PAGI sekitar pukul sembilan, matahari memancarkan sinarnya di stasiun kereta api Kertapati, Palembang. Hari itu, 11 November 2007, aku bersama seorang teman hendak ke kota Bandarlampung, Lampung, untuk menghadiri sebuah kongres bahasa daerah. Angin sejuk berhembus bagai menjatuhkan embun, masuk ke dalam pori-pori, membuai. Tak hanya aku, seorang lelaki 50-an telah menyandarkan bahunya dengan kedua tangannya menyilang di dada, menahan dingin. Ia mengenakan setelan celana panjang hitam dan kaos katun biru gelap. Ia duduk tepat di hadapanku, di kursi E 21. Wajah yang nantinya kuketahui penuh keriput itu tak sempat kutatap.

Ia terlelap.

Dua jam kemudian, ia tersenyum tipis. Di bibirnya tersungging senyuman yang membuatku balik tersenyum. Kepadaku, ia mengatakan kalau tujuannya ke Bandarlampung untuk menjenguk istri dan anaknya yang sudah enam bulan ini meninggalkan rumah.

NAMANYA Subur, seorang Jawa kelahiran Kotabumi, Lampung. Sehari-hari ia bekerja sebagai loper koran di perempatan Patal, Jalan Mangkunegara, Palembang. Dengan sepeda butut, ia menjajakan koran kepada langganannya di perkampungan Sekojo, Sekip, Kenten, dan Perumnas, lalu kembali ke perempatan Patal untuk menghabiskan sisa korannya.

Lelaki yang hanya mengecap pendidikan di sekolah dasar ini memiliki dua anak angkat, Arif yang berumur 12 tahun dan Arki yang telah berusia 21 tahun, dan seorang anak tiri usia 10 tahun, Annisa.

“Arif dan Arki itu adalah anak kenalan saya, namanya Kelik Susanto,” katanya. Lebih lanjut ia tak mau mengatakan di mana kini Kelik itu.

21 April 2006, ia menikah siri dengan Sumiati, seorang janda beranak satu kelahiran 1972. Sebelumnya ia sudah pernah menikah dengan empat perempuan yang kini entah pergi ke mana. Tapi, tidak seorang pun memberinya anak. Menurut Subur, saat menikahi Sumiati, ia sudah punya istri bernama Susilawati. Tahu dirinya menikahi Sumiati, Susilawati lari meninggalkan dirinya. Sumiati jadi janda lantaran suami pertamanya meninggal dunia.

"Aku menikahi Sumiati berharap memiliki anak kandung," katanya.

Setelah menikah di Metro, Lampung, Sumiati langsung diboyong ke rumahnya di Sekojo, Palembang, di dekat Sekolah Menengah Pertama Negeri 23, sekitar 10 kilometer dari pusat kota Palembang. Rumah mereka terbuat dari papan dengan tiang kayu gelam, beratapkan seng, di atas sebuah lahan semak milik Samsul Rizal, warga kampung itu. Kebetulan, Rizal memiliki sebuah kolam ikan di lahan itu yang dipercayakan untuk dijaga Subur. Biaya pembuatan rumah tersebut dikumpulkan Subur saat berjualan sayuran di pasar pagi Lemabang. Usaha itu kemudian ditinggalkannya lantaran kehabisan modal.

“Saya harus bayar uang kebersihan, keamanan, dan preman. Belum lagi kalau ada preman yang memaksa minta uang. Jual jagung muda cuma dapat untung Rp 200 per bijinya, modal saya cuma berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per minggu, sedangkan uang yang pasti keluar per harinya hampir Rp 8.000-an,” kata Subur.

Suatu hari, ia bertemu dengan Jhonson, seorang agen suratkabar Sriwijaya Post. Selanjutnya ia dikenalkan dengan agen koran itu yang bernama Zainal. Dari sana ia mulai menjajakan koran dengan penghasilan yang tak menentu, "Ya sekitar Rp 15 ribu per hari, cukuplah untuk makan sehari-hari,” kisahnya.

Tak lama di jalan, Subur mendapatkan beberapa pelanggan yang berada di sekitar Sekojo, Sekip, Kenten, dan Perumnas. Lalu dia pun mengkredit sepeda.

