Manipulasi Ala Panti

Muhammad Nasir

Fri, 13 October 2006

Pemerintah daerah Aceh Utara memberikan dana ke panti-panti asuhan. Tapi sebagian dana digunakan pemimpin panti untuk diri-sendiri. Ada juga yang curiga dana justru dipotong oleh badan penyalurnya.

MAHYEDDIN duduk beralas tikar plastik koyak, bersandar pada dinding papan. Bercelana panjang, dada telanjang. Usia 16 tahun.

Di hadapannya televisi 21 inchi menyala. Perhatian Mahyeddin terpusat pada siaran khusus Ramadhan yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta itu. Hanya sesekali dia memandang keluar ruangan, ke halaman kompleks panti asuhan dan bilik-bilik.

Suasana lengang di luar sana. Semua pintu bilik dan balai-balai tertutup. Hanya pintu ruangan tempat Mahyeddin menonton televisi yang terbuka. Di situ dia bersama dua teman sesama anak panti, Wahyudi dan Fiki. Masing-masing berusia 17 dan 15.

“Ya, Bang, sejak dua hari sebelum puasa semua pulang kampung. Hanya kami bertiga yang tetap di sini, karena rumah kami dekat panti,” kata Mahyeddin pada saya di akhir September lalu.

Dia menghuni Panti Asuhan Dayah Nurul Iklas sejak tahun 2002. Panti ini terletak di desa Cempedak, kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara.  Waktu itu dia masih duduk di bangku kelas lima madrasah ibtidayah atau sekolah dasar. Orang tuanya tergolong miskin, sehingga dia harus rela tinggal di panti untuk meneruskan sekolah sekaligus belajar agama.

Mahyeddin, Wahyudi dan Fiki tidur di ruangan ini. Di situ kasur-kasur busa tanpa seprei berserak di lantai semen. Sebagian nampak kecoklatan akibat debu dan keringat.

Wahyudi tergolek di atas kasur busa itu, berselimut sarung. Matanya tertuju pada televisi.

“Ini satu-satunya teve milik panti, ditempatkan di ruangan ini karena ruangannya lebih luas sehingga bisa ditonton banyak orang,” kata Wahyudi.

Dia tinggal di panti sejak dua tahun lalu, dan kini belajar di sekolah menengah umum (SMU).

Berbeda dengan Wahyudi, Mahyeddin memilih jalur sekolah agama. Dia kini murid madrasah tsanawiyah, setingkat sekolah menengah umum. Tapi, nasib Fiki tak seberuntung dua temannya.  Dia tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (SMP).

“Tidak ada biaya. Dulu pihak panti berjanji mencukupi biaya sekolah hingga tamat SMU,” kata Fiki.

Janji tinggal janji. Kenyataannya, Fiki kini bekerja sebagai pesuruh panti. Dia sering bertugas membeli kebutuhan para santri. Dia harus mengayuh sepedanya sejauh dua kilometer untuk membeli obat nyamuk, peralatan mandi, dan sebagainya di kedai.

“Waktu masih sekolah, semua biaya sekolah ditanggung sendiri, “ kata Fiki.

“Semua biaya sekolah, SPP (uang sekolah), uang jajan, beli baju seragam, dan buku-buku ditanggung oleh orang tua sendiri. Kitab kuning untuk pengajian juga beli sendiri,” timpal Mahyeddin.

Sekitar dua tahun lalu kadang dia diberi uang jajan Rp 500 per hari oleh panti. Tapi sering hanya seminggu sekali.

“Sekarang tak pernah lagi dapat uang jajan,” kata Wahyudi. Beruntung pada tahun ajaran baru yang lalu, mereka mendapat bantuan baju seragam, tas serta buku tulis dari Palang Merah Indonesia atau PMI Aceh Utara.

“Tahun lalu kami juga diberi uang Rp 300 ribu oleh pengurus panti. Katanya uang beasiswa,” ujar Wahyudi lagi.

Anak-anak itu sedikit bersyukur, karena masih bisa makan gratis di panti. Tiga kali sehari tukang masak menyajikan makanan untuk 44 anak yang tinggal di situ. Menu amat sederhana dan rutin. Ikan asin, sayur bayam, atau kol. Jatah ikan basah hanya seminggu sekali.

Bila anak-anak terserang penyakit, panti tidak mengeluarkan dana untuk mengobati mereka.

“Kalau sakit, kami beli obat sendiri. Kalau sakit parah dijemput orang tua atau famili.”

Suatu hari ada anak terserang malaria dan dia harus pulang ke rumah keluarganya. Panti Nurul Iklas terletak di pedalaman, dikelilingi semak-semak, tempat bersarang nyamuk hutan.

Nasib serupa dialami anak-anak yang menetap di Dayah Al Hasani, di desa Jrat Manyang, kecamatan Tanah Pasir. Anak-anak di sini seluruhnya korban tsunami, yang terpaksa menetap di dayah untuk bisa menyambung sekolah sekaligus belajar agama. Mereka harus menanggung sendiri seluruh biaya hidup mereka, seperti kebutuhan makan, beli seragam, buku, jajan, dan biaya sekolah.

Ramli, misalnya, telah menetap di dayah ini beberapa hari usai tsunami.  Bulan-bulan pertama remaja 16 tahun ini bisa makan gratis. Sebab makanan didatangkan dari posko tsunami di kantor kecamatan. Bantuan untuk biaya sekolah juga ada.

Tapi itu tak lama. “Lebih setahun terakhir tidak ada lagi bantuan makanan. Kami masak sendiri,  biaya makan dan sekolah diberikan oleh orang tua,” kata Ramli.

Munir pun menyatakan hal serupa. Dia berusia 15 tahun dan murid sebuah SMU. Kendati kesulitan biaya dia tetap semangat bersekolah dan mengikuti pengajian dayah.

“Dulu pernah diberi uang jajan oleh pimpinan dayah Rp 2.000 sampai Rp. 3.000 seminggu sekali. Namun dalam tahun ini belum pernah mendapat bantuan tersebut,” ujarnya.

“Padahal kami dengar-dengar ada bantuan beasiswa untuk santri. Pakaian sekolah juga kami beli sendiri,” cetus Iskandar, yang juga santri di Dayah Al Hasani.

Nasib agak berbeda dialami Sulaiman. Pemuda 20 tahun ini mencoba mencukupi biaya makannya dengan berkebun cabai bersama dua teman sesama santri. Luas kebun sekitar 5 rante (1 rante = 400 meter persegi). Dia mendapat pinjaman modal dari pemimpin dayah, lebih dari Rp 3 juta. Syaratnya, setelah panen nanti modal dikembalikan lagi kepada dayah. Sulaiman kerap mempekerjakan santri-santri lain untuk mengurus kebun dengan membayar upah yang wajar kepada mereka. “Dengan cara begini para santri sedikit terbantu,” kata Sulaiman.

Kehidupan anak-anak Panti Miftahul Jannah di desa Tambon Tunong, kecamatan Dewantara, Aceh Utara, sedikit lumayan dibanding dua panti sebelumnya. Selain bisa makan gratis dengan menu berganti-ganti, rutinitas mereka juga lebih terkontrol dan terjaga, karena tinggal serumah dengan pemilik panti.

“Bunda selalu mengawasi, saat berangkat sekolah, mengikuti pengajian juga waktu makan,” kata Anasiyah. Dia berusia 14 tahun. Kedua orangtuanya meninggal ketika tsunami.

Bunda yang dia maksud adalah Cut Rosna, perempuan setengah baya pemimpin panti.

Selain rutinitas sekolah dan pengajian, anak-anak diajarkan kesenian seperti tarian ‘Poh Kipah’ pada sore hari serta wirid Surah Yasin beramai-ramai setiap usai Subuh.

Namun, sarana panti tetap terbatas. Anak laki-laki tidur beralas tikar plastik. Hanya sebagian anak perempuan kebagian kamar di rumah pemilik panti. Lainnya mengisi bilik-bilik kayu di sisi rumah.

Anak-anak panti ini beragam usia, mulai usia SD, SMP hingga SMU. Mereka pernah dapat seragam sekolah dan alat-alat tulis saat tahun ajaran baru. Uang jajan Rp 1000 diberi seminggu sekali. Uang kontan dalam bentuk beasiswa tidak pernah diterima.

Rosna membenarkan penuturan para anak asuhnya. Dia berterus-terang kewalahan membiayai 74 anak. Mereka semuanya masih bersekolah. Dia pernah mendatangi berbagai lembaga bantuan, tapi tidak ada yang mau membantu. Dia juga pernah memohon bantuan ke Dinas Sosial Provinsi Aceh, namun terlambat mengajukan proposal.

“Karena terlambat, mungkin baru bisa dibantu Dinsos nanti tahun 2007,” tuturnya.

Secara pribadi kehidupan keluarga Cut Rosna boleh dibilang berkecukupan. Rumahnya tak kalah mentereng dengan rumah-rumah warga sekitar. Rumah itu berlantai keramik memiliki lima kamar tidur serta perabotan mewah. Keluarga itu juga memiliki mobil pribadi. Cut Rosna sendiri dikenal luas warga kecamatan Dewantara karena sering mengisi ceramah di berbagai majlis taqlim.  Dia juga sempat menjadi calon legislatif Partai Golongan Karya untuk merebut kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh Utara pada pemilihan umum tahun 2004.

Dia menghabiskan Rp 125 juta untuk kampanye. Menurut Rosna, uang itu adalah uang pribadinya. Namun suara yang diperoleh tidak mencapai kuota untuk memperoleh kursi dewan.

Dia mendirikan panti asukan bukan untuk menarik simpati warga. Yayasan itu awalnya balai pengajian yang didirikan orang tuanya pada 1986.  Jumlah santri pernah mencapai 800-an sebelum tahun 1999, puncak eksodus akibat konflik keamanan. Waktu itu sebagian besar biaya operasional dan honorarium guru ditanggung keluarga Rosna.  Sebagai karyawan pabrik pupuk PT. Asean Aceh Fertilizer (AAF), Syamsuddin, suami Rosna, mempunyai gaji lumayan untuk menghidupkan balai. Rosna bekerja sebagai pengajar madrasah diniyah di kompleks perumahan PT. AAF, juga dengan gaji lumayan.

Setelah keduanya diberhentikan kerja tiga tahun lalu,  Rosna pernah hendak menutup kegiatan balai pengajian karena kesulitan biaya. Atas saran seorang sahabat, dia kemudian membentuk yayasan. Dengan berbadan hukum, diharapkan lebih mudah mendapat bantuan dari donatur maupun pemerintah. Pasca tsunami dibentuklah Yayasan Panti Asuhan Miftahul Jannah.

Awal-awal bencana tsunami panti ini mendapat mandat dari Nahdhatul Ulama (NU) di Aceh.  Panti diminta mengasuh anak-anak korban tsunami yang nantinya akan dibiayai NU. Atas saran tersebut, Rosna mengambil dan mengasuh 50 anak yatim korban tsunami dari berbagai kecamatan di Aceh Utara.

Hingga saat ini Miftahul Jannah telah menerima kucuran bantuan NU, masing-masing Rp 3 juta pada 20 November 2005, Rp 1,5 juta pada 9 Januari 2006 dan Rp 3 juta pada 7 Maret 2006. Dana ini dianjurkan untuk biaya makan dan uang jajan serta ujang sekolah anak-anak.

Menurut Rosna, bantuan lain pernah diterima pantinya dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias. Dana sebesar Rp 16 juta ini dikirim via kantor pos. Untuk beasiswa anak-anak panti. Namun, dana tersebut telah digunakannya untuk pengadaan seragam sekolah, uang jajan, dan biaya makan sehari-hari anak-anak tersebut.

Pemerintah kabupaten Aceh Utara ikut membantu biaya makan anak-anak yang disalurkan melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Bina Sosial atau PMBS. Jumlahnya Rp 36,2 juta.

“Bantuan bersumber dana APBD tahun 2006 ini diperuntukkan bagi 25 anak. Juga bantuan uang untuk membeli daging meugang jelang Ramadhan Rp 250 ribu,” katanya.

Namun, Kepala Dinas PMBS Aceh Utara Ridwan Hasansyah membantah hanya mengucurkan bantuan untuk 25 anak di Miftahul Jannah.

“Yang benar 30 anak Rp 44,16 juta,” tegas Ridwan, ketika saya melakukan konfirmasi.

Panti ini memiliki sistem administrasi lengkap, tapi Rosna enggan memperlihatkan data keuangan panti. Dia juga tidak mau berkomentar tentang pernyataan Ridwan. Dia khawatir akan di-blacklist dan tidak akan mendapat bantuan lagi tahun depan.

AROMA penyelewengan uang panti tak hanya terjadi di lembaga pemerintah, tapi juga tercium dari dalam panti sendiri. Panti Nurul Ikhlas, salah satu contoh.

Salah seorang pengurus panti, Syarifuddin, mengatakan ia tidak banyak tahu soal keuangan dan bantuan.

“Pimpinan mengelola sendiri keuangan panti, sehingga saya tidak tahu apakah ia mendapat bantuan atau tidak, dan berapa nilainya saya tidak tahu,” ungkap Syarifuddin.

Pemimpin panti hanya menjawab keingintahuannya bila dia mendesak. Dia jadi sering beradu mulut dengan pemimpin panti soal keuangan.

“Tidak transparan. Misalnya  bantuan dari BRR akhir tahun lalu untuk jatah beasiswa. Pimpinan hanya memberikan Rp 13,2 juta untuk dibagikan ke 44 anak, sehingga tiap anak hanya dapat Rp 300 ribu. Padahal panti-panti lainnya dapat Rp 530 ribu per anak. Artinya dana bantuan BRR mencapai Rp 23,32 juta,” katanya.

Teungku Ibrahim, pemimpin panti, hanya sebulan sekali berkunjung ke Nurul Ikhlas. Dia tinggal sekitar lima kilometer dari panti, tepatnya di desa Blang Weu di lintasan jalan kecamatan menuju Lhokseumawe.

“Ya, kalau perlu kami yang ke rumah beliau. Pak Ibrahim jarang ke sini, paling sebulan sekali,” kata Mahyeddin.

Syarifuddin mengatakan, kehidupan Teungku Ibrahim berubah mencolok sejak mendirikan panti asuhan tahun 2002. Dulu rumahnya baru setengah jadi. Batu bata belum diplester. Daun jendela belum terpasang. Halaman sempit. Waktu itu Ibrahim masih rajin ke panti. Seminggu kadang dua sampai tiga kali. Dia masih naik sepeda motor keluaran tahun 1990-an.

Lain dulu, lain sekarang. Saat ini rumah Ibrahim tampak mencolok di antara rumah-rumah lainnya di desa Blang Weu. Rumah permanen berteras indah dengan halaman luas. Di situ juga kerap parkir mobil pribadi miliknya.

Teungku Ibrahim membantah dianggap makan uang bantuan untuk anak yatim.

“Rumah saya bangun bukan dari uang itu. Memang ada yang iri melihat saya bisa bangun rumah, dan sekarang beli mobil. Saya bekerja sebagai pegawai negeri. Gaji saya lebih Rp 2 juta sebulan,” kilahnya.

Menurut dia, bantuan BRR untuk beasiswa dikirim melalui kantor pos dan diterima langsung oleh anak-anak.

’Tidak benar telah saya potong. Begitu juga bantuan biaya makan santri Rp 36,2 juta dari Dinas PMBS untuk jatah 25 anak. Dana ini telah dipakai untuk kebutuhan makan sehari-hari,” katanya.

Namun, Ibrahim tak bersedia menyebutkan bantuan-bantuan lain yang pernah diterimanya.

Teungku Nasruan Rasyid, pemimpin Dayah Al Hasani, menyebutkan bahwa bantuan dana diperolehnya dari berbagai pihak, termasuk ExxonMobil. Perusahaan yang mengeksplorasi gas alam cair ini memberi dana untuk membangun sembilan bilik permanen.

“PT. Arun membantu  satu unit balai. Dinas Syariat Islam Aceh Utara membangun empat unit bilik permanen,” tandasnya.

“Namun, tahun ini belum ada bantuan  yang masuk, baik untuk anak-anak maupun bangunan fisik,” lanjutnya.

Benarkah begitu?

Nasruan terkejut ketika dia ditanya soal bantuan Rp 85, 376 juta dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Akhirnya, dia mengakui pernah menerima bantuan tersebut.

Berhubung bantuan tersebut tidak memerinci tujuannya, Nasruan menggunakan uang tersebut sesuka hatinya.

“Akhirnya saya pakai untuk pengadaan kitab-kitab kuning, membeli ranjang tempat tidur, lemari, serta sedikit untuk biaya membangun balai.”

Dayah ini memiliki 14 orang guru. Honor mereka dibayar Dinas Syariat Islam Rp, sebesar 200.000 per bulan.

Nasrullah dan Syarjani, dua guru dayah, membenarkan pernah menerima honorarium Rp 1,2 juta untuk jatah enam bulan dibayar tahun lalu oleh Dinas Syariat Islam melalui pemimpin dayah.

“Namun tahun ini baru terima Rp 800 ribu, kendati telah memasuki bulan September. Kami tidak pernah terima tunjangan honor dari lembaga lain. Dengan-dengar memang ada dari Dinas PMBS dan dari BRR,” kata Syarjani.

Teungku Nasruan Rasyid juga dipercaya sebagai Koordinator Dayah dan Balai Pengajian Kecamatan Tanah Pasir. Dia menempati rumah semi permanen berukuran 5 x 10 meter persegi. Rumah berdinding papan itu berlantai semen yang dilapisi karpet plastik. Terasnya yang sempit beratap seng. Di situ terdapat bangku-bangku dan sebuah meja besar. Nasruan biasa menerima tamu-tamu di situ. Di dinding teras terdapat rak buku. Puluhan kitab kuning tampak tunggang langgang di situ, tak ditata rapi.

“Kitab-kitab ini di antaranya saya beli dengan uang bantuan untuk santri,” ujar Nasruan, sembari memperlihatkan lima buah kitab yang masih terbalut plastik.

Kepala Dinas PMBS Aceh Utara, Ridwan Hasansyah, mengatakan bantuan untuk anak-anak panti asuhan dan dayah tertera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh Utara tahun lalu. Penyalurannya dilakukan akhir 2005 hingga awal 2006. Jumlah anak korban tsunami dan konflik penghuni dayah dan panti yang dibantu mencapai 2.225 orang dengan nilai bantuan Rp 3,275 milyar lebih. Mereka tersebar di berbagai panti asuhan dan dayah yang ada di daerah itu.

Menurut Ridwan, bantuan diberikan dalam bentuk uang kontan melalui pemimpin masing-masing panti. Peruntukannya sebagai bantuan biaya makan serta tunjangan kesehatan anak-anak korban tsunami dan konflik. Dayah Al Hasani mendapat bantuan Rp 85,376 juta untuk jatah 58 santri, Panti Nurul Ikhlas Rp 36,2 juta untuk 25 santri, dan Panti Miftahul Jannah Rp 44,16 juta untuk 30 santri.

Begitu juga honorarium untuk guru. Jumlahnya berbeda-beda tiap panti, sesuai jumlah guru yang ada. Al Hasani mendapat Rp 3 juta, Nurul Ikhlas 4 juta, dan Miftahul Jannah Rp 2,25 juta.

“Semua bantuan disalurkan penuh, tanpa ada pemotongan. Juga ada petunjuk penggunaan. Jika kemudian terjadi penyalahgunaan oleh pimpinan panti, itu adalah tanggung jawab pimpinan panti, terlepas dari Dinas,” kata Ridwan.

 

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir