TNI/Polri Bertindak Brutal!

Oktovianus Pogau

Tue, 16 September 2014

Mereka mengeluarkan tembakan secara bertubi-tubi ke udara, termasuk ke arah peserta kongres. Bertindak secara brutal dan ganas tanpa sedikitpun kompromi.

Rabu 19 Oktober 2011, sekitar puluk setengah empat WIT, sekitar 3.100 aparat gabungan dari TNI dan Polri bersenjata lengkap membubarkan secara paksa Kongres Rakyat Papua (KRP) III yang sedang berlangsung di Lapangan Santo Zakheus, Padang Bulan, Abepura.

Mereka mengeluarkan tembakan secara bertubi-tubi ke udara, termasuk ke arah peserta kongres. Bertindak secara brutal dan ganas tanpa sedikitpun kompromi.

Saya bersama seorang rekan wartawan tepat berada 20 meter dari arah tembakan. Kami melihat ribuan aparat TNI dan Polri tumpah ruah ke jalan-jalan raya. Mereka terus mengeluarkan tembakan ke atas sambil menakut-nakuti peserta kongres yang sedang berada di sekitar jalan Yakonde, tepat di jalan masuk ke lapangan kongres.

Pintu pagar ukuran empat meter, dan tinggi tiga meter yang menjadi batas antara peserta kongres dan aparat didobrak secara paksa. Mereka memukul mundur sekitar 100an anggota Penjaga Tanah Papua (PETAPA) yang sedang berjaga-jaga dipintu gerbang tersebut.

Ratusan anggota PETAPA yang mengamankan jalannya kongres ditangkap. Mereka dipukul pakai pentongan. Ditendang dengan sepatu laras. Dan bahkan ada yang dipopor dengan senjata laras panjang jenis M16 dan AK47.

“Kalian ini yang dibilang polisi Papua kha. Maju kalau berani. Ayo maju sudah,” teriak salah anggota Brimob yang menggenakan seragam hitam dan menggendong senjata laras panjang.

Aparat berhamburan masuk ke tempat kongres sambil teriak “Bubarkan….bubarkan…bubarkan segera. Mereka telah melakukan tindakan makar dan melawan negara. Bubarkan mereka sekarang juga.” Saking emosinya, bahkan ada aparat yang melompat pagar untuk masuk ke lapangan.

PETAPA dan pasukan Koteka tak punya kekuataan untuk menghalau, apalagi melawan. Memang sejak pukul 08.00 WIT aparat telah bersiaga sebelum peserta kongres ada di lapangan.

Ada 5 mobil bercuda yang diparkir tak jauh dari arena kongres. 2 mobil bercuda milik aparat TNI, sedangkan 3 mobil lagi milik polisi. Sedangkan truck milik polisi ada 7 buah, TNI 3 buah, diparkir tak jauh dari arena kongres, tepat di depan SMP Santo Paulus. Dan ada lagi yang diparkir tepat di belakang Korem 172/PWY.

Aparat juga dengan leluasa terus menangkap. Yang ditangkap termasuk anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang saat itu hanya sedang menyaksikan jalannya kongres.

Karena sangat ketakutan, saya bersama rekan wartawan tadi lari dan bersembunyi di salah satu warung makan terdekat. Diluar masih terus dihujani tembakan. Kami bersembunyi tepat dipertigaan jalan masuk ke lapangan tempat kongres, dan jalan yang menghubungkan ke arah Abe-Waena.

Penyisiran juga dilakukan sampai ke biara-biara pastor, dan asrama frater-frater yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari Lapangan. Kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Fajar Timur yang jaraknya kurang lebih 50 meter juga menjadi sasaran amukan aparat.

“Jangan ada yang keluar dari rumah. Tetap berada di dalam rumah,” teriak beberapa aparat TNI sambil mengarahkan tembakan keatas, juga ke arah rumah-rumah pastor, dan bahkan ke kaca-kaca biara, cerita salah satu Pater yang enggan disebutkan namanya.

Ketika saya mengunjungi lokasi biara Fransisikan sore hari, sempat menemukan beberapa songsongan peluru aparat yang mengenai tembok rumah. Dan bahkan ada peluru aparat jenis SSI yang masuk sampai ke kamar-kamar tidur.

“Karena sangat ketakukan kami bersembunyi di dalam kamar. Puluhan aparat hampir dua jam lamanya terus mondar-mandir di depan kami,” kata Frater Adrianus Tuturu, salah satu saksi mata yang menyaksikan kebegisan aparat TNI dan Polri disekitar kampus.

Melihat aparat TNI dan Polri semakin brutal, peserta kongres yang berada di lapangan semakin panik. Semua berusaha lari menyelamatkan diri. Ada yang melarikan diri ke arah kiri lapangan, tepat di Asrama Taboria. Daerah ini hampir 50 meter bersebelahan dengan kampus Universitas Cenderawasih, Abepura.

Ada juga yang melarikan diri ke sebelah kanan tak jauh dari markas Korem 172/PWY. Dan paling banyak melarikan diri ke arah atas, tepatnya di Kampus Sekolah Theologi dan Filsafat Fajar Timur, termasuk biara keuskupan Jayapura, derah missi, Gereja Katholik.

Kurang lebih sekitar 300 peserta kongres berhasil diringkus. Mereka ditangkap secara paksa. Setelah ditangkap mereka terus dipukul pakai pakai popor senjata. Peserta kongres yang ditangkap dikumpul ditengah-tengah lapangan. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi.

Presiden dan Perdana Menteri pemerintahan transisi, Forkorus Yoboisembut dan Edison Waromi juga ikut ditangkap saat berusaha melarikan diri.

“Kamu ini yang mau menjadi presiden Papua kha. Coba lindung wargamu yang sedang kami tangkap,” cerca beberapa anggota TNI/Polri terhadap Presiden Papua terpilih.

Sebelum digiring ke Mapolda Papua, hampir dua jam lamanya peserta kongres yang ditangkap mengalami penyiksaan hebat. Baju dan celana panjang mereka disuruh buka. Kemudian mereka disuruh tiarap diatas lapangan sambil dicerca berbagai pernyataan.

“Papua tidak mungkin merdeka. Kalian jangan bermimpi. Forkorus tidak akan membebaskan kalian,” ucap salah satu anggota Polisi yang berpakaian preman cerita Yustinus Ukago, salah satu peserta kongres yang ikut diringkus dan disuruh tiarap di lapangan.

Ukago juga bercerita ketika aparat memaksa mereka keluar dari asrama-asrama frater. “Kami dikeluarkan secara paksa. Mereka masuk sampai di kamar-kamar tidur. Hanya frater yang menggunakan jubah yang tak digiring ke lapangan,” katanya.

Seluruh lapangan dikelilingi aparat TNI dan Polri bersenjata lengkap. Tampak juga aparat intelijen menggunakan seragam preman.

Semua mengendong senjata jenis laras panjang. Beberapa lagi memegang pistol revolver. Lain halnya dengan peserta kongres yang sedang berdiri 20 meter dari tempat kongres berlangsung. Tepatnya di Jalan Yakonden, depan SMP Santo Paulus.

Ketika mendengar bunyi tembakan beruntun secara membabi-buta mereka berhamburan menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di warung-warung makan terdekat. Ada yang bersembunyi di got-got. Dan bahkan ada yang tiarap dan sembunyi di hutan-hutan terdekat.

Tembakan masih terus dilakukan oleh aparat TNI dan Polri secara tak manusiawi. Teriakan dan bentakan dari aparat untuk menakut-nakuti warga terus diperdengarkan.

Arus kendaraan dari arah Sentani menuju Jayapura terhenti total. Begitu juga dengan yang dari arah Jayapura menuju sentani. Melihat massa berhamburan di jalan-jalan semakin banyak orang yang panik dan melarikan diri. Tembakan masih terus terdengar sana-sini.

Semua yang ditangkap digiring secara paksa ke mobil polisi yang diparkir tak jauh dari lapangan tempat kegiatan berlangsung.

Mereka terus ditendang dengan sepatu laras. Bahkan ada yang berdarah-darah. Mereka diperlakukan secara kasar dan sangat tak manusiawi hinggsa sampai di Mapolda di Jayapura.

Keesokannya, Kamis (20/20/2011) sekitar 300 peserta kongres yang ditangkap dibebaskan oleh pihak aparat.

Polda Papua menetapkan lima orang tersangka, dan dikenakan pasal makar. Mereka adalah Forkorus Yaboisembut, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda, dan Selpius Bobii. Dari lima tersangka empat orang dikenakan Pasal 110 Ayat (1) KUHP dan Pasal 106 KUHP dan Pasal 160 KUHP. Sementara satu orangnya lagi (Gat Wenda) dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena terbukti membawa senjata tajam.

Kapolresta Jayapura, AKBP Imam Setiawan, S.Ik mengatakan kepada media bahwa tak ada korban nyawa dalam peristiwa itu. Bahkan menurutnya aparat bertindak dengan baik-baik, dan tak melakukan penembakan terhadap warga sipil. Namun berbeda dengan fakta di lapangan.

Pagi harinya, Kamis (20/10) ada tiga mayat ditemukan dibelakang Korem 172/PWY, sekitar 50 meter dari lapangan tempat kongres berlangsung. Ketiganya adalah Daniel Kadepa (25) mahasiswa STIH Umel Mandiri, Jayapura. Maxsasa Yesi (35), anggota PETAPA dari Kampung Sabron. Dan Yacob Samonsabra (53) anggota PETAPA dari kampung Waibron.

Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib, aparat memang melaukan tembakan secara membabi-buta.

“Seharusnya aparat menggunakan pendekatan dialog. Sampai saat ini korban meninggal ada enam orang,” katanya kepada Wartawan. “Kami sedang lakukan identifikasi korban-korban tersebut, dan akan kami kabarkan,” katanya.

Benny Giay, Tokoh Agama di Papua menyayangkan tindakan tak proposional yang dilakukan aparat TNI dan Polri. Menurutnya yang harus ditangkap adalah panitia dan orang yang punya gagasan pemerintah transisi.

“Tidak semua rakyat Papua Papua punya keinginan membentuk pemerintahan transisi,” kata Benny seperti di kutip koran Kompas.

Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap nyawa ketiga warga sipil, dan ratusan korban luka-luka dalam aksi membubar paksakan kongres ini. Pendekatan keamanan yang dipakai justru semakin pertebal nasionalisme orang Papua untuk meminta keluar dari negara Indonesia. (*)

Laporan ini dibiayai Yayasan Pantau

kembali keatas

by: