Menanti Pengadilan HAM dari Langit

Samiaji Bintang

Mon, 6 August 2007

PENGADILAN HAM dan KKR di Aceh belum juga dibentuk. Korban menuntut pemerintah dan parlemen bertanggung jawab terhadap tindakan kekerasan yang mereka alami di masa konflik.

SUKMAWATI mengarahkan tinjunya ke langit. Gerimis membasahi baju dan kerudungnya.

“Hidup korban konflik!” teriak seseorang, dengan megafon.

“Hidup!” pekik Sukmawati. Matanya berair. Tangan kanannya diacungkan lagi ke langit.

Sukmawati datang dari desa Kabu Tunong, Nagan Raya. Ia lahir 52 tahun silam. Ia guru biologi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II di kecamatan Nagan Timur, Nagan Raya, dan mengajar kelas satu hingga kelas tiga. Total siswanya 160 orang. Suaminya, Said Yahya, telah meninggal dunia.

Rumah Sukmawati dan Yahya di Kabu Tunong dibakar Tentara Nasional Indonesia tahun 2002. Tanggalnya bertepatan dengan hari peringatan Kesaktian Pancasila, 1 Oktober. Saat itu, puluhan tentara bersenjata lengkap menggelar operasi militer di kampung mereka. Tentara mencari anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan para pemuda. Semua rumah digeledah.

Siang itu Sukmawati baru pulang mengajar.

“Apa ada GAM di sini?” tanya seorang tentara dalam bahasa Indonesia saat menggeledah rumahnya. Rumah itu baru sepekan direnovasi dari hasil menjual labi-labi atau angkutan kota yang biasa dikendarai Yahya untuk mencari nafkah keluarga.

Sukmawati menjawab tidak ada. Meski jujur, hatinya tetap cemas. Yahya dan ketiga anaknya sudah sembunyi, mengungsi ke rumah orang tua Yahya yang cuma berjarak 30 meter dari rumah mereka. Sukmawati segera menyusul.

Di luar, puluhan anggota TNI mondar-mandir dalam kampung. Mereka tak mendapatkan apa yang dicari. Tak lama kemudian, mereka mulai membakar beberapa rumah warga. Salah satunya, rumah Yahya dan Sukmawati. Keduanya hanya melihat dari kejauhan aksi pembakaran itu dengan rasa takut. Suami-istri ini tak berani keluar, apalagi berteriak minta pertolongan.

Beberapa hari setelah peristiwa tadi, Yahya memutuskan bergabung dengan gerilyawan GAM.

Buat memperbaiki rumahnya yang hangus dibakar, Sukmawati terpaksa berutang ke bank. Gajinya sebagai pegawai negeri yang 1,5 juta rupiah sebulan tak cukup. Ia juga tak bisa mengandalkan Yahya yang hampir tak pernah pulang.

Pada Kamis, 19 Februari 2004, Sukmawati mendapat kabar bahwa suaminya meninggal dunia di hutan, karena sakit. Setelah itu, ia harus membiayai pendidikan dan kebutuhan hidup ketiga anaknya seorang diri.

TIGA tahun kemudian, pada Senin, 23 Juli 2007, Sukmawati pergi ke Banda Aceh. Ia bergabung di antara seratusan korban konflik dari 22 kabupaten atau kota di Aceh. Tujuannya gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Ia dan teman-temannya hendak berunjuk rasa dan menyerahkan resolusi korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelum ke Banda Aceh, selama tiga hari peserta aksi ini mengikuti Kongres Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran HAM di Saree, Aceh Besar.

Sukmawati terpaksa tak mengajar selama tiga hari, karena ikut kongres itu. Said Hamazali, kepala SMP Negeri II Seunagan Timur, memberi dukungan kepada Sukmawati untuk cuti mengajar.

Ketika unjuk rasa Sukmawati berada di barisan depan. Rata-rata peserta aksi: perempuan.

“Kami datang ke sini untuk menuntut keadilan,” Nurma, seorang perempuan korban konflik dari Pidie, kini memegang megafon. Ia menumpahkan kekecewaan dan kemarahannya pada anggota parlemen Aceh yang membisu dari menuntut keadilan bagi korban kekerasan militer selama konflik.

“Tegakkan Pengadilan HAM! Adili pelaku-pelaku kejahatan HAM!” Suara Nurma bergetar.

Sebagian pendemo mengangkat poster bertuliskan: SEJARAH KELAM ACEH HARUS DIUNGKAP MELALUI KKR. Yang lain mengangkat karton dengan tulisan SAAT KONFLIK KAMI JADI KORBAN, SAAT DAMAI KAMI DIABAIKAN.

“Kalau tidak, kami akan terus berdoa. Kami orang yang dizolimi. Allah mengabulkan doa orang yang dizolimi. Tunggu pengadilan dari Allah!” Nurma menangis. Juru foto dan kamera mengambil adegan itu.

Sukmawati keluar barisan. Ia bergerak maju, meminta megafon. Sukmawati tak berorasi seperti Nurma. Ia menyanyi, dengan suara lirih. Sambil terisak ia mengisahkan tentang suaminya yang meninggal ketika militer Indonesia menggelar operasi, soal rumahnya yang dibakar tentara Indonesia.

Di antara pendemo, hadir beberapa korban pelanggaran HAM dari Jawa, Papua, Timor Leste, dan daerah lain. Lestari, misalnya, ia salah satu korban pelanggaran HAM asal Jawa. Ia korban peristiwa 1965.

Di tahun 1968, di masa awal pemerintahan Suharto, Lestari dijebloskan ke penjara khusus wanita di jalan Merdeka Timur, Malang, Jawa Timur. Ia diberi status tahanan politik. Penjara itu kini sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan dan pertokoan. Tetapi setelah puluhan tahun berlalu, perempuan berusia 76 tahun itu tak pernah tahu apa kesalahan yang diperbuatnya dulu hingga harus mendekam di penjara.

“Sebelas tahun saya di penjara. Ndak lewat pengadilan. Baru dibebaskan tahun ’79,” ujarnya.

Kalau rumah Sukmawati dibakar tentara, maka rumah Lestari dirampas negara. Bertahun-tahun ia terpaksa hidup di sebuah panti jompo di Jakarta.

“Sampai sekarang rumah saya belum dikembalikan. Lha wong saya ini ndak berbuat apa-apa kok, Mas. Ya, saya menuntut keadilan,” katanya.

Meski begitu Lestari tak ikut mengacungkan tangan dan mengarahkan tinjunya ke langit saat demonstrasi siang itu. Badannya bongkok dimakan usia. Geraknya pelan, dan jalannya lambat.

Bersama Lestari ada Ruminah. Ia kehilangan anaknya saat terjadi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta. Ruminah tinggal di Klender, Jakarta Timur, tak jauh dari toko swalayan Yogya yang ludes dibakar massa. Ratusan orang terpanggang hidup-hidup di dalamnya.

Ruminah sempat melihat truk warna hijau mengangkut puluhan siswa berseragam saat kerusuhan. Tapi Gunawan, anak Ruminah yang kala itu baru lulus SMP, tidak tampak di situ.

Di Rumah Sakit Umum Persahabatan, Jakarta Timur, Ruminah cuma menemukan kemeja seragam yang masih bersih dan mata ikat pinggang bertuliskan nama anaknya. Hingga kini ia terus mencari Gunawan.

“Sebagai sesama korban, kita ikut berbagi rasa di sini (gedung DPR Aceh). Kami sama-sama menuntut keadilan,” ujar Ruminah.

SUKMAWATI bersama ratusan peserta aksi menuntut agar parlemen dan pemerintah Aceh memperhatikan nasib korban konflik. Mereka juga mendesak parlemen dan pemerintah Aceh segera membentuk pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR. Jika ini dibentuk, bukan mustahil korban HAM di luar Aceh juga menuntut lembaga serupa.

Dalam perjanjian damai di Helsinki, KKR disebut sebagai bagian dari upaya penegakan hukum, begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun pembentukannya, seperti tercantum pada bab HAM, tergantung pada qanun di Aceh dan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang yang mengatur ini adalah Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sayangnya, awal Desember 2006 lalu Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang yang bakal memberi keadilan bagi korban pelanggaran HAM tersebut.

“KKR bisa memberi efek tidak akan ada perulangan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa depan,” kata Faisal Hadi, kordinator Koalisi NGO HAM Aceh.

Di Aceh jumlah korban pelanggaran HAM mencapai ribuan. Baik KKR maupun pengadilan HAM, menurut Faisal, merupakan upaya mencegah konflik yang bisa muncul di masa depan.

“Banyak korban yang menginginkan kejelasan terhadap peristiwa yang dialami di masa lalu, seperti keluarga yang masih hilang. Kalau sudah mati di mana kuburnya. Kalau masih hidup di mana sekarang,” lanjutnya.

KKR di Aceh pada dasarnya bisa dibentuk tanpa berpedoman pada undang-undang KKR yang berlaku nasional. Itu dibenarkan Bahrum M. Rasyid, sekretaris Komisi A DPR Aceh. Komisinya membidangi urusan pemerintahan, pertahanan, ketertiban dan keamanan serta bidang hukum dan HAM. Bahrum juga anggota panitia legislasi qanun atau peraturan daerah.

Kata legislator asal Partai Persatuan Pembangunan itu, KKR Aceh bisa dibentuk lewat qanun. Penyusunan dan pembahasan qanun di parlemen bisa lewat dua jalur. Pertama jalur umum, pemerintah merancang qanun lalu dibahas dan disahkan parlemen. Kedua, rancangan dibuat kelompok masyarakat maupun lembaga swadaya lalu mendapat persetujuan lima legislator dari tiga fraksi dalam parlemen. Hasil cara kedua disebut qanun inisiatif.

Saat ini, Bahrum mengungkapkan, parlemen Aceh tengah menggodok 20 rancangan qanun yang mesti dituntaskan pada tahun 2007 ini. Dari syariat Islam hingga urusan keuangan daerah. Namun tak satu rancangan pun yang menyinggung soal nasib korban konflik. Apalagi tuntutan pembentukan KKR.

“Selama ini belum ada draf qanun (KKR) dari pemerintah,” kilah Bahrum.*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang