Save the Soldier

Ayi Jufridar

Sat, 7 April 2007

EMPAT prajurit TNI yang mengamankan sekolah milik lembaga bantuan Save the Children dianiaya sejumlah orang. Namun, pihak Save the Children menyatakan semua tenaga keamanan mereka berasal dari kalangan sipil. Para prajurit itu dicurigai sebagai intel.

KETIKA beberapa daerah di Pulau Jawa dilanda banjir akibat hujan yang turun terus-menerus, warga Aceh Utara justru mengalami kemarau. Hujan tak turun selama satu bulan terakhir ini. Udara begitu panas meski hampir tiap meter tanah ditumbuhi tanaman dan pepohonan. Udara panas menyengat meski hari sudah menjelang pukul enam sore. Debu-debu beterbangan tatkala kendaraan melintas. Di jalanan yang belum tersentuh aspal seperti di desa Alue Dua, kecamatan Nisam, kepulan debu terlihat lebih tebal, menyerupai kabut asap yang datang dari hutan terbakar.

Jarak pandang sangat terbatas kalau tak mau menunggu sekian menit sampai debu menipis dihembus angin. Daun-daun yang memutih di kiri kanan jalan menjadi bukti betapa debu sudah jadi bagian dari kehidupan warga. Itulah pemandangan yang saya lihat di Alue Dua pada hari Senin, 26 Maret 2007 lalu.

Di masa pemerintahan Soeharto, bila sebuah desa tak memiliki jalan aspal orang akan berpikir bahwa penduduk desa itu mendukung partai oposisi dalam pemilihan umum, dengan kata lain tidak mendukung partai pemerintah alias Golongan Karya. Pembangunan dan kepatuhan politik ada dalam satu paket.

Alue Dua memang terletak di wilayah yang selama lebih dari tiga puluh tahun penuh gejolak, karena orang-orang yang mengatasnamakan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM menolak patuh pada negara Indonesia.

Meski perjanjian damai Helsinki sudah ditandatangani hampir dua tahun lalu, tindak kekerasan yang melibatkan GAM dan militer Indonesia masih terjadi.

Pada Rabu, 21 Maret 2007, empat anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon Infanteri (Yonif) 113/Jaya Sakti dianiaya sekelompok orang di sebuah sekolah dasar yang belum rampung dibangun di Alue Dua. Pasalnya, mereka dituduh mata-mata atau sedang melakukan kegiatan intelijen.

“Apa salahnya kalau memang intel? Apa karena mereka intel lantas bisa dijadikan sangsak (masakan khas Batak yang berbahan baku daging anjing), bisa dihajar seperti binatang?” cetus Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI Supiadin Adi Saputra, saat berkunjung ke Alue Dua, pada Senin 26 Maret itu.

Supiadin benar-benar berang.

Keempat prajurit tersebut adalah Pratu (prajurit satu) Rudi Suhendra, Prada (prajurit dua) Richard Paulus, Prada (prajurit dua) Ciptoro, dan Prada (prajurit dua) Rahmad.

Sampai hari Senin, 2 April 2007 lalu, mereka masih dirawat di Rumah Sakit Kesrem, Lhokseumawe.

BEBERAPA prajurit TNI berada dalam bilik pasien, termasuk seorang perwira, yang di dada seragamnya tertera nama: Lettu (Inf) Hendrik. Keempat prajurit yang dirawat di rumah sakit ini anak buah Hendrik, sehingga membuat sang komandan lebih sering berada di Lhokseumawe kendati keluarganya di Bireuen, sekitar satu jam perjalanan dari Lhokseumawe.

Rudi Suhendra berada satu ruangan dengan Richard Paulus. Rudi bertubuh agak tambun dan tinggi, mengenakan seragam loreng. Tentu saja tanpa kopel yang melilit di pinggangnya. Sementara Richard memakai celana loreng dengan kaos oblong yang membalut tubuh kekarnya. Richard, pemuda asal Palembang, terlihat lebih bugar. Meski wajahnya masih lebam, ia sesekali tertawa ketika menjawab pertanyaan saya.

Beda dengan Richard, Rudi masih sukar membuka mulut. Bibirnya masih bengkak, terutama sebelah kanan.

“Mungkin ada daging yang copot. Saya disiksa paling parah karena berbadan besar. Mereka (para pelaku) mengira saya komandannya,” tutur Rudi, lirih. Kendati berada di ruang berpendingin, bulir-bulir peluh terlihat di keningnya.

Menurut Rudi, pada Selasa, 20 Maret 2007, ia diberi tugas oleh komandan kompinya untuk melakukan pengamanan pembangunan Sekolah Dasar Negeri 12 Alue Dua, di Nisam, Aceh Utara. Sekolah ini merupakan proyek bantuan Save the Children, sebuah lembaga bantuan internasional.

Selain Rudi, tujuh prajurit lainnya akan diberangkatkan ke Nisam. Mereka diminta berpakaian sipil.

Sekitar pukul dua siang, delapan orang prajurit ini meninggalkan Kompi B di kawasan Cunda, kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe, menuju Nisam. Mereka naik mobil minibus jenis L-300. Setiba di Nisam, mereka membagi diri jadi dua kelompok, masing-masing beranggotakan empat prajurit.

Kelompok Rudi bertugas di bangunan sekolah yang belum rampung itu, sedangkan kelompok lain bertugas mengawasi bangunan lain yang terletak di desa tetangga Alue Dua.

“Saya tak tahu nama desanya,” ujar Rudi.

Begitu tiba di bangunan sekolah itu, sekitar pukul 16.30, Rudi dan teman-temannya langsung menempati dua ruangan. Rudi dan Richard tidur di ruang berbeda. Keempat pucuk senjata laras panjang jenis SS1 disimpan di ruang Richard. Sepucuk senjata dalam keadaan terpasang, sedang tiga lainnya sudah dibongkar dan disimpan dalam tas. Selain senjata, kelompok ini juga membawa 12 magazin dan 360 butir peluru.

“Malam itu kami tidak bisa tidur dengan tenang. Sebentar-sebentar terjaga. Perasaaan saya memang tidak enak,” kenang Richard.

“Kami hanya tidur-tidur ayam aja sepanjang malam,” timpal Rudi.

Kekhawatiran mereka terbukti keesokan harinya. Sekitar pukul 10.30, datang sekelompok orang yang mengaku dari Komite Peralihan Aceh (KPA).

“Mungkin sekitar 10 orang,” kisah Rudi. “Kami ditanyain, mau apa ke mari. Saya katakan, mau mengamankan pekerja. Kemudian ditanyain KTP (kartu tanda penduduk), badge satpam (satuan pengamanan), dan sebagainya. Satu orang dari mereka lantas ke luar. Tak lama, datang orang lebih banyak lagi,” lanjut Rudi.

Apakah orang-orang itu tahu mereka anggota TNI?

“Tahu. Justru karena itulah mereka marah. Kami kemudian dipukuli. Ditendang seperti bola,” jawab Richard.

Salah seorang pelaku penganiayaan meminta mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Terpaksalah kami menyanyikan. Mereka mendengarnya sambil tertawa-tawa,” kata Richard.

“Ada juga yang minta kami membacakan Sapta Marga. Saya sampai heran, orang sipil ini kok ngerti Sapta Marga. Antara sadar dan tidak, saya membacanya. Dan orang-orang itu tertawa-tawa lagi,” tambah Rudi.

Richard melanjutkan, “Ada satu orang yang bilang, kalian akan mati digorok leher, sudah kami siapkan dua lubang untuk kalian, satu lubang masing-masing untuk dua orang.”

Dalam kondisi tak berdaya, keempat tentara itu hanya bisa pasrah. Rudi dan Richard menyatakan bahwa saat itu mereka hanya bisa berserah diri pada Tuhan. Siap untuk dieksekusi. Apalagi, ujung senjata sempat menempel di kepala Richard. Punggung dan tengkuk mereka sempat dihantam dengan laras senjata. Dalam ruangan, senjata itu sempat diletuskan satu kali ke atap oleh salah seorang pelaku. Tapi di luar ruangan, terdengar tembakan beberapa kali.

“Seorang di antara mereka bilang, tentara macam apa kalian ini. Masa’ baru begini aja udah ah uh… ah uh… Dia juga bilang, senjata SS1 begini masih kalian pake? Senjata kami lebih bagus lagi,” kata Richard.

“Dia bilang begitu?” tanya Hendrik, sang komandan, sambil menatap anak buahnya.

“Siap, Dan!” sahut Richard.

Kejadian itu berlangsung dari pukul 10.30 sampai pukul 16.30. Mereka tidak diberi minuman maupun makanan.

Seluruh rangkaian adegan dari siang sampai sore itu direkam dengan handycam oleh seorang pemuda yang digambarkan Rudi sebagai bertubuh kurus, berkulit gelap, dan berambut gondrong. Pemuda inilah yang kemudian dituding Supiadin sebagai wartawan.

Keempat prajurit ini kemudian diseret keluar ruangan dan di depan gerbang sekolah itu mereka melihat sudah ada aparat polisi militer atau POM. Di sebuah warung tak jauh dari gerbang sekolah, keempatnya diserahkan kepada POM.

“Kalau tak ada POM, mungkin kami sudah mati,” kata Rudi.

Kejadian tadi masih membuat Rudi trauma. Ketika dibawa petugas POM untuk dimintai keterangan, ia sempat ketakutan karena melihat banyak orang berpakaian sipil dan ada yang berambut gondrong. Ketakutannya baru sirna setelah diberitahu bahwa yang berpakaian preman itu juga anggota POM.

Rudi dan Richard ingin pelaku penganiayaan segera ditangkap dan diproses secara hukum.

“Dua minggu sudah, tapi belum ada yang ditangkap. Tiap hari kami dimintai keterangan terus. Dari POM, dari polisi. Tapi belum ada yang ditangkap,” kata Rudi yang mengharapkan kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Rudi sempat dihubungi kakaknya setelah kejadian itu diberitakan sejumlah stasiun televisi. Ia kemudian berbohong pada kakaknya dengan mengatakan bahwa salah seorang korban itu bukan dirinya. Ia berkilah sedang berada di barak. Tapi kakaknya tak percaya. Gambar di televisi begitu jelas. Apa boleh buat.

“Bapak saya tak tahu kejadian itu. Bapak sedang stroke, mati sebelah (lumpuh separuh badan).” tutur Rudi.

Richard juga berbohong pada ayahnya yang menelepon dari Palembang. Sama seperti Rudi, ia menyangkal dirinya termasuk korban peristiwa Nisam. Ia tak ingin ibu dan ayahnya khawatir.

“Tapi Bapak tak percaya. Keluarga saya sangat khawatir,” ujarnya.

SUPIADIN mengakui bahwa keempat prajuritnya memang bersalah, karena tak memberitahu keberadaan mereka pada warga setempat. Tetapi ia menyesalkan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan sejumlah orang di Alue Dua.

Menurut Supiadin, kegiatan intelijen tetap dibutuhkan meskipun dalam masa damai. Hal ini untuk mengantisipasi berbagai kasus seperti penyelundupan, penebangan kayu ilegal, dan pajak nanggroe yang bermotif pemerasan.

“Pemerasan masih terjadi sampai sekarang. Saya sering menerima laporan dari pengusaha,” katanya.

Ia menganggap tak ada alasan untuk menghakimi keempat anak buahnya karena mereka tidak melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat. Menurutnya penganiayaan ini sudah direncanakan dari awal, karena banyak wartawan yang hadir saat itu.

“Saya dukung jurnalis dalam menulis berita. Tapi ketika melihat tindakan yang melawan hukum, laporkan ke aparat keamanan. Jangan malah menikmati. Sebelum penganiayaan, wartawan sudah diundang,” kata sang panglima.

Namun, sejumlah wartawan yang hadir membantah tuduhan Supiadin. Jarak Alue Dua dari Lhokseumawe sekitar 25 kilometer. Wartawan datang setelah mereka mendapat informasi, bukan sebelumnya.

Supiadin menyatakan bahwa pelaku penganiayaan tidak mungkin dari kalangan warga biasa. Mereka itu jelas tak punya kemampuan untuk memasang senjata jenis SS1 yang sudah dibongkar, lalu menembakkannya ke udara.

“Jadi jelas, pelakunya sudah sering memegang senjata. Kami sudah kenal mereka. Datanya sudah ada. Bahkan, seorang di antaranya termasuk pelaku yang menganiaya anggota TNI di Kandang,” papar Pangdam, menyebut peristiwa penganiayaan yang dialami prajuritnya di desa Kandang, kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.

Identitas pelaku mungkin bukan sesuatu yang sulit diperoleh, apalagi penganiayaan itu disaksikan warga. Supiadin meminta para pelaku menyerahkan diri.

“Kalau tidak, mereka akan masuk DPO (daftar pencarian orang). TNI akan membantu Polri mencari pelaku,” tegasnya.

Selain itu, ia minta KPA menyerahkan para pelaku secara baik-baik. Ia menyatakan bahwa TNI tidak pernah mengganggap GAM sebagai musuh sejak ditandatanganinya perjanjian damai.

Kekerasan dibalas kekerasan akan terus terjadi di Aceh selama keadilan hukum tidak terjadi. Masih lekat dalam ingatan orang ketika prajurit-prajurit di Kompi E Paya Bakong menganiaya seorang mantan gerilyawan GAM dan menembak mati salah seorang anggota KPA di muka utusan Aceh Monitoring Mission pada bulan Juli tahun lalu. Hasil penyelidikan kasus tersebut tak jelas sampai hari ini. Bahkan, pihak militer mengeluarkan pernyataan bahwa korban meninggal akibat dicekik! Padahal, banyak saksi mata melihat korban rubuh akibat ditembak dan peluru juga bersarang di tubuh korban!

Perseteruan dua pihak yang berseberangan tak hanya menimbulkan korban di masing-masing pihak, tapi juga mengorbankan warga sipil. Bahkan, korban terbesar dalam tiap konflik justru warga sipil.

Setelah penganiayaan itu, warga Alue Dua kembali lagi hidup dalam ketakutan. Mereka jadi sasaran kemarahan sejumlah prajurit Yonif 113/Jaya Sakti yang bergerak sendiri untuk mencari pelaku.

Razali, kepala dusun Babussalam, desa Alue Dua, menyatakan sekitar 14 warganya telah jadi korban. Namun, ia menyangkal ketika dikonfirmasi tentang sejumlah warga yang sampai masuk rumah sakit.

“Dipukuli sama TNI ada, tapi warga kami tidak sampai menginap di rumah sakit,” katanya kepada wartawan.

Tetapi Hamdani Oesman, direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Lhokseumawe, mengungkapkan hal berbeda.

“Ada empat warga yang masuk rumah sakit akibat kasus pemukulan di Nisam. Tiga di antaranya merupakan warga Alue Dua, dan satu warga Padang Sakti, Lhokseumawe. Korban dari Padang Sakti sempat diopname. Sedangkan tiga korban lainnya langsung pulang,” ujar Hamdani kepada saya melalui telepon selulernya.

Seorang korban pemukulan, Jamiliah, mengatakan sejumlah prajurit TNI masuk ke rumahnya dan langsung bertanya tentang pelaku pemukulan teman-teman mereka.

“Saya bilang, tidak tahu. Lantas saya ditendang dua kali,” tutur Jamiliah yang sempat muntah-muntah setelah itu.

Insiden ini membuat ia makin trauma dengan tentara. Ia tak habis pikir mengapa harus menjadi korban terhadap suatu kasus yang tidak ia pahami. Ia mengharapkan TNI bertanggung jawab dengan mengganti semua biaya pengobatan.

Korban lainnya adalah Muhammad Thaleb. Lelaki berusia 37 tahun ini ditanyai sejumlah pajurit tentang pelaku kasus penganiayaan ketika ia tengah melintas di jalan desa. Karena ia menjawab “tidak tahu”, wajahnya langsung ditonjok dan dipopor senjata.

“Saya tidak dendam. Tapi berharap kasus seperti ini tak terjadi lagi. Janganlah kami yang tidak bersalah menjadi korban,” kata Thaleb.

Tak hanya warga, wartawan pun jadi sasaran. Wartawan harian Rakyat Aceh, Muhammad Susahdi, hampir saja kena tampar wakil komandan Denpom Lhokseumawe, Mayor CPM Sihol Tambunan.

Sehari sesudah insiden itu, pada tanggal 22 Maret 2007, Sihol meminta Susahdi datang ke kantor POM untuk memberi kesaksian. Susahdi tak mau mematuhinya begitu saja. Ia sangat berhati-hati.

“Saya bilang, saya harus minta izin dulu pada pemred (pemimpin redaksi). Eh, tangannya langsung melayang hendak menampar. Tapi kemudian tidak jadi…” tutur Susahdi. Beberapa wartawan menyaksikan kejadian tersebut.

Supiadin menyesalkan berlanjutnya episose kekerasan di Alue Dua, yang membuat warga sipil jadi korban. Karena itu, ia memutuskan datang langsung ke lokasi untuk meminta maaf pada warga. Ia berjanji tidak ada lagi ekses kekerasan setelah ini.

“Kalau prajurit yang melakukan kekerasan, panglimanya langsung minta maaf,” kata Supiadin.

Penugasan empat prajurit TNI untuk menjaga pembangunan sekolah di Alue Dua menimbulkan tanda tanya. Jafar Daud, ketua KPA Wilayah Nisam, menyatakan bahwa pengamanan pembangunan gedung sekolah tidak perlu dilakukan pasukan tempur.

“Biasanya cukup anggota Polsek (kepolisian sektor) atau Koramil (komando rayon militer) saja,” kata Jafar.

“Kami tak percaya mereka sedang melakukan pengamanan, karena (mereka) tidak menggunakan seragam TNI,” lanjut Jafar.

Apa komentar pihak Save the Children sebagai pengguna jasa para prajurit itu?

Patricia Norimarna, Communication & Information Coordinator Save The Children, menyatakan pihaknya memang menggunakan jasa pengamanan profesional untuk semua kegiatan Save the Children dan semua tenaga keamanan itu berasal dari kalangan sipil.

Lho? Bagaimana dengan keterlibatan para anggota TNI itu?

Patricia menyatakan sedang menyelidikinya.

“Pengamanan kegiatan kami secara langsung berasal dari kalangan sipil,” ulang Patricia, sekali lagi, dalam percakapan telepon kami. Lho?*

*) Ayi Jufridar adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe. Ia ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Ayi Jufridar