Memantau Pilkada, Memantau Masa Depan Aceh

Novia Liza dan Khitati

Sat, 16 December 2006

TIAP orang Aceh punya alasan masing-masing ketika mencoblos. Ada yang berharap dapat bantuan rumah. Ada yang senang karena kampanye kandidat idola mendatangkan artis ibukota. Tapi ada pula yang kehilangan hak pilih.

PAGI cerah. Jalanan sepi. Jarum jam menunjuk pukul 08.30. Tanggal 11 Desember 2006. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang di seputaran kota Banda Aceh. Toko-toko yang berjejer rapi di pinggir jalan besar ditutup para pemiliknya. Hanya warung kopi yang buka dan ramai pengunjung: semua laki-laki.

Hari itu Aceh memulai sejarah baru. Pemilihan kepala daerah atau pilkada secara langsung akan dilaksanakan untuk pertama kali. Ini merupakan pilkada terbesar yang pernah dilakukan di Indonesia. Pemilihan gubernur dan bupati serta walikota dilakukan serentak, dalam sehari. Pilkada Aceh pun mendapat sorotan khusus dari berbagai media nasional maupun internasional.

Pagi itu kami sengaja datang ke beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Matahari mulai meninggi saat kami mengunjungi TPS yang berada di Sekolah Menengah Pertama Negeri 9, Peunayong. Sekolah itu baru saja dibangun dan masih dipagari seng di sekelilingnya. Letak sekolah di pasar buah Peunayong. Ada lima barak pengungsi tsunami di sisi kanan sekolah.

Tiga TPS di situ disediakan untuk 1.200 pemilih. Ketiganya menggunakan ruang belajar. Daftar pasangan calon gubernur dan walikota terpasang di dinding luar serta pintu kelas.

Suasana di TPS Peunayong berbeda dengan TPS lain di Aceh. Di sini mayoritas pemilih keturunan Tionghoa. Mereka tampak antusias. Seperti Joseph Yunardi. Kakek yang nama Tionghoanya bermarga Yi ini datang dengan semangat. Ia mengenakan kaus biru dan celana kain warna gelap. Ia senyum-senyum terus.

“Kita harus mencari pemimpin Aceh yang bagus biar Aceh tetap aman. Supaya kita bisa berdagang dengan sebaik-baiknya, juga yang mengungsi agar cepat pulang,” ujarnya, lantang.

Seperti halnya Yunardi, Evi juga bersemangat memilih calon pemimpin Aceh masa depan.

“Kita sebagai warga di sini wajib memilih,” katanya.

Evi yang hari itu datang dengan keluarganya sempat berdiskusi dalam bahasa Tionghoa sebelum masuk ke TPS. Peraturan pemerintahan Suharto yang mengharuskan orang-orang Tionghoa tidak menggunakan nama Tionghoa mereka membuat perempuan ini harus berganti nama dari Kwok Cheng Fung menjadi Evi. Kebijakan ini mencerminkan watak pemerintahan yang militeristik, yaitu ingin menyeragamkan semua hal, menghilangkan identitas tiap bangsa dan budaya yang ada di , dan mengobarkan rasa benci pada apa saja yang beda.

Evi sangat bangga tinggal di Aceh.

”Saya warga Aceh. Saya lahir di sini sudah tiga keturunan,” ujarnya sambil tertawa lebar, sehingga memperlihatkan kawat giginya.

Syarifuddin Adi, koordinator TPS, mengatakan bahwa tempat itu sudah dibuka sejak pukul 08.30. Ini sesuai keputusan Komite Independen Pemilihan atau KIP.

“Dari tadi sudah banyak yang datang, tapi sayang tidak semua warga di sini terdata sebagai pemilih,” kata Adi.

Meski warga terlihat antusias menggunakan hak pilih mereka, tapi masih banyak kertas suara yang tersisa. Di TPS itu tercatat 448 pemilih yang telah mendaftar.

“Kalau kertas suara rusak saat pengiriman akan dilaporkan ke KIP dan saat dikirim ada 21 % kertas suara yang lebih. Yang mendata itu P3 (Panitia Pendataan Pemilih),” kata Adi, lagi.

KIP mulai melakukan pendataan sejak bulan April 2006 dan ditutup pada 12 November 2006.

“Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, satu bulan sebelum hari pemilihan seluruh pendaftaran pemilih harus selesai. Kami sudah melakukan prosedur yang diamanatkan undang-undang dengan menyosialisasikan kepada masyarakat luas," kata Mahdi Syahbandir, Ketua Kelompok Kerja Pendataan Pemilih KIP, sebagaimana dikutip Kompas Cybermedia pada 26 Oktober lalu.

Sosialisasi tentang pemilihan disebarkan lewat spanduk, poster, radio, televisi, dan surat kabar. Warga dapat mendaftar langsung pada Panitia Pendataan Pemilih atau disingkat P3 dan KIP atau melalui panitia pemilihan gampong.

Kami kemudian mendatangi barak pengungsi dekat TPS. Dua perempuan sedang mencuci piring di sumur umum. Salah seorang dari mereka, bernama Nurjanah, sangat senang setelah mencoblos. Nurjanah tinggal di barak Peunayong hampir dua tahun. Ia bersama para pengungsi di situ memiliki banyak harapan terhadap pemimpin Aceh yang akan datang.

“Saya pilih Raden Malik, eh Malik Raden sama orang yang besar hidung itu,” ujar Nurjanah, tertawa, lalu menunjuk stiker yang tertempel di dinding seng kamar mandi mereka.

Ia berharap dapat rumah jika Malik Raden menang.

“Semua pengungsi dapat rumah dan kalau janjinya tidak ditepati katanya bisa menuntut,” tukas Aminah, teman Nurjanah, mengingat-ingat lagi bunyi kampanye sang kandidat yang disaksikannya di Lampineung.

Menurut mereka berdua, Malik Raden tidak berjanji tapi ia memakai istilah ‘mudah-mudahan’.

”Saya yakin dengan perkataannya, karena orangnya sudah tua dan pakai peci,” kata Aminah, lagi.

SAAT kami keluar dari lokasi TPS Peunayong banyak warga yang masih berada di warung kopi. Perjalanan kami pun beralih ke TPS yang terletak tepat di halaman pusat perbelanjaan Barata, sekitar 150 meter dari Masjid Raya Baiturrahman.

TPS Barata terlihat sangat mewah. Kursi-kursi berwarna biru tersusun rapi. Tiga teratak besar didirikan. Tiang-tiangnya dilapisi satin putih. Atap dihias satin putih dan merah. Manik-manik kuning bergelantungan di situ. “Kayak kondangan aja ya,” bisik Khitati, teman saya.

Tepat di depan teras Barata terpajang selembar tripleks yang dicat putih. Ada gambar kandidat gubernur dan walikota di situ.

Beberapa orang berkerumun di sekitar TPS. Cut Meutia salah satu di antara mereka. Hari itu ia memakai baju merah jambu berbordir benang emas. Celana jins. Jilbab biru. Ia adalah warga Kampung Baru. Namun, saat ini ia tinggal di barak Lhong Raya. Wajah Cut menyiratkan kebingungan.

Beberapa warga menganjurkannya memilih kandidat yang berasal dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka mengatakan GAM adalah orang-orang yang pernah memperjuangkan hak mereka.

”Saya bingung milih siapa, milih GAM atau orang biasa. Isi hati saya nomor 7, Azwar (calon gubernur). Dan Mawardi (calon walikota). Dulu mereka pernah bantuin kita waktu tsunami,” katanya.

Cut tidak terlalu memperhatikan visi dan misi semua kandidat. Tapi ia sempat mengikuti beberapa kampanye. Cut mengatakan ia sangat tertarik dengan kampanye Azwar Abubakar, kandidat idolanya.

