masih ramai. Sore itu, suatu Minggu Februari lalu, matahari mulai condong sembari perlahan-lahan menggelincirkan diri ke ufuk barat. Meski kolam pemancingan Sangkuriang, di bagian timur Jakarta itu buka 24 jam, ada beberapa pengail yang mulai berbenah dan menghitung hasil buruan mereka. Tapi di sana, di pematang tepian kolam, seorang perempuan masih menunggu kapan sebatang dari tiga joran-nya disambar ikan. Ia tampak sabar, menikmati suasana santai itu.

Begitu tampak riak-riak kecil di permukaan air, dengan sigap tapi tenang, perempuan itu mengangkat joran sembari menggulung benang plastiknya. Dan…ups! Seekor ikan mas menggelepar di ujung kail. Dengan tangkas ia menangkapnya, memasukkan jari tengah tangan kanan ke mulut ikan, sementara jemari tangan kiri melepas kail, lantas memasukkan ikan malang itu ke dalam bubu kecil yang dibiarkan terendam di air agar hasil tangkapan tetap segar. Hari itu rupanya ia sangat beruntung: tak kurang dari tiga kilogram ikan mas bisa ia bawa pulang. Sudah sejak dua tahun terakhir ini ia memancing di sana. Setiap hari Minggu, dari pagi hingga petang, terkadang juga di hari-hari biasa.

“Tapi sejak beberapa bulan lalu, ketika kasus itu merebak di media massa, saya absen mancing. Baru bulan lalu saya mulai mancing lagi,” katanya. “Ketika saya mancing lagi, banyak kawan yang bilang merasa kehilangan. ‘Kemana bu haji selama ini?’ tanya mereka. Mereka juga bilang, kalau tidak ada saya katanya hambar. Tapi saya biasa-biasa saja,” tambahnya sambil tertawa renyah. Raut mukanya tampak berubah ketika ia melanjutkan cerita sambil memperbaiki letak topi pet di kepalanya, “Yah, bagi saya mancing merupakan hobi untuk menenangkan diri, rileks. Saya tidak mau mengingat-ingat masa lalu yang bikin sedih, jengkel dan was-was.”

Tidak seperti hari biasa, tiap kali pergi memancing perempuan itu tak mengenakan kerudung muslimah. Ia mengenakan busana santai: celana panjang, t-shirt longgar, lengkap dengan topi pet dan sandal jepit. Dan biasanya ia tak sendirian. Suami, adik kandung dan anak perempuannya selalu menemaninya. “Sejak pagi-pagi saya sekeluarga sudah mempersiapkan peralatan. Saya sendiri punya tiga joran. Satu di antaranya, yang bagus, harganya Rp 150 ribu. Yang paling murah cuma Rp 15 ribu. Umpannya saya bikin sendiri, dari tepung campur ikan teri dan telur sebagai perekatnya. Mancing itu menyenangkan dan sehat. Kenalan kita juga tambah,” katanya lagi.

Nama perempuan itu Aryanti. Tak salah lagi, dialah Aryanti binti Arsyad boru Sitepu – nama yang sepanjang tahun 2000 banyak disebut media. Perempuan berdarah Batak-Betawi ini, anak ketiga dari 10 bersaudara, diberitakan pernah menjalin kisah kasih dengan Abdurrachman Wahid, sejak lima tahun sebelumnya, ketika presiden Indonesia ke empat itu masih menjabat sebagai ketua Nahdlatul Ulama, sementara Aryanti masih berstatus sebagai isteri kedua H.M. Yannur, seorang pengusaha sukses asal Samarinda.

Bukan hanya itu, ia sendiri secara blak-blakan membeberkan beberapa bukti. “Saya merasa dibohongi oleh Cak Dur. Dulu dia bilang mau menikahi saya, tapi ternyata ingkar janji. Ketika ia menjadi presiden dan bilang ‘jangan membohongi rakyat’ saya merasa justru sayalah rakyat yang dibohongi itu,” ujarnya. “Saya membeberkan cerita ini juga bukan untuk menjatuhkan presiden atau menginginkan sejumlah uang. Saya hanya menceritakan apa yang saya alami secara jujur, menceritakan kebenaran. Saya berani menceritakan ini semua karena apa yang saya alami benar-benar terjadi. Justru saya sakit hati ketika Cak Dur bilang tidak mengenal saya,” tambahnya.

Dalam usianya yang kini 39 tahun, ibu dua anak yang kini menikah untuk ketiga kali itu, masih menyisakan paras kecantikannya. Raut wajahnya ramah dan murah senyum. Kulitnya kuning langsat. Penampilannya mengesankan ia cukup rapi dalam berdandan. Alur pikirannya logis, pandai dan lancar mengemukakan pendapat. Bicaranya enak didengar, apalagi karena ia sering membumbuinya dengan canda atau guyon. Dari nada suaranya yang bening dan renyah tersembul kesan sikap hidupnya yang optimistis, namun tak jarang tersirat perasaan pasrah di tengah badai yang seakan tak henti menerpanya. Mendengarkan ceritanya, orang mudah bersimpati.

Tampilnya Aryanti Sitepu sungguh menghebohkan. Reaksi terhadap pengakuannya luar biasa. Sebagian besar menuduh ada keinginan politis menjatuhkan Presiden Wahid di balik pembeberan itu. Banyak pula yang bertanya-tanya, mengapa kasus yang terjadi lima tahun sebelumnya itu baru diungkapkan belakangan, justru di tengah sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat?

Merebaknya kisah ini bermula ketika pimpinan dan beberapa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), juga beberapa bekas menteri, menerima seberkas dokumen skandal kisah kasih itu. Yang bikin langit politik bergetar ialah pengakuan tertulis Sitepu pada selembar kertas bermeterai Rp 6 ribu bahwa ia pernah berhubungan intim bak suami-isteri dengan Abdurrahman Wahid yang kini presiden Republik Indonesia. Tak kalah serius ialah selembar foto yang memperlihatkan seorang lelaki –dengan sosok dan wajah seperti Wahid — tengah memangku mesra Aryanti Sitepu. Orang pun lantas menebak-nebak, jangan-jangan foto tersebut merupakan hasil rekayasa montase, sementara yang lain bertanya-tanya apakah ada unsur pemerasan di balik safari distribusi dokumen yang menghebohkan itu.

“Itu bukan berita. Itu gosip murahan yang tak perlu ditanggapi,” ujar Wahyu Muryadi, wartawan Tempo yang kini jadi kepala protokol istana dengan ketus. Sementara Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Wanita Khofifah Indar Parawansa, terheran-heran ada perempuan Indonesia tega membuka aib sendiri. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab menyebut Sitepu tak beriman, “Ia menelanjangi dirinya sendiri.” Sebaliknya, Habib Hussein al-Habsyi, ulama berdarah Arab yang cukup berpengaruh dan buta sejak kecil, justru menilai Sitepu lebih beriman ketimbang Shihab, karena berani mengakui kesalahan, membeberkan kebenaran, dan tak takut menanggung resiko berhadapan dengan kekuasaan.

Dalam pada itu kepada Gatra, Ahmad Bagdja, salah seorang wakil ketua Nahdlatul Ulama, menuding pemberitaan mengenai skandal itu untuk mendiskreditkan Presiden Wahid, setelah lawan-lawan politiknya tak berhasil menggusurnya melalui mekanisme formal konstitusional. Sholahuddin Wahid berkomentar senada. “Untuk menjatuhkan citra Presiden,” kata adik kandung Wahid itu kepada Adil. Bahkan katanya kepada Panji Masyarakat ada politik dan uang di belakangnya. “Buat si perempuan uang, dan yang di belakangnya bertujuan politis. Ada yang membayar dia dan bekas suaminya itu,” ujarnya.

Tapi yang paling menyakitkan hati Sitepu ialah reaksi Abdurrahman Wahid sendiri: “Gitu aja kok diurusin. Siapa sih wanita itu?”

CERITANYA bermula ketika ia menunaikan ibadah haji sendirian, Mei 1995, tanpa diantar suaminya, Muhammad Yannur. Di Mekah, kebetulan ia berkenalan dengan seorang lelaki yang cukup gagah: Sulaiman. Dan Sitepu yang mengaku sering kesepian – karena suaminya yang punya empat isteri itu “hanya sebulan atau dua bulan sekali mengunjungi saya” – rupanya memang selalu ingin berteman. “Saya senang, apalagi Haji Sulaiman orangnya suka bercanda,” ujarnya. Sepulang haji, dua-tiga bulan kemudian, iseng-iseng Sitepu membuka-buka album foto ketika ia menunaikan rukun Islam ke lima itu, dan menemukan foto Sulaiman. Lalu, iseng-iseng pula, ia menelepon Sulaiman.

Maka suatu hari bertandanglah Sulaiman ke rumah Sitepu di Perumnas Aren Jaya, Jalan Pulau Halmahera Raya Nomor 372, Bekasi Timur. “Kami ngobrol, bernostalgia. Ya, reuni-lah. Lalu kami makan siang di luar,” tutur Sitepu. Beberapa hari kemudian lelaki itu memperkenalkan Sitepu dengan Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, di kantor Nahdlatul Ulama di Jalan Kramat Raya, Jakarta. “Ketika itu saya ditawari salak oleh Gus Dur,” tutur Sitepu lagi melanjutkan ceritanya. Mereka bertiga lantas keluar kantor makan sate, kebetulan juga menu kesukaan Sitepu dan Gus Dur. Usai makan, Gus Dur minta nomor telepon rumah Sitepu. Dan sejak itu mereka sering berjam-jam ngobrol di telepon, biasanya usai subuh.

Suatu hari, Oktober 1995, kembali Sitepu bertandang ke kantor Nahdlatul Ulama tempat Wahid berkantor. Kebetulan ketika itu Wahid hendak berkunjung ke Bali menghadiri pertemuan pemimpin umat berbagai agama di Kompleks Candi Dasa, Karangasem, milik perempuan sepuh tokoh Hindu terkemuka Bali. Sitepu diajak, mau. “Di sanalah untuk pertama kalinya kami melakukan hubungan suami-isteri itu,” Sitepu mengaku tanpa sungkan. Pulang dari Bali, menurut Sitepu, hubungan intim itu dilanjutkan di Jakarta dari hotel ke hotel; yang paling sering di Hotel Harco, Jalan Raden Saleh, Jakarta. “Ketika itu secara samar-samar saya sudah mulai mencurigai isteri saya yang ada main dengan Gus Dur. Tapi saya belum punya bukti,” tutur Yannur.

Di lain pihak, Sitepu merasa sebagai “perempuan yang sangat kesepian.” Maklum, menurut Sitepu, Yannur sangat jarang mengunjungi isteri keduanya itu. Sitepu tak tahu pasti, Yannur lebih sering menginap di rumah isterinya yang mana: yang di Surabaya, Samarinda, Depok, atau di kota yang lain lagi. “Pak Yannur bahkan tidak mau tinggal di rumah menjelang kelahiran anak perempuan saya, Sarah. Saya bahkan sempat berlari-lari mengejar Pak Yannur sambil menangis, minta agar dia mau menunggui kelahiran Sarah,” katanya dengan suara bergetar. Apa daya, lelaki berpenampilan perlente, dengan tubuh sehat dan kulit bersih itu, melenggang jalan ke rumah isteri yang lain.

Alkisah, pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, Yannur menengok anaknya, Sarah, yang bulan Juni nanti genap berusia sembilan tahun. Ketika itulah ia mengendus perilaku selingkuh isterinya. Karena sudah hanyut dan memang mengagumi sosok Wahid, tak segan-segan Sitepu pun menceritakan hubungannya dengan kekasihnya itu, kepada suaminya. Karena itu ia berani minta cerai kepada Yannur, karena katanya, Wahid berjanji akan menikahinya. “Ketika itu saya sebenarnya terguncang juga. Tapi apa boleh buat. Akhirnya saya merelakannya. Apalagi calon suaminya seorang tokoh, sehingga bisa saya pastikan ada jaminan anak saya berada dalam asuhan orang yang bener. Tapi saya minta bukti bahwa memang benar Gus Dur yang akan menikahi isteri saya,” kata Yannur.

Maka datanglah harinya, ketika suatu subuh, sejoli yang lagi kasmaran itu ngobrol sembari bercanda melalui telepon seperti biasanya. Sitepu yang ingin memberikan bukti bahwa ia pacaran dengan Gus Dur — agar ia bisa diceraikan — menempelkan gagang telepon ke telinga suaminya. Sssrrr…hati Yannur terkesiap, karena ia yakin suara yang terdengar di telinganya itu benar suara dan gaya bicara Wahid. Namun, Yannur masih membutuhkan bukti yang lebih kuat. Ia minta Sitepu berpotret bersama tokoh pujaannya itu. “Karena lagi jatuh cinta, ya saya mau saja. Apalagi foto berdua itu merupakan persyaratan agar saya bisa bercerai dengan Pak Yannur,” Sitepu melanjutkan kisahnya.

Hari berjalan terus. Yannur gamang untuk menceraikan Sitepu, tapi silih berganti mengunjungi isteri-isterinya yang lain. Di lain pihak, secara berkala Sitepu bertemu dengan Wahid pada hari-hari tertentu. Maka tepat pada suatu hari, ketika Sitepu dan Wahid berjanji kencan di Hotel Harco, Yannur merencanakan pemotretan. Bersama Sitepu dan Sarah, ia berangkat dari Bekasi Timur menuju ke sebuah hotel di Jakarta, tak jauh dari Harco. Di sebuah kamar hotel itu ia memotret Sitepu, Sarah, Sitepu bersama Sarah, dan Yannur bersama Sarah. Nah, sisa film dalam kamera mini milik Yannur itulah kemudian yang dibawa Sitepu ketika ia menemui Wahid di Harco.

Berhasil mendapatkan bukti perselingkuhan, Yannur pun menceraikan isterinya, 22 Oktober 1996. Sejak itu Sitepu merasa bebas, kencan demi kencan pun jalan terus. Namun, menurut Sitepu, belakangan ia patah hati setelah tahu Wahid mulai berdekatan dengan seorang perempuan muda. Hubungan mulai renggang, apalagi setelah Wahid terserang stroke Oktober 1997. “Dalam kebingungan dan kesepian itu, saya menikah dengan Pak Ali, April 1998. Dia duda beranak tiga, pedagang beras di Pasar Induk. Nasib Pak Ali sama dengan saya, dia ditinggal isteri. Ketika ketemu, saya langsung bilang, mau nggak kita menikah tanpa cinta? Dia mau. Malah katanya, saya mendapat kamu saja sudah bersyukur.”

Kenangan Sitepu kembali membayang, ketika Wahid diangkat menjadi presiden Republik Indonesia, 21 Oktober 1999. “Saya mengikuti perkembangan persidangan di televisi. Saya selalu berdoa mudah-mudahan dia berhasil menjadi presiden. Saya yakin dia mampu,” kata Sitepu dengan nada bangga. Matanya berbinar-binar. “Dulu Pak Yannur bertanya, ‘Mengapa kamu tertarik pada Gus Dur?’ Kamu memang gagah, tampan, ganteng. Tapi saya mengagumi Gus Dur bukan karena fisiknya. Dia itu tokoh masyarakat yang hebat, ulama yang kata-katanya mampu menenteramkan hati saya.”

Suatu hari, Juni 2000, ketika Sitepu bersama suaminya, Muhammad Ali, menunggui warung berasnya di Pasar Induk, Kramat Jati, Jakarta Timur, telepon berdering. “Ada telepon dari istana!” teriak suaminya. Di seberang sana terdengar suara Somad, ajudan Wahid di kantor Nahdlatul Ulama, yang dikenal cukup baik oleh Sitepu. Katanya, Somad ingin mempertemukan Sitepu dengan Wahid kembali. Namun Sitepu enggan dan gamang, apalagi dia sudah menjadi Nyonya Ali. Tapi Somad mendesak terus. “Dia selalu ingat sama Bu Yanti,” katanya. Rencana menemui Presiden Wahid di istana belum terlaksana, keburu oleh kedatangan Muhammad Yannur, bekas suami Sitepu, 22 Juni 2000.

Ketika itulah Yannur terperanjat. “Semula saya datang untuk menengok anak saya. Tapi di rumah itu saya ketemu dengan Ali yang ternyata suami Aryanti,” kata Yannur. Rupanya Yannur kecewa. Tapi entah terdorong oleh apa, tiba-tiba Yannur membicarakan rencana untuk membeberkan hubungan khusus Wahid-Sitepu. Padahal, hubungan itu sudah berlalu hampir empat tahun sebelumnya. Maka disusunlah seberkas dokumen: pengakuan tertulis Sitepu mengenai hubungan intimnya dengan Wahid, ditanda-tangani di atas kertas bermeterai Rp 6.000 bertanggal 29 Juli 2000, disaksikan tiga orang, di antaranya seorang ulama. Dan yang paling seram: selembar foto yang memperlihatkan seorang lelaki dengan penampilan mirip Wahid tengah memangku Aryanti Sitepu. Foto inilah yang pemotretannya beberapa tahun lalu sengaja direncanakan Yannur.

Pada mulanya Yannur menawarkan dokumen itu kepada Dahlan Iskan untuk dimuat di harian Jawa Pos. Dahlan Iskan bukan orang asing buat Yannur. Mereka teman sekolah di Pendidikan Guru Agama, Samarinda. Tapi orang nomor satu Grup Jawa Pos itu menolak. Bisa dimaklumi, sebab beberapa hari sebelumnya Jawa Pos diserbu Barisan Serbaguna, militia Nahdlatul Ulama, gara-gara menurunkan berita yang dianggap memojokkan Hasyim Muzadi, ketua Nahdlatul Ulama. Yannur rupanya tak putus asa. Berbekal segepok map berisi dokumen, akhir Juli 2000, ia menemui sejumlah politisi di Jakarta menyampaikan “fakta kebenaran demi amar ma’ruf nahi munkar.” Bisa ditebak, politisi yang ditemuinya adalah lawan politik Wahid. Ia juga menemui sejumlah ulama Nahdlatul Ulama yang berseberangan dengan Wahid.

Ada kekuatan politik di balik aksi Anda? Yannur tertawa santun, lalu berkata dengan intonasi yang jelas, “Saya bukan orang partai, bukan orang politik. Apa yang saya kerjakan semata-mata tergerak oleh hati nurani untuk menyampaikan fakta kebenaran demi keadilan. Ini bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sama sekali tidak ada motif politik di belakangnya. Saya juga tidak menginginkan uang. Kalau saya sebagai warganegara mengadu ke Senayan, itu kan wajar, karena yang saya hadapi kebetulan presiden.”

Tapi Anda juga menemui sejumlah ulama yang berbeda paham dengan Abdurrahman Wahid? Ia tertawa lagi. Tubuhnya yang subur terguncang-guncang. “Begini. Ibaratnya, saya menuju ke mesjid untuk salat atau mendengarkan ceramah agama. Kebetulan ada jemaah lain yang ikut jalan sama saya, tapi sampai di masjid dia ngaco. Nah, itu kan bukan salah saya?” katanya menjelaskan. Beberapa media menuduh Fuad Bawazier berada di belakang pembeberan aib ini. Bawazir, bekas menteri keuangan jaman Presiden Soeharto, belakangan terpilih sebagai wakil utusan dari daerah Yogyakarta di Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan kebetulan dekat dengan kelompok Poros Tengah, lawan politik Wahid. Tapi kepada wartawan yang menanyakannya, ia berkata diplomatis, “Yang penting kan substansinya, apakah kasus itu benar atau tidak. Nah, benar tidaknya tanyakan sama Gus Dur.”

SEJUMLAH wartawan tahu cukup awal dugaan perselingkuhan Wahid-Sitepu. “Saya sudah mendengar informasi itu dua minggu sebelum Gatra menurunkan laporan utama mengenai kasus tersebut,” kata M. Thoriq, wakil pemimpin redaksi Berpolitik.com. Bambang Harymurti, pemimpin redaksi Tempo, Fadjar Pratikto, redaktur eksekutif Adil, Imam Anshori Saleh, redaktur eksekutif Media Indonesia, menyatakan hal yang sama. “Saya bahkan sudah mempersiapkan laporan itu dua minggu sebelum terbit,” ujar Widi Yarmanto, pemimpin redaksi Gatra. Uni Z. Lubis, pemimpin redaksi Panji, juga menyimpan bahan eksklusif yang diperolehnya selama dua minggu.

Masing-masing saling menunggu. Lubis menunggu konfirmasi dari Istana Merdeka yang tak kunjung tiba, Yarmanto menunggu news peg. Thoriq, yang mengajak Yarmanto dan Lubis memuat kasus tersebut bersama-sama, tak berhasil. Dalam proses saling menunggu itu, Sitepu yang selalu ditemani Yannur, membeberkan ceritanya kepada Gatra dan Panji.

Maka ketika Gatra menyalip rekan-rekannya mendahului terbit dengan cover story kasus Gus Dur-Aryanti, 2 September 2000, dunia politik Indonesia, dan jurnalisme, pun geger. Gatra memungut berita Antara 23 Agustus 2000 sebagai news peg. Berita Antara berjudul “Gus Dur Diisukan Berfoto dengan Wanita bukan Muhrim” itu menyiarkan himbauan Ali Machsan Moesa, ketua Nahdlatul Ulama Jawa Timur, agar warga Nahdlatul Ulama mampu mengendalikan anak-anak muda untuk bersikap tenang dan tidak terpancing oleh sikap yang kontraproduktif. Himbauan itu didasarkan pada pengakuan kyai Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan, Tuban, yang menyatakan bahwa Wahid akan diisukan berfoto bersama wanita yang bukan muhrim.

Begitu laporan Gatra terbit, Sitepu menuai kerepotan. Telepon di rumahnya sering berdering. Ia juga diburu wartawan, sementara rumahnya disatroni orang-orang yang tak dikenal. “Menjelang kasus saya dimuat di Panji, sebelum Gatra terbit, anak saya diculik,” ujar Sitepu. Ferry Dermawan, kini 21 tahun, anak lelaki hasil pernikahannya dengan suami pertama, pernah diculik sehari dan diancam, jika ibunya meneruskan membeberkan skandalnya dengan Wahid ia akan dibunuh. Kini ia tinggal di rumah salah seorang famili dekat ibunya di Bandung. Dan Sarah, adik tirinya yang baru duduk di kelas empat sekolah dasar, tak sempat melanjutkan sekolah gara-gara harus mengikuti orangtuanya mengungsi dari rumah ke rumah, dari hotel ke hotel.

“Saya terpaksa menjual warung beras di Pasar Induk seharga Rp 40 juta untuk biaya hidup selama dalam pelarian itu,” tuturnya. Kini, setelah badai agak reda, Sitepu membuka warung di rumahnya, berjualan sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Ekonomi keluarganya tak lagi stabil, namun Sitepu sekarang juga menanggung nafkah dan pendidikan ketiga anak Ali, suaminya kini. “Saya ingin menyekolahkan mereka ke pesantren. Tapi biayanya belum ada. Ada majalah dan koran yang katanya mau membantu, tapi sampai sekarang tidak ada apa-apanya,” ujarnya sedih. Meski begitu, di hari Minggu atau hari-hari biasa, ia menyempatkan diri memancing. Ia juga mulai membaca buku-buku agama. “Kalau mengingat peristiwa kemarin itu tubuh saya masih suka gemetar. Sehabis salat saya selalu berdoa sambil menangis. Saya merasa berdosa. Kadang-kadang saya bertanya dalam hati, apakah Tuhan mau mengampuni saya?” katanya dengan suara bergetar.

Di tengah perenungan itu, datang seorang pelukis. Begitulah, suatu hari di minggu pertama bulan September 2000, telepon genggam Sitepu bersenandung. Ia diundang oleh Hardi, pelukis yang pernah melukis dirinya sendiri sebagai Presiden RI ke-III itu, untuk dilukis di studionya. Ketika itu Hardi merasa penasaran untuk memindahkan tubuh Aryanti ke kanvas, setelah mendengarkan diskusi mengenai kasus Gus Dur-Aryanti di radio Jakarta News FM. Hardi pun nimbrung ikut bicara melalui telepon.

“Dalam diskusi itu banyak orang tidak percaya bahwa kasus itu benar. Bahkan moderatornya cenderung menuduh ada motif politik di balik kasus itu. Ada pula yang menduga-duga cerita itu sebagai upaya pemerasan. Tapi saya percaya cerita itu benar, karena saya mengenal betul siapa Gus Dur,” kata Hardi. Maka datanglah Sitepu ke studio Hardi bersama Sarah. Rupanya ia sudah siap benar. Ia membawa serta pakaian ganti dan peralatan rias. Hanya sekitar dua jam ia berpose di depan Hardi sembari menceritakan kisah-kasihnya bersama Wahid.

Maka jadilah lukisan acrylic pada selembar kanvas ukuran 70×90 sentimeter persegi. Sang pelukis memberinya judul The Ballad of Aryanti Sitepu. “Saya berusaha keras menangkap suasana batin Aryanti. Ada kejujuran, kesederhanaan, tapi juga kegetiran dan kegamangan. Dibanding foto-fotonya yang banyak dimuat di media massa, lukisan yang saya buat ini lain sama sekali. Ketika saya melukis, kesan saya Aryanti benar-benar lagi gamang,” ujar Hardi. Mengenakan kebaya dan kain, lengkap dengan kerudung, Sitepu tampak duduk setengah tercenung.

Di latar belakang ada gambar payung. “Itu kan lambang kekuasaan,” kata Hardi. Juga ada selembar baju batik yang tergantung pada hanger. “Maksud saya, itu baju Gus Dur,” ujar Hardi, tanpa bermaksud bercanda. Dan seperti pada lukisan-lukisan karyanya yang lain, yang bermodelkan perempuan, pada The Ballad of Aryanti Sitepu Hardi juga meletakkan bulatan seperti matahari atau bulan di latar belakang. Merah menyala. “Ya, itu simbol kehidupan Aryanti. Biar bagaimana pun ia harus jalan terus.”

STRATEGI Gatra menurunkan laporan utama cukup jitu. Meski bukan satu-satunya majalah yang pertama kali mendapat informasi soal Aryanti Sitepu, majalah ini memimpin pemberitaan. Biarpun media dotcom macam Panji.co.id atau Berpolitik.com sudah lebih dulu menyiarkannya, Gatra adalah media cetak yang pertama kali menurunkan kasus yang menggegerkan itu. “Bahan yang kami peroleh cukup lengkap. Tapi kaset rekaman wawancara dan bahan-bahan lain kami simpan di laci dulu, menunggu konfirmasi dari istana dan news peg yang tepat,” kata Widi Yarmanto, pemimpin redaksinya. News peg adalah gantungan berita. Sebuah informasi bisa penting tapi baru bisa diberitakan dan bernilai besar bila ada gantungannya.

Dalam rapat redaksi, perdebatan pro dan kontra untuk menurunkan berita itu sangat tajam. Akhirnya Widi Yarmanto memutuskan: pertama, berita bisa diturunkan dengan syarat harus memenuhi liputan dua pihak; kedua, meskipun kejadiannya sudah lama, penurunan berita itu merupakan pesan moral bahwa seorang pejabat publik juga merupakan tokoh panutan, diungkap tanpa bermaksud menjatuhkannya; ketiga, untuk menempatkan berita itu sebagai peristiwa aktual, harus ditunggu news peg yang tepat. Akhirnya muncullah berita Antara 23 Agustus 2000 berisi himbauan pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Timur agar pengikut mereta tetap tenang.

Meski begitu, Yarmanto tetap melayangkan lima surat permintaan konfirmasi. Antara lain kepada Sekretaris Kabinet Marsillam Simandjuntak dan putri Wahid, Zannuba Arfah Chafsoh Rahman, alias Yenni. Namun, tak satu pun menjawab. Dalam pada itu, berita perselingkuhan dan foto pangkuan itu sudah merebak di internet. “Kami masih berhati-hati. Bahan lengkap sudah kami dapat tiga minggu sebelumnya, tapi terpaksa kami tunda pemuatannya seminggu lagi,” tambahnya. Awak Gatra tetap memburu sumber terpenting: Yannur dan Sitepu. Sampai di sini, meskipun sudah berhasil mewawancarai mereka, rapat redaksi masih alot menurunkan laporan utama itu atau tidak.

“Pendapat yang berkembang berkisar pada nilai berita yang menyangkut nama presiden. Jangan sampai ada kesan Gatra menurunkan berita itu untuk menyerang Gus Dur, baik sebagai pribadi maupun dalam kapasitasnya sebagai presiden. Kami semata-mata bersikap amar ma’ruf nahi munkar sebagai sesama Muslim. Apalagi dia public figure,” kata Yarmanto. “Jadi, kebijakan kami semata-mata pertimbangan jurnalistik belaka. Memang itu masalah privat, tapi kan juga menyangkut moral pejabat publik, dan publik berhak untuk mengetahuinya,” tambahnya.

Maka dibentuklah tim kulit muka terdiri lima orang dengan koordinasi Saiful Anam, kepala pusat liputan, dan Putut Trihusodo, salah seorang redaktur pelaksana Gatra. Namun, dalam byline story hanya dicantumkan Tim Gatra. “Saya ambil alih tanggungjawab semuanya. Bagi saya ini taruhan profesi. Kalaupun harus masuk penjara, ya nggak apa-apa. Bukan tak mungkin kami akan mengalami nasib sama dengan Jawa Pos,” kata Yarmanto lagi. Beberapa waktu sebelumnya, kantor Jawa Pos di Surabaya diduduki dan diobrak-abrik sejumlah pemuda militia Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama.

Tak mudah Gatra memburu Aryanti Sitepu, meski sudah mendapatkan alamatnya di Bekasi Timur, yang tercantum di berkas yang disebar-luaskan Yannur. Ketika itu Sitepu mengungsi, sedang perempuan yang menunggui rumahnya, adik Sitepu, mengaku tak tahu. Tim Gatra yang kembali sembari membawa foto Sitepu juga tak berhasil membujuk perempuan yang menunggu rumah itu. Baru setelah Sitepu datang dan mengatakan, “Bilang saja aku ini kakakmu,” penunggu rumah itu mengaku. “Saya memang minta kepada keluarga saya supaya tidak ngomong kepada siapa pun kecuali dengan izin saya,” kata Sitepu.

Dua kali tim Gatra mewawancarai Yannur dan Sitepu, dari pagi hingga sore. Pertama, 5 Agustus 2000 di sebuah apartemen di Senayan. Kedua, 17 Agustus 2000 di rumah Sitepu. “Untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan, selain kaset rekaman kami juga menggunakan kamera video handycam,” ujar Yarmanto. Gatra terbit dengan sampul “Heboh Foto Intim Gus Dur–Aryanti,” sementara laporan utamanya, “Nada Konspirasi di Balik Nyanyian Aryanti” –judul yang sangat berhati-hati. “Kami memang berusaha menulis dengan sangat sopan. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada istilah-istilah seperti affair, perselingkuhan, dan sebagainya,” kata Trihusodo.

Pada hari edar, Senin pagi, 28 Agustus 2000, telepon kantor Gatra berdering: ada sejumlah jemaah Nahdlatul Ulama dari Depok bermaksud datang ke kantor Gatra. Kabar itu rupanya juga didengar sejumlah wartawan lain. “Cameraman SCTV dan sejumlah wartawan datang kemari menunggu mereka. Tapi sampai pukul 10:00 alhamdulillah tidak ada ada apa-apa,” ujar Yarmanto lagi. Sebagai editor ia juga siap ketika polisi bermaksud memanggil untuk memeriksanya. Tapi tak seorang petugas pun yang datang. Yang pasti, menurut pengakuan Yarmanto, tiras majalahnya melejit satu setengah kali lipat, dari sekitar 50 ribu jadi 65 ribu eksemplar. Habis pula. Dan katanya ada yang menjual Gatra @ Rp 15 ribu, lebih dari harga semula yang Rp 8.800. “Tapi di lain pihak, juga ada isu bahwa Gatra menerima uang Rp 70 juta. Demi Allah, kami tidak menerima sepeser pun dan dari mana pun,” kata Yarmanto tegas.

Panji Masyarakat adalah media cetak kedua yang menyiarkan berita heboh itu. Ketika pertama kali tahu, pemimpin redaksi Panji Uni Zulfiani Lubis melihatnya sebagai berita bernilai tinggi karena ada public figure. Apalagi ada pengakuan Sitepu. Sejak semula Lubis penasaran karena tak satu pun wartawannya berhasil mengendus berita menarik itu. “Ini cerita yang sangat bagus, tapi tak satu pun kalian mendapatkannya. Enam orang meliput sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakjat, tak seorang pun yang mendapatkannya,” kata Lubis jengkel dalam rapat redaksi.

Pertimbangan pro dan kontra dalam rapat redaksi Panji menurut Uni Lubis: pertama, majalahnya bisa dianggap murahan. “Berita perselingkuhan bisa menurunkan gengsi Panji, dan pemimpin redaksinya dianggap murahan pula,” ujarnya. Kedua, mungkin ada ancaman fisik berupa pendudukan kantor Panji oleh pemuda militia Nahdlatul Ulama seperti yang dialami oleh Jawa Pos. ”Tapi mayoritas redaksi setuju menurunkannya karena kasus itu layak berita. Memang, kejadiannya sebelum Gus Dur jadi presiden, tapi dia kan kiai,” tambahnya.

Katanya lagi, Panji semata-mata mempertimbangkannya dari sudut jurnalistik. Ia juga membantah pemuatan berita itu merupakan agenda politik Fuad Bawazier, seteru politik Presiden Wahid yang kebetulan memiliki saham di majalah Panji. “Tapi ada pertimbangan lain. Selama ini penunjukan atau pemilihan presiden tak pernah mempertimbangkan moral. Soekarno jadi presiden begitu saja, Soeharto lewat proses tidak alamiah, Habibie juga tidak ditanya soal moral karena naik by coincidence. Begitu pula Gus Dur yang pertama kali terpilih secara demokratis juga tidak ditanyai mengenai moral,” tambahnya.

Biar pun Gatra yang pertama kali terbit dengan laporan utama kasus Gus Dur–Aryanti, Lubis mengaku dialah yang pertama kali tahu kasus yang menghebohkan itu. Minggu sore, 13 Agustus 2000, pada hari-hari pertama sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, ia menerima telepon dari salah seorang staf ahli Panji. Si penelepon memberitahu mengenai foto seorang lelaki yang mirip Wahid tengah memangku seorang perempuan. Ternyata hari itu Gatra sudah mewawancarai Sitepu.

“Gatra itu deadline-nya Sabtu, sedang mereka mendapatkan informasi Jumat. Jadi waktunya sangat mepet. Padahal berita ini membutuhkan konfirmasi yang serius karena menyangkut nama presiden. Karena Gatra sudah wawancara lengkap, bahkan dengan rekaman video segala, saya tak bernafsu menurunkannya. Panji sudah ketinggalan, tak mungkin mengejar lagi. Apalagi saya dan kawan-kawan belum berbuat apa-apa. Hari Senin, dalam rapat cover story saya bilang kepada kawan-kawan bahwa Gatra sudah dapat. Kita kalah set. Tapi, e, ternyata ada informasi Gatra tidak jadi menurunkannya untuk edisi minggu itu.”

Sampai di situ Lubis masih belum tahu mau berbuat apa. Apalagi Gatra pasti akan menurunkannya pada edisi berikutnya. “Dalam rapat redaksi hari Jumat, saya dengar Gatra masih belum mau menurunkan berita itu. Saya lalu berpikir, lho kalau Gatra nggak berani masak Panji juga nggak berani? Selama ini Panji kan tidak pernah tidak berani nurunin berita apa pun. Lalu saya bilang kepada kawan-kawan, kalau Gatra nggak berani ambil, ya kitalah yang ambil. Sabtu, 19 Agustus 2000, barulah saya mulai terlibat mencari tahu bagaimana mengontak Aryanti. Tapi saya kira yang harus dikontak dulu Yannur.”

