Memancing Iklan di Kolam Pilkada

Samiaji Bintang

Thu, 16 November 2006

SEJUMLAH media di Aceh berebut iklan pasangan kandidat kepala daerah. Wartawan yang menulis pariwara kandidat pun ketiban komisi. Ada pula yang memilih terjun ke politik.

DUA wajah menyembul di balik lipatan harian Serambi Indonesia edisi Senin, 6 November lalu. Sepasang wajah itu juga terpampang di sejumlah billboard di jalan-jalan Banda Aceh dan kabupaten atau kota lain di Aceh dengan embel-embel akronim H2O alias Humam-Hasbi Oke.

Humam Hamid adalah ketua badan pekerja Aceh Recovery Forum, organisasi nonpemerintah yang didirikan pasca tsunami. Sementara Hasbi Abdullah pernah menjadi anggota dewan pakar Partai Persatuan Pembangunan. Keduanya sama-sama mengajar di Universitas Syiah Kuala.

Isi suplemen yang berformat tabloid itu melulu puji-pujian untuk calon gubernur dan wakil gubernur Aceh tersebut, selain ajakan memilih mereka kendati masa resmi kampanye masih dua pekan lagi. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2004 di Aceh, partai berlambang Ka’bah yang mengusung kedua kandidat tadi meraih suara pemilih terbanyak.

Tak ada keterangan ataupun sepotong penjelasan untuk pembaca yang menerangkan bahwa suplemen berbentuk tabloid 16 halaman itu advetorial atau pariwara. Advertorial adalah akronim dari advertisement dan editorial yang pada dasarnya iklan, bukan berita.

Apa Serambi Indonesia memang mendukung duet H2O?

“Serambi milik orang banyak. Kami punya komitmen tidak berpihak pada salah satu kandidat. Bahkan kandidat yang merupakan teman kita sendiri pun kita tidak berpihak,” bantah Mohammad Din, manajer bisnis Serambi Indonesia, yang saya wawancarai di ruang kerjanya.

Saat ini Serambi Indonesia merupakan harian terbesar di Aceh. Koran ini rata-rata terbit 24 halaman setiap hari dengan tampilan dua seksi, halaman utama Serambi Indonesia, dan Serambi Pase. Oplah mereka berkisar antara 30 ribu hingga 35 ribu eksemplar dan menjangkau hampir seluruh kabupaten atau kota di Aceh. Harga per eksemplar Rp 2.000.

Harian yang berdiri pada 9 Februari 1989 ini salah satu anak perusahaan Kelompok Kompas Gramedia di daerah. Di luar Aceh, grup media ini memiliki penerbitan koran daerah, seperti di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jakarta, Batam, dan Jawa Barat. Umumnya, masing-masing perusahaan penerbitan daerah itu memiliki percetakan sendiri.

Tahun ini, Dewan Pers memilih Serambi sebagai satu dari sepuluh koran terbaik di Indonesia. Kriteria pemilihan Dewan Pers berdasarkan struktur pemberitaan, faktualitas berita, akurasi berita, kelengkapan berita (apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana), relevansi berita, keseimbangan pemberitaan, dan sikap netralitas.

“Mengapa tak ada keterangan yang menjelaskan bahwa tabloid H2O itu advertorial atau pariwara agar pembaca tahu bahwa itu bukan berita?” tanya saya.

“Memang tidak ada. (karena) Itu bukan bagian dari Serambi. Mereka cetak di sini (divisi usaha percetakan perusahaan penerbit Serambi). Distribusinya disisipkan ke Serambi lewat agen. Dan mereka (agen) dibayar. Tapi tidak semua tabloid itu kami edarkan, sebagian mereka (tim H2O) edarkan sendiri,” kata Din.

Semua pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur, Din melanjutkan, diberi kesempatan yang sama untuk memasang iklan di Serambi. Mereka juga telah melayangkan surat penawaran iklan dan advertorial, termasuk percetakan yang dimiliki Serambi, kepada tiap kandidat.

“Jangan sampai ada kesan Serambi mendukung salah satu pihak,” katanya, lagi.

Ketika saya menanyakan keuntungan yang diraup Serambi dari biaya pencetakan dan pendistribusian tabloid H2O, Din menjawab, “Nilainya hanya jutaan.”

