imageimageDIA berbicara dengan nada tinggi. Peristiwa Atu Lintang disebutnya mencoreng Aceh di mata dunia. Itu sebagian dari kata sambutan Gubernur Irawandi Yusuf. Pada 4 Mei 2008 itu dia menemani mantan presiden Finlandia, Martii Ahtiisari mengunjungi kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Ahtiisari ingin melihat dari dekat seperti apa situasi di Aceh setelah dua tahun Perjanjian Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saat itu hadir pula beberapa petinggi GAM seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Muzakkir Manaf, dan Zakaria Saman, juga anggota rombongan Ahtiisari yang terdiri dari Antti Koistinen, Antti Vanhatalo, Juha Christensen, Sami Lahdensuo, dan Robert Hygrell.

“Semua orang harus menjaga perdamaian di Aceh. Tidak ada yang bisa memberikan janji selain bekerja keras menjaga perdamaian dan tidak boleh menyerah guna mempertahankan perdamaian,” ujar Ahtiisari, dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan.

Malik Mahmud menuturkan bahwa ia tengah berada di Banda Aceh saat kejadian itu. Ia meminta siapa saja menahan rasa marah. Ia percaya kasus tersebut dapat diselesaikan secara hukum.

Menurut Malik, Aceh Tengah dan Bener Meriah dihuni oleh multietnis, seperti penduduk asli Gayo, Aceh Pesisir, Jawa, Padang, Cina, Batak dan sejumlah suku lainnya.

“Kita harus bersatu padu. Mari kita bersama-sama membangun daerah ini dan berpikir panjang ke depan. Hilangkan kesan konflik yang lalu dan hindarkan kejadian yang tidak kita ingini,” pintanya, dalam bahasa Indonesia berlogat melayu Malaysia.

Dia kemudian mengatakan bahwa kawasan ini kaya akan sumber daya alam untuk membangun wilayahnya, seperti kopi yang telah terkenal di seluruh dunia itu.

“Kita punya segala-galanya. Pembangunan paling penting adalah membangun ekonomi rakyat,” katanya, seraya menambahkan bahwa konflik Aceh selama 30 tahun itu merupakan konflik yang panjang di dunia.

SUDAH hampir setengah jam saya berada di kecamatan Atu Lintang, yang berada 30 kilometer di arah barat Takengon, ibukota kabupaten Aceh Tengah. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari kecamatan Linge.

Suasana sekeliling tampak tenang. Dua rumah yang terbakar itu belum diperbaiki. Salah satunya adalah kantor KPA (Komite Peralihan Aceh) Daerah IV. KPA tak lain dari organisasi mantan GAM yang dibentuk pasca Helsinki. Organisasi ini berupaya membantu anggotanya memperoleh mata pencaharian dan kehidupan yang layak di masa damai.

Rumah yang satu lagi itu kantor koperasi Perkebunan Sinar Harapan. Kedua rumah yang sepantasnya disebut bekas rumah ini berada di jalan utama Takengon-Jagong-Isaq. Tapi namanya saja jalan utama. Kondisinya memprihatinkan. Belum diaspal.

Ketika duduk di warung kelontong yang tidak jauh dari rumah-rumah terbakar itu, perasaan saya tak nyaman. Pemiliknya dingin-dingin saja. Seorang perempuan, sekitar 30 tahun usianya. Dia terus menghindar menjawab pertanyaan dan menyatakan dirinya tak tahu-menahu soal peristiwa Atu Lintang.

Saya bersama sejumlah teman pun kembali ke kantor KPA yang tinggal puing. Hartini, begitu dia menyebut namanya, melintas di hadapan kami. Dia membawa keranjang yang setengahnya berisi buah kopi. Bersama saya ada Mustawalad dari Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) Aceh. Seorang peneliti dari Universitas Tokyo, Natsuko namanya, ikut bersama Mustawalad. Natsuko meneliti proses reintegrasi yang menurutnya baru terjadi di tingkatan elite Aceh, belum menyentuh masyarakat secara langsung. Atu Lintang adalah sebuah contoh betapa rapuhnya reintegrasi.

Hartini berusia 40 tahun. Ia warga Meurah Pupuk, dusun tempat kantor KPA ini berada.

“Dari kebun Bu? Banyak hasilnya? tegur Mustawalad.

Hartini menghentikan langkah. Mustawalad memegang keranjang perempuan tersebut sambil melihat-lihat isinya.

“Malam kejadian saya tidur di atas (kampung tetangga Meurah Pupuk). Sehingga saya tidak tahu persis kejadiannya. Saya jantungan dan takut,” kata Hartini, memegang dadanya.

Hartini tak banyak tahu. Di malam kejadian dia tengah berada di rumah familinya di desa sebelah. Sisa-sisa pembakaran kantor KPA yang menyebabkan korban jiwa itu baru dilihatnya di pagi hari. Hartini seperti kebanyakan warga Atu Lintang berasal dari Pulau Jawa.

Belum lama Hartini bicara, seorang remaja laki-laki mengendarai sepeda motor datang menjemputnya.

“Pulang dulu. Ada tamu,” ujar anak laki-laki itu kepada ibunya, dalam bahasa Jawa.

Dia tak ingin ibunya jadi narasumber kejadian Atu Lintang. Alasannya: takut. Setelah kejadian tersebut banyak wartawan media cetak maupun elektronik datang, termasuk wartawan untuk televisi asing seperti Al Jazeera.

Kapolres (Kepala Kepolisian Resor) Aceh Tengah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Agus Budi Kawedar ingin agar kasus ini tak memicu konflik baru. Dia menyatakan bahwa dia dapat tekanan dari atasannya untuk bertindak serius.

“Kasus Atu Lintang kriminal murni,” kata Kawedar. Hal itu berdasarkan keterangan 40 orang saksi ang telah diperiksa secara marathon oleh polisi, sedang 25 di antaranya menjadi tersangka.

Saat penyerangan itu, di kantor KPA Meurah Pupuk, Atu Lintang, ada tujuh orang.

Lima orang kemudian meninggal dunia. Mereka dibakar hidup-hidup. Mereka itu adalah Hasbi Gading, Ramlan , Sabri, Selamat, dan Sejahtera Putra. Semua korban berusia di bawah 30 tahun. Empat nama yang disebut berturut-turut meninggal dibakar hidup-hidup, sedangkan Sejahtera meninggal dalam sumur. Anak muda berusia 22 tahun ini mencoba menyelamatkan diri dengan lari ke arah sumur di belakang kantor dan ia terjerembab ke dalamnya. Tapi para penyerang mengetahuinya. Puluhan batu dan seng dilempar orang-orang itu ke dalam sumur untuk memastikan si korban tak akan keluar dalam keadaan hidup.

imageDua orang yang selamat adalah Suhandar dan Sendi. Suhandar ditemukan polisi tak jauh dari lokasi kejadian. Ia luka parah. Sendi baru ditemukan polisi pada 2 Maret 2008, sekitar satu kilometer dari tempat kejadian. Tak seperti Suhandar, Sendi berhasil kabur sebelum dianiaya. Polisi kemudian merahasiakan keberadaan Sendi dan mengamankannya.

Suhandar langsung dibawa ke Rumah Sakit Datu Beru, Takengon dengan pengawalan polisi. Hasil visum menunjukkan Suhandar mengalami luka robek di kepala belakang. Ada tiga titik. Selain itu, ia mengalami luka di tubuh bagian belakang, tangan kanan, dan kaki kiri. Total jahitan di sekujur tubuhnya: 54 jahitan.

Selama berada di rumah sakit, Suhandar juga mendapat pengawalan ketat polisi.

“Kapolres tidak memperkenankan siapapun masuk, termasuk keluarga. Kecuali paramedis,” tegas seorang polisi bersenjata AK 47 yang berjaga di depan pintu kamar Suhandar, di bagian bedah.

Beberapa hari kemudian, saat stasiun televisi Al Jazeera mengambil rekaman gambar Suhandar, reporter televisi itu, seorang perempuan Arab yang fasih berbahasa Indonesia, mengajukan permohonan kepada Kapolres.

“Saya hanya mau mengajukan satu pertanyaan saja pada Suhandar, Pak Kapolres. Boleh ya,” katanya.

Sesaat setelah berpikir, Kapolres berkata, “Boleh, tapi hanya satu pertanyaan saja.”

“Bagaimana Anda bisa selamat?” tanya si reporter kepada Suhandar.

Suhandar tampak sudah sehat. Lukanya sudah mengering dan dia tidak mengerang lagi seperti di saat saya mengunjunginya di hari pertama. Di hari tersebut saya hanya bisa melihatnya dari sela-sela pintu yang dibuka perawat saat mengobati Suhandar.

“Saya keluar lewat jendela samping. Melompat pagar. Tapi di sana sudah banyak orang,” sahutnya.

“Cukup,” tegas Kapolres.

Sebelum kejadian Atu Lintang, anggota Ikatan Pekerja Terminal (IPT) sekaligus anggota Peta (Pembela Tanah Air) sempat ribut-ribut dengan orang KPA. PETA ialah sebuah organisasi yang merupakan aliansi milisi pro Indonesia dan sejumlah organisasi anti GAM.

Pasalnya mereka berebut mengelola terminal bus Takengon. Pihak KPA ingin terlibat dalam pengelolaan terminal, tapi IPT menolak.

Ribut-ribut ini berlangsung tiga bulan sebelum peristiwa Atu Lintang. Dinas Perhubungan dan Pariwisata kemudian berinisiatif mempertemukan kedua organisasi tersebut untuk bermusyawarah. Tapi alih-alih musyawarah itu mencapai titik temu, malah berubah jadi ajang baku hantam.

Menurut Ano, salah seorang pengurus IPT, pemicunya adalah kata “tembak!” yang diucapkan seorang anggota KPA bernama Abdul saat tiba di kantor Dinas Perhubungan dan Pariwisata. Abdul datang bersama tiga kawannya.

Akibatnya anggota-anggota IPT yang hadir langsung menghajar Abdul. Abdul sempat dibawa ke rumah sakit akibat insiden tersebut. Tapi KPA membantah anggotanya memulai kerusuhan ini. Tak jauh dari kantor Dinas Perhubungan dan Pariwisata ada kantor bupati dan Polres Aceh Tengah.

Pasca baku hantam itu, bupati dan wakil bupati Takengon mengupayakan agar organisasi mantan GAM dan organisasi milisi pro Indonesia tadi berdamai. Bupati Nasaruddin bahkan menyediakan ruang kerjanya sebagai tempat pertemuan mereka. Pertemuan itu berlangsung selepas maghrib, tanggal 1 Maret 2008.

Kesepakatan damai pun diperoleh.

Tapi tiba-tiba di luar ruang kerja bupati puluhan anggota IPT bergerombol dan sesekali berteriak. Tak cuma anggota IPT setempat yang hadir di situ, tapi juga massa PETA dari kabupaten Bener Meriah. Ketua PETA, Misriadi, ikut bermusyawarah di dalam.

Setelah kesepakatan damai itu ditandatangani sekitar pukul 22.00, dua mobil anggota KPA yang diparkir di halaman ternyata dirusak orang. Pipa minyak remnya diputus. Mobil jenis Taft dan double cabin ini terpaksa ditinggalkan begitu saja.

MUKHRI salah seorang warga kampung Meurah Pupuk menyatakan tak tahu percis awal-mula pembakaran kantor dan manusia yang terjadi di kampungnya. Ia hanya melihat api berkobar dari arah kantor KPA dan orang-orang ternyata sudah berkumpul di sana.

Suhartono, kepala dusun Meurah Pupuk, menyatakan bahwa kejadian tersebut dilakukan massa.

“Datangnya massa begitu tiba-tiba. Saya syok,” ujar Suhartono dan ia menyatakan bahwa ia tidak tahu dari mana massa tersebut berasal.

Menurut Suhartono, selama berkantor di Meurah Pupuk, belum ada tindakan orang KPA yang tidak simpatik. Desas-desus bahwa anggota KPA melakukan pemerasan juga tidak terbukti.

“Di Meurah Pupuk, KPA tidak ada (yang) melakukan pemerasan,” katanya.

Namun, ada perkara lain yang juga berhubungan dengan uang. Sugiman, ketua sekaligus manajer koperasi Sinar Harapan, menyatakan bahwa selama empat bulan berkantor di Meurah Pupuk, anggota KPA yang benama Juanda telah meminjam uang koperasi.

“Total pinjaman mencapai Rp.3 juta,” katanya. Saat kejadian itu Sugiman sedang berada di Takengon.

Menurut Sugiman, kehadiran kantor KPA di samping kantor koperasi Sinar Harapan telah membuat pengurus koperasi menghentikan aktivitas di kantornya karena takut. Urusan administrasi koperasi akhirnya dilakukan di rumah.

Akibat pembakaran itu aset koperasi turut terbakar dan hangus. Aset tersebut berupa seng dan alat pertanian, sepertii mesin penggilingan kopi.

Senada dengan keterangan Suhartono, Aiptu (Ajudan Inspektur Polisi Satu) Irvan Lubis mengatakan bahwa tengah malam itu dusun Meurah Pupuk tiba-tiba didatangi massa yang tak diketahui dari mana asalnya. Lubis bertugas sebagai Kapolpos atau Komandan Pos Polisi. Menurut Lubis, massa datang dengan beberapa truk. Dusun Meurah Pupuk yang dihuni 128 Kepala Keluarga itu mendadak ramai. Massa kemudian menyerang kantor KPA.

”Massa ratusan orang. Jumlah polisi yang terbatas tidak mampu membendung arus massa,” katanya.

Lubis mendapat telepon dari orang KPA, tapi yang menelepon tak menyebutkan wilayahnya. Lubis dimarahi, karena dianggap tidak mampu mengamankan anggota mereka. Padahal jarak kantor KPA dengan pos polisi tak jauh.

Lubis mengadu kepada Kapolres yang datang ke tempat kejadian.

“Udah nggak usah ditanggapi,” sahut Kawedar.

Lubis pun pergi sambil menenteng AK 47. Ia tampak gugup mendapat telepon dari KPA.

imageRAMDANA, ketua KPA Wilayah Linge, mengatakan kepada wartawan bahwa peristiwa Atu Lintang adalah aksi lanjutan masalah perebutan lahan terminal yang kemudian diprovokasi pihak tertentu.

“Kami harap polisi segera menuntaskan kasus ini. Sebelum anggota kami marah,” kata Ramdana. Ia ditemani sejumlah anggota KPA di rumah sakit tempat Suhandar dirawat.

“Saya himbau semua anggota KPA untuk tenang dan menahan diri serta tidak terprovokasi,” katanya. Ramdana menyatakan ia taat hukum dan menyerahkannya sepenuhnya pada polisi.

Sejak kejadian Atu Lintang, anggota KPA ke mana pun pergi terlihat bergerombol. Tak ada yang berani jalan sendiri.

Duski SH, penasehat hukum tersangka Atu Lintang, punya pendapat lain tentang kasus ini. Duski bekerja untuk Lembaga Bantuan Hukum Prima Keadilan, Aceh Tengah.

Ia ingin pihak yang bertikai menyelesaikannya secara hukum dan adat. Ia sudah menyurati Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Ia khawatir kalau kasus ini tak diselesaikan dengan baik, maka akan memicu kasus yang lebih buruk, seperti tindak balas dendam antar kelompok maupun etnis. Hal ini akan mengganggu situasi di Aceh pascakonflik.

“Perlu rekonsiliasi,” katanya.

Duski menawarkan cara menghilangkan dendam dan konflik antar warga atau biasa disebut konflik horizontal itu.

Pertama-tama, memberi diyat atau uang ganti rugi kepada ahli waris korban yang meninggal dunia. Besar diyat ditentukan setelah bermusyawarah dengan ahli waris korban. Kedua, kantor KPA dan koperasi yang dibakar dibangun kembali. Ketiga, kepada keluarga tersangka diberikan santunan oleh pemerintah daerah (Pemda), selama tersangka menjalani hukuman.

Perdamaian secara adat juga dinilai penting oleh Duski. Hal itu akan menghilangkan dendam dan menjadi bahan pertimbangan hakim memutuskan perkara Atu Lintang.

Tapi hingga akhir April 2008 lalu, surat yang dilayangkan Duski pada Pemda dan DPRK belum ditanggapi.

“Saya meminta kepastian dari bupati. Jika bupati tidak respon atau tidak mampu, saya ingin ketegasan dari bupati. Kalau memang tidak bisa melakukan rekonsiliasi, saya akan ke Banda Aceh menyampaikan upaya rekonsiliasi ini,” katanya. Dia menilai kerja Pemda lamban.

Pada 24 April 2008, 225 warga Atu Lintang mendatangi kantor DPRK. Sebanyak 18 orang perwakilan warga diterima DPRK. Kantor DPRK, terutama ruang pertemuan warga dan DPRK, dijaga ketat oleh polisi. Mereka yang bukan anggota DPRK atau perwakilan warga tidak diperkenankan masuk.

Menurut wakil ketua DPRK, Saib Nosarios, warga Atu Lintang menyampaikan empat hal, yaitu memohon keringanan hukuman untuk tersangka, meminta Pemda memperhatikan perekonomian tersangka, meminta DPRK memfasilitasi perdamaian dengan keluarga korban, dan menyatakan bahwa pelaku pembakaran Atu Lintang bukan 25 orang melainkan massa.

Kejadian itu menyebabkan Kapolres Aceh Tengah yang belum bertugas setahun di Takengon dimutasikan dengan promosi jabatan baru sebagai Waka Poltabes Padang.

SEHARI setelah kejadian, tak jauh dari tempat polisi memberi garis batas polisi, seorang perempuan muda memandangi bangunan hangus yang masih mengeluarkan asap itu.

Air matanya mengalir. Dia ditemani seorang remaja perempuan.

Dia istri Sabri, anggota KPA Daerah IV.

“Saya mencari tahu keberadaan suami saya Sabri,” katanya, sambil terus menangis. “Apakah ada yang selamat?” katanya.

Padahal Sabri termasuk mereka yang meninggal dunia. Sang istri kemudian menunjukkan pesan pendek yang dikirim suaminya ke telepon selulernya. Pesan itu berisi pemberitahuan bahwa Sabri akan berjaga di kantor KPA, karena ada informasi kantor tersebut akan diserang milisi.

Empat jenazah anggota KPA dikenali keluarganya berkat ciri tertentu. Ramlan dikenali keluarganya hanya dari gigi depannya yang patah. Sabri dikenali bapaknya, Yahya, hanya dari perasaan sebagai ayah. Itu lantaran jasad Sabri sudah tak utuh dan jadi arang. Selamat juga dikenali oleh istrinya. Setelah tiga jenazah itu diakui keluarga masing-masing, yang tersisa tinggal satu jenazah lagi. Maka keluarga Hasbi yang semula tak bisa mengenali jenazahnya langsung memastikan bahwa itu adalah Hasbi.

Sidang kasus ini mulai dilaksanakan pada Selasa, 6 Mei 2008 lalu, di Pengadilan Negeri Takengon. Para tersangka kebanyakan masih muda. Sidang pada hari Kamis bahkan akan dilakukan secara tertutup.

“Karena tersangkanya adalah anak-anak di bawah usia 20 tahun,” kata Duski.***

*) Win Ruhdi Bathin adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Takengon, Aceh Tengah.

by:Win Ruhdi Bathin