Lubis mendapatkan nomor kontak Yannur dari seseorang yang mengontak Gatra dan beberapa media lain untuk menawarkan pemuatan berita itu. “Tapi demi Allah, bukan Fuad Bawazier. Dia wartawan juga, yang menawarkan pemuatan berita itu kepada media tempat dia bekerja tapi ditolak. Saya tentu saja ingin sekali ketemu Aryanti tapi dia masih di Yogya, sedang pulangnya tergantung dapat tiket pesawat atau tidak. Lalu kami stand by sampai larut malam. Kalau dapat wawancara hari Minggu masih ada kesempatan konfirmasi hari Senin dan Selasa. Bekerja dalam hitungan jam pun sudah biasa,” tambahnya.

Setelah wawancara dengan Yannur, Minggu 20 Agustus 2000, keesokan harinya Lubis berhasil wawancara dengan Aryanti di suatu tempat yang dirahasiakan. Ia ditemani tiga wartawan Panji, satu di antaranya mengambil foto, dan dua orang lagi yang merekam dengan kamera video handycam. “Janjinya jam sebelas, tapi wawancara baru dimulai jam satu siang sampai jam enam sore, diseling makan malam, lalu wawancara lagi sampai jam delapan malam. Saya, kalau wawancara yang begini, selalu tidak sendiri. Harus ada saksi. Lebih baik kalau dia fotografer. Sebab kalau cuma menggunakan kaset rekaman, narasumber bisa mengelak tidak pernah wawancara.”

Senin malam itu juga Uni Lubis menggelar rapat kilat untuk memutuskan menurunkan berita, dan menulis surat kepada Presiden Wahid minta konfirmasi, dengan tenggat Selasa. “Tapi Selasa malam Aryanti menelepon sambil menangis. Dia minta pemuatannya ditunda karena anaknya, Ferry, baru saja diculik orang tak dikenal selama 24 jam. Terpaksa laporan utama dibatalkan. Padahal saya tidak punya cadangan sebagai penggantinya. Lalu kami putuskan menurunkan kasus Aryanti dalam rubrik Selingan tanpa menyebut nama Gus Dur. Tiba-tiba, malam itu datang wartawan yang ditugasi reporting di Hotel Harco. Dia marah-marah karena laporan utama tak jadi turun.”

“Masak kita nggak berani Mbak?” kata si wartawan, sambil marah-marah, jengkel, bahkan menangis.

“Elu ngomong langsung deh sama Ibu Aryanti,” kata Lubis.

Tapi laporan ini tak bisa terbit pada Kamis 24 Agustus 2000. “Rupanya dalam proses itu, surat permintaan konfirmasi kepada presiden beredar pula di kalangan NU dan segala macam, bahwa Panji akan menurunkan kasus tersebut. Lalu muncullah pernyataan pimpinan wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur yang disiarkan Antara itu.”

Berita Antara itulah kemudian yang diambil oleh Gatra sebagai news peg. “Gatra itu nyamber, menelikung di tikungan duluan. Saya marah besar. Tapi apa boleh buat, Panji terpaksa terbit belakangan. Dan akhirnya kami turunkan wawancara dengan Aryanti karena Gatra belum berani menurunkannya secara lengkap. Baru profil Aryanti saja. Meskipun terbit belakangan, Panji punya kelebihan, yaitu wawancara lengkap dengan Aryanti sepanjang lima halaman.”

Untuk membidik peluang pasar, Uni Lubis tak kehilangan akal. Judul-judul Panji cukup provokatif. Di sampul, misalnya, “Gus Dur Bohongi Saya”, sementara judul laporan utama, “Dari Foto Intim ke Gosip Politik,” empat halaman plus foto Sitepu yang memperlihatkan baju Wahid yang disimpannya. Wawancara khusus dengan Sitepu sepanjang lima halaman berjudul “Gus Dur Bilang, Nanti Kita Tobat.” Panji juga mewawancarai adik kandung Wahid, Sholahuddin Wahid, ditambah kisah selingkuh beberapa kepala negara lain, masing-masing satu halaman.

Berpolitik.com juga sudah cukup lama menggenggam bahan Gus Dur-Aryanti. Tapi Mohamad Thoriq, wakil pemimpin redaksinya, mantan redaktur tabloid Detik, mengetahui beberapa media tak berani menurunkan berita karena mengaku ada tekanan dari kelompok yang dekat dengan Presiden Wahid. “Artinya ada informasi yang tersumbat. Karenanya, misi kami ialah menjebol sumbat itu, meski sebenarnya saya juga tak terlalu berselera dengan jenis berita itu,” kata Thoriq.

“Kami tak punya maksud lain kecuali mau menjebol sumbat informasi itu. Ini sikap normal jurnalis saja. Sudah mengantungi bahan berita komplit, tapi kok tidak berani menurunkan. Seorang teman, redaktur di sebuah media yang mempunyai bahan berita Aryanti mengatakan, medianya ditelepon oleh orang yang mengaku dari eksponen sebuah organisasi massa pemuda. Katanya orang itu mengancam, jangan sampai berita tentang Aryanti dimuat,” katanya lagi.

Di tengah ketakpastian beberapa media akan memuat atau tidak, Thoriq bersama anggota redaksinya, Ahmad Saikhu, menggalang media lain: Gatra, Panji, Media Indonesia. “Kalau mau memuat bareng, ayo. Selasa, 22 Agustus 2000 sebenarnya saya akan mendahului memuat, tapi ada kabar Gatra menunda laporan utamanya. Berarti dalam rapat redaksi di Gatra, seperti yang diceritakan redaktur Heddy Lugito, pihak yang mengusulkan pemuatan kasus Aryanti, kalah suara,” tutur Thoriq. Dalam pada itu Ahmad Saikhu yang menghubungi Mukhlis Hasyim dari Media Indonesia dan Uni Lubis dari Panji memperoleh kabar bahwa kedua media itu mengurungkan beritanya pula.

Akhirnya sumbat informasi itu jebol di tangan Hari Nugroho, koresponden Surabaya Berpolitik.com. Ia mendapatkan pintu masuk yang bagus. Jumat, 25 Agustus 2000, Presiden Wahid menjenguk ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi yang dirawat di rumah sakit Surabaya. Ketika itulah, Hari menemani Ali Maschan Moesa, ketua pimpinan wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, menunggu kedatangan Wahid. Kepada Maschan Moesa, Hari menanyakan ramainya bisik-bisik orang tentang beredarnya foto presiden bersama seorang perempuan. Hari sama sekali belum menyebut nama Aryanti. Tanpa diduga, Maschan Moesa secara mengejutkan mengatakan ia telah menginstruksikan kepada seluruh cabang Nahdlatul Ulama dan jajarannya di Jawa Timur agar tenang. Berita tersebut bisa meresahkan.

Hari itu juga Berpolitik.com menaikkan beritanya, Jumat 25 Agustus 2000, pukul 19.51. Berita inilah yang akhirnya menjebol sumbat informasi kasus Gus Dur-Aryanti. Tapi Berpolitik.com sama sekali belum menyebut nama Aryanti, hanya “seorang perempuan.” Berpolitik.com menulis, “Di Jawa Timur mulai ramai bisik-bisik tentang beredarnya foto Presiden Abdurrahman Wahid bersama seorang perempuan.” Maschan Moesa sendiri pun tak langsung menyebut nama Aryanti Sitepu, melainkan hanya, “seorang perempuan yang bukan muhrimnya.”

Segera setelah itu, orang Berpolitik.com menghubungi lagi Mukhlis Hasyim dari Media Indonesia dan Uni Lubis dari Panji. “Saya juga mengontak Detik.com yang akhirnya juga memuat berita itu. Saya mendapat keterangan bahwa Media memutuskan tidak memuat, sementara Panji edisi cetak akan memuat tapi menunda hari terbitnya,” tutur Thoriq lagi. Karena Panji menunda penerbitan, maka ringkasan kasus Gus Dur-Aryanti versi online disiarkan terlebih dulu di Panji.co.id dan Panjionline.com hanya beberapa jam setelah Berpolitik.com. Dalam versi online itu, Panji juga hanya menyebut “seorang pejabat tinggi negara” atau “seorang pejabat sangat penting.” Dalam berita itu juga dijanjikan bahwa cerita lengkapnya akan dimuat dalam majalah Panji Masyarakat yang segera akan terbit.

Jadi, urutan pemberitaannya berawal dari Berpolitik.com pada hari Jumat, 25 Agustus 2000, pukul 19.51, kemudian Detikcom, baru kemudian Panji.co.id pada hari Sabtu 26 Agustus 2000 dinihari. Setelah itu Berpolitik.com memuat lanjutan cerita kasus tersebut tiga kali berturut-turut, termasuk janji Panji yang akan menggeber cerita itu selengkapnya pada terbitan cetaknya. “Saya memberitakan janji Panji itu. Setelah itu Gatra tampaknya terkilik-kilik untuk menerbitkannya. Akhirnya, untuk versi cetak, Gatra yang pertama kali terbit,” tambah Thoriq. Gatra beredar hari Senin, 28 Agustus 2000.

Thoriq bukannya tak menyadari kelabunya berita itu. Ini ruang publik atau pribadi? Di satu pihak bisa ditafsirkan sebagai masalah pribadi yang tak bersangkut-paut dengan kepentingan publik, di lain pihak menyangkut nama besar seorang tokoh publik. Meskipun peristiwanya sudah lama lewat, berita itu menyangkut tokoh yang kebetulan sekarang menjadi presiden. “Saya bisa memahami kalau Tempo memilih untuk tidak tertarik memuatnya, sementara Gatra dan Panji tertarik,” kata Thoriq.

Kalau begitu, apa pertimbangan Berpolitik.com menjebol kasus Gus Dur-Aryanti? “Begini. Ada berita menyangkut tokoh penting, tapi di lain pihak ada usaha untuk menghambat penyiarannya. Bahan berita sudah cukup lengkap di tangan, tapi wartawan tidak berani menurunkannya. Nah, saya hanya mau menjebol sumbat penghalang penyiaran informasi itu dengan melakukan koordinasi dengan kawan-kawan dari media lain. Concern saya ialah kebebasan lalu lintas informasi. Soal penilaian, serahkan kepada publik,” ujar Thoriq.

KETIKA Berpolitik.com, Gatra, dan Panji sudah terbit dengan cerita yang banyak dibaca orang, Fadjar Pratikto kebat-kebit juga. Redaktur eksekutif tabloid Adil itu ingin pula menerbitkan cerita tersebut tapi dengan angle yang lain. “Saya berusaha menggali sisi-sisi yang belum diterbitkan oleh Gatra dan Panji. Meskipun sudah ketinggalan, saya masih optimis Adil masih akan dicari orang di pasaran. Adil, misalnya, berani memuat foto lelaki bercelana pendek yang memangku perempuan itu, yang tidak dimuat oleh Gatra maupun Panji. Foto itu memang menjadi bahan diskusi cukup tajam antara redaksi dan divisi pemasaran,” tuturnya.

Divisi pemasaran ngotot minta agar foto tersebut dimuat di cover dengan pertimbangan mampu menarik pasar, sementara redaksi masih mempertimbangkan segi etika. Akhirnya diputuskan: foto dimuat tapi di halaman dalam. “Selain itu Adil juga mencoba menampilkan cerita lain yang juga belum diungkap oleh Gatra dan Panji, yaitu perempuan-perempuan di sekitar Gus Dur,” tutur Pratikto lagi. Judulnya, “Wanita Lain di Sekeliling Sang Kiai.” Judul-judul yang ditawarkan oleh Adil sebenarnya biasa-biasa saja. Misalnya, untuk sampul depan “Geger Gus Dur–Aryanti” sementara judul laporan utama kurang provokatif: “Badai Belum Berlalu, Gus.”

Hari terbit Adil ialah Kamis, sementara hari terbit Gatra dan Panji masing-masing Senin dan Rabu. Jadi, memang tak mungkin bersaing di hari yang sama. Namun, masih ada satu hal yang bikin Pratikto optimis tabloidnya bisa bersaing di pasaran, yaitu dalam hal harga. Harga Adil Rp 2.500, jauh lebih murah ketimbang Gatra dan Panji yang masing-masing Rp 8.800 dan Rp 9.800. “Dalam masa krisis, orang yang ingin membaca kasus itu lebih memilih media yang harganya murah. Apalagi kalau ada informasi tambahan yang lumayan seperti perempuan-perempuan di sekitar Gus Dur itu,” kata Pratikto lagi.

Bagi Pratikto, berita yang mengejutkan banyak kalangan itu layak jual. “Ada keterlibatan public figure, sementara korbannya mengungkapkan pengakuan secara terus-terang,” ujarnya. Itu sebabnya tiras jual Adil naik 80 persen dari tiras cetak yang menurut Pratikto rata-rata 50 ribu eksemplar. “Biasanya Adil cuma laku antara 60 sampai 70%,” tambahnya. Itu tak berarti Adil, yang biasanya cukup kritis terhadapWahid, menurunkan berita semata-mata untuk menyerang presiden. “Kami tetap menulis sesuai dengan asas jurnalisme dengan melakukan both side coverage, mencari konfirmasi, dan sebagainya,” katanya lagi.

Di lain pihak, sebenarnya Pratikto juga paham bahwa berita tersebut sebenarnya masih dalam wilayah pribadi, dan tak berhubungan secara langsung dengan kepentingan publik. “Itu memang masalah pribadi. Tapi ketika Adil terbit, kasus itu sudah menjadi masalah publik karena sudah disiarkan oleh media lain. Jadi kami pun menulis dengan enak saja, tanpa beban. Dan di situ juga ada keterlibatan public figure sehingga nilai beritanya tinggi. Kalau secara pribadi sih, sebenarnya saya nggak tega mengungkapkan kasus ini. Kita sendiri kan belum tentu bersih semua,” tambahnya, tertawa kecil.

Bagi Forum Keadilan berita yang membeberkan dugaan perselingkuhan itu dinilai bersifat pribadi. “Yannur dan Aryanti memang datang ke Forum tapi mula-mula saya tak mau menemui mereka. Sebab, sejak awal saya tidak setuju memuat berita seperti itu. Itu kan cara berpolitik yang rendah dan vulgar, tidak elegan, untuk menjatuhkan presiden,” kata Noorca M. Massardi, pemimpin redaksi Forum.

Itu tak berarti Massardi berpangku tangan. Ia tetap minta wartawannya mengikuti perkembangan berita. “Cuma sayang, sumber-sumber istana sama sekali tidak kasih komentar. Ketika itu adik saya, Adhi M. Massardi, belum jadi jurubicara kepresidenan. Dalam proses itu saya berfikir, dampak berita itu bisa berbalik menjadi boomerang bagi Yannur dan Aryanti. Bisa dipersoalkan, misalnya, apakah mereka bisa dituduh menghina kepala negara, dan bagaimana pula dampaknya terhadap media yang memuatnya,” ujarnya.

Tapi terjadi perubahan. Forum mencoba terbit dengan topik sama, tapi angle-nya hukum perselingkuhan. Masalahnya juga lebih dipertajam. “Saya sih sebenarnya tidak setuju. Tapi redaksi saya persilakan jalan terus, asal mereka yakin tidak melanggar rambu-rambu politik dan etika,” kata Massardi.

Dengan angle dampak hukum dari pemberitaan kasus Gus Dur-Aryanti, Forum yang terbit belakangan, tampil di pasar dengan judul sampul, “Aryanti Sengaja Menghina Presiden?” sedang judul laporan utamanya, “Pasal Karet Siap Menjerat Aryanti.” Laporan itu dilengkapi wawacara dengan Aryanti Sitepu, “Saya Juga Mengalami Tekanan Mental,” dan sebuah tulisan yang membahas perbuatan zina dari sudut hukum Islam. Toh sejak pagi-pagi Noorca Massardi tak berharap berita itu mampu mendongkrak tiras. “Oplagnya tetap saja 45 ribu,” ujar Massardi.

NUSA Tenggara merasa berkepentingan memuat kasus Gus Dur-Aryanti. Sebab, harian milik Kelompok Bakrie ini terbit di Denpasar, Bali, tempat dugaan kisah kasih itu terjadi. “Apalagi magnitude–nya cukup besar. Dengan harapan koran akan laku keras, redaksi memutuskan menurunkan berita itu dengan syarat berimbang dan bisa dipercaya,” kata Syarofuddin Imfad, redaktur pelaksana Nusa. Selama dua minggu berturut-turut, mulai 28 Agustus 2000, Nusa menyajikan headline cerita itu di halaman pertama.

Judul-judul beritanya cukup menantang, seperti “Presiden Digoyang Isu Selingkuh”; “Proros Tengah Otaki Isu Selingkuh Presiden,” atau “Gus Dur Ngaku Tak Kenal Aryanti.” Pada pemuatan hari kedua dan ketiga, Nusa memuat kembali foto dokumentasi ketika Wahid dan Sitepu berkunjung ke Pura Besakih dan Candi Dasa. “Foto itu saya pinjam dari Ibu Gedong Bagus Oka. Ketika itu tidak ada yang tahu siapa perempuan berkerudung dalam foto tersebut,” tutur Syarofuddin. Itu sebabnya banyak orang mengatakan Nusa-lah yang pertama kali menyiarkan foto Wahid piknik bersama Sitepu ke Bali.

Pertama kali Nusa mendapat informasi mengenai kasus tersebut dari dua korespondennya di Jakarta sekitar dua minggu sebelum Gatra terbit. Segera Syarofuddin minta agar mereka mengkonfirmasikannya kepada Hasyim Muzadi, dan dua tokoh Nahdlatul Ulama di parlemen, Muhaimin Iskandar dan Effendi Choiri. Sedang untuk mencari tahu duduk soal foto di Pura Besakih dan Candi Dasa, ia menugaskan dua wartawan mewawancarai Gedong Bagus Oka, ibu pemilik Ashram Gandhi, semacam pesantren bagi umat Hindu. Panjang dan cukup lengkap, Nusa menurunkan berita itu dengan menjahit berbagai berita yang dimuat beberapa media cetak dan online tapi tetap menyebutkan sumbernya.

“Karena memuat berita kontroversial dan banyak dibicarakan orang, tiras Nusa naik cukup drastis sekitar 15-20% dari rata-rata 80 ribu eksemplar,” kata Syarofuddin. Untung, koran ini tak digerebek pemuda militia Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama, karena menurut Syarofuddin yang pernah menjadi wartawan Surabaya Post itu, “letak Denpasar relatif jauh dari Surabaya.”

Tapi harian Surya yang terbit di Surabaya –yang juga memuat berita menghebohkan itu– ternyata juga aman-aman saja. “Ketika beberapa koresponden Surya di Jakarta melaporkan berita tersebut, saya bilang kita lihat dulu bagaimana cerita sebenarnya,” ujar Basuki Subianto, redaktur pelaksana Surya.

Setelah Gatra dan Panji terbit, Subianto mulai berpikir. “Saya bukan takut menurunkannya. Justru menurut saya masyarakat Jawa Timur, termasuk komunitas Nahdlatul Ulama, perlu mendapat informasi yang benar dan berimbang dari pada mendengar isu yang simpang-siur,” katanya lagi. Subianto minta redaksi Surya menurunkan berita itu dengan kalimat-kalimat yang tak menantang. Surya memuat berita itu secara sporadis di delapan edisi. Koran yang terbit sejak 1989 sebagai hasil kerjasama manajemen Kompas dan Pos Kota itu hanya menurunkan berita konfirmasi dan bantahan saja.

DARI sudut etika jurnalistik, layakkah berita yang menyangkut pribadi itu dimuat? Menurut Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, dan salah seorang wartawan Indonesia yang dianggap paling menguasai masalah etika, secara teknis jurnalistik cara pemberitaan Gatra, Panji dan Forum sudah memenuhi standar jurnalistik yang universal. Mengenai adanya media yang memuat atau tidak, menurut Astraatmadja, tergantung kebijakan dan selera masing-masing redaktur. Berita itu tak merugikan kepentingan publik.

“Dalam peristiwa itu, pelakunya menggunakan uang pribadi, bukan uang partai, uang masyarakat atau negara. Tapi kalau ia menggunakan uang masyarakat atau negara, berita itu mutlak harus dimuat dan kasusnya dipersoalkan, karena ada kepentingan publik yang dirugikan. Berita itu juga bisa dimuat karena pelakunya tokoh masyarakat. Tapi harus dipertimbangkan, bahwa kejadiannya sudah lama dan tidak ada kepentingan publik yang dirugikan,” ujar Astraatmadja.

Sebagai perbandingan. Di Amerika Serikat, negara yang melindungi kebebasan pers, dugaan perselingkuhan diperlakukan media dengan berbeda-beda. Dalam kasus Presiden Bill Clinton dengan mahasiswi magang Gedung Putih Monica Lewinsky, misalnya, bukan perselingkuhannya yang dipersoalkan, melainkan ucapan Clinton, “I don’t know this woman.” Artinya, ada kebohongan. Di sini ada unsur hukum yang dilanggar, karena itu media mempersoalkannya. Kisah asmaranya sendiri tak terlalu dipersoalkan karena pers menganggapnya sebagai masalah pribadi. Clinton selamat karena ia minta maaf.

Itu tak berarti berita seputar ranjang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Dalam kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1988, calon presiden Gary Hart dari Partai Demokrat, yang semula diramalkan potensial mengalahkan pesaingnya, George Bush, terpaksa mengundurkan diri gara-gara kepergok wartawan menginap di rumah pacarnya, model Donna Rice.

Pada 1960-an ketika Presiden John F. Kennedy berkantor di Gedung Putih, para wartawan Gedung Putih tahu betapa sang presiden punya hubungan istimewa dengan beberapa perempuan terkenal seperti bintang film Marilyn Monroe. Kennedy dikenal luas sebagai playboy. Tapi ketika itu pers tak memberitakanna, karena mereka menganggapnya sebagai masalah pribadi. Barulah sesudah kematian Kennedy, media memberitakannya lantaran salah seorang perempuan yang dikencani Kennedy, Judith Campbell Exner, juga pacaran dengan tokoh mafia, Sam Giancana. Jangan-jangan Giancana menggunakan Exner untuk mempengaruhi kebijakan politik Kennedy?

Pada saat yang hampir bersamaan, media Amerika Serikat total tak memberitakan hubungan Martin Luther King, tokoh gerakan antidiskriminasi, dengan seorang perempuan. Rekaman mereka ketika bermesraan ditawarkan oleh seorang tokoh intel Amerika kepada beberapa editor media. Namun media menolak memuatnya dengan alasan mereka curiga dengan motif di balik rekaman itu. Apa jadinya gerakan antidiskriminasi Amerika bila media saat itu memberitakan King, seorang pendeta, punya hubungan dengan perempuan yang bukan istrinya? Integritas pribadi King mungkin dikoyak-koyak oleh media kulit putih yang tak suka dengan gerakan persamaan hak?

Bagi Rosihan Anwar, wartawan senior dan mantan editor harian Pedoman, layak tidaknya berita sekitar ranjang itu tak ada aturan yang jelas. “Tidak ada ketentuan bagi pers bahwa suatu berita boleh ditulis dan berita yang lain tidak boleh ditulis. Orang Belanda bilang, Geen wet van Meden en Perzen, tidak ada hukum yang menentukan dengan tegas. Terserah kepada wartawan, tergantung pada nurani masing-masing. Tidak ada kesamaan pendapat mengenai yang patut dan yang tak patut. Di Inggris yang terkenal dengan tabloid-tabloid yang suka sensasi, toh tidak semuanya suka mengungkap gosip,” katanya.

Mungkin karena pertimbangan macam itu, tiga koran besar terbitan Denpasar dan Surabaya, Bali Post, Jawa Pos dan Surabaya Post, tidak memuat berita perselingkuhan itu. Bagi redaktur pelaksana Bali Post, Nyoman Wirata, berita itu masih sebatas isu belaka. “Bahkan saya melihat ada kepentingan politik di belakangnya. Apalagi Gus Dur kan sudah membantah. Kecuali jika kasusnya dibawa ke pengadilan,” katanya.

“Ketika pertama kali mendengar berita itu saya sedang di Jakarta mengawasi tes penerimaan koresponden Bali Post. Ketika itu Gatra sudah beredar di pasaran. Sorenya saya menelepon ke Denpasar. Saya bilang, sebaiknya kita tak usah memuatnya, dan ternyata kawan-kawan redaksi sepakat. Sebelum saya menelepon pun, mereka sudah sepakat tidak menurunkannya,” tambahnya. Bukan karena Nusa, saingan Bali Post, sudah duluan memuatnya? “Ah, tidak. Biar saja koran lain memuatnya. Berita semacam itu memang bukan porsi kami,” jawab Wirata.

Untuk alasan yang sama, koran sore Surabaya Post juga tak menurunkan berita itu. “Berita itu tidak ada kepentingannya buat publik. Dan itu memang tradisi Surabaya Post sejak dulu. Kami ingin tampil sebagai koran yang santun dan dapat dipercaya,” kata Zaenal Arifin Emka, redaktur pelaksananya.

Sudah bisa diduga, Jawa Pos, koran terbesar di Surabaya dan punya jaringan terkuat di Indonesia bagian timur, juga tidak memuat. Sebab, beberapa waktu sebelumnya, koran ini digerebek Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama gara-gara memuat berita salah tentang Hasyim Muzadi. Sulit dibayangkan bagaimana jika koran yang dituduh sering merugikan Nahdlatul Ulama itu menurunkan berita minor tentang Gus Dur. “Ya, otomatis kami tidak memuatnya,” ujar pemimpin redaksi Dhimam Abror Djuraid. Orang nomor satu Jawa Pos Dahlan Iskan juga memperingatkan Dhimam Abror Djuraid agar tak menurunkan berita tersebut, meskipun beberapa hari sebelumnya Yannur menemui Dahlan Iskan di Surabaya.

Ketika itu Yannur bilang bahwa ia punya senjata buat Dahlan Iskan. Yannur menunjukkan foto Aryanti bersama orang yang dikatakannya sebagai Gus Dur. Dahlan kaget sekali. “Wah, ini bukan lagi senjata pamungkas tapi bom nuklir.”

MEDIA Indonesia termasuk koran Jakarta yang tak menurunkan berita Gus Dur-Aryanti. “Sebelum Gatra dan Panji terbit dengan laporan Aryanti, Surya Paloh sudah memperingatkan agar Media tidak memuatnya. Daya cium Surya memang cukup tajam. Dia tak ingin korannya terbit dengan berita yang kontroversial,” kata Imam Anshori Saleh, redaktur eksekutif Media Indonesia. Surya Paloh adalah pemilik dan pemimpin umum Media Indonesia. “Lagi pula ketika itu berita tersebut masih berupa isu, belum menjadi urusan polisi,” tambahnya.

Bagi Saleh, berita itu sama sekali tak menyangkut kepentingan publik. “Itu masalah pribadi antara Gus Dur dan Aryanti, masyarakat tidak dirugikan. Kalau Media memuatnya, beritanya sulit berimbang karena konfirmasi ke istana sangat sulit. Selain itu, kejadiannya kan sudah lama. Mungkin Media akan memuat kalau jadi urusan polisi, ada pengaduan ke pengadilan, atau DPR memanggil presiden. Baru itu jadi berita. Dalam rapat redaksi memang ada yang sudah sudah punya bahan lengkap. Dia bilang, jangan sampai Media ketinggalan. Tapi saya sudah curiga di balik berita itu ada apa-apanya,” tambahnya.

Kecurigaan Saleh terletak pada kemungkinan motif politik di belakang upaya menyiarkan berita itu. “Lihat saja bagaimana Yannur ke sana ke mari menyodor-nyodorkan dokumen pengakuan Aryanti dan foto seronok itu. Termasuk menemui sejumlah politisi yang berlawanan politik dengan Gus Dur.” Lantas ia menyebut nama-nama Amien Rais, Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita, Yusuf Kalla, Fuad Bawazier. Juga sejumlah ulama yang berseberangan dengan Gus Dur, misalnya Idham Chalid, Ali Yafie, Yusuf Hasyim, Hamid Baidlowi dari Rembang, Chasib Wahab dari Jombang. “Saya curiga,” katanya lagi.

Pemimpin redaksi majalah Tempo, Bambang Harymurti, juga mencium kasak-kusuk di belakang penawaran berita itu oleh Yannur. “Ada orang datang menawarkan bahan berita, katanya bisa dimuat. Dia bersedia diwawancarai, tapi juga mengaku disponsori,” kata Harymurti. “Sebagai news, berita itu menarik. Ada tokoh publik sebagai pelaku, hingga punya nilai jual. Sayang, kejadiannya sudah lama. Cuma mengapa baru diungkap sekarang? Ada yang bilang ada media yang menerima tawaran bahan dan foto menghebohkan itu dari kalangan yang anti Gus Dur.” tambahnya.

Menurut Harymurti, Tempo sebenarnya bukan tak mau memuat, cuma tak mau memuat pada kesempatan pertama. Karena itu ia memerintahkan wartawannya terus mengumpulkan dan mewawancarai sumber-sumber yang berimbang, sambil menunggu presiden dipanggil DPR. “Sudahlah, berita semacam itu kan bukan porsi Tempo. Tapi kalau ceritanya berlangsung terus, Tempo akan memuatnya lepas dari apa motifnya. Sebab, berita itu sudah menjadi pembicaraan publik,” ujarnya. Dalam rapat-rapat redaksi, Toriq Hadad menentang keras pemuatan berita itu. “Kita jangan terjebak jadi alat politik,” kata redaktur eksekutif Tempo itu.

“Sikap saya lebih lunak. Berita itu memang bukan porsi Tempo. Atau belum menjadi konsumsi Tempo. Tapi, nanti kalau Gus Dur dipanggil oleh DPR, nah, barulah berita itu menjadi makanan Tempo. Baru itu namanya news,” ujar Harymurti lagi menegaskan. Sikap seperti itu juga ada pada Susanto Pudjomartono, pemimpin redaksi The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris. “Kami memuat cerita itu sebagai berita yang diperkirakan bukan tak mungkin akan mempunyai dampak politik terhadap pemerintahan Gus Dur. Tapi Post tak menulis detil ceritanya sebagai skandal, sebagai cerita kamar tidur. Sebab hal itu kan sudah menyangkut privacy seseorang. Post yang menempatkan diri sebagai quality paper tak mungkin menurunkan berita semacam itu,” katanya.

“Jajaran redaksi dan semua wartawan Post sepakat bahwa berita semacam itu bukan porsi Post. Jadi kami tak usah merapatkannya. Biasa-biasa saja. Menurut saya, pers tetap harus selektif dalam menurunkan berita. Pers harus tetap mengikuti nilai-nilai yang hidup di masyarakat, harus berhati-hati dan cermat. Harus bisa membedakan berita yang masih bersifat privat, dan mana yang menyangkut kepentingan publik. Pers juga tidak boleh semata-mata berorientasi kepada pasar. Jadi, berita semcam itu bukan porsi Jakarta Post. Biarlah pers lain yang melahapnya,” ujar Pudjomartono.

Agak sedikit berbeda dengan The Jakarta Post, yang masih memuat walau sedikit, harian Kompas memutuskan tak memuat sama sekali berita perselingkuhan itu. “Ketika itu saya yang memimpin Kompas. Dan sejak semula saya tidak berniat menurunkan berita itu, karena sifatnya sangat pribadi, menyangkut privacy seseorang,” ujar August Parengkuan, mantan wakil pemimpin redaksi Kompas, yang sejak tahun lalu menjabat sebagai direktur komunikasi Kelompok Kompas-Gramedia. “Lagi pula berita itu kan tidak lagi aktual, karena kejadiannya sudah lama. Anda menduga ada perdebatan dalam rapat redaksi? Tidak ada. Sebab, berita semacam itu sudah beberapa kali terjadi, baik yang menyangkut pribadi yang dikenal maupun yang tidak dikenal masyarakat. Kompas tidak mungkin menurunkannya, biarpun media lain memuatnya. Ini sudah merupakan policy redaksional Kompas,” tambahnya.

Sikap sama dimiliki harian sore Suara Pembaruan. “Sejak pertama menerima informasi mengenai perselingkuhan itu, saya menilai tak bisa dimuat. Sebab, kandungan opini di dalamnya lebih banyak dari faktanya. Saya juga meragukan kebenaran foto perselingkuhan itu, yang bisa jadi rekayasa teknologi komputer,” kata Cyprianus Aoer, redaktur pelaksana Suara Pembaruan. “Memang ada wartawan yang mengusulkan untuk memuatnya, katanya untuk menaikkan tiras. Tapi keputusan redaksi tetap: tidak memuat,” tambahnya.

Bagi Cyprianus Aoer, berita perselingkuhan itu masih sebatas isu. Dan koran yang baik, katanya, tak bermain di isu, apalagi yang sarat dengan nuansa politik di belakangnya, melainkan bermain di fakta yang dapat dipercaya oleh pembaca. “Kasusnya juga kan sangat pribadi, itu masalah privacy seseorang. Lagi pula mengapa yang diungkap justru aib Gus Dur, sementara timing-nya di saat sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat? Kalau maksudnya mau mengontrol, mestinya aib semua tokoh dibeberkan. Mungkin banyak tokoh lain yang perilakunya lebih menghebohkan. Sasaran berita ini sangat jelas, yaitu Gus Dur yang kebetulan menjadi presiden,” ujarnya lagi.

Cyprianus Aoer, yang merintis karir sebagai reporter sejak 1982 ketika Suara Pembaruan masih bernama Sinar Harapan (dibredel rezim Presiden Soeharto sehingga ganti nama), kini memprihatinkan sebagian besar media yang rata-rata lebih suka menampilkan opini ketimbang fakta. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata, “Kaidah jurnalistik yang paling dasar sudah mulai ditinggalkan. Etika menulis berita rupanya mulai dilupakan pula. Wartawan seenaknya saja menulis judul yang sarat opini, sementara beritanya sendiri kadang-kadang bukan berupa fakta. Ini berbahaya. Berbahaya bagi perkembangan mutu pers dan berbahaya bagi pembaca. Masyarakat bisa tak lagi mempercayai pers, sekaligus pikirannya teracuni.”

Dalam kasus Aryanti, Gus Dur tahu hal itu merupakan soal privacy, sehingga ia bilang, “Gitu aja kok diurusin.” Gus Dur bukan orang yang tak kenal mekanisme kerja media. Ia pernah lama jadi kolumnis buat harian Kompas dan mingguan Tempo. Seperti halnya Clinton yang menyatakan, “I don’t know this woman,” Wahid juga mengatakan, “Siapa sih wanita itu?” Nah, sebagaimana pers Amerika yang mempersoalkan kebohongan Clinton, pers Indonesia seharusnya juga bisa melakukan investigasi sejauh mana Wahid benar menjalin hubungan khusus dengan Sitepu. Dalam hal ini Wahid, yang mengerti makna dan menghormati kebebasan pers, bersikap cerdik dengan mendiamkannya, tak menggugat media yang memuat berita seputar dirinya. Dan isunya lambat-laun lenyap.

Namun seperti yang hendak digambarkan lukisan The Ballad of Aryanti Sitepu, yang kalah bukan Gus Dur, bukan lawan politik Gus Dur, tapi Aryanti. Hardi mungkin benar ketika mengatakan, “Biar bagaimana pun ia harus jalan terus.”*

Wawancara dengan Uni Z. Lubis dilakukan oleh Elis N. Hart.

by:Budiman S. Hartoyo