Mengebiri Wali Nanggroe

Samiaji Bintang

Mon, 17 April 2006

Di Tanah Jawa, ada Sultan Jogjakarta, mewarisi kekuasaan kesultanan Mataram dengan memegang jabatan gubernur secara turun-temurun. Di Aceh, orang ingin punya warisan mirip Jogja lewat lembaga wali nanggroe .

LAIN ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Di Tanah Jawa, ada Sultan Jogjakarta, yang de facto mewarisi kekuasaan kesultanan Mataram dengan memegang jabatan “gubernur negara Indonesia” di Jogjakarta secara turun-temurun. Di Aceh, warga Aceh ingin punya warisan mirip Jogja lewat lembaga “wali nanggroe.”

Dalam bahasa Aceh, wali nanggroe berarti “kepala negara.” Dalam bahasa Inggris, ia diterjemahkan sebagai “Guardian of the State.” Jabatan ini, sama dengan Sultan Jawa, punya wibawa, rakyat dan daerah kekuasaan. Pembentukan lembaga “wali nanggroe” ini diamanatkan perjanjian antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Agustus lalu.

Buat rakyat Aceh, istilah ini melekat dengan kejayaan bangsa Aceh melawan kolonialisme asing –Portugis, Belanda maupun Indonesia. Wali nanggroe adalah kedudukan terhormat.

Tengku Muhammad Yus, legislator Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat, bilang wali nanggroe itu lebih tinggi dari kedudukan gubernur. Wali itu juga kepanjangan tangan Tuhan.

Namun di Senayan, ide mendirikan lembaga ini dalam rancangan undang-undang Aceh menyulut perdebatan. Bagi sebagian legislator rekan Muhammad Yus di Senayan, untuk bisa mengakui wali nanggroe tak semudah mengunyah bubur.

Kamis pekan kemarin, istilah ini menimbulkan adu argumen panjang ketika dikaitkan dengan struktur pemerintahan Indonesia. Saking panjangnya, tak cukup dengan waktu dua-tiga jam. Legislator Aceh bilang kedudukan ini berkait dengan tuntutan “self governance” dalam RUU Aceh.

Kalau Jogja bisa punya Sultan Mataram, mengapa Aceh tak bisa punya “wali nanggroe”?

Akibatnya, pembahasan itu disepakati ditunda beberapa hari. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Menteri Dalam Negeri Muhammad Maruf, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, yang hadir dalam rapat ini, juga mengamini penundaan. Yusril berpendapat kesultanan Aceh tak punya jabatan “wali” –yang ada kebanyakan “sultan” macam kebanyakan kerajaan Islam di kepulauan ini.

Benny K. Harman, misalnya, legislator asal Partai Demokrat dari Pulau Flores, mengatakan wali nanggroe seharusnya setingkat dengan “kepala adat” –sama dengan kepala-kepala adat di Papua, Dayak, atau Melayu Sumatera. Cukup diatur dalam “qanun” atau peraturan daerah saja.

Alasan lainnya, kedudukan wali nanggroe tak ada dalam sistem hukum Indonesia. Dimana locus-nya? Apakah lembaga legislatif atau eksekutif? Ia juga bukan lembaga komisi yang bekerja di bawah kewenangan pemerintah? Kalau cuma lembaga adat, tak perlu diatur dalam undang-undang.

Rapiuddin Hamarung dari Partai Bintang Pelopor Demokrasi mempertanyakan jumlah pemangku jabatan ini. Wali nanggroe ini bukan jabatan perseorangan. ”Kalau wali nanggroe ini lembaga, maka sepengetahuan saya ada lebih dari satu orang yang duduk di lembaga itu. Tapi dalam struktur pemerintahan kita, lembaga ini ada di mana?”

Argumentasi mereka berbeda dengan Ahmad Farhan Hamid, legislator Aceh dari Partai Amanat Nasional. Farhan bilang, wali nanggroe punya sejarah panjang yang membuat Aceh mengalami masa keemasan kesultanan Aceh. Posisi ini sangat dihormati rakyat Aceh. Dia simbol pemersatu bangsa Aceh.

Kelak wali nanggroe, bila posisinya dalam RUU Aceh ini disetujui, takkan mencampuri urusan politik atau kekuasaan. Farhan mengatakan istilah “wali nanggroe” memang identik dengan GAM tapi bukan berarti istilah itu haram digunakan. “Istilah ini bukan milik kelompok tertentu,” kata Farhan.

Debat ini tentu harus menyinggung orang nomor satu GAM, Tengku Muhammad Hasan di Tiro, yang jabatan resminya adalah “wali nanggroe” sejak dia melakukan deklarasi kemerdekaan Acheh dari Indonesia pada 4 Desember 1976.

Deklarasi itu sendiri ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Melayu. Pada versi bahasa Inggris, Hasan Tiro menggunakan jabatan “chairman” dalam organisasi yang dinamainya “Acheh/Sumatra National Liberation Front.”

Hasan Tiro memang berniat menghidupkan kembali kesultanan Aceh. Dalam senarai pemimpin Aceh sejak abad XV, sebagaimana dilansir Encyclopaedia of Islam and Dairatul Maarif, Tiro merupakan pemimpin kesultanan yang ke-41.

Di urutan pertama senarai itu adalah Ali Mughayat Shah, berkuasa pada 1500-1530. Setelah perjanjian Inggris menyerahkan Aceh kepada Belanda menjelang abad XIX, beberapa sultan Aceh tewas dalam perang melawan Belanda. Yang terakhir tewas di tangan Belanda adalah Maat di Tiro, pada tahun 1911. Dia penguasa Aceh yang ke 40 dan paman Hasan Tiro.

Namun Indonesia tak mengakui Hasan Tiro sebagai warga apalagi kepala “neugara Acheh.” Indonesia juga mengkorupsi arti dan fungsi wali nanggroe hingga hanya sebatas simbol adat-istiadat. Wali ini dikebiri untuk urusan politik dan pemerintahan.

Pengebirian ditegaskan dalam Undang-undang No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Di situ dinyatakan bahwa wali nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Aceh.

Ini berbeda dengan pikiran mayoritas rakyat Aceh. Mereka cuma mengakui Hasan Tiro sebagai wali nanggroe dengan posisi sejajar dengan kepala negara yang memiliki rakyat dan wilayah. Intinya, mereka ingin Aceh jadi “negara bagian” Indonesia dimana mereka bisa mengatur dirinya sendiri termasuk menentukan struktur pemerintahan Aceh.

Hasan Tiro, 83 tahun, tampaknya bakal jadi “wali nanggroe” Aceh pertama dalam struktur negara Indonesia bila keinginan ini dimengerti Senayan.

Ampon Kamaruzzaman, bekas juru runding GAM yang kini wakil operasional Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias, mengagumi Tiro. Layaknya kebanyakan orang Aceh, Kamaruzzaman tak pernah memanggil nama “Hasan Tiro.” Dia cukup menyebutnya “wali.”

Tapi, kata Yusril, “Kita tidak tahu apakah Hasan Tiro akan menjadi wali nanggroe di sana. Waktu bahas RUU, kita tidak bicara orang.”

Yusril tampaknya ingin menggeser Hasan Tiro dari kepala negara jadi kepala adat? Mungkin menarik juga bila Yusril sekaligus bicara soal Sultan Mataram … di Jogjakarta.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang