Al Chaidar

Masriadi Sambo

Mon, 30 June 2008

Ia dianggap sebagai orang yang dekat dengan jaringan teroris di Asia Tenggara. Tapi berbeda dengan Imam Samudra, terdakwa kasus bom Bali, yang bakal dihukum mati atau Hambali, yang ditahan di penjara rahasia di Amerika, Al Chaidar tetap bebas beraktivitas sampai hari ini.

DI tugu Monumen Nasional atau Monas, siang itu sudah berkumpul ribuan orang. Pada 7 Januari 2000 itu, massa mengikuti aksi solidaritas yang disebut sebagai sebagai “Aksi Sejuta Umat”. Aksi itu juga dihadiri tokoh-tokoh, seperti Amien Rais, Ahmad Sumargono, dan Hamzah Haz.

Al Chaidar berada di antara massa. Lelaki itu dipercaya menjadi koordinator aksi di Monas siang itu. Ia mengetahui soal pembantaian orang Islam di Ambon lewat berita media. Faktanya, peristiwa Ambon bukan hanya mengorbankan orang Islam, tapi juga orang Kristen. Perang agama ini dipicu oleh pertikaian antara sopir angkutan dan preman. Tak ada soal agama di situ. Si sopir menolak permintaan si preman yang minta uang. Entah bagaimana, kasus itu berkembang jadi pertikaian Islam versus Kristen.

Ketika itu Al Chaidar tengah berada di Malaysia. Rasa simpatinya bangkit.

Saya dengar kabar bahwa banyak sekali pembantaian kaum muslim di Ambon. Lalu orang-orang Jemaah Islamiyah di Malaysia menghubungi Osama Bin Laden,” ujarnya.

Seminggu setelah aksi itu, Al Chaidar segera terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana dia bertemu dan berteman dengan Imam Samudera, yang kini terpidana mati kasus Bom Bali. Al Chaidar bahkan menginap di rumah Imam Samudera di Kuala Lumpur.

Di Malaysia, ia membantu kegiatan organisasi Jamaah Islamiyah. Salah satunya membuat proposal untuk menerbitkan Majalah Darul Islam (MDI). Proposal itu akan dikirim kepada Osama Bin Laden, pemimpin jaringan Al Qaeda yang dianggap bertanggung jawab atas aksi-aksi pengeboman dan runtuhnya gedung World Trade Center pada 11 September 2001. Proposal penerbitan ini dikirimnya melalui Hambali alias Riduan Isamuddin, anggota jaringan Jamaah Islamiyah yang kini ditahan dalam penjara rahasia di Amerika Serikat. Osama setuju dengan proposal yang dibuat Al Chaidar dan memberikan sebesar dana Rp 1 miliar.

Setelah beberapa hari di Malaysia, tanggal 27 Januari 2000, Al Chaidar kembali terbang ke Indonesia. Namun keterlibatannya membantu organisasi Jamaah Islamiyah dicurigai aparat kepolisian Indonesia. Polisi mendapat kabar penerbangannya ke Jakarta dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, yang mengeluarkan surat keterangan dengan nomor 0108/Kons/0100 tentang kepulangan Al Chaidar ke Indonesia. Surat itu ditandatangani Fachry Sulaiman, atas nama Kuasa Usaha Kepala Bidang Protokol Konsuler Duta Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Fachry Sulaiman menjabat Sekretaris III saat itu.

Beberapa saat setelah turun dari pesawat, di Bandara Soekarno-Hatta sejumlah aparat kepolisian berpakaian preman sudah menunggu kedatangan Al Chaidar. Perasaan lelaki itu tak nyaman. Ia merasa akan ditangkap hari itu. Ia segera berpikir untuk melarikan diri melalui salah satu toilet di bandara internasional itu. Di dalam toilet, ia segera membobol plafon. Beberapa petugas polisi berpakaian preman kontan segera mengejarnya.

Mana dia? Mana dia?” Al Chaidar mendengar beberapa polisi mencarinya.

Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Plafon yang dijebol Al Chaidar buntu. Polisi segera meringkusnya. Dia dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya dan dijebloskan dalam tahanan. Saat itu Kepala Polda Metro Jaya dijabat Noegroho Djajoesman dan Kapolri dijabat Roesdiharjo.

Di sana, ia diinterograsi. Dia juga ditanyai seputar keterlibatannya dalam “Aksi Sejuta Ummat”. Harian Rakyat Merdeka edisi 1 Februari 2000 memberitakan, selain diinterogasi, Chaidar juga ditanya seputar buku-buku yang pernah ditulisnya. Seperti buku berjudul Reformasi Prematur, Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Aceh Bersimbah Darah; Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer di Aceh 1989-1998, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Kartosoewirjo, dan sejumlah buku lainnya.

Selama menjalani pemeriksaan dan tiga hari berada dalam tahanan, ia tak jarang mendapat pukulan. Namun penahanan Chaidar hanya berlangsung selama tiga hari. Pembebasannya dibantu oleh tim pengacara dari Komisi untuk Tindak Kekerasan dan Orang Hilang yang dipimpin Munir, aktivis Hak Asasi Manusia yang tewas diracun pada September 2004 di atas pesawat Garuda menuju Amsterdam.

Polisi tidak memiliki cukup bukti bahwa dia melakukan penghasutan dalam “Aksi Sejuta Ummat” di Monas.

PENANGKAPANNYA mempengaruhi kegiatan penerbitan MDI yang mendapat dana dari Osama Bin Laden. Dana untuk menerbitkan itu pun tak jelas penggunaannya. Sebagian besar malah digunakan untuk membeli senjata yang dipasok ke Ambon.

“Sisanya hanya Rp 15 juta untuk proyek majalah ini,” katanya.

Penerbitan MDI akhirnya berjalan dengan sisa dana yang ada, selepas ia dibebaskan dari Polda Metro Jaya. Kantor redaksi majalah yang bertiras 1000 eksemplar tiap edisi itu berada di Jalan Batu Satu, Gang Amal Nomor 21 Pasar Minggu, Jakarta.

Pada awal penerbitan, Al Chaidar dibantu Abu Fatih dan Agus Dwikarna. Tema yang menjadi berita utama umumnya soal negara dan gerakan radikal Islam. Seperti Menggugat Negara Islam yang jadi topik utama edisi nomor 7 yang terbit pada 15 Januari-15 Februari 2001. Edisi berikutnya mengangkat tema Misteri Bom Negara Islam.

Setelah terbit beberapa edisi, beberapa kali kantor redaksi ini sempat ditembak oleh orang tak dikenal. Al Chaidar menduga penembakan itu dilakukan intelijen Indonesia.

Kecurigaan ini setidaknya berdasarkan tema-tema tulisan yang diangkat setiap edisi. Di antaranya NII Di Balik Upaya Kudeta, Intelijen Mengebiri Gerakan Islam, Pendeta Mengepung Negara Islam, Revolusi Islam bukan Basa-Basi, Menggugat Kursi “Khalifah”, Dajjal Bangkit di Indonesia, Menyoal Kemerdekaan Negara, Ramai-Ramai Kawin Kontrak dan Jihad Melawan Amerika, serta Akhir di Jannah Kita Bertemu

Namun menurut Quinton Temby, majalah ini tak menggunakan kaidah jurnalistik yang benar. Dalam penelitiannya berjudul Radikal Bukan Fundamentalist?: Analisa Interpretatif Atas Majalah Darul Islam, Temby menulis bahwa sebagian besar penulis di majalah yang dipimpin Al Chaidar adalah anonim. Artinya, si penulis tak berani bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan bisa berlindung di balik keanoniman itu apabila ada kritik atau tuntutan hukum. Laporan Temby itu dimuat di situs Australian Consortium for ′In Country′ Indonesian Studies pada Februari 2006 lalu.

MINAT Al Chaidar terhadap Islam mulai tumbuh ketika ia remaja. Saat itu ia mulai menyukai kegiatan menulis. Anak dari pasangan Dawiyah Abdullah dan Abdurahman Puteh ini antusias menulis tentang Negara Islam.

Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri I Lhokseumawe, Aceh Utara, ia mulai mengirimkan tulisan tentang pemikiran-pemikiran Nurcholis Madjid ke beberapa media cetak di Medan, seperti harian Bukit Barisan, Analisa dan Waspada. Ide-ide tulisan umumnya berasal dari Ustadz Muhammad Azhar Batubara, pengurus Remaja Mesjid Baiturrahman, Lhokseumawe, yang mengagumi gagasan Nurcholis Madjid, pemikir Islam yang wafat pada Juli 2004 lalu.

Saat di Sekolah Menengah Atas Negeri I Lhokseumawe, ia makin aktif menulis. Bahkan tulisannya dimuat di media nasional, seperti harian Pelita

“Klipingnya masih saya simpan sampai sekarang,” ujarnya.

Tahun 1989, ketika tamat SMA, ia bertekad melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Ia berencana untuk mengambil Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia. Dan ia lulus tes. Cita-citanya masuk Jurusan Antropologi terkabul.

“Penyelesaian konflik Aceh bisa diselesaikan dari ilmu antropologi. Selama ini pendekatan penyelesaian konflik Aceh selalu digunakan dari sisi politis,” katanya, lagi.

Awal-awal kuliah, Dawiyah Abdullah, ibundanya yang bekerja sebagai guru di SMA Muhammadiyah Lhokseumawe, hanya mengirimkan uang Rp 15.000 per bulan. Uang itu mesti cukup untuk biaya pendidikan, beli buku, baju, dan jika lebih wajib ditabung.

“Saya ketawa juga. Padahal kan tidak cukup,” katanya, tertawa.

Akhir tahun 1990, saat kuliah tingkat dua, ia berpikir keras untuk menutupi biaya hidup di Jakarta. Ia mengandalkan kemampuan menulisnya. Sejak saat itu, ia mulai rutin mengirimkan artikel ke media-media nasional, seperti Kompas dan Media Indonesia. Honornya jauh lebih besar dari uang kiriman ibundanya. Jika dimuat, per artikel dibayar antara Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Isu-isu Islam, politik dan Aceh menjadi tema pilihan Al Chaidar.

Sementara di kampus, ia bertemu dengan banyak mahasiswa dengan latar belakang beragam. Ia juga ikut mendirikan Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Creative Minority. Lembaga ini tidak diakui pihak rector. Meski begitu, lewat organisasi ini ia bisa mengikuti konferensi mahasiswa di beberapa negara. Juwono Sudarsono, dosen Fakultan Ilmu Sosial dan Politik di kampusnya, yang kini menjadi Menteri Pertahanan, selalu mendukung kegiatan Al Chaidar dan kawan-kawannya untuk mengikuti konferensi mahasiswa internasional di berbagai negara.

Di kampus ia juga bersahabat dengan mahasiswa yang aktif dalam kegiatan Islam. Salah satu yang masih ia kenang adalah Amirul Mukminin. Mahasiswa itu hampir drop out (DO). Dalam sebuah pembicaraan dengan sang teman, Chaidar mempertanyakan mengapa Amirul tak serius kuliah hingga terancam DO. Jawaban sang teman, “Aktif berjihad di negara Islam dan gerakan bawah tanah.”

Pernyataan Amirul memunculkan ketertarikannya untuk melakukan penelitian dan masuk ke dalam jaringan itu. Ia berharap bisa melihat dari dekat gerakan itu. Belakangan ia ketahui, jaringan bawah tanah itu bagian dari organisasi Darul Islam (DI). Amirul Mukminin kemudian memperkenalkannya pada sejumlah tokoh DI. Ia diajak Amirul Mukminin mengikuti pertemuan-pertemuan anggota DI yang juga dihadiri teman dan seniornya di kampus. Dari situ Al Chaidar akhirnya memutuskan masuk menjadi anggota DI.

Ia mengikuti kegiatan DI hingga ke Moro, Filipina bagian Selatan. Ini merupakan wilayah yang didominasi kaum muslim. Saat itu jaringan Jamaah Islamiyah belum dikenal. Di sana Chaidar melakukan wawancara dengan orang-orang DI dan melakukan observasi.

“Saya menikah sekali di sana,” imbuhnya.

Sekembali dari Moro, ia menulis hasil observasi itu dalam bentuk artikel di harian Media Indonesia, Pelita, Republika dan Kompas

SELESAI menimba ilmu di kampus Universitas Indonesia membuat Al Chaidar semakin rajin menulis. Ia banyak mengupas negara Islam. Profesor Parsudi Suparlan, salah satu dosen Jurusan Antropologi, menyarankan Chaidar menulis dengan fokus pada tema tertentu. Dan ia memilih untuk mendalami dan menulis tentang DI.

“Ternyata DI banyak sektenya dan bidang-bidangnya,” ujarnya.

Selama penelitian, ia menemui dan mewawancara anak-anak Kartosoewirjo, proklamator DI. Seperti Dodo Kartosoewirjo, Tahmir Kartosoewirjo, dan Sardjono Kartosoewirjo. Chaidar juga bertemu dengan pengikut Kartosoewirjo, seperti Ajengan Masduki dan Ridwan.

Salah satu hasil penelitiannya adalah mengungkap soal perpecahan dan integrasi organisasi DI. Laporan itu berjudul Perpecahan dan Integrasi : Perkembangan Gerakan Darul Islam di Indonesia dan Jaringannya di Asia Tenggara dari Tahun 1962-Akhir Tahun 2006. Di situ ia memaparkan sejarah dan faksi-faksi dalam tubuh DI.

Gerakan DI juga dikenal dengan Negara Islam Indonesia (NII), yang merupakan gerakan politik bersenjata yang sangat berpengaruh di Indonesia dari tahun 1949. Gerakan ini menurut Al Chaidar masih berpengaruh hingga saat ini. DI muncul pertama kalinya di Jawa Barat dan dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Lalu berkembang menjangkau Jawa Tengah (1950), Kalimantan Selatan (1951), Sulawesi Selatan (1952) dan Aceh (1953). Sebenarnya, gerakan ini sudah muncul sejak tahun 1948. Saat itu, Kartosoewirjo menggagas ide awal negara islam di Indonesia.

DI memang memiliki banyak faksi. Sebabnya tak lain, ambisi menjadi pemimpin negara Islam yang dicita-citakan sejak awal. Pemimpin ini dalam istilah DI disebut imam. Pemimpin dan pendiri DI sendiri, Kartosoewirjo dihukum gantung tahun 1962 karena dianggap pemerintah sebagai pemberontak terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa faksi di antaranya disebut sebagai faksi Hasan Anwar, Abu Hasan, dan Abu Toto.

“Kemampuan militer dan latihan militer setiap faksi berbeda. Ada yang memiliki anggota sampai lima ribu orang dengan kegiatan latihan militer sebanyak dua kali setahun. Macam-macam model faksinya,” kata Al Chaidar.

Namun Al Chaidar menyebutkan, pemetaan gerakan Islam Radikal dan Islam Fundamentalis yang dilakukannya barulah tahap permulaan.

“Artinya, untuk mengikuti dinamika pergerakan dan organisasi serta tokoh-tokohnya, diperlukan suatu penelitian khusus dan update terus-menerus agar perkembangannya dapat dipahami dengan baik. Perlu juga dilakukan upaya serius melacak akar sejarah perpecahan faksi-faksi dalam Darul Islam maupun di luar Darul Islam serta gerakan-gerakan baru yang lahir dan berkembang di Indonesia mestilah diikuti dengan seksama agar karakteristiknya dikenal dan dimengerti. Dengan pemahaman yang cukup, maka para pengambil keputusan akan mengerti apa yang esensial dan mana yang merupakan plasma pergerakan dari aliran-aliran dan paham-paham yang berkembang di Indonesia,” jelasnya.

Di Aceh, gerakan DI dipimpin Daud Beureueh. Pada 21 September 1953, Beureuh mencanangkan diri sebagai bagian dari DI/NII di Jawa Barat yang dipimpin Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo. Kalimat awal deklarasi itu bertuliskan:

Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam. Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat, bangsa asing, pemeluk bermatjam2 Agama, pegawai negeri, saudagar dan sebagainja: Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.”

Sedangkan pada akhir deklarasi tertulis:

Kepada tuan2 yang beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.”

Berbeda kasus lahirnya DI di Jawa Barat dengan di Aceh. Untuk Aceh, lahirnya DI berawal tahun 1950-an. Saat itu, Presiden Soekarno membubarkan Republik Indonesia Serikat, termasuk mengabaikan keinginan Aceh untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua kekuasaan dipusatkan di Jakarta. Beureuh memberontak dan memimpin perlawanan di hutan-hutan Aceh.

Pada 1959 Jakarta membuat Aceh sebagai “daerah istimewa” dengan status sejajar provinsi. Beureuh menandatangani perjanjian damai pada 1963. Namun pada 1970-an ia secara rahasia mendukung gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro, yang kemudian disebut Gerakan Aceh Merdeka atau GAM oleh pemerintah Jakarta. Belakangan, pemerintahan presiden Soeharto menetapkan Beureuh sebagai tahanan rumah di Jakarta hingga meninggal pada 1987.

BERITA penangkapan dan aktivitas Chaidar tak pelak membuat cemas keluarga Al Chaidar di Lhokseumawe. Namun kerabat dan saudara tidak sampai melarang atau mendukung gerakannya. Begitu pula istri-istrinya. Chaidar menyebutkan bahwa ia memiliki 12 isteri. Istri-istrinya berada di daerah bahkan negara yang berbeda, di antaranya di Jakarta, Malaysia dan Jepang.

“Keluarga tidak pernah mendukung atau melarang. Dari dulu, sejak kecil, keluarga menyerahkan pada saya, mau dukung gerakan GAM, mau dukung gerakan Darul Islam terserah,” ujarnya kepada saya.

Setelah letih dalam perjalanan panjang dan melalang ke sejumlah negara, Chaidar memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, Lhokseumawe, bersama salah satu dari 12 istrinya.

Rektor Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Abdul Hadi Arifin mengajaknya untuk mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Lhokseumawe.

Selain mengajar, Al Chaidar juga masih rajin melakukan penelitian di berbagai daerah bahkan di luar negeri. Ia juga kerap diundang dalam wawancara khusus di beberapa stasiun televisi nasional seputar isu terorisme.

Lantas apa pendapatnya soal masa depan Aceh setelah perjanjian damai?

“Sebenarnya keinginan merdeka rakyat Aceh ini kan belum klimaks. Tapi, karena keharusan mengikuti perdamaian dan ikut dalam ibu pertiwi. Saya merasa orang Aceh belum sepenuhnya terintegrasi,” sebutnya.

Ia tak menampik bahwa perang mungkin pecah lagi.

“GAM istirahat dulu. Atau bisa jadi, GAM sudah masuk dalam perangkap demokrasi. Demokrasi sangat tidak kompatibel dengan perjuangan kemerdekaan. Demokrasi sangat kompatibel dengan otonomi dan dengan federasi atau konfederasi,” ujarnya.

Chaidar pernah menjalin hubungan dengan beberapa petinggi GAM. Namun hubungan dan aktivitasnya dengan organisasi dan jamaah DI jauh lebih dekat.***

*) Masriadi Sambo adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Lhokseumawe. Ia bekerja pada harian Aceh Independen.

kembali keatas

by:Masriadi Sambo