Mahalnya Hidup di Aceh

Junaidi Mulieng

Wed, 28 May 2008

Pasca tsunami harga kebutuhan hidup di Aceh sangat mahal dan kini kenaikan bahan bakar minyak makin melambungkannya. Pemerintah Aceh mencanangkan penanaman padi unggul untuk mengatasi dampak krisis pangan dunia.

“NAIKNYA harga BBM (Bahan Bakar Minyak) sangat mempengaruhi aktivitas kami selaku nelayan. Tapi mau bagaimana, mau tidak mau kami harus tetap melaut karena di sini mata pencaharian kami,” kata laki-laki paruh baya itu.

Namanya M. Ali Bardan. Ia salah satu nelayan dari Lampulo, Banda Aceh. Postur tubuhnya sedang, kulit hitam, rambutnya sudah mulai dipenuhi uban. Hari itu, waktu saya berkunjung ke rumahnya, ia sedang beristirahat di ruang tamu setelah membersihkan kapalnya di tempat pendaratan ikan (TPI) yang berjarak lebih kurang sekitar 50 meter dari rumahnya. Bardan bahkan bisa mendengar jelas deru ombak dan suara boat (perahu mesin) nelayan yang merapat ke dermaga untuk membongkar hasil tangkapan.

Selain sebagai nelayan, Bardan juga membuat kapal. Ia memiliki kapal sendiri untuk melaut dan sejumlah awak kapal yang selalu siap membantunya. Biasanya, ia berlayar ke laut lepas selama dua minggu, dengan menghabiskan lima drum solar.

“Itu jumlah rata-rata yang biasanya dihabiskan kapal saya selama dua minggu. Sebelum berangkat, saya mengisinya di galon yang ada di pelabuhan dengan membawa drum minyak,” ujar Bardan.

Kegiatan melaut yang dilakukan Bardan berbeda dengan kebanyakan nelayan lain yang ada di Lampulo. Ia memilih ikan yang tidak biasa untuk diburu, yaitu hiu. Untuk itu, ia harus sanggup bertahan selama berminggu-minggu di tengah laut, yang berjarak sekitar 180 mil dari bibir pantai. Hasil tangkapannya sangat ditentukan siklus perputaran angin.

Walaupun harga BBM mengalami kenaikan yang memberatkan bagi sebagian nelayan seperti Bardan, namun harga ikan tidak ditentukan dari situ.

“Harga BBM tidak mempengaruhi harga ikan. Terkadang kalau lagi ikannya banyak, harganya jauh lebih murah. Tapi kalau ikannya lagi tidak ada, harganya bisa mencapai rekor tertinggi dari semua harga barang yang ada. Naik turunnya harga ikan sangat dipengaruhi oleh siklus angin, bukan BBM,” kata Bardan, seraya meraih secangkir teh di sampingnya dan meneguk isinya.

Bardan memberi contoh dengan menyebut harga ikan kerang. Biasanya para pedagang membeli ikan dari nelayan seperti dirinya dengan harga Rp 600 ribu per keranjang. Tapi di saat tangkapan kurang, harga ikan itu jadi Rp 750 ribu per keranjang.

“Itu pun mereka harus memesan duluan, kalau tidak, ya tidak dapat ikannya. Karena memang lagi susah untuk dapatkan ikan,” ujarnya.

Sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, Bardan biasanya mengeluarkan uang solar sebanyak Rp 4 juta untuk sekali melaut dalam waktu dua minggu. Sejak BBM naik, biaya yang harus ia keluarkan jadi dua kali lipat.

“Empat juta untuk minyak aja, belum makan, minum, rokok dan lainnya. Keseluruhan kebutuhan bisa mencapai enam juta. Kalau lagi beruntung, duitnya bisa kembali. Tapi kalau lagi musim tidak ada ikan, kayak begini, ya rugi,” kata Bardan, sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Tadinya pemerintah Indonesia hendak menaikkan harga BBM pada Juni 2008, sebesar 30 persen. Namun, pada 24 Mei 2008, pemerintah langsung mengumumkan kenaikan harga tersebut, dengan menetapkan ketentuan harga tiap jenisnya. Untuk premium, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Harga solar yang sebelumnya Rp. 4.500 jadi Rp.5.000 per liter, dan minyak tanah naik jadi Rp 2.500 dari Rp. 2.000 per liter.

Kenaikan ini berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 12 tahun 2008, tertanggal 23 Mei 2008. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah karena harga minyak dunia naik.

“Sebenarnya yang kami khawatirkan bukan harga minyaknya, tapi harga barang yang makin melambung. Karena semua jasa angkutan darat kita menggunakan BBM, kalau BBM naik, harga barang juga pasti naik,” ujar Bardan.

Harga kebutuhan pokok di sejumlah daerah di Aceh sudah naik. Misalnya, bawang merah. Dulu harga bawang Rp 20 ribu per kilogram, kini Rp 24 ribu per kilogram. Beras yang biasanya Rp 10 ribu per bambu, sekarang Rp 12 ribu per bambu.

“Ongkos angkutan barang dari Medan ke Aceh semuanya sudah naik, jadi kita juga terpaksa menaikkan harga barang,” kata Ridha, salah seorang pedagang di pasar Peunayong, Banda Aceh.

Ridha biasa mengambil barang dagangannya dari grosir di Banda Aceh. Harga eceran yang ia tetapkan untuk para pembeli sangat minim di atas harga yang ia dapatkan dari grosir.

“Yang penting ada sedikit untung, walaupun kadang-kadang kita terpaksa menjual dengan harga sama,” ujarnya.

Mardiah, pedagang di pasar Aceh, Banda Aceh, menyatakan bahwa sebulan sebelum isu BBM naik, harga barang kebutuhan pokok di Aceh memang sudah tinggi.

“Sebenarnya sebulan sebelum BBM dinaikkan, harga barang di Aceh memang sudah naik. Tapi sampai saat ini, setelah BBM naik, harga barang masih seperti biasa, walaupun diisukan dalam dua hari ini akan naik,” katanya.

Menurut data Bank Indonesia, inflasi di Banda Aceh tetap tinggi, meskipun jarak dengan tingkat nasional semakin mengecil. Ini akibat dari tingginya permintaan terhadap barang dan jasa untuk usaha rekonstruksi, juga terbatasnya respon pasar dalam meningkatkan jumlah barang. Musim perayaan hari-hari besar dan meningkatnya harga-harga di pasar internasional juga ikut menyumbang kenaikan angka inflasi.

Sejak tsunami, bahan pangan merupakan penyumbang utama inflasi di Aceh. Penyumbang inflasi lainnya adalah perumahan dan pakaian

Tingkat inflasi biasanya diberikan dalam persentase. Jika inflasi pada suatu tahun adalah 10 persen, maka rata-rata harga barang pada akhir tahun lebih mahal 10 persen daripada di awal tahun. Atau dengan kata lain, nilai yang bisa dibeli oleh sejumlah uang berkurang 10 persen pada akhir tahun dibandingkan di awal tahun.

Inflasi dihitung secara statistik dengan mengambil sampel harga-harga di pasaran. Karena itu bisa saja perhitungan inflasi dari dua buah pihak berbeda satu sama lain. Perbedaan ini timbul dari perbedaan cara mengambil data dan metodologi, fokus penghitungan, serta waktu pengambilan sampel.

Ada tiga tipe inflasi. Pertama, inflasi moderat, yaitu apabila laju inflasi hanya berada di bawah dua digit per tahun (di bawah 10 persen). Kedua, inflasi ganas, yaitu apabila laju inflasi berada pada dua digit per tahun (10 persen-99 persen). Tiga, inflasi hiper, yaitu apabila laju inflasi berada pada tiga digit per tahun (100 persen atau lebih).

Pada 2005 inflasi di Aceh mencapai 41,5 persen (tertinggi di Indonesia) saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi mulai berjalan. Tahun 2006 inflasi turun menjadi 9,54 persen. Tapi pada tahun 2007, ia justru naik jadi 11 persen (masih di atas tingkat inflasi nasional sebesar 6,7 persen). Secara statistik angka-angka ini merupakan hal biasa, tapi bagi masyarakat kecil ini artinya bencana. Harga barang dan jasa yang terlanjur naik pada 2005 tidak serta merta turun sesuai dengan pergerakan tingkat inflasi pada tahun 2006 dan 2007.

Selisih angka inflasi dan bunga perbankan menunjukkan keuntungan (gain) atau kerugian (loss) bagi masyarakat sebagai penabung (investor). Jika inflasi saat ini 11 persen dan suku bunga deposito 6,5 persen, maka selisih yang ditanggung masyarakat terhadap nilai rupiahnya adalah minus 4,5 persen. Sehingga berinvestasi dalam produk perbankan tidak lagi menguntungkan dan banyak yang mengambil uangnya untuk diinvestasikan dalam aset tetap tidak bergerak yang lebih menjanjikan, seperti tanah dan emas.

Contoh lain pengaruh inflasi adalah jika masyarakat mendepositokan uang sebesar Rp 10 juta di awal Januari 2007, maka pada awal Januari 2008 uang tersebut berkembang menjadi Rp 10.650.000. Walaupun angkanya besar, nilainya lebih kecil dibandingkan pada awal investasi karena pada saat tersebut harga-harga kebutuhan meningkat lebih dari 11 persen. Selain itu, inflasi juga berpengaruh bagi pekerja dan pemberi kerja. Jika Upah Minimum Regional (UMR) Aceh saat ini Rp 1 juta per bulan, maka dengan inflasi 11 persen para pekerja layak meminta kenaikan upah minimal Rp 1.110.000 per bulan. Faktor ini membuat investor berpikir dua kali untuk membuka lapangan pekerjaan baru. Beruntung bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tahun ini dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan naik gaji sekitar 15 persen, sehingga di atas kertas PNS mendapat surplus empat persen.

Naiknya harga BBM tidak hanya mempengaruhi harga jual barang kebutuhan pokok, tapi juga tarif angkutan jenis becak. Sejumlah abang becak di Banda Aceh menyatakan bahwa pendapatan mereka mengalami penurunan drastis dari sebelumnya.

“Setelah BBM naik, pendapatan kami menurun karena sering sepi tidak ada penumpang,” ujar Syahbuddin, yang sering mangkal di terminal Keudah, Banda Aceh.

Menurut Syahbuddin, kenaikan tarif becak membuat penumpang berkurang. Menaikkan tarif ini terpaksa dilakukan abang becak untuk mengimbangi kenaikan harga BBM dan harga barang kebutuhan hidup.

“Untuk jarak tempuh dekat yang biasanya ongkos lima ribu, sudah jadi sepuluh ribu. Dan itu sudah jadi kesepakatan antara kita sesama abang becak, biar adil,” katanya.

Pemerintah sedang merumuskan skema Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang ditargetkan akan membantu kebutuhan BBM di kalangan miskin. Dari pengalaman sebelumnya, besar BLT Rp 100 ribu untuk tiap kepala keluarga per bulan. Sayangnya, tidak semua keluarga miskin bisa menikmati bantuan itu. Penyaluran bantuan yang tak seberapa ini pun tak jelas.

“Saya tahu tentang dana bantuan tersebut dari pembicaraan dengan kawan-kawan. Tapi sampai saat ini belum ada perangkat desa yang memberitahukan ke saya, kalau saya termasuk dalam daftar penerima bantuan,” kata Syahbuddin.

“Saya sangat berharap bisa mendapatkan bantuan tersebut, karena keperluan ekonomi sekarang semakin sulit,” lanjutnya.

Syahbuddin tinggal di Peuniti, Banda Aceh. Penghasilannya sebagai abang becak jauh dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Becak itu pun becak sewaan. Ia harus menyetor Rp 20 ribu per hari, tak peduli berapa jumlah penghasilan yang ia dapatkan di hari tersebut. Biasanya dalam sehari ia bisa memperoleh penghasilan bersih sebesar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Namun, saat ini penghasilannya jauh menurun, bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali.

“Itu sudah dipotong empat liter minyak dalam sehari dan uang sewa becak. Tapi sekarang mana bisa dapat segitu. Susahnya, walaupun sewa tidak ada, setoran untuk yang punya becak tetap jalan. Mereka tidak tahu-menahu ada sewa apa tidak, yang penting kalau becak sudah kita ambil, setoran harus ada,” keluh Syahbuddin, sambil sesekali melihat sekelilingnya.

Keresahan dalam masyarakat terhadap kenaikan harga ini terlihat melalui berbagai aksi protes di Indonesia, termasuk Aceh. Penyaluran BLT bukanlah solusi.

Pada 15 Mei 2008 lalu, puluhan mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh melakukan pawai mendorong sepeda motor ke kantor gubernur. Mereka tergabung dalam Aksi Aliansi Mahasiswa Aceh Peduli Rakyat. Aksi itu sebagai ajakan menghemat bahan bakar minyak.

Mereka meminta pemerintah Aceh agar menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok di Aceh yang selama ini telah mengalami kenaikan.

”Kami hanya menuntut solusi dari pemerintah Aceh, agar laju inflasi yang tinggi di Aceh dapat tertangani dengan baik,” ujar Falhan Qadhri, salah seorang demonstran.

Di hadapan massa yang dijaga ketat puluhan aparat keamanan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan bahwa kenaikan harga BBM di Aceh ditetapkan sesuai dengan keputusan pemerintah pusat, namun pihaknya akan menjaga semaksimal mungkin agar tidak terjadi penimbunan dan laju kenaikan yang tinggi terhadap kebutuhan bahan pokok.

Untuk mengantisipasi kenaikan harga pangan, pemerintah Aceh akan mensiasatinya dengan program penanaman padi unggul di beberapa daerah di Aceh. Dengan harapan bahwa produktivitas yang baik akan ikut mensejahterakan rakyat ketika harga pangan dunia naik.***

*) Junaidi Mulieng adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service. Ia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.

kembali keatas

by:Junaidi Mulieng