Help!

Muhammad Nasir

Fri, 17 March 2006

Sebuah lembaga bantuan Jerman membangun rumah untuk korban tsunami di Aceh Utara. Seorang pekerjanya dianggap putri satu perempuan Jerman yang dulu pernah diselamatkan warga.

NICOLE Bergmann bukan orang asing bagi sebagian penduduk desa Kuala Keureutoe Timur. Mereka mengenalnya sejak dulu.

Pada awal 1970-an terjadi kecelakaan helikopter di muara sungai Keureutoe. Salah seorang korban yang selamat adalah seorang perempuan warga Jerman. Ia dalam keadaan hamil. Postur tubuh, warna mata dan rambutnya yang coklat mirip Nicole. Warga Kuala Keureutoe Timur percaya Nicole adalah anak yang dulu dalam kandungan perempuan tersebut.

“Saya berkali-kali membantah bahwa saya tak ada hubungan apa-apa dengan kisah itu, tapi mereka tak percaya,” kata Nicole.

Tapi kisah itu pula yang membuat hubungannya dengan warga setempat jadi akrab. Nicole adalah koordinator program Help From Germany, sebuah lembaga swadaya yang berbasis di Bonn, Jerman.

Help datang ke desa itu tiga bulan setelah tsunami. Nicole sendiri mulai bekerja di Aceh pada Januari 2005. Ia langsung sibuk menyalurkan bantuan ke kamp-kamp pengungsi. Sebelum ke Aceh, Nicole punya pengalaman membantu korban bencana di Kuba, Amerika Tengah. Di negara asalnya, Jerman, ia banyak terlibat sebagai pekerja sosial, khususnya dalam pembinaan pemuda.

Pada Maret 2005 Nicole tiba di kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara. “Setelah melihat kondisi di desa Keureutoe, kami memilih memusatkan program bantuan di sini. Banyak hal yang bisa dikerjakan di sini,” katanya pada saya. Saat itu ia didampingi Rooswarini, Project Assistant Help.

“Help memilih desa itu karena terbilang salah satu desa terparah digasak bencana, tapi waktu itu belum ada NGO yang serius mengerahkan bantuan ke sana,” katanya, lagi.

Selama setahun di Keureutoe, Help telah membangun 206 unit rumah permanen tipe 36. Rumah dengan tipe ini memiliki dua kamar tidur.

Namun, Nicole keberatan menyebut nilai kontrak proyek per unit rumah. “Apakah angka-angka itu penting untuk dipublikasi? Nanti bisa timbul kesenjangan dengan pihak lain.”

Menurut sejumlah warga Kuala Keureutoe Timur, nilai proyek rumah bantuan Help sekitar Rp 45 juta per unit. Situs acehkita.com bahkan berani menyebut angka Rp 55 juta untuk per unit rumah bantuan Help. Pada Juli 2005 acehkita.com menurunkannya dalam berita berjudul “Bantuan Rumah dari NGO Tak Dikenal”

Data itu diperoleh reporter acehkita.com dengan susah payah. Ia mendatangi kantor camat setempat sampai Konsul Jerman di Medan, Sumatera Utara. Ia juga mengandalkan mesin pencari Google. Semua usahanya gagal. Si reporter, Denny Frans Sitohang, merasa aneh.

Lembaga ini memiliki nilai bantuan milyaran rupiah berdasarkan kondisi rumah-rumah yang dibangun, tapi tak ada yang tahu keberadaannya. Akhirnya si reporter menghubungi rekannya yang bekerja di sebuah lembaga swadaya di Jerman. Dari situlah misteri Help sedikit terkuak. Denny kemudian menemukan ‘markas’ Help. Letaknya di sebuah kios kecil di Perumahan Setia Budi, Medan.

Namun, Nicole lagi-lagi tak mau berkomentar tentang nilai rumah Help yang disebut acehkita.com. Ia cuma menggeleng-geleng saja.

“Kurang baiklah kalau angka itu juga harus dipublikasi. Nanti kita tidak enak dengan warga yang menerima bantuan, juga dengan pihak-pihak lain,” sahut Rooswarini, tanpa memerinci lebih lanjut siapa saja pihak-pihak yang dimaksud.

Pengerjaan rumah Help ditangani PT Imaco Lhokseumawe. Perusahaan ini kemudian melimpahkannya kepada tujuh perusahaan sub kontraktor lokal.

image

SELAIN suara debur ombak dan anak-anak yang bermain di bawah teduh batang nyiur, sebuah spanduk menyambut orang datang ke desa Kuala Keureutoe Timur, Tanah Pasir, Aceh Utara: “Selamat Datang di Lokasi Proyek Help From Germany. 206 Unit Rumah Korban Tsunami Telah Dibangun Di Sini.” Spanduk terentang di jalan di ujung desa.

Masuk lebih jauh ke pusat desa, kesibukan lain mulai terlihat. Truk pengangkut tanah sesekali melintas, mengepulkan debu jalan. Teras dan kaca jendela rumah-rumah di tepi jalan tak luput dari sengat debu. Sejumlah warga sedang membenahi sekitar rumah mereka. Meratakan tanah timbun, merapikan balok-balok dan papan sisa bangunan. Maklum, sebagian dari mereka baru beberapa hari menempati rumah itu.

Muhammad Hasan Usman, misalnya. Lelaki berusia 25 tahun ini belum genap satu bulan tinggal di rumah baru. Setelah tsunami, ia dan istri serta seorang anaknya tinggal di tenda di lapangan kecamatan, yang berjarak tujuh kilometer dari desa. Delapan bulan mereka jadi penghuni tenda. Dari tenda, ia dan keluarganya pindah ke barak hunian sementara yang dibangun pemerintah di desa Matang Tunong, tetangga desa Kuala Keureutoe Timur, dan lima bulan tinggal di situ.

Pada Senin, 6 Maret 2006, Hasan sibuk menata rumah. Hasan membenahi papan dan triplek sisa di halaman depan. Istrinya membenahi kamar mandi. Anak mereka yang berusia dua tahun asyik bermain-main di ruang tengah. Seperangkat tape recorder mengisi ruangan itu. Belum ada meja maupun kursi tamu. Hanya selembar tikar pandan tergelar di sudut ruangan.

Plafon dari triplek terlihat rapi. Lantai keramik terasa masih licin di telapak kaki. Sesekali masih terhirup aroma cat dari dinding ruang. Tetapi jendela dari kaca hitam itu telah diberi tirai kain corak bunga-bunga.

“Rumah kami belum tersambung jaringan listrik. Katanya dalam waktu dekat akan ditangani oleh PLN,” kata Hasan. Saya lihat belum ada meteran listrik.

Sekira empat meter di sebelah kanan rumah, dua pekerja sedang mengecor dudukan sumur bor. Menurut Hasan, sumur bor itu tak berfungsi maksimal. Kedalaman pengeboran hanya 12 meter. Ketika diuji coba hanya tiga jerigen air yang keluar. Selebihnya lumpur. Padahal tempat ini berjarak tak sampai 200 meter dari pinggir pantai.

“Saya pernah usul dibangun sumur biasa saja, tapi nggak disetujui. Mungkin sudah demikian dalam program Help.”

Keluarga Hasan menempati rumah Nomor 51 D1-7. Namanya turut tertera di belakang angka nomor rumah yang dicetak khusus pada selembar kertas dan ditempel di dinding depan. Hasan senang bisa memiliki rumah sendiri. Sebelumnya, sejak berkeluarga tiga tahun lalu, ia dan isteri masih menumpang di rumah orang tua. Hingga kemudian rumah itu roboh digulung gelombang tsunami di akhir tahun 2004 lalu.

Suatu hari warga desa mendapat kabar bahwa Help akan membantu membangun rumah untuk mereka. Pendataan pun dilakukan. Syaratnya, selain memiliki kartu keluarga juga harus memiliki tanah sendiri.

Hasan ikut terdata. Masalahnya, dia belum memiliki tanah untuk pertapakan rumah. Beruntung, sebagai pedagang ikan di desanya, ia masih memiliki sedikit simpanan. Dengan uang itulah ia membeli sepetak tanah sekitar 200 meter persegi, tepat di pinggir jalan desa. Lokasi itu berbatasan langsung dengan tanah milik abangnya, Ruslan.

Proses mendapatkan rumah ternyata mudah. Setelah menunjuki lokasi tanah pada petugas Help, ia hanya menunggu beres hingga rumah selesai. Urusan dengan kontraktor juga gampang. Bila ada bahan bangunan yang kurang misalnya, ia bisa langsung melapor pada petugas Help. “Nanti orang Help yang komplain pada kontraktor,” kata Hasan.

Hal itu dibenarkan Ruslan. Dia menempati rumah Nomor 52. Pagi itu ia sedang mengecat ranjang kayu hasil karyanya sendiri di teras depan. Di ruang tengah, sebuah ranjang yang lain juga baru usai dicat. “Saya bikin dua ranjang, karena rumah kan hanya dua kamar,” ujarnya.

Sebelum tsunami, jumlah rumah penduduk di desa berjarak 35 kilometer dari timur kota Lhokseumawe itu 176 unit. Pendataan yang dilakukan kemudian menunjukkan jumlah baru: 206 kepala keluarga. Angka inilah yang menjadi acuan saat akan dibangun rumah baru.

Proses rekontruksi rumah dimulai pada Juni 2005. Pada awal Maret 2006 sebanyak 206 unit rumah tipe 36 telah rampung dikerjakan. Kini Help tinggal merampungkan urusan sanitasi dan sumur bor, yang sudah mencapai tahap akhir.

Help juga turut memperbaiki ekologi pantai sekitar desa itu, seperti menyediakan bibit mangrove dan tanaman rumah, yang nantinya dapat menghijaukan lingkungan desa. Warga pun diajari cara membuat kompos dari sampah-sampah organik rumah tangga. Selain lingkungan menjadi bersih, kompos bisa menjadi pupuk tanaman.

“Saat ini kami sedang menangani proyek drainase, pembuatan saluran dan got sekitar pemukiman dan jalan desa,” kata Nicole pada saya.

Selain membangun rumah untuk korban tsunami, Help juga membantu pembuatan 37 perahu beserta jaring untuk nelayan. Para tukangnya dilatih Food and Agriculture Organization atau FAO, salah satu lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Jangkauan Help tak sebatas Keureutoe, tapi ke beberapa desa lain. Lembaga ini telah menyumbang peralatan kerja untuk 58 pandai besi di desa Pande, Matang Janeng, Cangguek, dan Keutapang.

PADA hari tertentu gerbang kantor Help di Jalan Peutua Rumoh Rayeuk, Lhokseumawe, digembok rantai sebesar jari kelingking.

Seorang pemuda berbadan tegap dan seorang perempuan yang terlihat duduk-duduk di teras kantor tak akan membuka gerbang itu untuk tamu saat para staf Help tak ada di tempat.

Help mempekerjakan 16 orang staf. Beberapa staf didatangkan dari luar daerah sebagai tenaga ahli, misalnya untuk menangani budidaya mangrove. Yang lainnya diterima karena "surat keramat" dari rekan-rekan lembaga bantuan lain. Beberapa staf lokal direkrut berdasarkan rekomendasi pemuka masyarakat di sekitar kantor.

Hari itu, Rabu, 8 Maret 2006, Nicole duduk menghadap meja kerjanya. Seperangkat komputer dan laptop teronggok di situ. Dua buah kipas angin berputar-putar di ruangan itu. Satu mengarah ke meja Nicole, yang lain ke meja para staf. Tak ada mesin penyejuk udara atau AC. Kantor itu juga merangkap tempat tinggal bagi Nicole dan tiga rekannya.

“Kami di sini untuk bekerja, bukan berlibur,” kata Nicole, sungguh-sungguh.

Dan warga Keureutoe tetap menganggapnya sebagai balasan Tuhan untuk jiwa perempuan Jerman yang mereka selamatkan lebih dari tiga puluh tahun lalu, yang mereka yakini sebagai ibunya.*

kembali keatas

by:Muhammad Nasir