KERETA belum sampai, begitu pula cerita Subur yang kian mengalir deras.

Sekitar Mei 2007, Subur dan istrinya membuat warung nasi yang mirip balai-balai bambu. Hanya ada seperangkat meja dan kursi kayu, serta rak tua penyimpan nasi buatan Sumiati. Mereka berjualan nasi gemuk (nasi yang direbus dengan santan kelapa) dengan beberapa lauk-pauk. Harganya tidak ditarifkan. Rp500 dilayani, Rp5.000 apalagi.

Warung yang berjarak 230 meter dari rumah mereka itu perlahan ramai dikunjungi orang, mulai anak-anak hingga orang dewasa. Pengunjung kebanyakan hanya ingin bermain kartu atau sekadar ingin mencari semilir angin.

“Enak sekali di warung ini, sudah penanak nasinya cantik, nasinya juga asyik,” kata seorang pengunjung bernama Robert. Lelaki ini berusia 41 tahun dan bekerja sebagai sopir angkutan kota jurusan pasar Lemabang-Sekojo.

Robert yang sudah memiliki anak dan istri sering mengunjugi warung Sumiati, selain untuk makan, minum kopi, juga menggoda istri Subur itu.

Sebulan berkenalan, Robert sering memaksa Sumiati untuk menemaninya jalan-jalan dengan mobilnya. Sumiati yang tahu Robet preman, menjadi takut dan ikut ke mana saja. Dalam perjalanan dan persinggahan, Sumiati dikenalkan Robert sebagai istrinya, dan tak segan-segan merangkul tubuh Sumiati sambil meraba tubuhnya.

Dulu pekerjaan Robert adalah penarik becak, yang biasa mangkal di simpang Sekojo. Dia suka menegak minuman keras dan berjudi kartu domino. Suatu kali ia ribut dengan seorang temannya. Mereka berkelahi. Robert pun membunuh temannya dengan menusukkan pisau ke dadanya. Keluar dari penjara, Robert menjadi sopir.

Subur beberapa kali tidak menemukan istrinya di rumah atau di warungnya. Tapi itu tidak pernah dipikirkannya, apalagi terpikir kalau Sumiati dibawa Robert. Suatu hari, ia tergerak mencari Sumiati. Ia bertanya kepada para tetangganya. Salah satu tetangganya menjelaskan Sumiati pergi dengan seorang sopir angkutan kota bernama Robert.

“Pakde, istrimu jalan-jalan dengan seorang sopir, namanya Robert. Tadi Robert kelihatan mesra-mesraan sama istrimu. Cepat, jemput istrimu!” kata salah seorang tetangga.

Subur berniat mencari rumah Robert, tetapi tiba-tiba Sumiati sudah berada di depannya dengan sekeranjang sayur dan sekarung beras.

"Aku belanja dan saat mau pulang dicekal Robert, seorang sopir yang sering makan di warungku, dan aku harus naik mobil dia kalau berbelanja ke pasar,” kata Sumiati. Keringat mengucur di keningnya.

Subur tidak marah. Subur berusaha memaafkannya agar tidak terjadi persengketaan yang lebih jauh.

Robert mengulangi perbuatannya. Bahkan, anak-anak mereka pun dipaksa ikut jalan-jalan, meskipun mereka menolak. Mereka diajak ke sebuah salon.

Di salon itu, Robert memaksa Sumiati untuk memotong rambutnya, sebagai persiapan pengantenan. Sebelumnya Robert memaksa Sumiati untuk menikah dengannya pada pertengahan Agustus 2007. Lagi, lantaran takut, Sumiati membiarkan rambutnya dipotong.

Siang hari akhir Mei 2007, Robert kembali mengulangi perbuatannya. Robert masuk ke rumah Sumiati dengan cara meloncati gerbang lahan. Sumiati terkejut melihatnya tiba-tiba ada di dalam rumah. Robert pun ke kamar mandi untuk mencucikan baju Sumiati. Annisa yang pulang dari sekolah juga melihat kelakuan Robert itu.

“Nah, setelah ini kita bisa jalan-jalan lagi,” kata Robert kepada Annisa dan Sumiati.

Akhirnya Sumiati dan Annisa jalan-jalan bersama Robert menggunakan mobilnya.

Dua peristiwa itu tidak diketahui Subur.

Suatu hari Minggu masih di bulan Mei 2007, Robert mendatangi warung Sumiati. Dia langsung menyergap Sumiati sambil berkata, “Bunda, belikan aku minuman di sana!”

“Warung masih sepi, nanti ada yang ingin beli,” jawab Sumiati.

“Ah, tinggalkan saja dulu, biar aku yang melayaninya!” sentaknya. Sumiati pun menurut. Sumiati membeli sebotol anggur merk Kunci. Tanpa menunggu lama, Robert langsung menenggaknya sampai habis.

Kemudian datang seorang pembeli, lelaki. Lelaki itu tidak menghiraukan Robert yang tengah menikmati rokoknya, dan langsung mendekati Sumiati karena ingin memilih lauk. Setelah laki-laki itu pergi, Robert mendekati Sumiati. Tanpa memberi aba-aba, dia menyulutkan rokok itu ke lengan Sumiati secara bergantian di kiri dan kanan. Tak pelak, Sumiati meringis kesakitan dan menjauh sambil memegangi lengannya yang tersulut rokok. Robert sempat mencekalnya untuk mengulangi perbuatannya, beruntung Sumiati kedatangan pembeli perempuan. Robert pun melepaskan tangannya, dan pergi.

Malamnya, Subur bertanya perihal luka di lengan istrinya itu, tapi Sumiati mengatakan kalau itu cuma koreng akibat digaruk karena digigit nyamuk.

Keesokan hari sekitar pukul sembilan pagi, datang seorang lelaki ke warung Sumiati memberikan sepucuk surat dari Robert. Sumiati meminta anaknya membacakannya. Ternyata isi surat itu berisi pernyataan cinta dari Robert, dan niatnya untuk menikahi Sumiati. Sumiati tidak tahu harus berbuat apa. Bingung. Ini kali tak ada cara lain, kecuali melaporkan semua perbuatan Robert kepada suaminya.

Sekali lagi Subur mencoba tenang. Dia meminta Sumiati menolak ajakan Robert dengan kalimat yang baik. “Ulur saja dulu, Bu. Kita belum punya uang untuk melarikan diri,” kata Subur.

Sumiati yang buta huruf itu membalas surat Robert dengan menggambar sebuah gunung  yang dimaksudnya agar Robert mengerti bahwa dia sudah punya suami.

Tapi surat itu tidak membuat Robert berhenti. Robert kembali mendatangi Sumiati di warungnya. "Bunda, mana si tua bangka itu? Biar dia tahu siapa aku!” teriaknya.

Spontan pengunjung yang sedang mengisi perut di sana langsung berhenti makan. Sumiati menjawab tidak tahu, tapi Robert malah menyulutkan rokoknya ke tangan Sumiati bertubi-tubi. Saat mau ditangkis, Robert justru mengancam Sumiati. “Kalau kamu tidak mau dan tidak menikah denganku, dia saya bunuh!” ancamnya

Warung menjadi sepi. Tak ada satu pun pengunjung berani mendekat, dan melerai Robert yang terus memegangi tangan Sumiati.

“Siapapun yang menghalangi aku untuk menikah denganmu akan kubunuh! Aku akan menabrak si tua bangka itu! Biar cepat mampus!” teriak Robert.

Tak lama kemudian Annisa datang dan melihat ibunya tengah diancam. Robert pun langsung menarik Annisa dan berkata, “Pilih mana, aku atau si tua bangka itu?”

Annisa yang tidak tahu apa yang dibicarakan Robert hanya menangis. Lalu Robert melepaskannya, dan pergi tanpa bicara sepatah kata pun.

Sumiati dan Annisa tidak berani mengadukan peristiwa itu kepada Subur. Mereka bungkam. Pikir Sumiati, selama Subur tidak disakiti Robert, ia mau mengikuti keinginan Robert untuk diajak jalan-jalan, dan diperkenalkan sebagai istrinya kepada teman-teman dan kerabatnya.

Suatu siang, ketika hendak pulang dari berjalan-jalan, Robert merangkul tubuh Sumiati, dan menggerayangi tubuhnya. Ia bersenda gurau sambil menyetir, dan sesekali mencoba menyentuh Sumiati, tapi Sumiati mencoba mengelak sebisa mungkin walau sesekali bibir hitam Robert berhasil mendarat di pipinya. Robert merayu Sumiati agar meninggalkan suaminya, dan mau melakukan hubungan suami-istri dengannya. Bahkan, Robert hari itu memaksa Sumiati melakukan oral seks. Sumiati tidak mau, dan berontak dari dekapan Robert.

Malamnya, dia menceritakan peristiwa tersebut kepada Subur. Sumiati minta diantar pulang ke Lampung, karena tidak tahan dengan perilaku Robert terhadap dirinya. Mereka tidak dapat pulang, Subur tidak punya uang. Uangnya sudah dibayarkan buat membayar utang dengan seorang penjual telepon seluler. Subur berutang sebuah telepon seluler, yang diperlukan buat berkomunikasi dengan pelanggannya.

Subur tidak mengambil tindakan apa pun terhadap Robert.

Suatu petang di awal Juni 2007, seorang perempuan masuk ke rumah Subur dan langsung melabrak Sumiati. Perempuan itu adalah istrinya Robert yang belakangan mengetahui hubungan Robert dengan Sumiati. Namanya Erna.

Hubungan Sumiati dan Robert diketahui Erna atas pengakuan suaminya yang ingin menikahi Sumiati. Saat itu, Sumiati dimaki berulangkali oleh Erna. Sumiati tidak melawan atau membantahnya.

Pertengahan Juni 2007, Erna kembali ke rumah Sumiati dengan wajah memar dan tembam. Ini kali bukan untuk melabrak, tapi untuk memberitahu Sumiati dan Subur bahwa Robert sudah menyiksanya karena dia menolak menjadi madu Sumiati.

Erna tidak mau diduakan apalagi dengan Sumiati yang berstatus istri orang. Setiap kali Erna melawan keinginan Robert, tubuh Erna babak-belur terkena hantaman tangan Robert. Erna menceritakan penyiksaannya itu kepada Subur dan Sumiati sambil berlinang air mata. Erna kemudian meminta maaf, setelah tahu Sumiati terpaksa melayani Robert karena takut suaminya akan dibunuh Robert. Namun Sumiati tidak menceritakan bahwa ia juga sering disiksa Robert.

“Terus terang, saya bukannya menyukai suamimu itu tapi saya takut suami saya dibunuhnya,” kata Sumiati.

Lalu Erna menceritakan kalau ia disuruh Robert membagi uang belanjaan dengan dengan Sumiati. Setiap hari, Robert memberi uang belanja sebesar Rp 30 ribu, dan itu harus dibagi dua dengan Sumiati. Jika tidak dilakukan, Erna akan disiksa.

Pernah, menurut Erna, ia ingin dihujam dengan parang oleh Robert karena membantah menyampaikan uang sebesar Rp 15.000 kepada Sumiati. Saat itu Erna membantah dengan menjelaskan Sumiati sudah punya suami, dan penghasilan suaminya lebih besar dari penghasilan Robert. Mendengar bantahan itu, Robert menjawabnya dengan beberapa kali tamparan dan tinju ke wajah Erna.

Hari itu, Sumiati menerima setoran uang Rp 15.000 agar Erna tidak disiksa Robert.

BULAN Agustus tiba. Seperti yang diinginkan Robert, Sumiati harus menikah dengan dirinya. Mendekati hari yang dirujuk,  Robert  terus memantau Sumiati di rumah dan di warung.

Suatu pagi, Subur sengaja menghentikan aktivitasnya berjualan koran. Pasalnya ia menerima sumbangan Rp 500 ribu dari seorang pelanggannya yang bernama Samsul Rizal, yang akan ia gunakan untuk biaya perbaikan teras rumah. Sebelum pergi membeli material yang dibutuhkan, Subur pergi ke rumah temannya, Iput, seorang buruh bangunan. Ia minta bantu Iput buat memperbaiki rumahnya tanpa diberi upah. Iput bersedia membantunya.

Tanpa ditemani Iput, Subur kembali ke rumah untuk memberitahukan kepada istrinya. Namun sesampai di rumah, Subur melihat Robert dan seorang temannya, Dora, tengah mengobrol dengan Sumiati. Robert yang saat itu membuka bajunya, tanpa takut sedikit pun merangkul Sumiati. Sumiati langsung beranjak, dan cepat-cepat mendekati suaminya, tapi Robert langsung menarik Sumiati dan menamparnya sampai membentur dinding.

Melihat itu Subur langsung menarik Robert, tapi belum sempat ia memukulnya, Dora langsung memukulnya tanpa henti. Subur tersungkur, dan mengerang kesakitan. Robert belum puas, ia menendang perut Subur, kemudian bertanya kenapa dirinya tidak bekerja. Subur diam. Robert mengeluarkan sebilah pisau dari pinggangnya dan mengiriskan pisau itu ke paha Sumiati. Tak pelak, jeritan Sumiati melambung. Subur kemudian menceritakan soal rencananya memperbaiki teras rumah.

Robert kemudian menyuruh Subur segera membeli material dengan syarat jangan membuka mulut tentang apa yang sudah menimpanya. Subur pergi ke rumah Iput, dan bersama Iput membeli beberapa kayu gelam dan seng bekas.

Ketika Iput mau bekerja, Robert menyuruh Iput pergi. Robert menyediakan seorang tukang, temannya, yang harus diupah Subur. Upahnya Rp 100.000 per hari. Subur tidak dapat membantah.

Minggu menjelang Senin, Sumiati tidak bisa memejamkan matanya. Ia sudah tidak tahan dengan kelakuan Robert

“Pak, besok jangan kerja dulu. Aku mau pulang ke Lampung,” kata Sumiati. Subur pun menawarkan Sumiati untuk pindah rumah, tapi ditolaknya karena selama masih di Palembang, Robert pasti mencarinya.

Pernikahan yang diinginkan Robert tidak berlangsung. Tapi, setiap hari, Sumiati harus melayani Robert.

Sementara Subur, setelah mendengarkan nasihat dari seorang tetangganya, Bakri, memutuskan untuk mengambil ilmu kebal,  agar dapat melawan Robert.

"Aku atau dia yang mati sama saja, yang penting Sumiati tidak diganggunya lagi,” katanya mengungkapkan tekadnya saat itu.

Subur menemui seorang dukun asal Bali di Bendungan Komering (BK) I, Martapura, Ogan Komering Ulu Timur (OKUT), Sumatra Selatan. Dari dukun itu, Subur mendapatkan ilmu kebal, dan ilmu pukulan tangan yang mematikan.

Sesampainya di Palembang, tanpa sepengetahuan Sumiati, Subur membeli cuka para atau H2SO4 di apotik. Cuka para ini kalau mengenai tubuh manusia, kulit dan dagingnya akan melepuh atau terbakar. Menjadi cacat seumur hidup. Cuka para ini sering digunakan para bandit Palembang untuk berkelahi.

PERTENGAHAN Oktober 2007, Subur mengabulkan keinginan Sumiati pindah ke Lampung. Tanpa hambatan Sumiati dan anak-anaknya diantar Subur ke Lampung.

Rabu pagi masih berembun. Musim kemarau masih berlangsung. Debu kering beterbangan di mana-mana. Subur yang baru sampai di Palembang ingin segera pulang ke rumahnya sebelum berjualan koran.

Tanpa disangka, saat menyetop angkot di pasar Lemabang, angkot dibawa Robert yang berhenti. Subur yang sebenarnya terkejut tak mau terlihat kaku dan takut. Ia langsung menaiki mobil itu dan duduk di samping Robert yang menyetir.

“Dari mana kamu?” tanya Robert.

“Dari Pasar 16 Ilir,” jawab Subur.

“Mana Ayuk (Sumiati)?”

“Di rumah.”

“Ayuk sakit, ya?”

“Iya, sakit.”

“Jadi ayuk di rumah?”

“Iya, di rumah.”

“Ini aku mau titip uang bulan April,” sodor Robert dengan uang sebesar Rp 4.000 sambil menyebutkan sebuah nama koperasi keliling, “Tolong sampaikan ke Ayuk!” lanjutnya.

Subur mengambil uang itu tanpa tanya. Dengan uang itu, Sumiati seolah-olah sudah menjadi istri Robert.

Sesampai di rumahnya, Subur memberikan uang itu kepada Eva, teman Sumiati, yang juga meminjam uang di koperasi keliling. Setelah itu Subur pergi kerja dan mengunci pintunya dengan gembok.

Tak lama kemudian Robert mendatangi rumah Subur yang terkunci. Robert kemudian ke Sekolah Dasar Negeri 125 Kalidoni, tempat Annisa sekolah. Robert tidak berhasil menemui Annisa karena sudah berhenti dari sekolah.

Robert kembali ke rumah Subur. Ia menghancurkan pintu rumah Subur. Ia mengobrak-abrik isi kamar Sumiati. Sudah tidak ada lagi pakaian Sumiati.

Kesal, Robert pulang ke rumahnya. Kepada istrinya Erna, Robert mengaku akan menghajar Subur yang telah berbohong.

Erna yang pada saat itu meminta uang belanja langsung dihajar Robert. Setelah memukul wajahnya berulang kali, Robert meninju payudara Erna sebelah kiri hingga kelenjar susunya pecah. Erna langsung roboh, mengerang kesakitan sambil memegangi puting susunya yang mengeluarkan cairan sedikit demi sedikit.

Setelah menyiksa Erna, Robert membuka bajunya dan masuk ke kamar. Membaringkan tubuhnya di ranjang. Sebelumnya ia memerintahkan Erna membuatkannya secangkir kopi.

Erna memasak air sedandang berukuran sedang. Sekitar 20 menit air mendidih atau matang. Robert yang kelamaan menunggu air kopi, akhirnya tertidur.

Tiba-tiba Erna memiliki sebuah rencana untuk melampiaskan sakit hatinya kepada Robert. Dengan dua potong kain, Erna mengangkat dandang panas itu, dan berjalan menuju kamar. Ia melihat tubuh Robert yang terbujur. Erna langsung menyiramkan air mendidih itu ke sekujur tubuh Robert, hingga air itu melahap kulit Robert. Robert pun spontan berteriak kencang. Jeritannya yang didengar tetangga sebelah, tak mengurungkan niat Erna untuk melihat asap-asap panas yang menjalar di tubuh Robert. Kulit tubuh Robert melepuh, dan muncul balon-balon kecil di wajah dan sekujur tubuhnya.

Erna langsung mengambil uang simpanannya dan pergi. Robert dilarikan ke rumah Sakit Boom Baru Palembang oleh beberapa tetangganya, tapi tak lama kemudian ia pindah ke Rumah Sakit Umum Muhammad Hoesin, karena beban biaya.

Subur yang melihat rumahnya berantakan, hendak menemui Robert sambil membawa beberapa bungkus cuka para. Ia tidak perduli lagi dengan nyawanya asal untuk sekali dalam seumur hidupnya ia mampu melawan laki-laki yang sudah membuatnya terpisah dengan istri dan anak-anaknya. Namun, saat sampai di rumah Robert, ia mendengar kejadian yang menimpa Robert. Subur diam dan berdoa semoga Tuhan membuka hati Robert, untuk bertaubat.

Erna ternyata lari ke Lampung. Di Lampung, ia bertemu dengan Sumiati. Sekali lagi, mereka membicarakan Robert yang hingga hari ini belum kembali bekerja sebagai sopir angkot jurusan Lemabang-Sekojo.

KERETA Api sampai di Stasion Tanjungkarang, Lampung. Subur bergegas turun sambil membawa sebuah karung yang berisi peralatan rumah tangga, seperti piring, panci, kompor minyak tanah. Sudah dua pekan Subur tidak bertemu dengan Sumiati yang berjualan sayur di pasar pagi di Bandarlampung, sambil mengurus sekolah Annisa dan Arif.***

by:Dahlia Rasyad