Kaki Palsu Miswar

Rizky Fechrizal

Wed, 30 April 2008

Ia pernah bergabung dengan GAM. Kakinya diamputasi setelah tertembak di masa konflik. Kini ia malah trampil membuat kaki palsu untuk membantu orang-orang cacat.

RUANG Instalasi Rehab Medis Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSU-ZA), Banda Aceh, siang itu dipenuhi debu. Empat orang berseragam putih hilir-mudik dalam ruang itu. Ada yang memakai masker. Ada yang membiarkan hidungnya menghirup debu.

Raungan mesin gerinda mengiringi mereka. Butir-butir halus semen putih beterbangan memenuhi udara. Sebuah pendingin udara yang berada di sudut ruangan tak mampu mengimbangi panasnya cahaya matahari yang masuk melalui jendela.

Keempat orang itu tengah sibuk membuat kaki palsu. Mereka adalah Miswar, Harlina, Mirja, dan Sawaluddin. Mereka bekerja di ruang instalasi itu setelah menjalani kursus singkat mengenai teknik pembuatan kaki palsu selama tiga bulan pada Yayasan Mae Fah Lung Foundation. Yayasan ini bergerak dalam pembuatan kaki palsu terbesar di Thailand. Pengelolanya anggota kerajaan Negeri Gajah Putih itu.

”Pelatihan ini atas permintaan Gubernur (Irwandi Yusuf) kepada Yayasan Mae Fah Luang Foundation yang bekerja sama dengan Yayasan Peunawa Hati Foundation untuk membantu memberdayakan penderita cacat yang kehilangan kaki saat konflik dan tsunami berlangsung di Aceh,” ujar Somshak dari Mae Fah Luang Foundation.

Somshak telah 34 tahun bekerja sebagai pembuat kaki palsu. Keberadaannya di Aceh guna mendampingi para lulusan training untuk bisa menerapkan kemampuan yang telah mereka dapatkan selama pelatihan secara maksimal. Miswar dan ketiga rekannya adalah salah satu dari sekian banyak masyarakat yang kehilangan kakinya saat konflik dan tsunami terjadi di Aceh.

Tak lama kemudian saya melihat Miswar keluar dari sebuah kamar yang berada di salah satu sudut ruangan. Rambutnya pendek. Butir-butir keringat membasahi wajahnya yang saat itu tidak menggunakan masker. Seragam putih yang ia kenakan terlihat besar dibanding ukuran tubuhnya yang kurus. Ia berjalan tertatih.

“Kita ngobrol di luar saja, di sini ribut sekali,” ajaknya kepada saya.

Ia lalu bersandar di salah satu kursi berwarna oranye yang terjejer rapi tepat di depan pintu masuk. Perlahan ia mulai mengatur napas.

Miswar telah bekerja di instalasi rehab (= rehabilitasi) medis rumah sejak November 2007. Konflik bersenjata membuat kakinya cacat permanen. Perang juga mengubah garis hidupnya.

SUATU hari di bulan November 2002. Sore itu Miswar bersama seorang rekannya sedang melakukan tugas pemantauan di sekitar pos Lintasan Udara Tentara Nasional Indonesia (Linud TNI) di desa Blang Cot, Bireuen. Tugas ini kerap dilakukan Miswar sejak ia bergabung menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dua tahun sebelumnya.

”Saya bergabung dengan GAM karena ingin membela kebenaran dan memperjuangkan hak orang Aceh,” kata Miswar.

Namun naas baginya, entah siapa yang memulai duluan, tiba-tiba saja kontak senjata antara pasukan TNI dan GAM terjadi. Kontan suasana di sekitar areal itu mendadak menjadi panik dan tak terkendali. Semua orang berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Tak terkecuali Miswar yang ikut terjebak dalam situasi tersebut.

”Yang terpikir saat itu, bagaimana caranya agar bisa menyelamatkan diri,” ujar Miswar.

Tanpa dikomando, Miswar dan rekannya dengan menggunakan sebuah sepeda motor yang biasa disebut Honda bebek, langsung tancap gas meninggalkan lokasi itu. Miswar duduk di belakang sedangkan temannya yang menyetir sepeda motor.

Beberapa saat setelah motor melaju, tiba-tiba saja Miswar merasakan sakit yang luar biasa. Tumit kanannya tertembus peluru. Darah mengucur deras dari tumit kakinya.

Mendengar Miswar mengerang kesakitan, rekannya mulai kehilangan konsentrasi. Sepeda motor mulai tidak stabil dan terjatuh di tengah jalan raya. Beruntung Miswar terjatuh di pinggiran jalan. Naas bagi rekannya. Ia menemui ajal saat kecelakaan itu.

”Teman saya meninggal terlindas mobil yang melaju kencang,” kisahnya.

Selang setengah jam kemudian, kontak senjata pun berhenti. Beberapa warga sekitar mulai mendatangi tubuh Miswar yang terkulai lemah untuk memberikan pertolongan. Darah tak berhenti mengalir dari kaki dan kepalanya yang terluka saat jatuh dari sepeda motor.

”Jak, bagah tanyoe payah ba ureung nyoe ue rumoh saket (Ayo cepat kita harus bawa orang ini kerumah sakit),” ujar Miswar menirukan perkataan salah seorang warga saat itu.

Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Fauziah, Bireuen. Letaknya sekitar tiga kilometer dari lokasi kejadian. Tim dokter rumah sakit pemerintah itu memutuskan untuk melakukan memotong bagian kakinya yang tertembus peluru. Miswar pasrah.

”Saat itu saya tidak bisa berpikir apa-apa lagi,” katanya.

Selama 20 hari Miswar tak sadarkan diri. Ia mengalami koma setelah menjalani operasi.

”Setelah sadar kalau kaki saya sudah diamputasi, saya sangat sedih. karena dulu sempurna, kini telah menjadi orang cacat,” ujarnya.

Sebulan lebih ia menjalani perawatan di rumah sakit tersebut.

Kehidupan baru pun mulai dijalani Miswar di kampung halamannya, di Samalanga, Bireuen. Sepasang tongkat menjadi teman yang setiap saat menemaninya. Rasa putus asa sesekali terlintas di benaknya.

”Beruntung saya mempunyai keluarga dan teman yang selalu memberikan semangat. Itu membuat saya bisa terus kuat,” katanya.

Miswar sadar ia tidak boleh selamanya terus hidup dalam keterpurukan dan kesedihan. Selang tujuh bulan kemudian, Miswar memutuskan untuk kembali ke Bireuen. Tujuannya untuk membantu kakaknya bekerja.

”Daripada di kampung tidak ada kegiatan, yang ada hanya terus-terusan sedih,” katanya.

Selain membantu sang abang, Miswar juga mengikuti kursus komputer. Setelah tiga bulan menjalani pendidikan, tepatnya sekitar bulan November 2004, Miswar memutuskan untuk berangkat ke Banda Aceh. Tujuannya adalah mencari kerja dengan bekal ilmu yang telah didapat.

Baru satu bulan berada di Banda Aceh, Miswar dikejutkan dengan kedahsyatan musibah gempa dan gelombang tsunami. Komunitas internasional sibuk mengirim aneka bantuan, baik berupa makanan maupun tenaga kesehatan ke Aceh. Kesempatan itu tidak disia-siakan Miswar yang ingin mengobati kakinya.

Beberapa hari setelah musibah tersebut, Miswar langsung mendatangi Rumah Sakit Umum Fakinah di Jalan Jenderal Soedirman, Banda Aceh. Pascatsunami, rumah sakit yang luput terkena terjangan tsunami ini ditetapkan menjadi salah satu rumah sakit darurat untuk mengobati para korban tsunami selain Rumah Sakit Kesehatan Daerah Militer (Kesdam) dan Rumah Sakit Zainoel Abidin. Puluhan tenaga medis yang berasal dari luar negeri berkumpul di situ.

”Di sana saya berjumpa dengan dokter dari Yunani. Mereka mengajak saya ke negara mereka untuk mengobati kaki saya. Tapi waktu itu saya tidak mau,” kata Miswar.

Beruntung salah seorang anggota polisi yang bekerja di rumah sakit itu memberikan surat rujukan kepada Miswar untuk berobat di Rumah Sakit Kesdam.

”Selama 16 hari saya berobat di Kesdam, tiba-tiba saja orang dari Handicap International menelepon dan mengajak saya ke Medan untuk dibuatkan kaki palsu,” ujarnya. Tanpa berpikir panjang, Miswar menyetujui tawaran itu. Handicap International merupakan lembaga swadaya internasional yang membantu para pengungsi tsunami. Lembaga ini didirikan tahun 1982 dan semula hanya untuk membantu pengungsi perang di Kamboja dan Thailand.

Miswar segera berangkat ke Medan. Yayasan Ekosistem Lestari atau YEL mendanai kepergian dan pengobatan Miswar. Setelah menjalani beberapa tahapan terapi dan pemeriksaan, kaki palsu pun mulai dipasang.

”Awalnya sedikit sakit dan susah untuk berjalan, namun lama-kelamaan rasa sakit itu mulai hilang. Saya mulai bisa berjalan dengan kedua kaki lagi walau tidak bisa normal seperti dulu,” katanya.

Setelah proses pengobatan ia jalani, Miswar diizinkan pulang ke Aceh. Tapi ia ingin tetap bertahan di Medan. Ia yakin bahwa semakin sering berada di lingkungan orang asing, semakin banyak ilmu yang bisa didapatkannya. Terutama dalam berbahasa Inggris. Baginya ilmu merupakan hal terpenting setelah ia menjadi cacat. Niat itu terkabul setelah pengurus YEL mengabulkan permintaannya.

Miswar berada di Medan sekitar setahun lamanya. Miswar berada di Hotel Ecolodge Lawang Cottage. Hotel ini dipilih untuk dijadikan tempat penginapan sementara bagi para warga Aceh korban konflik dan tsunami yang sedang melakukan perawatan dalam rangka pembuatan kaki palsu untuk mereka. Miswar juga ikut membantu mengurusi keperluan para pasien hingga menjadi penerjemah bagi beberapa pasien yang kurang bisa berbahasa Indonesia.

AKHIR November 2006, Miswar kembali ke Banda Aceh. Ia kemudian mendapat modal dari Gubernur Irwandi Yusuf sebesar Rp 5 juta. Dengan modal yang telah didapatkannya ia membuka usaha jasa isi ulang pulsa. Kios kecilnya berada di Desa Lambaro Skep, Banda Aceh.

Namun baru beberapa bulan berjalan, ia terpaksa menutup usaha itu. Pendapatan tidak sebanding dengan pengeluarannya. Bisnis pulsa isi ulang mulai kurang laku. Hasil penjualan habis untuk makan sehari-hari. Padahal ia juga harus mengirim uang kepada orang tuanya di kampung.

Di tengah kegalauannya itu, tiba-tiba Miswar bertemu dengan Harlina. Miswar berteman dengannya sejak 2005. Perempuan itu kehilangan kaki kirinya saat gelombang tsunami menghancurkan rumahnya di kawasan Lamdingin, Banda Aceh. Suami dan ketiga anaknya meninggal akibat musibah tersebut.

”Saat itu saya sedang mengantar pasien sebanyak sepuluh orang ke Pangkalan Siantar untuk diterapi,” kenang Miswar.

Awal Januari 2005, kaki Harlina diamputasi relawan medis asal Australia di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. Setelah dioperasi, Harlina kerap didatangi oleh relawan perempuan asal Perancis. Panggilannya Michelle. Ia bekerja di Handicap International. Tugasnya memantau perkembangan kesehatan dan jiwa masyarakat korban tsunami. Harlina mendapat bantuan kaki palsu setelah Michelle mengajaknya ke Medan. Di sana Harlina bertemu Miswar yang juga kehilangan kakinya.

Dari perjumpaan itu, Harlina mengajak Miswar untuk ikut pelatihan membuat kaki palsu di Thailand.

”Pesertanya harus yang korban konflik dan tsunami. Kamu mau ikut nggak?” Harlina bertanya.

Tanpa pikir panjang, Miswar segera menyetujui. Ia juga korban konflik.

”Kalau begitu kamu siapkan surat keterangan bahwa kamu korban konflik,” tambah Harlina.

Miswar segera kembali ke Samalanga, Bireuen. Ia mesti mengambil surat keterangan korban konflik yang ia punya.

RABU, 27 Juni 2007. Miswar dan ketujuh rekannya, Dahlan, Kasim, Junaidi, Sawaluddin, Mirja, Harlina, dan Muhammad Yusuf tiba di bandara internasionalSuvarnabhumi, Bangkok. Hanya Harlina yang merupakan korban tsunami, selebihnya korban konflik.

Mereka menginap semalam di ibukota Thailand itu. Esok paginya mereka langsung diberangkatkan ke Chiang Mai. Mereka ditempatkan di sebuah kompleks pembuatan kaki palsu terbesar di Thailand yang dikelola Mae Fah Luang Foundation. Mae Fah Luang sendiri jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah ‘ibu turun dari langit’.

Namun tidak semua dapat bertahan dalam pelatihan itu. Empat rekan Miswar memilih untuk kembali ke tanah air. Alasannya mereka tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan di pusat pelatihan itu. Selain budaya dan bahasa, mereka juga tidak bisa menyesuaikan lidah dengan makanan di sana. Dahlan, Kasim, Junaidi, dan Muhammad Yusuf memilih mengundurkan diri.

Sedangkan Miswar dan ketiga rekannya terus bertahan. Bagi mereka ilmu yang akan didapat akan sangat bermanfaat bagi masa depan. Keseriusan dalam menjalani pelatihan pun menjadi hal nomor satu bagi mereka.

”Orang-orang di sana tidak menyangka kami sudah dapat membuat kaki palsu hanya dalam waktu tiga hari. Padahal kami baru dilatih selama satu bulan. Dari situlah ada penghormatan dari orang Thailand bahwa orang Aceh ini mampu untuk berpikir,” kenang Miswar.

Setelah sekitar satu bulan menjalani pelatihan, mereka diberi kesempatan untuk mempraktikkan ketrampilan yang telah didapat di Rumah Sakit Songkla, bagian selatan Thailand.

”Karena di rumah sakit itu setiap tiga bulan sekali mengadakan program bantuan kepada korban konflik, kecelakaan, dan lain-lain yang masyarakatnya kurang mampu untuk mendapatkan kaki palsu,” katanya.

Selama dua bulan, Miswar, Sawaluddin, Mirja, dan Harlina bekerja membuat kaki palsu di rumah sakit itu.

Tanggal 28 September 2007, mereka kembali ke Aceh. Meski telah ikut pelatihan dan trampil membuat kaki palsu, Miswar dan ketiga rekannya tidak bisa segera bekerja dan menerapkan keahlian mereka di Aceh. Mereka harus menunggu sekitar satu bulan. Alat dan bahan-bahan untuk membuat kaki palsu belum dikirim.

Baru pada 1 Desember 2007, mereka dapat resmi bekerja. Tempatnya di salah satu ruang Rumah Sakit Zainoel Abidin.

”Kami bisa bekerja di sini atas instruksi Gubernur terhadap pihak rumah sakit,” katanya.

Namun diakuinya, honor yang ia dan rekan-rekannya dapatkan selama bekerja bukan berasal dari pihak rumah sakit, melainkan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Lathifa Foundation. Lathifa memberikan uang saku sebesar Rp 1 juta per bulan, ditambah dengan uang makan sebesar Rp 600 ribu.

Sejak awal bekerja, Miswar dan ketiga rekannya telah menyelesaikan 14 protose kaki palsu dari 28 orang pasien yang datang dari berbagai daerah di Aceh. Umumnya mereka kehilangan kakinya saat konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM berlangsung Aceh.

”Dalam membuat kaki palsu, pasien tidak dikenakan biaya sedikitpun,” katanya.

Untuk membuat sebuah kaki palsu, diperlukan waktu paling cepat 10 hari. Kaki buatan itu dikerjakan secara tim. Proses pembuatan juga dilakukan secara bertahap. Kaki-kaki palsu itu mesti disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.

”Karena tiap kaki pasien tidak semua sama jenisnya,” ujarnya.

Tahap pertama yang harus dilakukan yakni memeriksa kondisi tulang-tulang pasien. Pemeriksaan ini dilakukan oleh dokter. Setelah itu dokter akan memberikan hasilnya kepada Miswar dan kawan-kawan. Baru kemudian Miswar dan timnya mengukur kaki pasien yang akan dibuatkan kaki palsu itu.

Ada empat jenis kaki yang dipelajarinya. Jenis yang pertama adalah sam atau bagian kaki untuk orang yang tidak mempunyai kaki sampai batas tumit. Kedua adalah jenis bilofni atau bagian kaki di atas tumit sampai dengan lutut. Jenis ketiga adalah tuni atau bagian kaki sebatas lutut. Terakhir adalah abofni atau di atas lutut hingga pangkal paha.

”Kita harus mengerti jenis tulang-tulang tersebut. Karena kalau tidak, pasien akan merasakan sakit jika menggunakan kaki palsu yang kita buat,” terang Miswar.

Jika jenisnya sudah diketahui, pasien akan dimasukkan ke dalam ruang pengukuran. Di ruang ini kaki pasien akan dibalut dengan semacam perban yang nantinya akan mengeras.

”Dari situlah kita mengambil cetakan tersebut,” terangnya.

Untuk membuat cetakan diperlukan bubuk semen yang selanjutnya dimodifikasi sesuai dengan bentuk kaki pasien. Tahap terakhir, cetakan itu diuji coba kembali kepada pasien. Jika sudah tidak terasa sakit baru dilanjutkan dengan pembuatan plastik. Dari pengalaman Miswar, jika tidak dicek terlebih dahulu kaki palsu akan menghabiskan banyak plastik.

”Alhamdulillah selama ini belum ada pasien yang mengeluh sakit. Yang ada hanya keluhan merasa janggal karena baru pertama kali memakai kaki palsu,” tambahnya.

Kini tak ada lagi kesedihan di hati Miswar. Duka itu sudah dibalasnya dengan sebuah pengabdian.

”Cuma ini yang bisa saya perbuat. Supaya orang-orang cacat tidak ada lagi mengeluarkan air mata,” katanya.

*) Rizky Fechrizal adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Rizky Fechrizal