Saya mewawancarai Tengku Muhammad Fasial Amin soal tabloid H2O. Dia ketua tim kampanye H2O untuk wilayah provinsi. Namanya tertera sebagai pemimpin redaksi dalam kotak redaksi tabloid kampanye tersebut. Tapi dia menolak membeberkan jumlah dana untuk belanja promosi dan kampanye H2O lewat media cetak. Dia bahkan tak mau menyebut biaya mencetak tabloid H2O di Serambi.

“Ini politik. Hasil menentukan anggaran, bukan anggaran menentukan hasil. Kami tak tahu soal dana untuk tabloid itu, semua ditangani kandidat,” kilahnya.

Sebagai perbandingan, harian Rakyat Aceh menetapkan tarif pariwara seharga Rp 12 juta per halaman. Jika memasang setengah halaman, maka harganya Rp 6 juta. Begitu seterusnya.

Namun sejak dua bulan lalu hingga menjelang masa kampanye, Rakyat Aceh belum pernah mendapat pemasukan dari iklan pasangan kandidat.

“Tawaran iklan empat kandidat terpaksa kami tolak,” kata Ansor Khawari, manajer iklan Rakyat Aceh. “Karena mereka minta dipasang di halaman satu. Kalau di halaman dalam, boleh. Kami ingin fair.”

Rakyat Aceh adalah salah satu pesaing Serambi Indonesia. Usia suratkabar ini masih muda. Rakyat Aceh milik Jawa Pos Group dan didirikan tiga pekan setelah tsunami melanda Aceh. Akan halnya Kelompok Kompas Gramedia, Jawa Pos Group pun menerbitkan koran di daerah-daerah. Dari tingkat provinsi hingga kabupaten atau kota, dari Sumatera hingga Papua.

Tiras Rakyat Aceh mencapai 10 ribu eksemplar dengan rata-rata pengembalian hingga 20 persen. Harga per eksemplar Rp 1.500. Percetakannya di Medan. Itu sebabnya harian setebal 12 halaman ini baru dapat dibaca warga Banda Aceh menjelang jam makan siang.

“Tapi untuk daerah-daerah yang dekat dari Medan, bisa dibaca lebih awal,” kata Ansor.

REZEKI iklan jelang pemilihan kepada daerah di Aceh tidak cuma dicicip media cetak harian. Rajapost yang terbit mingguan ikut jadi sasaran para kandidat yang ‘mempromosikan’ diri jauh sebelum Komisi Independen Pemilihan Aceh menyalakan lampu hijau kampanye.

Usia Rajapost belum genap setengah tahun. Sebelum berganti rupa jadi mingguan, Rajapost merupakan harian dengan kantor pusat di Bireun. Setelah terjadi perpecahan di tingkat manajemen, Rajapost sempat berhenti terbit. Baru pada 21 Agustus lalu sebagian awak eks harian Rajapost meluncurkan koran dengan nama yang sama dan terbit tiap awal pekan.

Kini Rajapost berkantor di sebuah rumah di Jalan Teupin Raya, Lampineung, Banda Aceh. Meski masih belia, Rajapost sudah mendapat pariwara lebih dari lima kandidat.

“Ada yang pasang satu, dua, bahkan tiga halaman. Dan kami selalu cantumkan di halaman itu keterangan advertorial,” ujar Dedi Rahman, wakil pemimpin perusahaan, kepada saya.

Dengan tiras 5.000 eksemplar, tarif iklan per halaman di Rajapost lumayan bersaing. Untuk iklan berwarna seharga Rp 8 juta. Hitam-putih setengah harga, Rp 4 juta. Tabloid mereka dicetak di percetakan milik Serambi Indonesia.

Namun Rajapost mematok biaya Rp 17 juta untuk iklan berwarna yang berisi profil pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Mayor Jenderal Purnawirawan Muhammad Djali Yusuf dan Syauqas Rahmatillah merupakan pasangan kandidat pertama yang memasang iklan di Rajapost.

Di situ tertulis riwayat hidup Djali Yusuf. Dia pernah ditugaskan beberapa kali dalam Operasi Seroja di Timor Timur sejak 1974 hingga 1988. Pada 2002 lalu dia menjabat Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda. Pasangannya, Syauqas, hingga kini masih menjabat lektor kepala di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.

Wajah duet ini berikut biodata dan riwayat hidup mereka dimuat satu halaman penuh. Mereka tampil di halaman pariwara Rajapost edisi 5-11 Oktober lalu.

Pariwara pasangan Azwar Abubakar dan Muhammad Nasir Djamil dimuat pada Rajapost edisi pekan berikutnya, 12-18 Oktober. Kedua kandidat ini didukung Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera.

Azwar mantan wakil gubernur di masa kepemimpinan Abdullah Puteh. Saat Puteh diseret ke meja hijau gara-gara kasus korupsi dana rakyat Aceh, Azwar menduduki jabatan gubernur sementara waktu. Ia kemudian mencalonkan diri sebagai gubernur Aceh pada tahun ini. Nasir pernah bekerja sebagai wartawan Serambi Indonesia, lalu memilih jadi politikus. Sekarang Nasir masih tercatat sebagai salah seorang legislator Aceh di Senayan.

“Kami tidak membeda-bedakan, harganya sama. Tujuh belas juta untuk dua halaman penuh,” sambung Dedi.

Tarif pariwara per halaman di mingguan Modus lebih mahal. Mereka menetapkan harga Rp 8,602 juta per halaman untuk pariwara hitam-putih. Angka itu sudah termasuk pajak. Tarif pariwara berwarna dua kali lipatnya.

Sejak berdiri pada 16 Maret 2003, Modus banyak mengangkat isu hukum dan politik. Meski begitu, menurut hasil survei yang pernah dilakukannya sendiri, pembaca tabloid ini menyukai rubrik “Jeritan Hati” yang banyak mengungkap persoalan rumah tangga maupun hubungan asmara yang kandas.

Menurut Nurmala, kepala bagian iklan Modus, mahalnya tarif iklan karena kualitas kertas yang digunakan tabloid mereka adalah jenis HVS. Pasangan H2O pernah memasang pariwara di tabloid yang berdiri ketika Darurat Militer diberlakukan di Aceh ini. Pasangan tersebut memesan 4.000 eksemplar untuk kepentingan kampanye.

“Kami menambah oplah untuk edisi itu dari lima ribu jadi sekitar sepuluh ribu. Tapi urusan distribusinya mereka sendiri. Dan kalau pariwara, kami selalu cantumkan keterangan pariwara di atas halaman itu,” ujar Nurmala.

“Siapa yang menulis pariwara?” saya bertanya.

“Wartawan. Kami membolehkan wartawan mencari iklan, dan akan kami bagikan hasilnya sekitar dua puluh persen dari total iklan,” jawab Nurmala.

“Ini untuk kesejahateraan wartawan juga. Tapi kami tidak mewajibkan wartawan mencari iklan atau pariwara,” kata Iskandar Norman, sekretaris redaksi Modus.

Kendati begitu, kebijakan ini bisa mencemari profesi wartawan. Bukan mustahil, mencari iklan dengan komisi menggiurkan lebih menarik si wartawan ketimbang menelusuri borok para kandidat.

Padahal informasi menyangkut kandidat-kandidat itu merupakan hak para pembaca dan perlu diketahui warga sebelum masuk ke bilik suara.

“Kami tetap membedakan bisnis dan idealisme. Kalau si kandidat punya kasus tetap akan kami tulis. Kami juga menyeleksi kandidat yang mau memasang pariwara di Modus. Kami mendukung calon yang punya catatan baik walaupun miskin ketimbang pasangan yang kaya tapi punya catatan korup. Ini sebagai dukungan moral kami,” kilah Iskandar.

Soal pembedaan bisnis dan idealisme, ketika diwawancarai terpisah Mohsa El Ramadan, pemimpin redaksi Rajapost, menyatakan hal yang sama.

“Kami tidak takut kalau nanti mereka tidak mau beriklan lagi di Rajapost. Lagi pula, (momentum pilkada) ini kan cuma sebentar. Cuma numpang lewat,” kata Ramadan.

Soal kebijakan membolehkan wartawan mencari iklan dan menulis pariwara juga berlaku di Rakyat Aceh, dan Rajapost, dan Acehkita. Seperti juga di Modus, ketiga media tersebut tidak mewajibkan wartawan mencari iklan.

Namun, Serambi punya aturan beda. Menurut Mohammad Din, Serambi tidak membolehkan wartawannya mencari iklan. Alasannya, para wartawan yang berstatus karyawan sudah mendapat gaji setiap bulan.

Namun dia mengakui, penulisan pariwara dilakukan wartawan. Wartawan yang mengerjakan pariwara akan diberi insentif atas jasanya menulis.

Doddy Halim yang menjabat manajer iklan tabloid Acehkita tak bersedia mengungkap jumlah komisi yang diterima wartawan. Manajemen tabloid ini berada di Jakarta, termasuk urusan iklan.

“Saya tak punya wewenang untuk bicara soal itu,” ujarnya, melalui telepon.

BUKAN hanya komisi iklan yang menggoda para wartawan dalam pesta demokrasi terbesar di Aceh yang bakal digelar 11 Desember nanti. Sejumlah mereka bahkan terang-terangan meninggalkan pekerjaan mereka sebagai wartawan dan memilih terjun langsung ke kolam politik praktis.

Di Serambi, Akmal Ibrahim, seorang redaktur, menjadi salah satu kandidat bupati di kabupaten Aceh Barat Daya.

“Yang bersangkutan sudah dipecat sejak dua bulan lalu. Karena itu ketentuan perusahaan. Kami tidak mau ada beban politik terkait kebijakan editorial,” jelas Din.

Tak hanya Akmal Ibrahim. Din menyebut sejumlah nama mantan wartawan Serambi yang lebih dulu memilih jalur politik praktis. Mereka itu antara lain, Nasir Djamil yang kini mencalonkan sebagai calon wakil gubernur, Sofyan S. Sawang calon wakil bupati Aceh Barat, Mustafa Glanggang yang kini menjabat bupati Bireuen, dan wakil bupati Simeulue Ibnu Aban.

“Lalu ada Said Muchsin, Amir Hamzah, dan semuanya resign (mengundurkan diri) dari Serambi,” kata Din.

“Apa ada wartawan yang menjadi anggota atau pengurus dalam tim sukses?”

“Ada. Bahwa individu-individu mendukung salah satu kandidat, itu politik mereka. Itu kan mirip kepanitiaan, jadi sulit dilarang. Sebatas tidak mempengaruhi kebijakan editorial, tidak masalah,” ungkap Din.

Sementara itu, dua wartawan Modus malah terpilih menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih). Satu di Aceh Barat, lainnya di Gayo Lues. Muzakkir Abdullah, wartawan Modus di Meulaboh, baru saja memberikan surat pemberitahuannya kepada Iskandar Norman ketika saya bertandang ke kantor Modus di Jalan Teuku Iskandar, Lambhuk, Banda Aceh.

“Kami justru mendengar dia menjadi Panwaslih dari warga di sana. Karena itu kami keluarkan kebijakan untuk wartawan yang jadi anggota Panwaslih non aktif dulu,” ujar Iskandar.

Aminsyah, wartawan Rajapost di Kutacane, terpilih jadi ketua Panwaslih setempat. Begitu pula Jufrianto, wartawan mingguan itu yang bertugas di Takengon.

“Bangga juga ada dua wartawan Rajapost menjadi ketua Panwaslih. Dan kami mendukung mereka sebagai pengontrol dalam pilkada ini,” ujar Ramadan, pemimpin redaksi Rajapost.

Almarhum wartawan kawakan yang pernah menjadi redaktur eksekutif harian New York Times Abraham Michael Rosenthal bukan hanya melarang wartawannya mencari dan menulis advertorial. Abe, begitu panggilannya, melarang seorang wartawannya ketika memohon ikut bergabung dalam demonstrasi yang harus diliput si wartawan itu.

“OK, the rule is, you can [make love to] an elephant if you want to, but if you do you can’t cover the circus,” ujar Abe.

Dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih, “Oke, peraturannya adalah kamu boleh [meniduri] seekor gajah kalau kamu mau, tapi jika kamu lakukan itu kamu tidak boleh meliput sirkusnya.”

Kalimat Abe menjadi populer di kalangan wartawan Amerika Serikat, dan dikenal sebagai ‘Hukum Rosenthal’. Tapi tak sama dengan Amerika. Aceh juga bukan New York .

Di Aceh pekerjaan wartawan bisa menjadi batu loncatan sebelum benar-benar dapat posisi di jalur politik. Kesempatan di dunia politik juga terbuka ketika wartawan dekat dengan politisi yang semula jadi narasumber mereka. Karenanya, tidak sedikit wartawan yang pada akhirnya terjun ke politik.

Mereka, menurut Iskandar, menganggap pekerjaan wartawan sebagai pekerjaan sampingan. ”Setelah jadi wartawan dan punya nama, lalu terjun ke politik praktis,” katanya.

“Bagaimana dengan Anda sendiri?” tanya saya.

“Saya belum tertarik.”*

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang