LANGIT hitam sore itu. Telepon seluler saya berkali-kali menerima pesan yang sama: “Kami diteror orang tak dikenal sejak pagi.” Pengirimnya, Sadikin. Ia ketua panitia diskusi filsafat bertema Gerakan Marxis Internasional.

Suatu hari Sadikin mengundang saya dan sejumlah wartawan untuk menghadiri persiapan acara itu. Ia merasa perlu bicara pada kami untuk menjelaskan konsep diskusi tersebut dan terutama, berjaga-jaga dari situasi tak menyenangkan yang bisa saja terjadi.

Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta berpendapat bagi semua warga negara Indonesia, tetapi pada praktiknya hal tersebut sulit terjadi. Berkali-kali kata “demokrasi” hanya sebatas retorika. Pembunuhan, penganiayaan, penculikan, pemenjaraan, dan bermacam teror serta tindak kekerasan masih terus dialami orang-orang yang berbeda pendapat dengan negara maupun dengan kelompok tertentu.

Namun, Sadikin ingin belajar dan juga mengajak orang lain untuk bersama-sama menghargai perbedaan serta keluar dari kepompong trauma yang terbentuk dari propaganda Orde Baru yang militeristis selama 32 tahun: antimarxisme dan antikomunisme.

Tak ada yang paham tentang marxisme maupun komunisme dengan baik selama itu, tetapi harus memusuhinya.

Malam nanti sejumlah orang akan diajak untuk mengetahuinya dan setelah itu terserah mereka. Boleh membenci, boleh menyukai, boleh juga tidak merasa terkesan dan hanya menyimpannya sebagai pengetahuan.

HUJAN deras. Jalanan di muka toko buku Ultimus di Lengkong Besar, Bandung , yang biasanya sepi di malam hari, kini ramai. Sekelompok orang berseragam hitam-hitam lalu-lalang di muka toko. Ada yang berdiri bergerombol, ada juga yang jongkok di pinggir jalan.

Diskusi telah dibuka. Sadikin moderator. Seorang pembicara bernama Marhaen Soepratman duduk di sebelahnya.

Marhaen. Nama yang aneh, pikir saya. Nama Marhaen pernah populer di masa presiden Soekarno berkuasa. Ia kagum pada seorang petani yang bekerja keras, bersemangat, cerdas, dan pemberani, bernama Marhaen yang dijumpainya di sebuah desa di Jawa Barat. Sejak itu Soekarno menamakan ajaran atau ideologinya yang memihak rakyat kecil atau wong cilik itu sebagai marhaenisme.

Tetapi Marhaen Soepratman bukan orang Sunda. Ia keturunan Tionghoa. Ia juga bukan petani, melainkan mahasiswa di sebuah universitas di Kanada. Nama aslinya adalah Hariyanto Darmawan. Di Kanada, ia aktivis serikat buruh. Ia sengaja datang ke Bandung, setelah mengunjungi keluarganya di Jakarta.

Peserta diskusi malam itu tak lebih dari seratus orang. Rata-rata peserta antusias dengan materi yang disampaikan pembicara. Tetapi belum setengah jam acara berlangsung, seorang lelaki paruh baya merampas mikrofon dari genggaman Marhaen. Kasar. Tanpa sopan-santun.

“Ajaran komunis sudah tidak relevan lagi dibicarakan! Orang tua saya dibunuh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia)! Jadi saudara-saudara, acara semacam ini harus dihentikan!” teriak lelaki itu. Sorot matanya liar memandang sekeliling.

Ia adalah Adang Supriadi, ketua Persatuan Masyarakat Antikomunis atau disingkat Permak.

Suasana jadi ricuh ketika anggota Permak mulai menendang-nendang bangku dan mengancam peserta diskusi. Semua orang buru-buru keluar ruangan. Tumpah ruah ke jalan.

Anggota Permak kemudian memburu pembicara dan ketua panitia yang berusaha menyelamatkan diri ke arah kampus Universitas Pasundan, tepat di depan toko buku itu.

Tak berapa lama Sadikin dan Marhaen ditangkap orang-orang Permak, yang memaksa mereka masuk ke mobil untuk dibawa ke markas Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung.

Saiful Haq, aktivis Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), yang kebetulan hadir di situ mencoba mencegah tindakan Permak. Hanya polisi yang berhak menangkap dan mengamankan orang. Namun, permintaan Saiful tak digubris.

Mereka malah menciduk sebelas orang lagi untuk diangkut ke Polwiltabes.

Setelah ribut-ribut itu, polisi datang dan sibuk menyita barang-barang seperti pengeras suara, buku-buku bahkan beberapa kaos yang dijual di Ultimus. Alasannya, untuk barang bukti.

Selama penyitaan berlangsung salah seorang polisi berteriak, “Mana yang bernama Bilven?”

Bilven Rivaldo Gultom adalah pengelola Ultimus.

Tak seorang pun menjawab.

Langkah-langkah sepatu terdengar mengitari seluruh ruang, lalu berakhir di pintu utama. Pintu ditutup dan disegel dengan pita kuning atau garis polisi yang disilangkan di tengahnya.

MARHAEN Supratman diperiksa di ruang terpisah. Ia bahkan menolak bantuan Lembaga Bantuan Hukum Bandung. Katanya, ia ingin didampingi pengacara keluarga.

Keesokan harinya, 15 Desember 2006, pukul sepuluh malam, semua yang ditangkap Permak dibebaskan polisi. Namun, Marhaen tak terlihat. “Dia dijemput keluarganya dan langsung ke Jakarta,” kata Sadikin.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polwiltabes Bandung Ajun Komisaris Besar Polisi Arief Ramdhani menolak disebut mendukung penangkapan yang dilakukan Permak.

“Kami hanya mengamankan saja. Soalnya kan di sana terjadi ribut,” ujarnya. Ia tengah duduk santai di sofa, bersama dua polisi lain.

“Mereka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang makar dan kejahatan yang berhubungan dengan keamanan negara,” lanjut Arief.

Apakah tuduhan itu terbukti?

“Mereka diperiksa sebagai saksi, dan kami belum menemukan bukti kuat yang mengarah ke sana,” katanya.

Lalu bagaimana dengan Permak? Apakah mereka juga diamankan? Toh, mereka yang memicu keributan.

Salah seorang polisi di sofa itu menyahut, “Ya, mereka juga dimintai keterangan.”

“Saya hanya menyidik perkara yang dilimpahkan intel,” tukas Arief.

Permak adalah organisasi baru. Ia berdiri pada 1 Oktober 2006, bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila.

Organisasi ini gabungan dari 20 organisasi massa seperti Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Republik Indonesia (FKPPI), Angkatan Muda Siliwangi, Pemuda Pancasila, dan Pemuda Pancamarga.

“Kami ingin menghancurkan komunis. Mereka itu seperti setan, tidak terlihat tapi ada,” kata ketua Permak Adang Supriadi kepada saya.

Adang juga menjabat sekretaris FKPPI kota Bandung.

“Apa yang Anda tahu soal komunis?” tanya saya.

“Komunis itu kan didirikan oleh Karl Marx di Moskow. Mereka itu penipu dan akan mengganggu Pancasila,” kata Adang.

Adang bahkan tak tahu siapa Karl Marx. Filsuf Jerman itu disebutnya berasal dari Moskow, ibukota Uni Sovyet.

Marx mencetuskan Manifesto Komunis, tapi tak pernah mempraktekkannya. Ia hanya sebatas pemikiran, sebatas teori. Lebih dari setengah abad kemudian, tepatnya setelah revolusi Oktober 1917, barulah Vladimir Ilich Lenin mendirikan negara Uni Sovyet menggantikan kekaisaran Rusia dan menerapkan paham komunis. Negara berdasarkan paham ini menempatkan kaum buruh sebagai pemimpin. Kaum buruh adalah penggerak modernisasi dan peradaban manusia, tapi justru diposisikan sebagai budak. Kaum buruh adalah kaum yang tak memiliki apa pun, kecuali tenaganya untuk bekerja. Kaum yang paling tertindas di dunia modern, tapi berjasa.

Berbeda dengan kapitalisme yang mengkondisikan persaingan atau kompetisi untuk bertahan hidup, komunisme mengutamakan pemerataan ekonomi. Setiap orang yang bekerja akan memperoleh hasil sesuai kebutuhannya.

Permak mengetahui acara diskusi di Ultimus empat hari lebih awal.

“Kami ini punya intel yang terlatih, hingga tingkat RT (Rukun Tetangga)/ RW (Rukun Warga). Makanya informasi semacam ini cepat kami ketahui,” katanya.

Adang menilai diskusi itu bukan diskusi intelektual, karena terbuka untuk umum.

“Perlu Anda ketahui tempat diskusi itu hanya berupa lapangan parkir dan bangku-bangku dari kayu,” ujarnya, menegaskan makna “umum” tadi.

Namun, Adang menyanggah telah dimintai keterangan oleh polisi akibat ulahnya dan temannya di Ultimus.

“Kami tidak diperiksa. Kami ini kan pelapor,” katanya.

Ia ingin penyidikan polisi terhadap diskusi tersebut berlanjut sampai tuntas.

“Ultimus itu gerakan komunis murni,” tegasnya, serius.

Alamak! Ia menyetarakan nama sebuah toko buku dengan ideologi tertentu.

Adang menjelaskan bahwa spanduk-spanduk antikomunis yang tersebar di kota Bandung itu adalah “gawean” Permak. Jumlah spanduk yang dipasang lebih dari 50 buah.

Sambil membentang spanduk-spanduk kampanye antikomunis, mereka juga getol merazia toko-toko yang menjual kaos bergambar palu arit, lambang persatuan kekuatan kaum buruh dan tani.

Pada Mei 2006 lalu, pertemuan mantan anggota Gerakan Wanita Indonesia atau yang populer disebut Gerwani juga mereka obrak-abrik.

Tentu saja kegiatan semacam ini perlu dana. Spanduk-spanduk, biaya konsolidasi, dan kerja intelijen tak mungkin lepas dari uang.

Adang yang begitu berapi-api saat bicara soal bahaya komunisme dan aksi mengganyang komunis, langsung bungkam ketika ditanya soal penyandang dana Permak. Beberapa saat kemudian ia pun menjawab, “Perjuangan kami adalah ideologi Pancasila, jadi tidak ada yang mendanai kami.”

Oleh karena itu, tak ada yang bisa dan berhak menghentikan sepak-terjang Permak.

“Kecuali mati,” tegas Adang.

“Selama ada Tap MPR dan undang-indang yang melarang komunis, kami akan mengejar mereka. Tapi kalau undang-undang itu dicabut, mungkin kami yang akan dikejar-kejar oleh mereka,” lanjutnya.

Ia benar-benar takut pada komunis, sehingga menggunakan prinsip lebih baik memukul duluan ketimbang dipukul duluan.

AKSI antikomunis bukan cuma sekali ini. Aliansi Anti Komunis atau AAK berencana melancarkan aksi Bonfire of Liberties pada 20 Mei 2001. Target mereka menghabisi orang-orang komunis. Namun, aksi tersebut batal. Lagipula orang komunis sudah sulit dicari, karena militer dengan bantuan organisasi massa tertentu dan kalangan agama telah membantai tiga juta orang yang mereka sebut “komunis” pada tahun 1965.

Tak dapat membakar orang komunis, AAK beralih ke pembersihan dan pembakaran terhadap buku-buku yang mereka curigai berisi ajaran komunisme dan marxisme. AAK beraksi di Jakarta dan Bandung. Buku-buku sastra karya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan calon penerima Nobel Sastra tiga kali berturut-turut, juga terancam dibakar.

Di sejumlah kota, para penerbit terpaksa menarik buku-buku mereka yang dikategorikan “kiri” dari toko-toko buku. Entah kenapa kata “kiri” diidentikkan dengan komunisme. Kata “kiri” dalam sejarah adalah julukan untuk orang-orang atau kaum oposan di parlemen Perancis tempo dulu. Politisi vokal duduk di deretan kursi sebelah kiri. Kaum kanan di parlemen identik dengan kaum konservatif atau pendukung raja. Siapa pun yang menentang kekolotan, penindasan, dan pikiran sempit bisa disebut “kiri”.

AAK merupakan gabungan 33 organisasi massa, di antaranya Gerakan Pemuda Islam (GPI), Front Hisbullah, dan Front Pembela Merah Putih. Aliansi ini dipimpin pemimpin milisi Timor Timur, Eurico Guterres.

Salah satu alasan Indonesia menyerbu dan memutuskan untuk menjajah Timor Leste pada tahun 1975 dulu adalah jangan sampai negeri itu dikuasai kaum komunis. Itulah yang sering terdengar dari mulut para tentara Indonesia yang dikirim untuk perang di sana. FRETILIN, partai beraliran Marxis di Timor Leste, memenangkan lebih dari 90 persen suara rakyat Timor Leste pada pemilihan umum tahun itu. Pemerintah Indonesia melancarkan propaganda berbeda: ingin membebaskan rakyat Timor Timur dari cengkraman komunisme. Sekarang pun, setelah Timor Leste merdeka, FRETILIN tetap menguasai mayoritas kursi di parlemen.

Untuk menyeleksi buku-buku yang harus dimusnahkan, AAK membentuk tim khusus yang terdiri dari 99 orang dan mereka mewakili semua organisasi yang bergabung di bawah payung AAK. Mereka bekerja selama 18 hari tanpa lelah.

AAK meresmikan gerakan mereka ini secara simbolis pada 19 April 2001, dengan membakar buku karya Franz Magnis Suseno, seorang pastor Katolik, di markas GPI di Jakarta. Buku itu berjudul Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.

Bonfire of Liberties, nama untuk operasi antikomunis AAK, berasal dari dua ribu tahun silam. Ketika itu Dinasti Qin di Cina daratan memerintahkan pembakaran buku Konfusian. Ajaran-ajaran Konfusian dianggap mengancam keutuhan negara. Pencetus ajaran ini, Konfusius, adalah seorang filsuf.

Pembakaran buku-buku yang berisi ajaran marxisme dan komunisme juga dilakukan di masa Hitler berkuasa. Fasisme Hitler tak hanya ingin memusnahkan orang Yahudi, tapi juga kaum komunis dan homoseksual.

SEJAK penyegelan itu, sejumlah orang berdatangan ke toko buku Ultimus untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, termasuk para wartawan.

Edi Suryadi, yang biasa dipanggil Pak Yadi, adalah salah seorang yang berjualan kartu telepon di situ. Usianya 46 tahun.

“Banyak orang-orang yang ngomong bahwa di sini terjadi penyekapan. Ada juga yang bilang di sini terjadi pembunuhan. Mungkin orang-orang itu tidak tahu Ultimus yang sebenarnya,” ujar Yadi.

Ketua Rukun Tetangga di lingkungan tersebut, Joni Supriatna, tak pernah dapat keluhan dari warga soal aktivitas Ultimus. Tetapi Joni jadi punya pendapat beda sesudah ia didatangi polisi.

“Acara itu mengganggu masyarakat, karena diskusinya bertentangan dengan pemerintah,” katanya.

Ketika saya menanyakan apa yang dimaksud dengan “bertentangan dengan pemerintah”, ia kelihatan bingung dan menjawab, “Saya tidak tahu, pokoknya kata polisi ada kegiatan lain yang dilarang oleh pemerintah.”

Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

“Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya,” katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

“Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin,” katanya, lagi.

Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

“Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan,” ujar Bilven.

“Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus.” Ia terus bicara.

“Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak,” lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah.

Ultimus berdiri pada tahun 2004. Awalnya, sekelompok anak muda mendirikan perpustakaan yang mereka beri nama Sang Pemula. Mereka terinspirasi oleh judul buku karya Pramoedya yang berisi riwayat hidup wartawan pertama Indonesia sekaligus tokoh pergerakan nasional bernama Raden Mas Tirto Adisoerjo.

Setelah itu mereka tertarik mendirikan toko buku. Sebelum pindah ke Lengkong Besar, Ultimus beralamat di jalan Karapitan.

Bilven dan teman-temannya juga menerbitkan buku. Sudah sembilan judul, termasuk Kapital I, Kapital II, Tentang Kapital Marx, dan Seni dan Kehidupan Sosial.

Sebagai toko buku alternatif, Ultimus menawarkan sistem pengelolaan yang berbeda. Tak ada pemilik modal yang dominan di situ.

“Kontribusi modal, bukan hanya dalam bentuk uang, tapi juga tenaga kerja. Setelah dipotong gaji, keuntungan yang didapat dibagi rata dan disisihkan sekian persen untuk kepentingan sosial,” ujar Bilven. Ia juga menyunting buku-buku yang diterbitkan Ultimus.

Kegiatan sosial yang dimaksud adalah kegiatan diskusi, sekolah alternatif bagi anak-anak jalanan, pementasan teater, dan pemutaran film.

Panji Haryadi, mahasiswa Universitas Pasundan yang juga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, termasuk pelanggan Ultimus. Menurut Panji, selain bisa memperoleh buku murah, ia juga dapat referensi tambahan dari para pengelolanya.

Panji kecewa terhadap tindakan Permak yang membubarkan diskusi. Perbedaan pendapat, menurut Panji, adalah esensi demokrasi.

“Justru inisiatif teman-teman Ultimus menyelenggarakan diskusi-diskusi semacam ini, membantu perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak didapat selama kuliah,” katanya.

Malam itu Bilven mengirim pesan singkat ke telepon seluler saya: “Police line sudah dibuka.”

Namun, ia ternyata belum tenang. Selama tak ada jaminan dari polisi, anarki model Permak bisa terulang sewaktu-waktu.*

*) Mulyani Hasan adalah kontributor sindikasi Pantau di Bandung, Jawa Barat.

by:Mulyani Hasan