SUATU hari di pertengahan tahun 2005, seorang warga datang ke dayah Bustanul Huda. Ia menceritakan masalah keluarganya kepada Teungku Haji Muhammad Ali atau Abu Paya Pasie, sang pemimpin dayah. Ia mengadukan kehamilan anak perempuannya yang terjadi di luar nikah. Lebih celaka lagi, si laki-laki tak mau bertanggung jawab dan kabur. Tentu saja, peristiwa ini merupakan aib besar bagi keluarganya. Ia merasa berdosa tak mampu menjaga martabat putrinya. Ia ingin sang teungku membantu lewat doa agar  ia dan keluarganya lepas dari malapetaka. Sejumlah dewan guru ikut hadir dan tertegun mendengar keluhan ayah yang putus asa itu, termasuk Teungku Ishak.

“Pue geutanyoe jeut ta iem droe, Abu? (apakah kita cukup berdiam diri, Abu?),” tanya Ishak pada sang guru, setelah warga tadi pergi.

Abu Paya Pasie tak menjawab.  Namun, Ishak tak menyerah, “Syariat sudah lama diterapkan di Aceh, tapi maksiat makin menjadi-jadi. Tidak usah jauh, di sekitar dayah saja hampir setiap hari kita lihat berselemak maksiat. Pue mantong jeut ta iem droe, Abu? (apakah masih terus berdiam diri, Abu?).”

Akhirnya Abu Paya Pasie berkata, “Ta saba, ta saba… (bersabarlah, bersabarlah).”

Bustanul Huda terletak di desa Alue Cek Doi, kecamatan Julok, Aceh Timur. Keberadaan dayah ini cukup mencolok di perkampungan yang lumayan jarang penduduk. Sebelah kiri dayah berbatasan dengan pebukitan rendah yang dikelilingi rimbunan semak di kakinya, Buket Leusong.

Di ujung timur bukit, sekitar  400 meter dari kompleks dayah, sewaktu konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM masih berlangsung, sebuah pos keamanan milik Tentara Nasional Indonesia berdiri di situ. Silih-berganti pasukan dari berbagai kesatuan menempati pos itu. Mereka berasal dari Komando Pasukan Khusus, Komando Strategi Angkatan Darat atau Kostrad, Marinir, Brigadir Mobil dan tim Gegana. Mayat warga sering ditemukan di semak-semak di seberang pos.

Di saat konflik keamanan memuncak, jumlah santri dayah justru meningkat. Pada tahun ajaran 2003/2004 jumlah santri mencapai 750 orang. Mereka datang dari berbagai kabupaten di Aceh, tetapi kebanyakan asal Aceh Utara, Bireuen dan Aceh Timur.

Dayah termasuk salah satu pilihan tempat aman dari hingar-bingar konflik. Para remaja lulusan sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas memilih masuk dayah daripada tinggal di kampung mereka. Ketika status darurat militer diberlakukan di Aceh pada pertengahan tahun 2003, dayah-dayah tertentu mengalami booming santri, termasuk Bustanul Huda. Kini ia dikenal sebagai dayah dengan jumlah santri terbesar di Aceh Timur.

Dayah tradisional seperti Bustanul Huda tidak memiliki acuan ketat dalam menyeleksi calon santri. Siapa pun bisa diterima. Biasanya anak-anak muda itu diantar  sendiri oleh orang tua mereka.

Teungku rangkang atau koordinator santri akan mencatat identitas calon santri, setelah itu ia memberi mereka pengenalan singkat tentang tata tertib dayah. Calon santri asal luar daerah diberi bilik tinggal. Sejak hari itu pula mereka resmi jadi penghuni dayah dan mulai mengikuti pengajian. Pelajaran dakwah dilaksanakan  tiap hari Kamis malam di mushola dayah.

MENJELANG maghrib, 3 Desember 2005, rombongan santri, dewan guru, dan Abu Paya Pasie dalam perjalanan pulang dari urusan dakwah di Medan. Setiba di Kuta Binjei,  kecamatan Julok, Aceh Timur, Abu melihat tanda-tanda akan ada keramaian di lapangan kecamatan. Dua unit komedi putar sudah terpasang di situ. Sebuah bangunan bulat yang disebut “tong setan” juga sudah berdiri.

Ini pasar malam pertama di Kuta Binjei setelah terjalin perdamaian antara pemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus tahun lalu.

“Maunya kita juga ikut datang malam nanti,” ujar Abu Paya Pasie, tiba-tiba.

Seluruh isi mobil tersentak.

“Lihat pasar malam? Untuk apa, Abu?” tanya Ishak.

“Untuk berzikir dan berdoa.”

Malam itu usai shalat Isya, sebuah pikap berisi para santri bergerak dari Alue Cek Doi ke Kuta Binjei. Belasan sepeda motor mengiringi di belakang.

Tak sampai 20 menit, rombongan tiba dekat lokasi pasar malam. Pengunjung sudah ramai. Sebagian besar remaja, laki-laki maupun perempuan. Mereka haus hiburan setelah bertahun-tahun perang dan mengalami trauma.

“Waqul jaa al haqqu wazahaqal baathil. Innal baathila kaana zahuuqa….” Suara itu terdengar berulang-ulang.

Para pengunjung di lapangan saling pandang, kemudian beberapa orang langsung meninggalkan lapangan. Ayat tersebut adalah ayat pengusir setan atau penolak bala.

Tak berapa lama terdengar lagi alunan doa melalui pengeras suara, masih berbahasa Arab. Perlahan-lahan suasana lapangan pun lengang. Panitia pelaksana pasar malam bahkan tak menampakkan diri. Hingga pukul sebelas malam, tak ada tanda-tanda  keramaian akan berlanjut. Akhirnya rombongan dayah menyudahi misi.

Tiba-tiba mereka dicegat seorang pemuda tertubuh tegap. Ia mengenalkan diri sebagai petugas intelijen dari kepolisian resot Aceh Timur.

“Kalau untuk memberantas maksiat saya ikut mendukung. Cuma kegiatan kalian tidak mengantongi izin,” kata si petugas.

“Apakah dakwah harus minta izin polisi?” tukas Ishak.

Inilah aksi pertama dayah Bustanul Huda. Ishak khawatir pasar malam memberi peluang bagi pelaku maksiat.

“Okelah di arena pasar malam tidak ada yang berani maksiat, sepulang dari situ siapa tahu. Keramaian malam hari selalu dekat dengan setan,” kata Ishak kepada saya.

Setelah membubarkan pasar malam di Kuta Binjei, secara rutin santri turun ke jalan melakukan razia syariat. Mereka bahkan menggelar razia di jalan negara Medan – Banda Aceh. Target operasi khusus ini adalah penduduk setempat yang dianggap lalai berbusana, seperti para gadis berpakaian ketat atau lelaki bercelana pendek yang melintas di jalan umum. Selain diceramahi tentang aturan berbusana, mereka juga diingatkan agar menghindari perbuatan maksiat.

Banyak pengendara sepeda motor terjaring. Umumnya kaum perempuan. Sebagian tak terima dirazia santri. Mereka mengadu ke aparat. Akibatnya, Ishak dan para santri diperiksa di komando rayon militer Julok. Mereka juga pernah dipanggil Dinas Syariat Islam Aceh Timur.

“Alhamdulillah, mereka bisa terima. Malah Dinas Syariat merasa terbantu, karena belum efektifnya kerja wilayatul hisbah (polisi syariat).”

Setelah memperoleh lampu hijau, pasukan Bustanul Huda kini leluasa melebarkan wilayah operasi. Mereka akan merambah Aceh Utara dan Bireuen. Kedua kabupaten tersebut dipilih, karena sebagian besar santri berasal dari sana.

Namun, Bustanul Huda tidak ingin bergerak sendirian. Dayah ini ingin melibatkan dayah-dayah lain dalam aksi penyelamatan umatnya. Pada 12 April 2006 rapat kecil digelar di Bustanul Huda. Panitia mengundang perwakilan santri dari dayah-dayah di pantai utara dan timur Aceh.

Sebagian utusan dayah menolak terlibat. Mereka tidak setuju jika harus turun ke jalan, karena khawatir mengganggu lalu lintas dan tak mau terlihat takabur, seperti merasa jadi manusia paling bersih dan suci tanpa dosa. Sebagian lagi menolak, karena khawatir kegiatan “ekstra kurikuler” ini bisa mengganggu jadwal belajar santri. Beberapa dayah sepakat bergabung.

Ikatan Persatuan Masyarakat dan Dayah atau IPMD pun dibentuk sebagai tindak lanjut. Program aksi segera dirancang.

IPMD terbukti efektif.  Selama bulan Mei hingga Juni 2006, para santri sukses membubarkan festival karaoke di desa Alue Ie Puteh, kecamatan Baktiya, Aceh Utara, mengusir pengunjung di pemandian Krueng Batee Iliek, Bireuen, dan membubarkan pelancong di pantai Ujong Blang, Lhokseumawe.

MESKI mengenakan pakaian lengkap, celana jins dan kaos lengan panjang, Rahmi nekad berendam di laut. Tubuhnya basah dari ujung kaki sampai ke rambut. Hari itu, Minggu, 25 Juni 2006, ia mengunjungi pantai Ujong Blang bersama dua teman.

Tiba-tiba, dari arah pantai, muncul serombongan pemuda. Mereka berpeci dan sebagian mengenakan jubah serta menutupi wajah dengan kain ridak.

“Ayo… pulang… pulang! Semua bubar!” teriak para pemuda itu.

Rahmi tak menanggapi. Apa hak mereka mengusir orang-orang dari pantai? Ia datang ke pantai untuk menghibur diri, sekedar bergembira. Pantai adalah tempat umum.

Gadis 20 tahun ini tetap berenang. Tapi matanya awas terhadap sekeliling. Beberapa pelancong lain buru-buru ke pantai. Sejumlah remaja putri yang berpakaian sedikit terbuka serta basah kuyup seperti Rahmi tak berani keluar dari air. Mereka terus berendam. Hanya kepala mereka saja yang muncul di permukaan air.

“Ayo bubar! Semuanya harus bubar!” Teriakan itu terdengar berulang-ulang. Tangan pemuda-pemuda itu melambai-lambai ke arah laut.

Mata Rahmi terus memantau gerak mereka.

Puluhan warung atau pondok jualan yang berjajar di sepanjang pantai mendadak sepi. Pelancong terbirit-birit meninggalkan pondok-pondok itu. Rahmi mulai khawatir keadaan memburuk. Ia pun berhenti berenang, bergegas menuju sebuah pondok serta membayar makanan dan minuman yang dibelinya tadi.

Pemilik pondok menenangkan Rahmi, “Jangan takut, Dik. Mereka sudah pergi.” Tapi Rahmi memilih langsung pulang.

Setengah jam berlalu. Serombongan pemuda kini berjubel di atas dua mobil pikap. Sekitar 50 sepeda motor ikut berkonvoi di belakang mobil. Mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Namun, sebagian sepeda motor berbelok ke arah pondok-pondok. Pengendaranya turun, lalu menceramahi pemilik pondok agar mematuhi syariat Islam. Pengunjung yang tersisa diperintahkan bubar.

Beberapa pemilik pondok protes. Mereka tidak setuju “para pendatang” itu mengusir pembeli. “Kami sudah siapkan banyak makanan. Kami rugi besar kalau pengunjung diusir,” kata Yusniati kepada saya. Ia pemilik Pondok Rimbun. Ia menjaga warung itu bersama kakaknya, Laila.

Ismail Usman termasuk yang kesal terhadap kelakuan para pemuda tersebut. Sebagian dari mereka datang ke pondoknya dan meminta pondok ditutup.

“Tapi setelah saya jelaskan di pondok saya tak ada maksiat, mereka percaya dan meninggalkan pondok,” kisah Ismail.

“Tapi mereka terlihat kasar, sehingga beberapa pengunjung takut. Saya rugi karena beberapa pengunjung pergi tanpa sempat membayar harga makanan,” kata Idawati, pemilik Pondok Idola.

Ia bahkan sempat bersitegang dengan seorang pemuda, yang kemudian mengenalkan diri sebagai santri dayah dari Aceh Timur. Idawati dilarang melayani pengunjung yang tidak berbusana muslim.

Tindakan anggota rombongan juga tak sopan. Ada yang tiba-tiba menendang kursi dan meja.

“Apa kalian orang-orang dayah? Datang ke sini untuk rusak-rusak pondok kami?”  seru Rina, pemilik Pondok R & R.

Mendengar teriakan Rina, seorang santri mendekat, “Memangnya ada milik kakak yang rusak? Biar kami ganti!”  Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka menggebrak meja.

“Kami datang ke sini bukan untuk merusak. Kami hanya menyampaikan dakwah untuk memberantas maksiat di pantai Ujong Blang,” kata Teungku Abati, salah seorang guru dari Bustanul Huda, yang ikut memimpin aksi.

Menurut Teungku Fakrurrazi, pengawas lapangan dalam aksi Ujong Blang, mustahil para santri bersikap pongah dan merusak.  “Saya mengontrol secara ketat setiap gerak-gerik santri,” katanya pada saya.

Pantai Ujong Blang dipilih sebagai target operasi berdasarkan laporan para santri. Mereka telah memantau pantai tersebut selama dua minggu.

“Banyak pasangan yang belum menikah datang ke sana, duduk di pondok bermesra-mesraan. Hal itu terjadi tidak di semua pondok. Makanya pondok-pondok tertentu kami perintahkan tutup, kalau tak sanggup mengontrol pengunjung,” kata Fakrurrazi.

Pihak dayah juga melihat ukuran bangku di beberapa pondok sengaja dirancang untuk dua orang. Fakrurrazi menyarankan bangku ini segera diganti dengan kursi biasa yang saling terpisah.

Pada 14 Juni lalu, pemerintah kota Lhokseumawe telah mengirim surat edaran untuk para pemilik pondok tepi pantai. Mereka diizinkan berusaha asal tidak menyediakan tempat bagi pasangan-pasangan tanpa nikah untuk berbuat maksiat. Tindakan para santri menegaskan kembali isi surat itu.

Komandan wilayatul hisbah atau polisi syariat kota Lhokseumawe, Said Zulkarnain, merasa senang dapat bantuan suka rela dari dayah.

“Personil kami terbatas, dengan hanya satu mobil operasional,” kata Said.

Penduduk Lhokseumawe mencapai 160 ribu jiwa dan  tersebar di empat kecamatan, yakni Banda Sakti (pusat kota), Muara Dua, Blang Mangat, dan Muara Satu. Kalau semata-mata mengandalkan tenaga polisi syariat, mustahil bisa menertibkan seluruh kecamatan.

Dukungan untuk pasukan dayah turut diberikan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Lhokseumawe, Anwar Puteh, “Apa yang dilakukan para santri itu merupakan wujud dari menjaga tegaknya syariat. Sejauh tidak dilakukan dengan arogan dan anarkis, mereka patut kita dukung. Islam tidak menganjurkan hal-hal berbau kekerasan.”

Namun, walikota Lhokseumawe, Rahmatsyah, menilai aksi santri dari Aceh Timur itu keterlaluan. Mereka datang jauh-jauh ke Lhokseumawe untuk mengganggu kenyamanan masyarakat. Dengan alasan memberantas maksiat di pantai Ujong Blang, mereka merusak milik pedagang. Padahal pemerintah kota Lhokseumawe telah lama menerapkan syariat Islam sebelum daerah-daerah lain di Aceh menerapkannya.

“Kami punya petugas polisi syariat yang selalu mengontrol para pengunjung Ujong Blang,” kata Rahmatsyah, seperti yang dikutip harian Serambi Indonesia tanggal 27 Juni 2006.

Rahmatsyah boleh saja keberatan, tapi polisi dari dayah terus bergerak. Target operasi mereka bahkan sudah menjalar ke beragam tempat dan usia, bukan cuma pasar malam dan objek wisata, bukan hanya laki-laki dan perempuan dewasa.

Mereka mendatangi acara wisuda taman kanak-kanak Bungong Jeumpa, Kuta Binjei, pada Rabu, 21 Juni 2006.

Siang itu sejumlah anak tengah berjoget di pentas samping kantor kecamatan diiringi musik disko dan India. Mereka mengenakan rok mini, tank top, dan bahkan atasan model bikini. Penampilan anak-anak serta tari-tarian tersebut dianggap  mengundang maksiat. 

“Teungku Abati yang datang ke sana, menyampaikan dakwah singkat, serta melarang kegiatan serupa dilanjutkan,” kisah Ishak kepada saya.

Cara berdakwah yang direstui Bustanul Huda pun berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan penceramah di kampung-kampung. Mereka anti ceramah umum. Ceramah umum biasa dilakukan di malam hari dan di tempat terbuka. Penceramah berdiri di mimbar serta menggunakan pengeras suara.

“Ini metode dakwah yang salah. Kami telah meninggalkan metode ini. Ceramah umum seperti itu lebih banyak mengundang maksiat daripada manfaat bagi umat.”

Ishak juga menambahkan bahwa Nabi Muhammad tidak menganjurkan gaya ceramah umum. Para gadis dan jejaka akan memanfaatkan ceramah tersebut sebagai alasan keluar malam.

“Kalau masih ada yang menggelar dakwah-dakwah seperti itu, kami akan datangi dan memantau. Kalau ditemukan pelanggaran syariat, kami tetap berupaya membubarkannya,” lanjut Ishak.

 

SUMUR itu lebih mirip kolam renang. Diameter mulutnya tujuh meter. Air sumur bersumber dari sumur bor di tengah kompleks dayah. Sekelompok  santri laki-laki sedang mandi. Semua bertelanjang dada. Kain mandi atau basahan menutupi pinggang sampai ke lutut. Di antara mereka yang mandi, beberapa orang terlihat mencuci pakaian, beralas papan dan lantai semen .

Sementara di kejauhan, di rangkang atau pondok kecil dekat gerbang dayah, sejumlah santri tengah berbincang. Ada pula yang duduk-duduk di warung kopi yang tak jauh dari pintu masuk. Kain sarung, peci lobe, selendang ridak. Pakaian tersebut membuat mereka mudah dikenali.

Secara umum, kondisi fisik Bustanul Huda cukup memprihatinkan. Lebih 80 persen bilik santri berdinding kayu yang sudah keropos. Atap yang terbuat dari rumbia itu pun bolong di sana-sini.

“Kalau hujan kami terpaksa berhati-hati,” kata Junaidi, seorang santri. Ia menempati bilik 3 x 4 meter persegi bersama lima santri lain.

Teungku Ishak menempati bilik terpisah di dekat jalan kampung. Bilik ini memiliki teras cukup luas, 2 x 3 meter persegi. Di situ ia biasa menerima tamu. Dalam biliknya ada dua ranjang lajang dan rak buku.

Dalam rak yang merapat ke dinding itu tersusun rapi puluhan kitab. Semua kitab bertulisan huruf Arab Melayu atau pegon. Kitab-kitab ini disebut kitab kuning. Isinya adalah aturan-aturan fiqih yang mengatur hukum syariat. Kitab-kitab ini menjadi acuan kurikulum dayah. Buku bacaan lain atau majalah? Jangan ditanya. Tak ada di situ.

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe

by:Muhammad Nasir