Pemanjat Pinang dari Lubok Kliet

Muhammad Nasir

Mon, 3 April 2006

Kisah warga dusun Lubok Kliet, desa Baree Blang, kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, kembali ke dusun mereka. Pada 1999, dusun ini dibakar oleh sekelompok orang bersenjata. Perdamaian Helsinki memuat mereka kembali.

YUSNANI tertegun. Dia tak yakin bisa kembali ke desa ini. Enam tahun lamanya ia tak berani pulang. Perlahan ditelusurinya jalan setapak yang mengarah ke ujung desa. Di sana, di antara deretan pohon pinang, semak, dan ilalang, ia berdiri termangu. Diterobosnya ilalang setinggi pinggang itu. Dicarinya pertapakan rumahnya yang dulu.

Hanya dua onggokan besi tua berkarat yang tersisa dan menandai tempat tinggalnya. Kerangka sepeda suaminya dan rak piring besi yang tak berbentuk lagi.

“Di sini dulu lokasi dapur,” ujarnya, mengangkat onggokan rak piring dari sela-sela ilalang itu.

Peristiwa tahun 1999 lalu masih menyisakan getir bagi Yusnani. Sekira pukul 10 malam desa itu didatangi orang bersenjata. Dalam sekejap sekitar 70 rumah ludas dibakar. Cuma dua bangunan yang luput dari aksi pembakaran, entah kebetulan atau tidak, yaitu sebuah mushola, berupa bangunan panggung tanpa dinding seukuran 5 x 6 meter persegi, dan satu unit rumah penduduk berdinding papan yang sekarang terlihat lapuk.

Di tengah kegelapan malam, warga kocar-kacir meninggalkan desa. Tak ada barang yang boleh diselamatkan, kecuali pakaian yang melekat di badan. Kedamaian dusun di kaki Bukit Barisan ini pun berakhir. Sejak itu pula Yusnani, suami, dan tiga anaknya hidup di tempat pengungsian.

Kini Yusnani kembali ke dusun Lubok Kliet, desa Baree Blang, kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. Tercapainya kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka atau GAM pada Agustus tahun lalu memberinya harapan baru. Aroma bunga pinang dan kakao menuntun rindunya untuk pulang ke dusun yang berjarak 16 kilometer dari lintasan Jalan Raya Medan – Banda Aceh, atau sekitar 25 kilometer sebelah tenggara kota Lhokseumawe.

“Sejak dua minggu lalu kami telah menetap di sini,” kata Yusnani ketika saya temui Maret lalu. Dia sedang mengupas buah pinang basah di depan tendanya.

Di lokasi seluas setengah hektar itu terdapat sekitar 30-an tenda. Masing-masing seluas 3 x 5 meter persegi. Selebihnya hutan lebat dan semak-belukar.

Pertama tiba di sana, kata Yusnani, ia bersama warga lain terpaksa bekerja gotong royong membabat hutan untuk lokasi mendirikan tenda.

Yusnani juga harus membangun sendiri tendanya. “Suami saya meninggal dunia karena kecelakaan truk tiga tahun lalu,” ungkapnya.

Kondisi tenda sangat darurat. Tak ada dinding. Hembusan angin bebas menerpa dari semua sisi. Sebuah dipan dari jalinan kayu-kayu bulat seukuran lengan terlihat di dalamnya. Di atasnya digelar selembar tikar plastik.

“Kalau angin saya tak apa-apa, tapi kalau hujan terpaksa memakai selimut tebal bantuan dari ICRC,” ujarnya, seraya menambahkan ketiga anaknya belum bisa diajak pulang ke Lubok Kliet karena keadaan masih serba darurat.

Biaya hidup sehari-hari didapat Yusnani dari hasil berjualan biji pinang. Dua hektar kebun pinang yang dulu sudah usia jelang panen, kini tersisa puluhan batang saja. Selebihnya mati digasak belukar dan ilalang.

Yusnani memanen sendiri buah pinang dengan cara memanjat. Tinggi batang pinang antara enam sampai tujuh meter. Dia tak punya pisau pengait untuk memetik buah-buah pinang itu. “Biasanya memang laki-laki yang memanjat pinang. Perempuan dinilai tak wajar, karena pekerjaan itu tergolong berat. Tapi saya tak punya laki-laki, jadi saya memanjat sendiri,” katanya, lagi.

Buah pinang dibelah, lalu dijemur selama beberapa jam. Dalam empat lima hari ia bisa mengumpulkan 10 sampai 15 kilogram, untuk selanjutnya dijual ke desa Darussalam yang berjarak 3 kilometer dari Lubok Kliet. Harga biji pinang Rp 3.500 per kilogram.

Yusnani tidak sendiri. Ti Hasanah terpaksa bekerja memanjat pinang untuk menutupi biaya hidup. Perempuan beranak satu anak ini pertama kali datang ke Lubok Kliet akhir tahun 1980-an dan membuka kebun pinang. Dia juga terpaksa hidup di pengungsian saat konflik bersenjata antara GAM dan tentara Indonesia terjadi. Suaminya kemudian memutuskan untuk mencari kerja di Malaysia dan sejak itu tak pernah berkabar lagi. Sudah enam tahun.

“Dia telah lupa pada saya dan anaknya,” ujar Ti Hasanah.

Ti Hasanah pulang ke Lubok Kliet seminggu lalu. Anaknya masih dititip pada ibunya di desa Leupon Siren. Pendapatannya dari berjual buah pinang berkisar antara Rp 25 ribu sampai Rp 40 ribu per minggu, “Cukuplah untuk membeli beras, ikan asin dan minyak lampu.”

Selama menetap kembali di Lubok Kliet, para mantan pengungsi ini hanya pernah didatangi International Committee of Red Cross atau ICRC. Petugas ICRC prihatin melihat kondisi mereka. ICRC langsung menyumbang tenda, selimut, tikar plastik, serta peralatan berkebun seperti parang dan kapak.

“Sayang, kami tak dikasih pisau pengait tandan buah pinang. Jadi kalau mau memanen kami harus memanjat,” kata Kasmiati, pemanjat pinang yang lain.

Kendati masih punya suami, Kasmiati mengaku dialah yang lebih sering memanjat pinang. Suaminya sibuk membersihkan lahan kebun yang telah ditutupi semak berkayu kasar.

Kasmiati pun tak membawa empat anaknya ke Lubok Kliet. Mereka tinggal di rumah sang nenek. Tempat tinggalnya sekarang belum layak huni.

Babi-babi liar kerap keluar dari semak rimbun di sekitar tenda-tenda itu, bahkan melintas ke dekat tenda. Seekor babi asyik mencari makan di pinggir jalan dan buru-buru masuk ke semak saat sepeda motor saya lewat.

Eddy Asmara, camat Meurah Mulia, mengatakan bahwa warga yang telah kembali ke Lubok Kliet berjumlah 40 kepala keluarga atau KK, sekitar 150 jiwa. Kepulangan mereka diawali sebuah prosesi adat bernama peusijuek, dengan doa dan menabur tepung beras di lokasi itu pada Februari 2006. Peusijuek dilakukan karena dusun itu sudah enam tahun tidak berpenghuni.

Karena kondisi kehidupan warga yang memprihatinkan itu, Eddy telah memohon pada pemerintah kabupaten Aceh Utara agar memberi bantuan modal untuk membuka kembali areal kebun seluas 200 hektar yang telah ditutupi semak-belukar. Sebelumnya kawasan tersebut sarat kelapa sawit, pinang, dan kakao.

“Namun sejauh ini belum ada realisasi apa-apa yang diterima warga di sana,” kata Eddy.*

kembali keatas

by:Muhammad Nasir