Media dan Kampanye Politik

Masmimar Mangiang

Mon, 2 February 2004

LAPORAN jurnalisme bukanlah poster pengunjuk rasa. Karena itu, ketika ada gerakan antipolitikus busuk, wartawan serta medianya akan menghadapi persoalan yang tak mudah.

LAPORAN jurnalisme bukanlah poster pengunjuk rasa. Karena itu, ketika ada gerakan antipolitikus busuk, dan kabarnya ada niat untuk mengumumkan nama serta “kebusukan” para politikus itu, wartawan serta medianya akan menghadapi persoalan yang tak mudah. Menyiarkan nama orang beserta daftar “kesalahannya” tanpa didukung keputusan pengadilan dapat berujung pada perkara pencemaran nama baik.

Gerakan moral antipolitikus busuk yang dimulai akhir tahun lalu mewarnai dinamika politik pada masa orang menuju hari pemungutan suara anggota badan legislatif: 5 April 2004. Kampanye menentang kehadiran orang yang dinilai “berdosa” itu dimaksudkan untuk membukakan mata para pemilih dalam menyeleksi wakil mereka. Ini adalah kampanye mempersiapkan khalayak menghadapi kampanye partai politik dan orang-orang yang hendak mewakili serta “memperjuangkan” nasib rakyat di lembaga perwakilan. Baik kampanye antipolitikus busuk maupun kampanye pemilihan umum akan mendapat serta memperoleh perhatian media. Keduanya membutuhkan dan akan memerlukan media serta para jurnalisnya. Media dan wartawan sewajarnyalah berlaku lebih arif.

Adalah “politikus Orde Baru” yang mulanya dikenal sebagai istilah di media manakala wartawan menemukan banyak nama tokoh rezim Presiden Soeharto dalam daftar calon anggota Parlemen daerah, Desember 2003. Walau tak ada hubungan langsung sama sekali, isu politikus Orde Baru ini muncul setelah ada dugaan bahwa di dalam masyarakat ada kerinduan akan keadaan seperti pemerintahan Orde Baru. Ada keinginan, mungkin, untuk melihat terjaganya keamanan dan ketertiban, serta berputarnya roda perekonomian dengan pertumbuhan 6% atau 7% dalam setahun. Percaya atau tidak, begitulah cerita yang beredar.

Sisa-sisa Orde Baru memang tak lenyap dari aktivitas kenegaraan bersama lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Ia juga tidak luntur sesudah kekalahan B. J. Habibie dalam pemilihan presiden 1999. Kenyataan itu, yang diikuti oleh kemunculan nama-nama “alumnus Orde Baru” dalam daftar calon wakil rakyat, akhirnya mencetuskan kekhawatiran. Kecemasan boleh jadi meningkat setelah awal Desember lalu Partai Karya Peduli Bangsa yang dipimpin R. Hartono, mantan kepala staf Angkatan Darat, lulus verifikasi di Komisi Pemilihan Umum. Walau massa pendukung partai ini belum jelas, dia terang-terangan menyatakan diri sebagai penerus Orde Baru dan mengumumkan nama Siti Hardiyanti Rukmana –anak Jenderal (purnawirawan) Soeharto– sebagai calon presiden. Niatnya untuk kembali menjadi pasti. Kecemasan yang mulanya terdengar dari sebagian komentator politik dan aktivis nonpartisan, pada akhir Desember 2003 membuahkan gerakan antipolitikus busuk tadi. Tentu saja karena merasa punya kepentingan, beberapa partai politik lantas memberikan dukungan.

Cemas tentu punya alasan. Alasan itu adalah keadaan yang serba tak memuaskan saat ini: tak memuaskan dalam pemulihan ekonomi, mengecewakan dalam pemberantasan korupsi, menyedihkan dalam penegakan hukum, dan menjengkelkan dalam perilaku politik. Itulah yang mencetuskan rasa takut akan hilangnya kepercayaan khalayak. Manakala orang lama dari Orde Baru memperlihatkan diri lagi, dugaan bahwa mereka akan mendapat simpati jadi timbul. Mereka tak mungkin dilarang seperti dulu mereka melarang orang. Kini Indonesia dalam alam demokrasi.

Demokrasi juga memberikan hak kepada mereka, sekalipun untuk menegakkan benang basah.

Walau begitu, mereka yang hendak meneruskan reformasi, merasa perlu memberi tahu khalayak. Publik harus diingatkan bahwa dalam daftar calon anggota lembaga legislatif, dan boleh jadi nanti dalam daftar nama calon presiden, ada “orang busuk” yang hendaknya tak diberi dukungan.

Apa atau bagaimana busuk itu? Ia dapat berupa dukungan terhadap pemerintahan otoriter masa lalu, pelanggaran hak azasi manusia, korupsi, cacat hukum, atau cela secara moral. Tapi yang mana orangnya dan dengan kebusukan seperti apa, tidaklah mungkin asal dibeberkan.

