Kembali "Masuk Islam" atau Hengkang

Yayasan Pantau

Tue, 19 January 2016

Human Rights Watch (HRW) meminta pemerintah Indonesia melindungi minoritas Ahmadiyah dari intimidasi dan ancaman pengusiran dari pemerintah daerah di Pulau Bangka.

Baru-baru ini HRW mendapat salinan surat perintah Pemerintah Daerah Bangka pada warga Ahmadiyah untuk kembali ke ajaran Islam Sunni atau angkat kaki dari Bangka.

“Pemerintah daerah Bangka berkonspirasi dengan kelompok Muslim garis keras untuk tak taat hukum agar bisa mengusir jemaah Ahmadiyah dari rumah mereka,” ujar Phelim Kine, Wakil Direktur Human Right Watch wilayah Asia.  “Presiden Joko Widodo harus intervensi guna menjaga hak warga Ahmadiyah dan memberi sanksi pegawai negeri yang advokasi diskriminasi agama.”

Surat tersebut diteken Fery Insani, Sekretaris Daerah Bangka, menyatakan, Jemaah Ahmadiyah Indonesia harus keluar dari lingkungan Srimenanti atau bertobat, “ … segera meninggalkan lingkungan Srimenanti Sungailiat khususnya, Bangka pada umumnya, dan silahkan berdomisili ke tempat asal mereka.”

Jemaah Ahmadiyah di Pulau Bangka, yang hanya terdiri 14 keluarga, mengatakan pada Human Right Watch bahwa perintah pengusiran, termasuk pelecehan dan intimidasi oleh pemerintah daerah, polisi dan tokoh organisasi Islam, sudah berbulan-bulan mereka alami.

Jemaah Ahmadiyah menganggap mereka sebagai bagian dari Islam, namun berbeda dengan Muslim Sunni, mereka menganggap Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaah Ahmadiyah, sebagai “imam mahdi.” Sebenarnya, Ahmadiyah menganggap Muhammad sebagai Rasul dalam Islam yang terakhir. Namun keberadaan “Imam Mahdi” tersebut sering membuat banyak organisasi Islam menilai Ahmadiyah sebagai sesat.

Jemaah Ahmadiyah mengatakan tekanan resmi pada mereka untuk meninggalkan Bangka dimulai sejak 14 Desember 2015 ketika Fery Insani, atas nama Bupati Bangka Tarmizi Saat, mengadakan pertemuan dengan 82 orang, termasuk lima warga Ahmadiyah di kantor pemerintah daerah Bangka di kota Sungailiat. Dalam pertemuan tersebut, beberapa pejabat dan polisi di daerah Bangka minta warga Ahmadiyah sukarela meninggalkan Bangka sesegera mungkin. Namun beberapa peserta pertemuan, minta pemerintah Bangka segera ‘mengusir’ warga Ahmadiyah, terutama dari lingkungan Srimenanti di Sungailiat dimana warga Ahmadiyah memiliki sebuah rumah ibadah tak resmi.

Dalam notulen rapat tersebut, Human Right Watch mengetahui bahwa peserta pertemuan yang menyokong pengusiran Ahmadiyah termasuk Husin Jais, ketua Forum Kerukunan Umat Beragama. FKUB adalah lembaga pemerintah, sebuah forum yang terdiri dari tokoh-tokoh agama, yang sering dimintai pendapatnya oleh pemerintah daerah soal pembangunan rumah ibadah. Peserta lain termasuk dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan Badan Kontak Majelis Taklim.

Selain itu, pemerintah daerah Bangka juga menahan dikeluarkannya Kartu Tanda Penduduk (KTP) buat Achmad Syafei, mubaliqh Ahmadiyah di Srimenanti, meksi dia sudah memenuhi semua syarat pembuatan KTP, menurut notulen.

Jemaah Ahmadiyah Indonesia mulai jadi korban diskriminasi sejak Juni 2008 ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat keputusan minta Ahmadiyah untuk “berhenti menyebarkan pemahaman dan aktivitas yang keluar dari prinsip ajaran Islam.” Pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara hingga lima tahun. Setelah diskriminasi keluar, berbagai organisasi Islam melakukan sejumlah penyerangan dan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, termasuk penyerangan di Cikeusik pada Februari 2011, dimana tiga warga Ahmadiyah dibunuh.

Selama masa Yudhoyono, berbagai kelompok Muslim keras, dengan keterlibatan polisi dan pemerintah daerah, memaksa penutupan lebih dari 30 masjid Ahmadiyah, sementara kelompok minoritas lain termasuk Syiah dan Kristen, juga menjadi target pelecehan, intimidasi dan kekerasan. Kekerasan terhadap kelompok minoritas menurun sebentar ketika Presiden Joko Widodo dilantik pada Oktober 2014. Jokowi berjanji akan melindungi kebebasan beragama dan melawan intoleransi agama.

Undang-Undang Dasar Indonesia pasal 28 dan 29 menjamin kebebasan beragama. Diskriminasi terhadap Ahmadiyah bukan saja melanggar UUD1945 tapi juga melanggar Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi di Indonesia pada 2006. Pasal 18 Konvenan ini melindungi hak dan kebebasan beragama dan untuk menjamin praktik beragama “baik secara individu maupun berkelompok di ruang publik maupun privat.” Pasal 27 juga melindungi hak kelompok minoritas “untuk menyatakan dan melaksanakan agama mereka.”

“Presiden Jokowi harus bersikap menentang diskriminasi agama dengan berdiri bersama warga Ahmadiyah di Pulau Bangka dan melawan para pejabat daerah yang mencoba menghilangkan hak mereka,” ujar Kine. “Jokowi punya kesempatan untuk buktikan bahwa era SBY, yang menutup mata terhadap diskriminasi dan penyerangan kelompok minoritas, telah berakhir.”

kembali keatas

by: