Dari Swiss untuk Flores

Andreas Harsono

Tue, 28 February 2006

Bagaimana Swisscontact hendak memerangi kemiskinan penduduk di Pulau Flores dengan jambu mete? Swisscontact bikin riset soal kemiskinan di empat kampung.

DARI sebuah ruang hotel bintang lima di Jakarta, satu organisasi antarabangsa memaparkan strategi mereka membantu usaha melawan kemiskinan di Pulau Flores dengan jualan jambu mete.

Swisscontact menjejerkan semua pemuka mereka, dari Peter Bissegger, direktur Swisscontact di Indonesia, hingga Rita Stupf, yang sehari-hari berkerja di Jalan Dewi Sartika, Ende, guna mengupas masalah kemiskinan Flores maupun bagaimana jambu mete jadi jalan keluar.

Rita Stupf mengatakan Flores adalah daerah kaya namun orang-orangnya miskin. Ketika masuk ke Flores, Swisscontact mulanya bikin survei komoditi apa yang bisa dihasilkan Flores dan dijual di pasar Eropa dan Amerika Utara. Hasilnya, jambu mete (cashew nut).

"Jambu mete tumbuh secara organik di seluruh Flores," kata Caecilia Widyastuti dari Swisscontact Ende. Mutu jambu mete Flores juga terbaik di dunia. Namun proses penambahan nilai jambu mete itu dilakukan di luar Flores, terutama India.

Jalur distribusinya juga kurang efisien. Para petani Flores kurang memahami kerumitan proses perdagangan jambu mete, dari sebuah kampung di Sikka hingga disajikan restoran di Paris. Posisi tawar petani juga kurang baik dengan para tengkulak di Flores.

Swisscontact memperkenalkan program sertifikasi pertanian organik untuk jambu mete asal Flores. Harganya naik dari Rp 7,000 per kilogram menuju Rp 8,200 bila menggunakan sertifikat organik (tanpa pupuk buatan). Kini ada hampir 600 petani jambu mete dengan sertifikat organik dan menghasilkan 240 ton setiap panen.

Seminar sehari ini diselenggarakan seluruhnya dalam bahasa Inggris. Judulnya, "Fighting Poverty in NTT -a Difficult Nut to Crack." Terjemahannya, kira-kira, "Perang Lawan Kemiskinan di NTT – Bagaimana Bikin Picah Satu Batok."

Namun kata "nut" dalam kaitan ini juga bisa diartikan sebagai "jambu mete." Swisscontact membawa dua mesin pemecah batok biji jambu mete ke ruang seminar.

Acara dihadiri wakil-wakil pemerintah Indonesia, misalnya dari Badan Perencanaan Nasional, Departemen Pertanian, Kementerian Daerah Tertinggal, maupun berbagai organisasi donor internasional yang punya kantor di Jakarta, misalnya United States Agency for International Development hingga World Bank.

Beberapa orang asal Flores, yang tinggal di Jakarta, hadir dalam seminar ini, termasuk Daniel Dhakidae asal Bajawa, kini kepala riset Kelompok Kompas Gramedia, maupun Frans Padak Demon asal Adonara, kini mengepalai Voice of America. Namun tak ada satu pun rekan kerja Swisscontact dari Flores hadir di Hotel Gran Melia Jakarta.

Swisscontact menyusun acara ini dengan memulai dari pembicara yang bicara soal kemiskinan secara umum -semuanya orang non Swisscontact– dan diakhiri oleh presentasi dari satu demi satu dari empat manajer program Swisscontact di Jakarta maupun Ende.

Roland Lindenthal dari UN Support Facility for Indonesian Recovery di Jakarta membuka seminar ini dengan banyak angka kemiskinan. Ia bilang Nusa Tenggara Timur secara persentase termasuk provinsi keempat paling banyak orang miskinnya di Indonesia (30.74 persen), sesudah Papua (41.80), Maluku (34.78) dan Gorontalo (32.12).

Miskin punya banyak elemen, antara lain, pendapatan, makanan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Lindenthal bilang 47 persen orang miskin Nusa Tenggara Timur hidup di Sumba Barat dan laju kemiskinan di Nusa Tenggara Timur 84 persen lebih tinggi dari angka nasional Indonesia.

Banyak peserta seminar memuji pendekatan dan kesetiaan Swisscontact untuk melawan kemiskinan lewat program jambu mete. Ia membuka kantor di Ende pada Maret 2004. Panjang programnya delapan tahun yang lumayan panjang untuk ukuran organisasi internasional. Menurut Rita Stupf, biaya proyek Nusa Tenggara Timur setiap tahun US$550,000 atau sekitar Rp 5.5 milyar. Donor utama mereka untuk proyek Flores adalah State Secretariat for Economic Affairs (SECO) di Geneva, Swiss.

Dutabesar Swiss untuk Indonesia Georges Martin memuji kinerja Bissegger dan kawan-kawan. Martin bilang kemana-mana ia pergi ke Indonesia, termasuk Ende, ia merasa Swisscontact sudah menjalankan misi persahabatan dari negara Swiss.

"Dutabesarnya Swiss adalah Swisscontact," kata Martin. Swisscontact bukan lembaga pemerintah Swiss. Ia organisasi nirlaba swasta didirikan 1959 di Swiss. Ia mulai bekerja di Pulau Jawa, dengan mendirikan sekolah politeknik di Bandung, pada 1970an dan kini sudah bekerja di 30 buah negara Dunia Ketiga.

Namun kritisi menganggap pendekatan Swisscontact kurang memperhitungkan masalah sosial dan politik. Ruly Marianti dari Smeru, sebuah lembaga penelitian Jakarta, yang sedang bekerja di Timor Barat, mengatakan kemiskinan juga dipengaruhi ketegangan sosial.

"Program ini dimulai dimana ada hubungannya dengan kekuasaan, etnisitas atau hubungan sosial lain. Saya tidak mendapat informasi itu," kata Marianti, seakan-akan mengatakan Swisscontact tak mungkin bisa melawan kemiskinan hanya dengan jualan jambu mete tanpa mempertimbangkan masalah sosial dan politik.

Yadi Suriadinata dari Winrock International mengatakan "amunisinya (Swisscontact) terlalu kecil" untuk menghadapi "masalah begini besar." Masalah kemiskinan, mau tidak mau, membutuhkan infrastruktur dasar macam jalan dan pelabuhan serta fasilitas berupa kredit, pemerintah dan sebagainya.

"Itu yang tidak dikerjakan selama 50 tahun ini. Pada 1980, saya jalan Ruteng-Ende tiga hari tiga malam. Sekarang berapa malam untuk jarak sedekat itu?" kata Suriadinata.

Kebanyakan ekonom yang bicara dalam panel ini memang memakai pendekatan konservatif. Mereka lebih banyak memakai angka-angka. Lindenthal sendiri tidak pernah datang ke Flores walau membuat makalah "Poverty in NTT" (Kemiskinan di NTT) setebal 50 halaman.

Makalah menarik datang dari Stefan Gamper, "Aspects of People’s Livelihoods in Flores" (Aspek-aspek Kehidupan Masyarakat Flores). Gamper bikin penelitian di empat kampung: Rowa di Ngada, Kringa dan Ilinmedo di Sikka serta Ilepadung di Flores Timur.

"Saya sangat tertarik dengan Stefan Gamper. Ketika namanya disebut, saya kira orang Flores, namanya kayak nama Manggarai," kata Dhakidae.

Gamper tinggal selama sembilan bulan di Ende dengan banyak riset di empat kampung itu serta mempelajari "aset kehidupan" penduduk kampung.

Ada lima elemen yang dipelajari Gamper: aset fisik (rumah, listrik, air), aset keuangan (tabungan, penghasilan, hewan peliharaan), aspek sosial (keanggotaan di kelompok gereja, organisasi soial), aset kemanusiaan (keluarga, pendidikan, kesehatan) serta aset alam (tanah, pertanian, ladang).

Gamper memaparkan temuannya dengan gambar-gambar. Ia mengatakan Flores justru kaya dengan alam indah, kehidupan komodo, keragaman budaya, kekayaan bahasa dan kehidupan adat dan agama. Miskin atau kaya bisa dilihat tidak hanya dari sudut ekonomi.

Walau penelitian ini kecil, namun metodologinya bisa diterima, sehingga Gamper juga bisa mencerminkan apa yang disebutnya "kerentanan sosial" di Flores. Gamper misalnya menemukan bahwa bulan Februari hingga Juni rata-rata keadaan keuangan empat kampung itu stabil. Mereka bisa panen dan membeli makanan. Bulan Juli hingga November musik paceklik. Ini masa rentan bila ada penduduk kampung sakit atau harus bayar uang sekolah. Mereka kemungkinan sulit mengatasinya.

Dhakidae menemukan paradox dalam temuan Gamper dimana disebut ketiadaan akses kesehatan 32.8 persen, yang cukup rendah untuk ukuran Indonesia, namun harapan hidup di Flores 63.6 tahun -lebih tinggi dari angka rata-rata Indonesia yang 55 tahun. Artinya, walau miskin dan fasilitas kesehatan rendah, tapi mengapa orang Flores punya harapan hidup yang cukup tinggi?

Dhakidae juga mengkritik perhatian Swisscontact pada Flores bagian selatan. Bagian utara sebenarnya menawarkan permukaan yang lebih datar. Ia bisa dipakai untuk membangun jalanan yang lebih murah. Daerah selatan sulit membangun jalan yang awet. Sering rusak terkena air laut.

"Flores tidak bisa hidup sendiri. Flores bisa dikembangkan dengan jalur Bima, Makassar dan Flores, yang selama ini dilayani oleh jalur tradisional perahu-perahu Bugis," kata Dhakidae.

Bima terletak di Pulau Sumbawa, sebelah barat Flores, sedang Makassar terletak di Pulau Sulawesi, sebelah utara Flores.

Bissegger menjawab Swisscontact akan bekerja dengan sabar dan tekun. Mereka hendak lebih mengerti Flores lebih baik. Ia mengajak organisasi-organisasi donor untuk ikut membantu proyek di Flores.

Di Indonesia, Swisscontact pada 2006 menggunakan anggaran US$10 juta untuk total delapan proyek dengan delapan staf expat dan 60an staf warga Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur, Swisscontact memiliki tiga proyek: Ende, Labuhan Bajo dan Pulau Alor.*

kembali keatas

by:Andreas Harsono