Itulah sebabnya, sebagai kampanye, gerakan antipolitikus busuk hanya akan membawa pesan yang tak tuntas. Ia hanya akan menjadi seruan yang mirip dengan “merokok merusak kesehatan.” Yang dapat ia bangkitkan mungkin hanya keberhati-hatian masyarakat, nanti ketika memberikan suara. Tapi masyarakat yang menangkap pesan itu pun terbatas, yang punya akses pada media massa. Sayangnya pula masyarakat yang menangkap pesan itu sangat mungkin masih lebih suka menimbang dan membuat keputusan secara emosional ketimbang rasional.

Inilah kenyataan sekarang. Penegakan hukum yang tak berjalan membuat masyarakat tak menemukan hasil seleksi pengadilan yang jelas menentukan mana orang yang bersalah –korup, melanggar hak azasi manusia– dan mana yang tak berdosa. Bahkan masyarakat yang punya akses pada media massa hanya mengukur semuanya itu dengan mengira-ngira, dan semuanya akan menjadi “entah iya, entah tidak.” Kerja dalam lima tahun orde yang disebut sebagai “Orde Reformasi” kiranya hanya menghasilkan itu.

Sama dengan tidak dapat ditunjukkannya mana si busuk berikut kebusukannya, juga tidak akan dapat diperlihatkan kepada khalayak mana yang segar atau yang wangi dan dengan kesegaran yang seperti apa. Ia juga akan menjadi sesuatu yang serba tak jelas. Pada saat ada usaha mencegah kawula memilih yang busuk, kepada mereka tak akan dapat ditunjukkan “kesegaran” untuk pilihan yang tak busuk, karena tak ada ukuran yang dapat menjelaskannya. Manakah partai yang dapat dipercaya dengan programnya, dan bagaimana mengukurnya? Jika yang tampak menonjol selama ini hanyalah kesibukan orang-orang politik berburu kekuasaan, akan sulit untuk menimbulkan keyakinan bahwa dia akan berjuang untuk kepentingan banyak orang. Manakah orang-orang yang pada pribadinya khalayak masih dapat menggantungkan kepercayaan? Boleh jadi untuk ini pun tak mudah membangun keyakinan.

Kegagalan terjadi dalam hal menentukan siapa yang bersih dan mana yang kotor secara hukum, dibarengi oleh kegagalan dalam membangun ikatan partai politik dengan massa pendukungnya. Partai politik tetap saja tak tumbuh. Ia hanya sekadar ditanam elite yang sadar akan kekuasaan. Akarnya tak masuk jauh ke bumi. Hubungannya dengan pemilih rapuh, dan longgar. Cita-cita dan derajat keterikatannya dengan rakyat atau perbedaannya satu sama lain tak kunjung tampak secara jelas.

Tak ada partai politik yang akan terjun dalam pemilihan umum 2004 yang tak mengaku memperjuangkan “reformasi,” entah itu perbaikan ekonomi, penyehatan kehidupan politik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, atau entah apa lagi. Semuanya diformulasikan secara umum. Untuk yang namanya “reformasi” itu tak tampak jelas perbedaan yang mengisyaratkan keunggulan dan kedekatan pada kehidupan nyata masyarakat sehari-hari. Ia hampir tak berbeda dari pemilihan umum Orde Baru, manakala ketiga kontestan sama-sama bertekad bulat menyukseskan pembangunan, mempertahankan kepemimpinan Jenderal Soeharto, serta menjaga kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Tapi dalam keadaan tak dapat disampaikannya secara jelas mana yang busuk dan mana yang segar atau wangi, apakah khalayak akan dibiarkan “buta” menghadapi tanda gambar di bilik pencoblosan? Dengan gerakan antipolitikus busuk, bantuan agar mereka lebih melek tak dapat diberikan secara optimal. Partai politik dan orang-orang yang memperebutkan suara para pemilih tak pernah dan tak mungkin akan dapat menjelaskan dengan tuntas siapa mereka, dan mau apa dengan kekuasaan yang mereka peroleh. Banyak sudah yang berbicara di hadapan publik selama ini, bahkan dalam nada oposan, tetapi yang terdengar lebih banyak usaha menunjuk kesalahan daripada mengajukan gagasan buat memecahkan persoalan. Karena itu, pemilihan umum 2004 dengan sistem yang sangat berbeda –baik untuk lembaga legislatif maupun untuk presiden– dibandingkan sebelumnya sarat dengan tanda tanya. Itulah yang menjadi kenyataan bagi pemilih Indonesia dengan tingkat partisipasi kedatangan ke kotak suara yang tinggi, tetapi kekurangan informasi dan belum hidup dalam tingkat rasionalitas yang memadai.

Media massa punya kewajiban membantu publik dengan kejujuran, dan dengan memuliakan fakta. Wartawan dan medianya tak mungkin menceritakan si busuk dan kebusukannya, apalagi melukiskannya lebih busuk dari kebusukan dia yang sesungguhnya. Tetapi wartawan dan media juga tak boleh melukiskan si segar atau si wangi lebih indah dari warna aslinya. Kendati tak ada yang dapat mencegah suatu media memberikan dukungan kepada suatu partai politik, pemberitaan yang diturunkan sewajarnyalah coverage yang tak dimaksudkan untuk membantu suatu partai politik meraih kemenangan, melainkan coverage dalam nafas menuntun khalayak menemukan pilihan yang sesuai dengan kepentingan mereka.*

kembali keatas

by:Masmimar Mangiang