ARABICA. Robusta. Timtim. Sidikalang. Jember. Dia sebut satu per satu jenis kopi itu. Dia juga hafal karakter tiap jenis. Robusta harum, tapi Arabica yang paling laku di pasaran.

Bardan Sahidi nama lengkapnya. Dia anak kedua dari keluarga petani kopi Gayo. Kebun orangtuanya seluas dua hektar. Hasil kebun itu membiayai sekolah Bardan dan dua saudaranya hingga tamat sarjana.

Ketika pemilihan umum legislatif 2004 silam, Partai Keadilan Sejahtera setempat menjagokan Bardan untuk duduk di kursi dewan. Kini, dalam usia 28 tahun, bapak beranak satu ini menjadi legislator termuda di kabupaten Aceh Tengah.

Berkebun kopi tak hanya mata pencarian keluarga Bardan, tapi juga tumpuan hidup para tetangganya serta warga Aceh Tengah. Panen berlangsung antara bulan Oktober hingga Februari tiap tahun. Kalau harga kopi sedang bagus, petani bisa kaya-raya. Biaya hidup jelas tercukupi, sedang barang elektronik dan kendaraan juga terbeli.

Ketika sebagian besar penduduk Indonesia sengsara akibat krisis ekonomi antara tahun 1997 sampai 1998 dan berujung pada jatuhnya pemerintahan Soeharto, sebagian besar tetangga Bardan di Takengon, ibukota Aceh Tengah, justru makmur mendadak. Masa krisis di Indonesia adalah masa keemasan petani kopi di Takengon.

Pasalnya, kopi Takengon bukan konsumsi dalam negeri. Berton-ton ia dikirim ke Amerika Serikat, Belanda, Jepang, dan sejumlah negara Eropa. Perdagangan kopi di pasar internasional menggunakan dolar sebagai nilai tukar. Saat dolar menguat terhadap rupiah dan nilai rupiah terus merosot, petani kopi pun bergelimang uang.

Agen penjualan sepeda motor yang ada di Takengon langsung dijejali warga. Mereka antre membeli Honda, ini sebutan bagi warga untuk kendaraan roda dua apapun mereknya. Akibatnya, stok barang tak mencukupi. Sebagian warga terpaksa masuk daftar tunggu.

Sejumlah warga membeli kendaraan dunia, sebagian lagi mencari kendaraan ke surga yang mereka yakini: menggunakan uang kopi itu untuk ibadah haji ke Mekkah.

“Ada kebanggaan bisa pergi haji dari hasil panen kopi,” ujar Bardan, yang masih ingat histeria saat itu.

HAMPARAN kebun kopi seperti selimut hijau yang menutupi perbukitan memasuki kota Takengon. Luas keseluruhan perkebunan itu hampir 74 ribu hektar, sebelum Aceh Tengah dipecah jadi dua kabupaten pada awal 2004, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tapi orang lebih mengenal daerah ini dengan nama dataran tinggi Gayo.

Rata-rata kebun milik rakyat. Namun, sebelum itu pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membukanya, menjelang akhir abad ke-19.

Dalam buku The Blood of The People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra, Anthony Reid mengungkapkan, ini merupakan proyek perkebunan yang dikembangkan pemerintah kolonial di Sumatra Timur. Setelah tembakau dan kopi, Belanda kemudian membuka perkebunan teh, karet, dan kelapa sawit.

Kuli perkebunan didatangkan dari Jawa, karena saat itu Belanda kian sulit memperoleh tenaga kontrak yang terampil dan murah dari Tiongkok. Jumlah kuli kontrak asal Tiongkok mencapai 59 ribu orang pada tahun 1900. Kuli Jawa sekitar 25 ribu. Namun pada 1929, jumlah kuli asal Jawa melonjak hampir sepuluh kali, sekitar 240 ribu. Sebaliknya, jumlah kuli Tionghoa berkurang dua kali lipat.

Ledakan populasi orang Jawa di Sumatera Timur pun tak terbendung. Mereka menempati daerah yang sekarang menjadi provinsi Sumatera Utara dan sebagian Aceh. Pada tahun 1930, populasi orang Jawa mencapai 589 ribu jiwa.

Pada tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari Belanda, orang Gayo dan Jawa mengambil alih perkebunan-perkebunan tersebut.

Hampir seratus persen kopi yang dikembangkan petani adalah kopi organik, tanpa dijejali bahan-bahan kimia untuk merangsang kesuburannya. Ini didukung kondisi alam Aceh Tengah yang berada di dataran tinggi dan berhawa sejuk. Iklim yang cocok untuk berkebun.

Udara sejuk juga cocok untuk menikmati kopi hangat. Hampir di tiap sudut jalan di Takengon terdapat warung kopi. Warung-warung nasi juga menyediakan minuman ini.

Ketika melakukan perjalanan ke Takengon, kesempatan menyeruput kopi tak saya lewatkan. Kopi kental, pekat, harum. Meski doyan minum kopi, saya tak pernah mau pusing soal jenis kopi apa yang saya minum. Robusta? Arabica? Timtim. Entahlah. Nikmati saja.

“SAYA juga petani kopi,” ujar Bahtiar Gayo, seraya menyeruput kopinya.

Bahtiar koresponden harian Waspada untuk wilayah Aceh Tengah. Kantor pusat Waspada ada di Medan. Sudah hampir lima tahun dia bekerja di harian tersebut.

Dia kemudian menuturkan pengalamannya sebagai wartawan dan petani kopi di masa konflik. Dua-dua mata pencarian itu berisiko tinggi.

Sinyal telepon selulernya tak sanggup menembus perbukitan dan belantara yang jadi medan perang. Padahal itu penting agar bermacam peristiwa bisa langsung diketahui kantor. Selain itu, menulis berita juga tak gampang. Salah sedikit, nyawa terancam. Wartawan bisa dituduh mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dua-duanya sama-sama sial, karena bisa jadi sasaran masing-masing pihak yang bertikai.

Bekerja di kebun juga tak aman.

“Kebun kopi saya ada dua hektar. Tidak terurus selama konflik,” kata Bahtiar.

Lebih dari 30 hektar kebun kopi di Aceh Tengah terlantar, karena ribuan warga terpaksa mengungsi di masa konflik.

“Kebun kopi saya sudah jadi semak dan hutan sewaktu konflik. Saya tidak berani ke kebun, takut kena tembak,” ungkap Muhamad Yamin kepada saya.

Konflik membuat tiga dari lima anak Yamin berhenti sekolah. Keluarganya hidup serba terbatas. Yamin warga Pondok Baru, Bener Meriah. Dia pernah datang ke kantor Badan Reintegrasi Damai Aceh atau BRDA di Banda Aceh untuk minta bantuan dana. Dia perlu biaya membuka kembali kebunnya. Rumput tinggi harus dibabat dan untuk panen dibutuhkan waktu dua tahun.

Pondok Baru pernah jadi salah satu daerah konflik terparah. Ada pasukan GAM yang bergerilya dari kebun kopi ke hutan. Ada patroli TNI bersenjata lengkap. Dan, belakangan muncul sipil bersenjata yang anti terhadap GAM. Tak ayal, petani kopi banyak yang tewas di tengah pertarungan ini.

PONDOK KRESEK, 2001, menjelang tengah malam. Pirin dan Suharto, ayah dan anak, tengah jaga malam bersama sejumlah lelaki di desa itu. Udara sejuk. Kebun kopi mengelilingi pemukiman. Pondok Kresek terletak di kecamatan Pondok Baru.

Tiba-tiba datang gerombolan bersenjata masuk kampung. Sekitar seratus orang. Warga menduga mereka itu pasukan GAM.

Udara sejuk pegunungan berubah panas. Gelap menjadi terang. Gerombolan itu membakar rumah warga, menembak membabi-buta. Orang kampung kocar-kacir menyelamatkan diri, lari meninggalkan kampung. Suharto selamat. Tapi bapaknya, Pirin meninggal dunia.

Malam itu jadi malam tak terlupakan bagi lelaki Jawa kelahiran Aceh 40 tahun silam itu. Rumahnya hangus dibakar. Dalam tempo hampir dua jam serangan, jumlah penduduk yang tewas puluhan. Keponakan Suharto ikut jadi korban. Irma Yuni Prastika belum genap enam tahun saat kena tembak.

Selain Suharto, Radinal Sagita termasuk yang selamat malam itu. Umurnya 33 tahun. Panggilannya Enal. Sejarah keluarga Enal dimulai dari kakeknya yang jadi kuli kontrak Belanda dan tinggal di kabupaten ini. Keluarganya punya kebun kopi seluas lima hektar.

Malam itu rumah Enal di Pondok Kresek dibakar. Karung-karung biji kopi yang siap dijual hangus. Keluarga besar, paman dan bibinya jadi korban. Tapi dia bersama istri dan anaknya selamat. Malam itu mereka sedang tak berada di rumah.

Enal tak merasa punya persoalan dengan GAM. Dia tak tertarik dengan niat gerakan itu memerdekakan Aceh dari Indonesia. Dia tak tertarik pada politik. Tapi Enal tak habis pikir, mengapa para petani Jawa ikut dimusuhi dan dibantai.

Hati Enal sakit mendengar sumpah-serapah “Jawa penjajah, Jawa monyet” yang kerap dilontarkan GAM kepada warga keturunan Jawa.

Lama-kelamaan dia mendendam dan merencanakan pembalasan

Enal kemudian ikut front dan memimpin anak-anak muda melakukan perlawanan terhadap GAM. Dia jadi koordinator organisasi yang diberi nama Putra Jawa Kelahiran Sumatra atau disingkat Pujakesuma.

Mereka merakit senjata sendiri. Ilmu diperoleh dari orangtua mereka yang pernah bergabung dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII. Besi batangan, bahan baku senjata, diperoleh dari toko besi. Dia dan anggota front juga membuat bom molotov dari botol-botol beling. Mereka pun mengumpulkan parang.

Pada 2003, Enal bergabung dengan Pembela Tanah Air atau PETA wilayah Bener Meriah. Front ini gabungan dari front sejenis, seperti Gabungan Rukun Damai (Garuda), Front Pembela Merah Putih, Pujakesuma, dan beberapa lainnya. Total mereka yang bergabung dalam PETA mencapai 30 ribu orang. Anggotanya tak hanya orang Jawa kelahiran Aceh, tapi juga orang Gayo.

“Kami bukan milisi. Kalau milisi itu ‘kan dipersenjatai, dilatih, dibiayai. Kami tidak. Kami hanya melawan karena kami ditekan,” tutur Enal.

DI MASA PERANG, korban terbesar adalah warga sipil. Rakyat Aceh menjadi korban pembantaian militer . Ribuan orang Aceh tewas, sedang pelakunya tak pernah disentuh hukum. Sebaliknya, orang Jawa yang jadi korban kekerasan GAM tak sedikit. Berdasar laporan Amnesty International tahun 1993, puluhan orang Jawa tewas dibantai. Ribuan transmigran asal Jawa diintimidasi agar meninggalkan rumah mereka.

Kirsten E. Schulze, dalam Gerakan Aceh Merdeka: Freedom Fighters or Terrorists? (2004), menulis bahwa orang Jawa di Aceh menjadi salah satu target strategi gerilya GAM yang paling kontroversial. Oleh GAM, kehadiran orang Jawa di Aceh dianggap bagian dari neo-kolonialisme Jawa yang mengatasnamakan.

Hasan Tiro, pencetus dan pemimpin tertinggi GAM, pernah menyatakan bahwa tujuan GAM adalah memperjuangkan bangsa Aceh Sumatra sebagai sebuah bangsa, perjuangan mempertahankan warisan politik, sosial, budaya dan agama yang telah dihancurkan oleh kolonialis Jawa.

Sesungguhnya rakyat Aceh maupun transmigran Jawa, sama-sama jadi korban penguasa Orde Baru, Soeharto. Dialah biang keladi masalah ini. Transmigran asal Jawa itu datang ke Aceh ketika Soeharto menerapkan kebijakan transmigrasi yang berlangsung sejak tahun 1979 hingga 1990-an. Program tersebut digodok atas bantuan sejumlah lembaga asing, terutama World Bank atau Bank Dunia. Lembaga ini pula yang turut mendanai program transmigrasi yang belakangan berujung pada pembantaian dan konflik terbesar sepanjang sejarah .

Tujuan transmigrasi antara lain meningkatkan kesejahteraan, pembangunan kawasan, menyeimbangkan penyebaran penduduk, pemanfaatan sumberdaya alam, persatuan dan kesatuan nasional serta penguatan pertahanan dan keamanan.

Tetapi itu akal-akalan pemerintahan Soeharto yang ditopang birokrat dan militer. Menurut Riwanto Tirtosudarmo dalam Demography and Conflict; The failure of ’s nation building project? (2005), meski program tadi ditujukan untuk semua warga , pada kenyataannya para transmigran itu hanya orang Jawa.

Di masa Soeharto, program transmigrasi ini tak lain dari Jawanisasi Indonesia atau menjawakan Indonesia. Itu sebabnya, setelah krisis tahun 1998 dan mundurnya Soeharto sebagai presiden, program tersebut berujung pada konflik etnis. Dari Aceh hingga Papua, ribuan orang tewas. Rakyat sipil berperang antar mereka sendiri.

Pada tahun 2000 hingga 2002, diperkirakan 50 ribu pendatang Jawa diusir dari rumah mereka di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tengah. Sebagian besar adalah transmigran Jawa di era Soeharto dan sebagian lagi adalah mereka yang telah tinggal dan beranak-pinak di Aceh berpuluh-puluh tahun, khususnya mereka yang berada di Aceh Tengah yang datang di masa penjajahan Belanda untuk menjadi kuli di perkebunan kopi.

“BUKAN saya yang ambil kebijakan strategi perang. Saya membantu di bagian keuangan, belum seratus persen masuk ke hutan.,” kata Fauzan Azima.

Fauzan asli Gayo. Punya kebun kopi seluas satu hektar. Dia pernah menuntut ilmu di Jawa. Tepatnya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dia mantan aktivis pro-demokrasi. Dia pernah bekerja di tabloid Somasi (Solidaritas Mahasiswa untuk Revolusi) dan harian Berita Buana.

Tahun 1999, dia berniat menerbitkan buku yang dia tulis bersama Martin Sirait. Martin aktivis Huria Kristen Batak Protestan. Buku itu tentang Aceh. Judulnya Pembantaian Rakyat Aceh. Kata pengantar ditulis Bambang Warih Suharto, seorang petinggi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun, ketika buku belum sempat dicetak, salinannya yang masih dalam bentuk dummy sudah tersebar ke mana-mana.

Salinan itu pula yang dibaca Tengku Ilham Ilyas Leubeh, petinggi militer GAM di Linge. Fauzan lantas diajak masuk GAM. Dia diminta kembali ke Gayo.

Sebelum menerima tawaran tersebut, Fauzan melahap aneka buku tentang GAM. Dia juga dicekoki ideologi perjuangan GAM. Pengalaman jadi aktivis di Jakarta telah memperluas langit pengetahuannya, sehingga dia jadi tahu tentang perjuangan bersenjata.

“Saya bikin struktur. Karena sebelumnya tidak terorganisir.”

Usai mengikuti pendidikan militer di , karier Fauzan di GAM segera melesat. Dia diangkat menjadi panglima GAM wilayah Linge tanggal 19 Mei 2003. Empat panglima sagoe yang menguasai 32 mukim berada di bawah kepemimpinannya. Tiap mukim membawahi beberapa gampong. Dia memimpin 517 anggota tentara GAM yang populer disebut Teuntra Negara Aceh (TNA).

Tak lama setelah itu Megawati Soekarnoputri menetapkan status Darurat Militer di Aceh.

“Sejak saya pimpin pasukan, tidak ada korban sipil. Tidak ada sekolah yang dibakar,” katanya.

Dia punya prinsip jelas soal perang. Niatnya memurnikan gerakan. Tak mau perjuangan GAM ditumpangi kepentingan-kepentingan pribadi dan prasangka etnis.

“Seperti sentimen suku Jawa lebih makmur dari Gayo. Itu perjuangan yang salah, tapi amat mudah tersulut di daerah yang kondisi sosialnya timpang seperti di sini,” ujarnya.

Niatnya tak main-main. Di bawah kepemimpinnya, GAM tak hanya beranggotakan orang Aceh, juga orang Jawa.

Pasukan Fauzan tak memerangi orang-orang Jawa di Pondok Baru. Ketika mereka terdesak oleh militer , Fauzan malah mendapat perlindungan warga di sana . Dia bahkan sempat menyembunyikan Panglima TNA Muzakkir Manaf selama enam bulan di situ. Suplai logistik mereka bahkan dibantu warga Jawa.

Sudah banyak anggota pasukannya yang ditembak tentara , tapi Fauzan selalu lolos dari penyergapan. Pasukan tak pernah berhasil menangkapnya hingga perundingan damai GAM dan pemerintah digelar di Helsinki , Finlandia, Agustus 2005 lalu.

EDI SUYONO, Zen Kaharodin, Irma Yuni Prastika, Marnak, Pirin. Nama-nama itu dan gambar wajah mereka, yang saya duga tak mirip aslinya, terpampang di sebuah tugu peringatan di desa Sidie Jadi. Ini nama baru untuk desa Pondok Kresek setelah masuk dalam wilayah kabupaten Bener Meriah.

Di tugu semen itu juga ada tulisan, “diresmikan oleh Dandim Aceh Tengah 0106 Letnan Kolonel Heriyadi.”

Sebenarnya warga yang tewas di malam berdarah tahun 2001 lebih dari lima, tapi yang tercatat hanya nama mereka.

Udara desa sejuk. Tak banyak polusi. Tak banyak kendaraan hilir-mudik. Hampir 90 persen penduduk di desa ini orang Jawa. Bahasa sehari-hari mereka boso jowo.

Suharto, putra Pirin, berkata bahwa desanya lebih aman setelah perundingan damai GAM dan pemerintah . Dia sudah bisa turun ke kebun kopinya, begitu pula warga lain. Pelan-pelan mereka mulai memetik hasil kebun. Meski uang terkumpul, tapi dia tak pernah bercita-cita pulang ke tanah leluhurnya di Pulau Jawa.

“Saya belum pernah ke Jawa, wong bapak (almarhum Pirin) dan kakek lama di sini,” ujar Suharto.

Apakah bisa bahasa Gayo?

“Bahasa Gayo, ya siji-loro (satu-dua). Bahasa Aceh malah blas ora bisa (sama sekali tak bisa)!” katanya, diiringi senyum.

Meski perdamaian sudah berlangsung setahun lebih, Suharto masih was was. Dia khawatir konflik meledak lagi sewaktu-waktu.

Kecemasan itu juga dirasakan Enal. Banyak warga di Bener Meriah yang tak yakin perdamaian bakal lama. Sosialisasi tentang perdamaian belum sampai ke lapisan masyarakat di pedalaman, hanya terpusat di kabupaten. Padahal mereka itulah yang penting. Mereka yang mungkin masih mendendam.

“Karena kami yang dibantai,” kata Enal.

“Peran pemda (pemerintah daerah) memang tidak ada dalam menjembatani proses rekonsiliasi. Masyarakat amat rentan diadu domba, tapi saya yakin perdamaian ini akan lestari,” sahut Fauzan.

Fauzan kini ketua Komite Peralihan Aceh wilayah Linge. Dia juga bekerja di Bagian Komunikasi dan Informasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) di regional III untuk wilayah Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.

Gaji tujuh juta sebulan di BRR memang besar untuk seorang mantan gerilyawan, tapi sangat kurang dibanding tanggungannya sebagai pemimpin.

Dari total 517 anggota TNA di Bener Meriah, yang resmi mendapat dana reintegrasi hanya 102 orang. Masing-masing mendapat Rp 25 juta. Supaya adil, dana untuk 102 TNA itu dia bagi rata kepada 517 orang. Per orang dapat hampir Rp 5 juta. Itu agar mereka bisa berdagang, berusaha, dan bertani. Uang itu sebetulnya terlalu sedikit. Untuk membuka lahan kopi seluas satu hektar saja tak cukup, yang diperkirakan memakan biaya sedikitnya Rp 10 juta.

Enal dan anggota front juga mendapat dana reintegrasi. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang diterima bekas TNA. Anggota front di Bener Meriah sekitar 170 orang. Namun BRDA hanya mengalokasikan dana untuk 45 orang. Per orang dapat Rp 10 juta. Radinal mesti membagi rata uang Rp 450 juta kepada 170 orang.

Sebenarnya anggota front tak disebut-sebut dalam MoU Helsinki sebagai pihak yang akan mendapat dana reintegrasi. Toh, yang berperang adalah pemerintah dengan militernya dan GAM dengan pasukannya. Namun, BRDA sebagai lembaga yang mendistribusikan dana tersebut dapat protes dari orang-orang seperti Enal. Akhirnya, kelompok-kelompok sipil bersenjata ini pun dapat bantuan dana sebagai korban konflik.

ENAL teringat masa lalu. Ketika menuntut ilmu di madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar, Fauzan adalah kakak kelasnya. Keduanya bersahabat. Tapi di masa konflik, mereka memilih jalur beda. Yang satu jadi panglima GAM, yang lain memimpin front melawan GAM.

Ketika ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) berlangsung November hingga Desember tahun lalu, keduanya sama-sama ikut bertarung di ajang politik. Keduanya tetap berseberangan. Tapi mereka punya kekecewaan yang sama terhadap elite partai dan pejabat semasa konflik berkecamuk.

“Waktu kami hancur-hancuran di sini, mereka malah kabur,” kata Enal.

“Tokoh-tokoh partai lari. Padahal rakyat disiksa dan dipenjara,” timpal Fauzan.

Itu sebabnya Fauzan maju menjadi kandidat tanpa bendera partai. Dia berpasangan dengan Dawan Gayo, aktivis Sentra Informasi Referendum Aceh atau SIRA. Mereka mengumpulkan tanda tangan dukungan. Dana Rp 20 juta dihabiskan Fauzan untuk meraih suara pemilih.

Enal menjadi motor tim sukses pasangan kandidat Misriady dan Sutrisno. Misriady pengusaha kopi yang memiliki kebun berhektar-hektar. Dia kandidat terkaya di Bener Meriah dengan total harta lebih dari Rp 6 miliar. Sedang pasangannya, Sutrisno, anggota dewan setempat. Dia juga pernah memimpin front PETA melawan GAM. Enal masih terhitung kerabat Sutrisno. Target suara pasangan kandidat ini tak lain suara warga Jawa, juga bekas anggota front di Bener Meriah.

Tak jarang isu konflik lama antara front dan GAM kembali mencuat di tengah kampanye. Tapi kericuhan sama sekali tak terjadi. Meski begitu Enal menyimpan kecemasan jika Aceh dipimpin orang GAM. Dia khawatir orang Jawa di Bener Meriah bakal diperlakukan tidak adil.

“Ya, bisa perang lagi. Tapi kami tergantung mereka. Kalau mereka baik, kami akan baik. Dan front akan bubar kalau GAM bubar,” ungkapnya.

“GAM bubar kalau MoU Helsinki sudah dijalankan seratus persen,” kata Fauzan.

BULAN Desember 2006 hujan mengguyur Aceh. Sebagian wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah terendam banjir. Ratusan rumah tergenang. Sebagian warga mengungsi. Namun kebun kopi yang rata-rata berada di dataran tinggi masih bisa selamat.

Bulan itu bulan yang ditunggu para kandidat yang bertarung dalam pilkada. Sebelum pergantian tahun, penghitungan suara pilkada diumumkan. Fauzan kalah. Jago yang diusung Enal keok. Namun, lagi-lagi, mereka punya impian sama.

“Kami tidak mencari musuh. Kami hanya mau usaha perkebunan kopi kami lancar,” ujar Enal.

“GAM akan pergi ke kebun,” kata Fauzan.

Fauzan berharap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat menyelesaikan persoalan masa lalu. Bukan untuk mengadili, tapi untuk memberi kompensasi.

Desember buat petani adalah bulan panen kopi. Sepanjang jalan menuju Takengon dan Pondok Baru, banyak warga menjemur biji-biji kopi di muka rumah mereka.

Namun, Suharto tampak kecewa. “Panen lagi kurang,” katanya.

Jika harga bagus, panen yang menurun setidaknya masih bisa menutup kekurangan ongkos selama masa tanam hingga panen. Nasib petani sangat ditentukan toke, semacam penadah atau penyalur.

“Selama ini petani tidak pernah tahu harga jual toke ke perusahaan pengolahan di Medan,” ungkap Bahtiar Gayo.

Bahtiar memimpikan hadirnya industri pengolahan kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Jika ada pabrik yang mengolah sekaligus mengekspor kopi Gayo, petani bisa segera menjual langsung ke perusahaan. Itu bisa mendatangkan keuntungan lebih besar pada petani. Buat pemerintah, kehadiran industri bisa mendongkrak pendapatan kas daerah.

Bardan Sahidi punya impian lebih dramatis lagi. Jika bisnis kopi benar-benar menguntungkan petani dan stabil, bukan mustahil dia akan hengkang dari dunia politik.

“Nantinya saya juga tidak ada pilihan lain, mau tidak mau saya harus berkebun. Tapi tidak lagi harus memulai dari awal, tinggal melanjutkan milik orangtua. Ini kan (kebun) warisan,” kata Bardan.*

*) Kontributor Sindikasi PANTAU di Banda Aceh.

by:Samiaji Bintang