Menziarahi Cut Nyak Dien

Basilius Triharyanto

Wed, 30 April 2008

Pahlawan Aceh yang terkenal ini dimakamkan di Sumedang. Peziarahnya mulai dari anggota GAM sampai tentara Indonesia yang meminta keselamatan untuk perang di Aceh.

imageMINGGU pagi, pukul 06.30, 16 Maret 2008, saya menapaki tangga permakaman keluarga Pangeran Sumedang, Pangeran Soeria Koesoemaadmaja, dan keluarga ulama besar Haji Sanusi. Lebar tangga itu sekitar dua meter, terbuat dari batu sungai. Jalan menuju makam itu agak mendaki sejauh lebih kurang 500 meter.

Belasan orang tampak membersihkan pekarangan makam. Ada yang menyapu dedaunan yang berserak, ada yang mengelap nisan. Sejumlah tukang bangunan kelihatan tengah memugar makam.

Di kanan-kiri jalan ditumbuhi perdu. Dua papan petunjuk bertuliskan “Makam Tjut Nyak Dhien” tegak di masing-masing sisi jalan. Di tepi kiri jalan mencuat sebuah papan nama berukuran kecil yang disangga batang besi. Lalu, di kanan jalan terpasang papan nama yang terpaku pada sebatang pohon, tepat di bawah panah petunjuk ada identitas makam keluarga Pangeran Soeria Koesoemaadmaja. Sekitar lima meter dari situ ada makam ibunda Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Siti Saleha. Ia wafat di Sumedang pada 13 April 1959 di usia 78 tahun. Pada 1950-an, Siti Saleha datang menjenguk salah seorang anaknya yang bertugas sebagai dokter di Sumedang dan akhirnya, ia tutup usia di kota ini.

Setelah melewati papan petunjuk itu, anak tangga mulai menurun hingga saya tiba di depan gerbang makam Cut Nyak Dien, yang letaknya tepat di kaki gunung Puyuh.

Cut Nyak Dien memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda setelah suaminya Teuku Umar ditembak pada 11 Februari 1899. Ia memimpin perang gerilya didampingi pengawalnya Pang Laot, yang kemudian menyerah kepada Belanda pada 6 November 1905. Setelah Pang Laot menyerah, Cut Nyak pun ditangkap. Cut Nyak kemudian dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda khawatir pengaruhnya akan membuat orang-orang Aceh tetap berani melawan. Ia di Sumedang pada 1908.

Pintu gerbang besi itu terkunci. Di kiri pintu dipasang bel untuk memanggil juru kunci makam.

Makam ini dinaungi kubah dengan model rumah adat Aceh, setinggi kurang lebih 1,5 meter. Pada atapnya tergantung lampu listrik 10 watt. Di sebelah kiri makam tampak sawah menghampar dengan padi menghijau. Gemericik air sungai Cipicung memecah kesunyian di sekitar makam yang dikelilingi pepohonan tua dan tinggi.

Inilah ziarah pertama saya ke makam Cut Nyak Dien, yang usianya di bulan November 2008 ini genap 100 tahun. Seorang juru kunci, atau kuncen, bernama Nana Sukmana menyambut saya dengan ramah. Lalu, kami duduk di lantai keramik, dekat makam. Kami duduk berhadapan, dengan kaki bersila. Dan, bertuturlah ia tentang makam ini dan pengalaman hidupnya sebagai juru kunci.

Menurut Nana, pada 6 November 1905 Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang disertai dua pengawal. Satu pengawalnya sampai sekarang belum ditemukan makamnya. Pengawalnya yang lain adalah anak laki-laki berusia 15 tahun, bernama Teuku Nanna.

“Kegiatan Cut Nyak Dien (semasa hidup di Sumedang) itu mengaji. Ia sudah hafal (Alquran) di luar kepala, sehingga ia cepat dikenal oleh ulama-ulama, terutama pemilik tanah ini, sampai wafat. (Ia) dimakamkan di tanah Haji Sanusi dan Hajah Husna, putrinya Haji Sanusi,” kata Nana.

Nana lahir pada 16 November 1947 di Sumedang. Pada 1983 ia memenuhi amanah ayahnya, Jaja Sumarja, untuk menggantikannya sebagai juru kunci makam keluarga ini dan tugas utamanya adalah menjaga makam Cut Nyak Dien, dengan tidak boleh menanam satu pohon pun.

“Lihat di sini tak ada pohon besar, kecuali tanaman cokelat yang diberikan mahasiswa UNPAD (Universitas Padjadjaran Bandung) yang PKL (Praktik Kuliah Lapangan) di sini,” tutur Nana.

Amanah itu menjadi kuat secara hukum setelah ditetapkan oleh surat keputusan Gubernur Aceh Ali Hasymi waktu itu: SK bernomor PEG.814/026/1990.

“Pada tahun itu (1983) bapak saya, juru kunci ketiga, sakit. Setelah itu ada izin pemilik tanah (keluarga orang yang dimakamkan),” katanya.

Dengan SK tersebut, ia pun menerima gaji dari Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi Aceh. Gaji pertamanya sebesar Rp 50 ribu. Beberapa tahun kemudian naik menjadi Rp 200 ribu dan mulai tahun 2000 ia menerima Rp 500 ribu tiap bulan. Namun, gaji tersebut tidak ia terima tiap bulan.

“Saya terima gaji selalu dirapel, dibayar sekaligus setengah tahun atau lebih,” kata Nana. “Bulan Februari 2008 saya terima Rp 3 juta. Ini gaji selama enam bulan dari pemerintah Aceh,” katanya, lagi.

“Sudah biasa ya, sebelum tsunami, dari awal terlambat. Tiga bulan, empat bulan, enam bulan, pernah delapan bulan,” kata Nana.

Selain dari pemerintah Aceh, ia juga mendapat tambahan uang lelah dari provinsi Jawa Barat. Pada 2007 ia menerima honor Rp 200 ribu.“

TAHUN 2000, Henry Dunant Center mulai menggagas dan memfasilitasi proses dialog antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dialog itu bertujuan mencari kesepakatan jalan damai bagi penyelesaian konflik Aceh. Pada tahun itu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono berziarah ke makam Cut Nyak Dien, memohon restu pada pahlawan Aceh itu.

Di kala Aceh sedang bergejolak banyak tentara dan polisi berziarah ke makam ini.

“Tentara yang berziarah ada dari Batalyon Siliwangi, sebelum berangkat ke Aceh. Satu bataliyon, kadang-kadang semua anggota, dari Danyon, Danton, Danru, Danki. Mereka pakai seragam militer,” kisah Nana.

“Ada dari Brimob juga. Malah mereka minta foto di makam, supaya gampang melakukan pendekatan dengan orang Aceh di sana,” kata Nana, mengutip perkataan seorang tentara.

Beberapa bulan menjelang Perjanjian Helsinki ditandatangani pada Agustus 2005, para anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih melakukan kunjungan ke makam.

Pada 29 Juli 2005, ada dua rombongan tentara yang berziarah di jam yang berbeda. Rombongan pertama terdiri dari empat orang dari Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Banda Aceh, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal TNI Supiadin Adi Saputra. Kelompok kedua dari “Satpal Satgas Banioin-4” yang dipimpin oleh “Letkol Cpl. Agus Trisunu”. Itulah yang tertulis di buku tamu. Rombongan ini berjumlah 123 orang.

Sebulan sebelumnya 17 orang dari Yonif 312 Subang juga berziarah. Kemudian, ada 41 anggota Yonif 301/PKS Sumedang, yang dipimpin oleh Letkol Inf. Urip W dan Kapten Inf. Andy C. Pada 30 Mei 2005, peziarah datang dari Sesko TNI beserta para perwira siswa manca negara yang mengikuti pendidikan di Sesko TNI AD, Sesko TNI AU, dan Sespri Polri, sebanyak 30 perwira.

Menurut Nana, para peziarah tak hanya tentara Indonesia, tapi juga para gerilyawan GAM.

“Ada sekitar 15 orang GAM datang ke sini,” kata Nana. “Mereka bertanya ke saya, tanya sejarah Cut Nyak Dien, mengapa sampai ke Sumedang. Mereka tidak terlalu banyak bicara. Mukanya sangar-sangar, kulitnya kehitam-hitaman, ganteng-ganteng,” kata Nana, lagi.

“15 anggota GAM itu orang muda semua,” ujar Nana, menambahkan.

Kira-kira tahun 2002, tiga bus yang membawa sekitar 100 orang GAM yang ditahan di Jakarta berziarah ke makam. Mereka dalam pengawalan ketat anggota TNI.

“Mereka menangis di sini,” kisah Nana.

“Mereka banyak yang nangis, menangisnya kuat, terdengar dari jauh. Karena satu menangis, terharu, kita nangis, terbawa arus,” katanya.

Selain rombongan itu, ada kelompok gerilyawan GAM lainnya yang berziarah, tanpa ia kenali peziarah itu sebagai orang GAM. Ia baru tahu belakangan. Dan ia agak bingung saat sejumlah aparat intelijen mendatangi makam Cut Nyak Dien berkali-kali setelah kunjungan orang GAM tersebut.

image

Nana berulang kali ditanyai intelijen mengenai orang-orang GAM itu.

“Bapak tahu ini GAM? Saya tidak tahu. Selama ini kamu kemana saja? Saya selama ini di sini, tidak kemana-mana. Bapak tahu, yang datang itu orang-orang GAM? Saya tidak tahu yang datang itu GAM.” Nana mengisahkan ulang adegan tanya-jawabnya dengan aparat intelijen tersebut.

“Dua, dua, tiga, intel datang bergilir, secara bertahap,” katanya.

“Buku tamu diambil intel, lalu dilingkari satu-satu namanya. Dicatat, lalu disalin. Bukunya dikembalikan lagi,” kata Nana, sambil tertawa terkekeh-kekeh saat menceritakan pengalaman itu.

Saya ingin tahu nama-nama orang GAM yang ditandai intelijen itu, tapi buku tamu yang dimaksud sudah tak ada. Nana juga tak mengetahui keberadaan buku itu.

Namun, saya merasa senang ketika dapat membaca buku tamu yang lain, yang masih tersimpan di pos jaga juru kunci. Buku bergaris ukuran folio itu tampak lusuh dan kotor. Warna oranye di sampul muka buku itu pun sudah pudar. Namun, isi buku itu sangat padat dengan daftar peziarah dari Februari 2005 sampai Juli 2007.

Jumlah peziarah mencapai ribuan orang. Jumlah peziarah terbanyak pada tahun 2005, lebih dari seribu orang. Jumlah itu menurun pada tahun berikutnya, sekitar 500 orang, begitu pula di tahun 2007. Sebagian besar peziarah berasal dari Aceh dan orang Aceh di Jakarta, Bandung, dan sekitarnya. Ada juga pejabat, pelajar, mahasiswa dari luar Aceh, seperti Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Sumedang. Sedang orang asing yang berkunjung berasal dari Malaysia, Swiss, Belanda, dan Korea.

Firmansyah yang datang dari Banda Aceh bersama 94 temannya menaruh harapan besar terhadap sosok Cut Nyak Dien. Pada buku tamu bertanggal 18 Agustus 2005, tiga hari pasca Perdamaian Helsinki, ia menuliskan kesan: Walau jasadmu tak lagi di dunia ini namun marwah dan semangatmu jadi pemicu semangat kami keturunan Aceh jaman modern.

Dua orang Aceh yang datang dari Lhok Nga, Aceh Besar, Sabri dan Syahrul, menggoreskan kebanggaannya berziarah di makam ini dalam bahasa Aceh: “Alhamdulillah kamoe nyoe katroeh bak tempat moyang yang kamoe dambakaen, muliakan, kamoe han mephetuwo sejarah awak droen sampai nafas kamoe geu top lee pho rabbana.”

Pada 16 November 2005, Tengku Azwir Nazar dari Lambada Lhok, Aceh Besar, menorehkan kesannya: “Syahidmu adalah darah kami yang masih mengalir. Aceh Mulia!!!”

Di tahun baru 2006, orang yang berperan penting dalam menjaga perdamaian Aceh berziarah ke makam Cut Nyak Din. Ia adalah Pieter Feith, ketua Aceh Monitoring Mission (AMM). Ia menggoreskan kesannya: “As Head of Mission, AMM, I was very honored having visited the grave of Cut Nyak Dien, Hero of Aceh.”

DI makam itu di bulan Juni 2007, seorang lelaki berperawakan tinggi, kurus, dan bermata cekung, duduk bersujud. Ia baru beberapa hari tinggal di Sumedang, setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Jakarta.

Firdaus Nurdin menemukan kekuatan untuk bertahan dalam perantauan usai berziarah.

“Bangkit untuk berjuang terus ada,” kata Firdausnya kepada saya.

“Datang ke sini (makam) jiwa berani keluar,” lanjutnya.

Menurut Firdaus, Cut Nyak Dien berbeda dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya.

“Ia berjuang angkat senjata, rencong, melawan Belanda,” kata Firdaus. “Kartini sendiri berjuang di belakang meja, menulis,” lanjutnya.

“Saya hampir setiap minggu ke makam. Ketika lagi ingat kampung halaman, dan teringat orang tua,” ujar Firdaus. “Kalau sudah di sini jadi tenang,” katanya, lagi.

Muhammad Yusuf, kawan Firdaus, saat pertama kali menginjakkan kaki di Sumedang, langsung berziarah ke makam Cut Nyak Dien. Di makam ia membaca Hikajat Prang Sabi. Hikayat ini ditulis oleh Tengku Chik Pante Kulu, seorang pujangga Aceh di masa lalu. Isinya membangkitkan semangat orang untuk berperang.

“Saat hikayat kita baca, semangat kita naik untuk berperang,” kata Yusuf.

“Belanda dilawan. Kenapa dengan Jawa tidak bisa,” lanjutnya, lagi.

Hikayat Prang Sabi diukir di bagian kepala makam.

Djanji Tuhan Rabbula’la

Neubloehamba ba’ prang sabil

Njankeu keujum neubri keugata,

Patna tjidra peneudjeut rabbi.

Wahe teungke uleebalang,

Njan buloeeng prang Tuhan neubri,

Dijup langet diateuih boimoe,

Lam lam njoe tanna sabe

Di bagian kaki terukir sajak pujian untuk almarhumah.

Karena djihadmu perdjuangan,

Atjeh beroleh kemenangan,

Dari Belanda kembali ke tangan,

Rakjat sendiri kegirangan.

Itulah sebab sebagai kenangan,

Kami teringat terangan-angan,

Akan budiman pahlawan djundjungan,

Pahlawan wanita berdjiwa kajangan.

Kemudian di bagian kepala tertulis:

Firdaus menerjemahkan hikayat itu ke dalam bahasa Indonesia untuk saya. Ia membacakannya sambil meraba goresan huruf di beton makam itu.

Janji tuhan terbukalah,

Dibeli hamba untung Perang Sabi,

Itulah harga diri yang kuberikan,

Dimana janji Allah tidak ada yang cacat.

Wahai tengku uleebalang,

Dalam perang yang Tuhan berikan,

Di atas langit di bawah bumi,

Di alam ini tidak selamanya ada.

FADLAN lahir di Langsa, Aceh Timur pada tahun 1982. Ia meminang perempuan Cianjur, lalu tinggal di Bandung. Tahun lalu, 2007, ia singgah ke Sumedang, guna berziarah di makam Cut Nyak Dien. Tahun ini ia kembali singgah ke Sumedang. Tapi kali ini ia tak berziarah. Siang itu ia bersama keluarganya datang ke gunung Puyuh untuk makan mi Aceh. Ia anggota TNI, Angkatan Darat. Kini ia ditugaskan di Bandung.

“Saya ke sini karena sudah lama tidak makan mi Aceh. Ada tiga tahun tak makan makanan Aceh,” katanya.

Ia sudah mengenal nama Cut Nyak Dien sejak di bangku sekolah dasar, sebagai pahlawan nasional yang dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat. Sekarang, saat usia sudah dewasa, ia punya kesan tersendiri terhadap Cut Nyak Dien.

“Ia melambungkan perempuan-perempuan Aceh, yang berjuangnya sama kayak lelaki, yang di daerah lain tidak ada. Kalau di Aceh banyak pejuang perempuan,” kata Fadlan, sambil makan mi Aceh.

“Mungkin beda ya perjuangan dulu dan sekarang. Kalau sekarang setengah cari kerja, dulu tanpa pamrih,” kata Fadlan.

Fadlan adalah salah seorang yang tak setuju bila makam Cut Nyak Dien dipindah ke Aceh.

“Di sini aja, kalau dipindah kita mengubah sejarah. Dia diasingkan kemari oleh Belanda, ada hubungan Aceh dan Jawa Barat, mungkin ngajar ngaji,” katanya.

Bagaimana semangat Cut Nyak Dien bagi Fadlan sebagai tentara?

“Kalau sudah menyangkut ketentaraan, saya tak mau komentar. Ini nanti terkait dengan tanggung jawab institusi saya,” kata Fadlan.

“Saat liburan, saya sebagai orang sipil. Hidup seperti masyarakat umum lainnya, jadi ikut aturan sipil,” lanjutnya.

“Hubungan sejarah saya, karena saya orang Aceh, asal Aceh. Dengan tentaranya nggak ada hubungannya,” katanya.***

*) Basilius Triharyanto adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Jakarta.

kembali keatas

by:Basilius Triharyanto