Uang Mengalir Sampai Jauh

Ayi Jufridar

Fri, 13 October 2006

Sebagian besar poster, spanduk, dan stiker untuk kebutuhan Pilkada dicetak di Jakarta. Pengusaha lokal merasa diabaikan.

MASA kampanye pemilihan kepala daerah atau disingkat Pilkada di Aceh baru dimulai akhir November sampai awal Desember mendatang. Tapi aromanya sudah menyebar ke 21 kabupaten atau kota.

Gambar pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota sudah terpampang di mana-mana. Di baliho, di  poster, di spanduk, di umbul-umbul, sampai di stiker-stiker kecil yang ditempel di tiang listrik dan jembatan.

Hampir tak ada kabupaten atau kota di Aceh yang bebas dari wajah-wajah para calon pemimpin itu, termasuk Bireuen. Kabupaten ini baru akan menggelar pemilihan bupati dan wakil bupati pada 2007 dan sebagai gantinya gambar pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menyemarakkan Bireuen. Dengan 233.230 calon pemilih, wajar saja Bireuen dijadikan sasaran kampanye.

Bireuen juga strategis dari sisi geografi. Selain menjadi pintu masuk bagi Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, juga menjadi daerah lintasan dari dan ke Banda Aceh, ibukota provinsi.

Pemandangan di Lhokseumawe lebih riuh lagi. Gambar pasangan calon kepala daerah banyak terdapat di Cunda yang merupakan pintu gerbang menuju Kota Lhokseumawe. Di situ penuh wajah calon gubernur dan wakil gubernur Aceh serta calon walikota dan wakil walikota Lhokseumawe.

Sebelum Lhoksukon jadi ibukota Aceh Utara, Lhokseumawe adalah ibukotanya. Jadi jangan heran bila Anda juga menemukan gambar calon pasangan bupati dan wakil bupati Aceh Utara di Lhokseumawe, meski warga kota itu tak akan menggunakan hak pilihnya di Aceh Utara. Mungkin, si calon lupa atau cuma ingin bernostalgia atau setor muka pada mantan warganya.

Para calon pemimpin itu pun pandai memanfaatkan situasi. Menjelang Maulid Nabi Muhammad, mereka ramai-ramai memasang spanduk dengan tema Maulid Nabi, seperti “Rasulullah Merupakan Teladan Para Pemimpin”. Memasuki bulan Ramadhan, mereka pun ramai-ramai memasang spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di setiap sudut kota. Dan hampir dapat dipastikan, sebentar lagi spanduk selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriah akan memenuhi jalan-jalan di seluruh Aceh.

Berapa uang yang dikeluarkan untuk seluruh atribut dan kebutuhan Pilkada ini? Berapa biaya mencetak spanduk atau baliho? Di mana mencetaknya? Ini jadi pertanyaan selanjutnya.

Pilkada di Aceh akan jadi Pilkada terbesar di Indonesia. Sembilan belas kabupaten atau kota akan terlibat ditambah satu provinsi. Perputaran uang untuk peristiwa ini seharusnya mampu menggerakkan roda perekonomian daerah.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh melaporkan sudah Rp 17 miliar dana yang cair untuk tahap verifikasi faktual. Ketika memasuki proses pencetakan logistik, tentu dana yang keluar akan lebih banyak lagi.

Sebagai gambaran, total dana pilkada di Kota Lhokseumawe untuk tiga kecamatan mencapai Rp 5,3 miliar. Sedangkan Aceh Utara dengan 22 kecamatan, total anggaran Pilkadanya mencapai Rp 16,666 miliar. Dengan anggaran sebesar itu, tentunya jumlah dana Pilkada di Aceh mencapai ratusan miliar rupiah. Tentunya tidak semuanya untuk logistik. Operasional dan pengamanan juga memerlukan dana besar.

Selain KIP, 145 calon pasangan pemimpin itu pun punya anggaran sendiri untuk pembuatan kebutuhan Pilkada.

Namun, Humam Hamid, bakal calon gubernur yang diusung Partai Persatuan Pembangunan menyatakan tidak tahu pasti jumlah anggarannya. Poster, stiker, atau spanduk bergambar dirinya dan Hasbi Abdullah dibuat oleh tim sukses serta rekan-rekannya. Dicetak di Jakarta. Bahkan, beberapa di antara atribut itu dibuat dan dipasang tanpa sepengetahuan dirinya.

“Saya sama sekali tidak keluarkan uang. Kalau ditanya kenapa tidak mencetak di Aceh, saya tidak bisa pastikan karena itu kebaikan kawan. Tapi kalau membuat sendiri, tentu saya pilih di Aceh agar uangnya tidak lari ke luar,” tutur Humam ketika saya hubungi melalui telepon pada hari Minggu, 8 Oktober lalu.

Pasangan Humam Hamid dan Hasbi Adullah termasuk pasangan yang paling banyak memasang gambar mereka di seluruh Aceh dan dalam berbagai bentuk.

Di Aceh Utara, Ibrahim Ali Syech, ketua tim sukses pasangan calon bupati Tarmizi A. Karim dan calon wakil bupati Teungku Amirullah M. Diyah, menyebutkan mereka membelanjakan uang sekitar Rp 200 juta sampai Rp 400 juta untuk mencetak poster.

“Kami cetak di Medan dan Jakarta. Selain harganya murah, mutunya pun lebih terjamin,” ujar lelaki yang akrab disapa Ibras ini.

Mengapa di Medan? Mengapa tidak di Aceh agar uang tersebut tetap beredar di daerah?

“Maunya kami juga begitu. Tapi nggak ada percetakan di Aceh yang mampu mencetak poster dengan bahan kertas luks,” katanya.

Tapi dia mencetak spanduk di Aceh. “Pilihan kami biro reklame yang ada di Aceh Utara,” tambah Ibras.

Armia Ibrahim, calon wakil walikota Lhokseumawe yang diusung Partai Amanat Nasional, memprioritaskan biro reklame atau percetakan di daerah untuk membuat atribut.

“Sejauh ini, semua atribut itu kami buat di Lhokseumawe. Sebisa mungkin, semua atribut kami cetak di Lhokseumawe,” ungkap Armia. Dia mantan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Utara.

Membuat atribut di luar Aceh ternyata tidak hanya dilakukan peserta pilkada. KIP selaku penyelenggara, juga memilih Jakarta. Untuk giant banner  atau spanduk raksasa, masih bisa dimaafkan bila dibuat di Jakarta karena belum ada biro reklame di Aceh yang mampu. Tapi untuk spanduk, KIP provinsi juga mencetaknya di Jakarta.

Spanduk, poster, dan leaflet dicetak untuk kebutuhan seluruh Aceh. Proyek itu didukung sejumlah dana luar negeri. Di Aceh Utara, jumlah spanduk yang diterima sebanyak 223 lembar dan satu lembar spanduk raksasa. Selain itu, ada 1.640 lembar poster dan 2.450 lembar leaflet. Jumlah yang diterima kabupaten atau kota, bervariasi sesuai dengan jumlah kecamatan yang ada. 

Bisa dibuat hitungan kasar untuk mengetahui anggaran yang dilarikan ke Jakarta untuk itu. Harga standar spanduk Rp 150 ribu per lembar, sementara leaflet dan poster tergantung jumlah warna dan kuantitas barang. Semakin banyak yang dicetak, maka semakin murah harga per satuan. Untuk spanduk saja sudah menghabiskan dana Rp 33 juta lebih. Itu baru Aceh Utara saja. Bayangkan saja, ada 21 kabupaten atau kota yang menerima atribut semacam itu. KIP Provinsi Aceh menggunakan jasa percetakan Bamboe Doea Communications di Jakarta Timur.

Artinya, seluruh uang itu mengalir ke Jakarta.

“SAMPAI sekarang kami belum dapat order apa pun yang berhubungan dengan Pilkada,” ujar Muslem Agus, pemilik Studio Bungong Keupula di Lhokseumawe, Aceh Utara.

Padahal dia sudah melakukan pendekatan ke delapan pasangan yang akan berlaga di Pilkada.

“Pak Haji Armia dan Pak Tarmizi pernah berjanji akan membuat pada saya.  Tapi sampai sekarang belum juga ada order,” lanjut Agus.

Agus setuju bahwa percetakan di Medan dan Jakarta lebih unggul. Harga miring, tapi kualitas terjamin. Namun, bukan berarti para peserta Pilkada dapat mengabaikan percetakan lokal begitu saja.

“Jangan lupa, kami ini juga pemilih. Mereka akan menjadi pemimpin kami nanti. Kalau sekarang saja mereka tidak menunjukkan komitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, apalagi kalau sudah terpilih nanti,” katanya.

Cara kerja Agus dan teman-teman juga masih manual, termasuk untuk membuat spanduk raksasa. Di Medan dan Jakarta, spanduk raksasa dirancang komputer.

“Pekerjaan kami lebih pada seni melukis wajah. Kalau kerja seni, ‘kan tidak bisa dinilai dengan rupiah. Beda dengan kerja komputer.”

Andrea Zulfa dari Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, menganggap wajar bila pasangan bakal calon kepala daerah atau tim sukses mereka memilih mencetak atribut di luar Aceh. Apalagi mereka menuntut harga murah dan kualitas tinggi, selain kemampuan memenuhi tenggat waktu yang sempit. Dia menyarankan agar pengusaha lokal meningkatkan mutu dagangannya.

“Kalau kualitas setara, tanpa diminta pun order akan datang sendiri,” katanya.

Tapi Andre berharap peserta Pilkada juga memperhatikan nasib pengusaha lokal. Mencetak atribut Pilkada di luar Aceh tidak efisien dari segi ekonomi.

“Praktek awal yang didasar inefisiensi akan berlanjut dengan model pelaksanaan roda pemerintahan dengan cara sama,” tuturnya.

*) Ayi Jufridar adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe. Dia juga anggota Komite Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh.

kembali keatas

by:Ayi Jufridar