“Ada banyak artis ibu kotanya, ‘kan rame!” tuturnya, semangat.

Berbeda dengan Cut yang bingung, Maryamah yang juga tinggal di barak Lhong Raya sudah tetap dengan pilihannya.

“Kami memilih yang memihak dan peduli kepada rakyat. Yang dari perjuangan awalnya memang memihak kepada rakyat,” tutur Maryamah.

“Ada dipaksa, nggak Bu?” tanya saya, menggoda.

“ Nggak. Saya memang sudah punya pilihan hati dari rumah,” balasnya, serius, mantap.

MENJELANG siang kami beralih ke wilayah Aceh Besar. Suasana tampak begitu sepi di TPS desa Lamhasan. Hanya petugas atau panitia lokal yang setia menunggu, menjalankan tugas.

TPS itu berada di pekarangan mushola. Ada 599 orang yang terdaftar di tempat ini. Namun, hingga pukul 12.00, baru 238 orang yang memilih.

Sebuah teratak besar dan sederhana didirikan di depan mushola. Sejumlah bangku disusun asal-asalan. Tak rapi. Seorang perempuan duduk lesu di situ.

“Aduh gimana ya, dik, sampai sekarang saya belum memilih,” katanya.

Namanya, Mardiana. Ia warga Kompleks Pola Permai, perumahan di desa Lamhasan, tapi tsunami membuatnya harus mengungsi ke kampung Pineung. Hingga saat ini ia belum memperoleh bantuan rumah di kampungnya. Secara administrasi, ia masih penduduk Lamhasan.

Ia dan suaminya, Lukman, sangat kecewa karena nama mereka tidak terdaftar di TPS desa ini. Padahal jauh- jauh hari mereka sudah berkomunikasi dengan kepala desa.

“Kata kepala desa, warga Kompleks Pola Permai beralih ke desa Lamhasan. Jadi saya kira sudah terdata di sini,” ujar Lukman, yang juga berada di TPS tersebut.

Namun, sekretaris Kompleks Pola Permai mengatakan mereka berdua belum terdata. Lukman pun tak mau berpangku tangan. Ia kembali menemui geuchik atau kepala desanya untuk kesekian kali.

“Sampai hari ini adalah hari yang ketiga, solusinya masih tidak ada,” kata Lukman, penuh kecewa.

Sebelum mendatangi TPS, sebagai upaya terakhir, ia sempat menelepon geuchik untuk meminta solusi. Ia disuruh membawa kartu identitas serta kartu keluarga.

“Kata geuchik, nanti kalau ada nama yang dobel akan digantikan dengan nama saya,” kisah Lukman.

Petuah geuchik diikutinya dengan patuh. Namun, ia ditolak secara halus oleh panitia pemilihan.

“Saya kecewa, karena saya sudah menunggu dari jam sembilan pagi tadi. Ya, saya berharap karena suara saya berharga bagi pemimpin ke depan,” lanjutnya.

Lukman berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi, “Sebagai rakyat kita wajib memilih pemimpin, makanya saya kecewa. Padahal saya sudah punya calon pilihan hati.” Lantas ia tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala.

“Saya tidak mau hak suara saya hilang. Jadi saya tetap menunggu.” Ia benar-benar pantang menyerah.

Bardan SP, ketua Komite Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS ) 1 desa Lamhasan mengatakan bahwa sudah tiga orang melapor tidak mendapatkan hak pilih.

Ia telah melaporkan kejadian tersebut ke kecamatan sekaligus meminta petunjuk.

“Yang mendata P3. Mungkin saat pendataan awal mereka belum kembali ke kampung. Kami di sini cuma bertugas di hari H sampai akhir. Ya, nggak ada solusi lain dan kami tidak bisa berbuat banyak. Kami harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Tapi kami tidak tahu kalau ada kebijakan lain, kami menunggu dulu,” jawabnya, ketika menanggapi kasus Lukman.

UDARA bertambah panas. Keringat bercucuran di wajah. Kami pergi diikuti Lukman dan istrinya. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang setelah panitia mengatakan tak ada solusi untuk mereka. Jarum jam menunjuk pukul 12.15.

Panas benar-benar menyengat ketika kami tiba di TPS Ulee Lheue yang terletak di kecamatan Meuraxa, Aceh Besar. Jarak TPS ini sekitar 3,5 kilometer dari TPS Lamhasan.

TPS berada di halaman masjid. Akibat panas terus menyengat, kami memutuskan minum di sebuah kedai kopi, kurang lebih 50 meter dari TPS.

Sebagaimana kedai kopi lain, kedai itu dipenuhi pengunjung. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang tertawa atau bercakap-cakap. Ada yang cuma diam menikmati minumannya. Ternyata kehadiran kami menarik perhatian mereka. Sejenak segala gaduh mendadak diam dan yang diam makin diam. Sepi.

Hujan pun tiba-tiba turun.

“Loen kapolsek, lon lom kudroe yang jaga (saya kapolsek, saya lagi yang jaga sendiri)!” teriak seorang pria yang mengenakan pakaian dinas polisi. Suaranya memecah keheningan di sini.

Ha-ha-ha-ha-ha…. Tawa beberapa pria di sebelahnya pecah serentak.

Ulee Lheue merupakan tempat yang aman menurut kepala polisi sektor Meuraxa ini. Nama yang tercetak di seragamnya adalah Arul. Ketika kami menanyakan nama lengkapnya, ia menjawab, “T. Kairul.” Tanpa menjelaskan kepanjangan huruf ‘t’ itu.

“Hanya ada dua polisi dan dua limnas (lindungan masyarakat) yang menjaga tempat itu. Dan dua polisi serta empat linmas untuk masing-masing TPS yang berada di tempat yang rawan kerusuhan dan banyak perampok,” ujar Kairul.

Saat tengah asyik bicara, layar televisi di kedai menayangkan berita ledakan bom di Lhokseumawe, Aceh Utara. Siaran stasiun RCTI. Semua pengunjung kedai tersentak. Ribut. Namun, Kairul tak menunjukkan rasa kaget sama sekali atau semacam itu. Ia malah sibuk dengan kertas-kertas di tangannya.

Ada 2.524 perempuan dan 3.791 laki-laki yang berhak memilih di kecamatan Meuraxa. Namun, ada yang tak menggunakan hak pilihnya.

“Banyak surat undangan yang tidak sampai karena ada beberapa warga yang tinggal di barak, kasihan mereka nggak ikut milih,” katanya, lirih.

Tiba- tiba seorang pria masuk.

“Hei suara mau dihitung!” seru si pria.

Serentak beberapa orang berlarian ke tempat TPS, termasuk kami.

Hujan menderas. Jam menunjukkan pukul 14.25 saat penghitungan dimulai. Saya sempat melirik jam tangan yang melingkar di tangan seorang pemantau Uni Eropa. Usia si pemantau ini sekitar 50-an tahun. Baju biru dongker. Ransel hitam. Ada botol cairan pengusir nyamuk dan pembasuh tangan di saku sebelah kanan ranselnya.

Tiga orang asing dan dua orang Indonesia terdapat dalam rombongan pemantau Uni Eropa.

“1, 4, 6, 4, 6, 7, 6, 6!” teriak seorang anggota KPPS. Lantang. Ia menyebut nomor-nomor kandidat gubernur.

Seorang ibu yang duduk memangku anaknya ikut menyaksikan penghitungan suara itu. Ia tiba-tiba bertanya pada seorang polisi yang duduk tak jauh darinya

“ Pak, calon dari GAM yang mana?”

Polisi itu hanya diam. Mungkin lantaran tak enak hati, ia kemudian menjawab juga, “Kami netral, nggak boleh bilang nama partai atau yang berhubungan dengan itu.”

“Wah, yang benar, Pak?” sergah Khitati.

“Iya, memang seperti itu,” jawabnya, lalu tersenyum.

“6, 4, 6, 3, 8, 1!”

“Salah!“ jawab seorang saksi.

Semua orang yang berkerumun setuju. Pasalnya, kertas suara itu adalah kertas suara untuk memilih walikota yang salah masuk ke kotak suara untuk gubernur.

“2, 5, 6, 4, 1!”

“Eitt… salah lagi!” kata si pembaca kertas suara.

“Salah masuk kamar!” teriak seorang pria yang duduk di kursi saksi.

“Lagehi ka meuheut jet gubernur nyan (sepertinya dia mau jadi gubernur).”

Ha-ha-ha-ha-ha… Kor tawa terdengar.

Hujan makin deras. Penghitungan suara dihentikan beberapa menit. Terjadi pergantian pembaca kertas suara.

“4, 6, 5, 1, 2, 6!”

Tiba-tiba telepon seluler lelaki yang membaca kertas suara itu berbunyi. Nada panggilnya adalah lagu duo Ratu, Teman Tapi Mesra.

Semua orang saling lirik, sampai seorang pria berteriak,”Hei hp siapa tu? Matiin cepat!”

Yang bersangkutan menjawab, “Buang aja hp-nya.” Kumisnya tebal. Sambil tersenyum ia terus membacakan nomor-nomor yang tertera di kertas suara.

Tak lama kemudian ada lagi kertas suara yang salah. Bukan salah masuk, namun dianggap batal karena seluruh gambar kandidat ditusuk.

TIBA-TIBA rombongan gubernur, walikota Banda Aceh, KIP, dan pejabat daerah datang.

Gubernur Mustafa Abu Bakar mengenakan batik, celana hitam, dan keupiah atau peci hitam. Seorang lelaki bersetelan hitam memayunginya dengan payung besar warna kuning cerah.

“Gimana? Semua lancar?” tanya Mustafa.

“Lancar, Paaaak…. “ Kor terdengar.

“Silahkan duduk, Pak,” kata seorang lelaki, seraya menyodorkan kursi.

“Oh, tidak apa-apa. Saya berdiri saja,” jawabnya, sopan

Saya kebetulan tepat berada di sisi Mustafa. Hidung saya mencium aroma parfumnya. Segar. Menenangkan. Entah merek apa.

Ulee Lheue merupakan tempat kedua yang dikunjunginya hari ini. TPS Barata adalah yang pertama. Mustafa mengatakan bahwa persaingan ketat juga terjadi di TPS Barata.

“Kelihatannya menarik. Kadang ada kandidat yang namanya sering disebut. Saya berharap proses perhitungan suara ini berjalan lancar dan tidak ada yang mengganggu. Di sini dan di sana, so so lah,” ujar Mustafa kepada saya.

Seorang laki-laki berbaju hitam mendekati Mustafa saat kami tengah berbincang. Ia membersihkan ujung celana sebelah kanan belakang sang gubernur dengan tangannya. Saya tertegun. Benar-benar jongos yang setia, pikir saya. Mustafa tak menyadarinya.

Setelah penghitungan suara selesai, gubernur berfoto bersama pemantau pilkada Uni Eropa. Selanjutnya, mereka berduyun-duyun pulang. Hanya sekitar 15 menit mereka berada di situ.

Irwandi Yusuf, calon gubernur dari GAM, unggul. Ia meraih 54 suara. Ia kandidat nomor 6. Malik Raden, kandidat nomor 3, menempati urutan kedua dengan 35 suara. Di urutan ketiga, sang nomor 4 Humam Hamid, yang meraih 31 suara. Enam suara dinyatakan tidak sah, karena kertas suara rusak.*

kembali keatas

by:Novia Liza dan Khitati