SUATU hari sepulang mewawancarai Paul D. Wolfowitz di Pentagon, saya mampir ke National Press Club, tempat mangkal wartawan internasional di Washington DC. Di sela-sela perbincangan, beberapa rekan tahu kalau saya baru saja mewawancarai Wolfowitz. Sambil bertanya apa saja yang baru darinya, mereka melihat foto-foto di kamera digital saya, termasuk foto saat saya berpose dengan Wolfowitz –biasa disapa “Wolfie”oleh Presiden George W. Bush. Pose ini ibarat magnet bagi sebagian wartawan di sana. Ada yang kagum, tak sedikit yang mencemooh.

Wolfowitz warga Amerika keturunan Yahudi, lahir 22 Desember 1943. Dia mengikuti garis disiplin ayahnya, Jacob Wolfowitz, seorang matematikawan ternama di Amerika. Hingga menamatkan pendidikan kesarjanaannya di Universitas Cornell, Wolfie melulu menggeluti matematika. Menurut wartawan Bill Keller dalam sebuah laporan The New York Times, 22 September 2002, kalau kemudian Wolfie memilih jalur politik, itu barangkali lantaran Wolfie terpengaruh oleh daya tarik Allan Bloom, filsuf politik kharismatik, yang tinggal tak jauh dari kediaman keluarga Jacob Wolfowitz. Bloom mendorong Wolfie mempelajari ilmu politik. Wolfie pun tergoda, hingga akhirnya larut dengan isu-isu internasional dan bahkan jadi aktor pentingnya.

Sebagai keturunan Yahudi, Wolfie acap dituding pro-Israel, anti-Islam. Mungkin ini lantaran pencitraan media massa Amerika Serikat yang kerap menempatkannya sebagai salah satu penentu kebijakan luar negeri Amerika, termasuk atas Irak saat ini. Majalah Time misalkan, dalam edisi tutup tahun 2003, membuat tulisan khusus Paul Wolfowitz, The Godfather of the Iraq War. Dalam laporan ini, digambarkan betapa dekat hubungan Wolfie dengan bos langsungnya, Donald “Rummy” Rumsfeld. Mereka dikatakan sebagai kombinasi satu-dua yang paling menarik dari pasangan Bush-Dick Cheney kini. Jika Rummy merupakan wajah, mulut, dan otot perang di Irak, Wolfie ibarat hati dan jiwa perang itu.

Saat-saat darurat Bush mengumpulkan para penasehat utama, Rumsfeld acap menyertakan Wolfowitz. Taruhlah pada hari-hari pertama pascatragedi 11 September, tatkala pembalasan atas Afghanistan dirancang, Wolfowitz ikut hadir. Beda dari Menteri Luar Negeri Colin Powell yang acap datang tanpa didampingi deputinya ke pertemuan-pertemuan superpenting.

Kedekatan Wolfowitz dengan Rumsfeld juga terlihat dari posisi kantor mereka yang berdekatan. Ruangan kerja mereka hanya dipisahkan satu aula pertemuan kecil. Saya perkirakan Wolfowitz hanya memerlukan waktu sekitar 15 detik jalan kaki ke ruangan Rumsfeld.

Wolfowitz mulai menancapkan kariernya berturut-turut sejak era Presiden Gerald Ford (1974-1977), kemudian Jimmy Carter (1977-1981), Ronald Reagan (1981-1989), George Bush senior (1989-1993), dan tambah bersinar pada era Bush junior. Dari era Carter hingga Bush sekarang, pos Wolfie berpindah-pindah antara Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan.

Wolfowitz kali pertama menggeluti karier pemerintahan pada 1966. Pada awal 1970-an dia bekerja untuk Arms Control and Disarmament Agency, dengan fokus pada Strategic Arms Limitation Talks. Pada saat yang sama, Wolfowitz juga mengembangkan karier sebagai dosen di Universitas Yale (1970-1973) dan mulai 1981 mengajar di Universitas Johns Hopkins.

Menjelang berakhir era Ford, George Bush senior yang kala itu menjabat direktur Central Intelligence Agency (CIA) merekrut 10 ahli yang bertugas memberikan “opini kedua” untuk menganalisis laporan-laporan intelijen Uni Soviet. Di sinilah kepercayaan dan kedekatan Wolfowitz dan Bush senior mulai terbentuk. Dan ketika Bush senior jadi orang nomor satu Amerika, Wolfowitz ikut masuk ke Pentagon. Dia mengepalai sebuah tim beranggotakan 700 orang yang waktu itu bertanggung jawab pada Menteri Pertahanan Dick Cheney. Posisi bidang strategi, perencanaan, dan kebijakan di Pentagon itu dipegang Wolfowitz selama tiga tahun, 1989-1993.

Pada era Carter, Wolfowitz menjabat asisten deputi Menteri Pertahanan Harold Brown yang menangani program-program regional. Namun pada era Reagan, Wolfie mencatatkan kegemilangan kariernya. Pada 1983 itu, Wolfie memegang posisi Asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Asia Timur dan Pasifik. Bayangkan, usianya baru 39 tahun ketika itu.

Setelah tiga tahun menjabat, membantu Menteri Luar Negeri George Shultz, posisi Wolfie makin berkibar karena ditunjuk Reagan menjadi Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia (1986-1989). Di mata Gedung Putih, Indonesia memegang posisi vital di Asia Tenggara, karena faktor jumlah penduduknya, juga karena merupakan negeri yang paling besar jumlah muslimnya di dunia.

Ada yang menarik dicatat berhubungan dengan karier Wolfie pada era Reagan dan Menteri Luar Negeri Shultz ini. Adalah Wolfowitz yang meminta langsung pada Shultz supaya memindahkan Wolfie dari dunia teori ke dunia praktis. Barangkali bosan juga dia dengan urusan analisis melulu. Semula Shultz kaget dan seperti ragu. Sebab, di mata Shultz, Wolfie lebih dikenal bobot intelektualnya, bukan keahlian manajemennya. Tapi Shultz menyetujui permintaan Wolfie, yang pada perkembangan selanjutnya Wolfie pun memperlihatkan kecakapannya dalam urusan manajemen.

SAYA beruntung sering bertemu dengan Wolfowitz. Hubungan ini terbina saat dia masih mengajar di Universitas Johns Hopkins. Ketika dinominasikan Presiden Bush sebagai deputi menteri di Departemen Pertahanan pada 5 Februari 2001, saya masih bisa menemuinya.

Sebelum ditarik Bush junior ke pemerintahan, Wolfowitz lebih sering muncul di acara-acara umum. Ini karena dia sering jadi pembicara diskusi-diskusi kampus atau menghadiri acara-acara seminar dan resepsi yang diadakan The US-Indonesia Society (Usindo), asosiasi swasta yang menjembatani hubungan baik Amerika Serikat-Indonesia di Washington DC. Wolfowitz aktif sejak Usindo berdiri 1994 dan jadi ketua dewan komisaris Usindo pada 1994-2001.

Pada masa itu, terutama 1998-2000, saya kerap melihat dia datang menemui para tokoh Indonesia yang kebetulan ada di Washington DC, antara lain Nurcholish Madjid dan Amien Rais –dua doktor lulusan Universitas Chicago yang kini jadi tokoh penting di Indonesia. Wolfowitz sesama alumnus Chicago, tepatnya lulus doktor dalam bidang ilmu politik pada 1972 setelah menamatkan kesarjanaannya dalam bidang matematika dari Universitas Cornell pada 1965.

Sesibuk apapun Wolfie, pasti selalu menyempatkan diri untuk menyambangi teman-teman lamanya dari Indonesia. Ketika Wolfowitz jadi orang penting di pemerintahan Bush, kebiasaan itu tetap berlanjut. Bahkan kali ini jadi lebih beragam golongan dan latar belakang tokoh, pejabat, dan petinggi Indonesia itu, antara lain Abdurrahman Wahid, Hasyim Muzadi, Taufiq Kiemas, Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, Ketua Tim Investigasi Bom Bali I Made Mangku Pastika, dan Menteri Kordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono.

Kadang-kadang pertemuan informal itu bisa terjadi di Pentagon atau malah di meja makan restoran. Sekali waktu, pertemuan dimanfaatkannya untuk titip pesan terhadap isu-isu tertentu. "Wolfowitz telah menitipkan kepada saya selaku salah satu di antara pemimpin Islam di Indonesia bahwa tidak ada rencana sedikit pun Wolfowitz untuk menyerang Indonesia," kata Hasyim Muzadi kepada saya. Pertemuan Wolfie dan orang nomor satu Nahdlatul Ulama itu berlangsung di sela-sela acara santap malam di sebuah restoran.

Ungkapan Muzadi adalah semacam verifikasi untuk isu “statemen keras” Wolfowitz. Statemen ini berisi desas-desus yang mengatakan bahwa Amerika sedang menyiapkan langkah serangan pasca-Afghanistan, yakni mencakup juga Indonesia. Alasannya, ada indikasi sel hidup jaringan terorisme internasional di Indonesia, selain dugaan sebagai tempat latihan terorisme. Wolfowitz sangat cemas gara-gara kutipan berita geger itu. "Itu salah kutip, baik dari media di Indonesia maupun di Amerika. Beliau menitipkan kepada saya supaya mengumumkan ini di Indonesia," kata Muzadi.

Kenapa Wolfie memperlakukan orang Indonesia, termasuk wartawan-wartawan Indonesia, begitu hangat? Mengapa Indonesia terkesan istimewa di mata Wolfowitz? Apakah karena Indonesia satu-satunya negara tempat Wolfowitz pernah bekerja di luar Amerika? Selama tiga tahun di Indonesia, Wolfowitz jadi salah satu diplomat terpopuler di Jakarta. Dia misalnya pernah ikut dan juara lomba masak. Ketika Wolfowitz meninggalkan Indonesia, acara perpisahannya diadakan besar-besaran oleh majalah Tempo dengan sebuah pesta kebun di Hotel Hilton.

Ataukah faktor istrinya, Clare Wolfowitz, yang ketika muda pernah tinggal di Yogyakarta dan belajar menari Jawa? Boleh jadi. Clare aktif mempromosikan Indonesia dan senantiasa meng-update Wolfowitz soal acara-acara masyarakat Indonesia di Washington DC. Saya sendiri, terutama belakangan ini, lebih sering bertemu Clare dibandingkan Wolfowitz.

Keluarga Wolfowitz, termasuk Clare dan tiga anak mereka: Sara, David, dan Rachel, kerap hadir dalam acara-acara yang diadakan orang Indonesia di Washington DC, terutama acara kemasyarakatan atau yang berbau kesenian Indonesia. Musim panas kemarin, misalnya, dia membantu panitia festival film dan fotografi Asean yang digelar di Washington DC oleh dua perempuan Indonesia dari Grace Heritage: Jasmine Wibisono dan Karina Sudyatmiko.

Tahun lalu organisasi warga muslim Indonesia di Washington DC, Imaam, melakukan penyuluhan hukum kepada warga soal “special registration” (kebijakan pemerintah Amerika yang mewajibkan daftar bagi warga asing dari 25 negara, termasuk Indonesia, untuk diwawancarai, difoto, dan diambil sidik jarinya oleh imigrasi). Kebijakan ini merespons pengamanan Amerika pascatragedi 11 September 2001.

Clare tahu dan prihatin bahwa banyak keluarga muslim Indonesia, terutama pria, yang ketakutan atas kebijakan tadi. Soal ini pun disampaikan Clare ke Wolfowitz. Clare melakukan kontak ke Imaam sembari menyodorkan seorang pengacara Amerika yang bisa dikonsultasi gratis oleh warga Imaam. Tidaklah mudah mendapatkan pelayanan cuma-cuma jasa pengacara di Amerika. Ketika konsultasi gratis dibuka dan warga berdatangan, Clare juga hadir dan memantau langsung penyuluhan ini.

Juli 2003 acara kesenian anak-anak Indonesia digelar di Washington DC dan Clare kembali terlibat dalam kepanitiaan. Menjelang hari-H, Clare menyadari kempisnya dana. Padahal acara kesenian dan paduan suara anak-anak Indonesia ini sangat penting untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia di depan khalayak Amerika. Langkah pamungkas pun diambil. Clare menelepon ke Pentagon, ruang kerja Wolfowitz. Hari itu juga keluar dana US$ 20 ribu dari Departemen Luar Negeri, sebab memang ada anggaran departemen itu yang bisa dialokasikan membantu program kebudayaan. Sebagai mantan petinggi Departemen Luar Negeri dan sekarang orang terkuat nomor dua di Departemen Pertahanan, Wolfowitz tentu gampang mengeluarkan bantuan tadi.

Ada cerita menarik lain. Ketika Imaam melakukan halalbihalal, keluarga Wolfowitz sering terlibat. Clare, dibantu Narti Suwadi, perempuan Indonesia yang pernah bekerja untuk keluarga Wolfowitz, bersama anak-anak Wolfowitz, membikin sate ayam dan mie goreng plus kerupuk! Semuanya dimasukkan ke dalam kotak makanan. Setelah puluhan kotak itu tertata dan siap dibawa, Wolfowitz mengangkatnya dan memasukkannya sendiri ke dalam mobil untuk dibawa ke acara halalbihalal. Ratusan warga Indonesia –terdiri atas pekerja kasar, pegawai, mahasiswa, diplomat, karya siswa, dan sebagainya– yang hadir dan menikmati nasi kotak itu, tak ada yang tahu bahwa santapan itu sebagian datang dari rumah Clare Wolfowitz dan diangkat sendiri oleh orang nomor satu Bush dalam kebijakan Irak.

Kisah yang tak kalah absurd adalah ketika muslim Indonesia melakukan fund raising untuk pendirian masjid Indonesia tahun 2002. Fund raising tersebut sukses mengumpulkan dana US$ 50 ribu lebih. Kini orang Indonesia secara swadaya sudah punya rumah berhalaman luas yang nantinya akan dibangun menjadi satu masjid dan pusat kebudayaan Indonesia yang besar.

Ketika acara fund raising berlangsung, Sara Wolfowitz ikut membantu kepanitiaan. Gadis yang sekarang bekerja di sebuah lembaga pengembangan media ini hilir mudik melayani santapan malam. Sedikit saja yang tahu bahwa gadis berkerudung itu anak Wolfowitz. Usai acara, sebagian piring, gelas, panci, peralatan masak, dan perlengkapan lain pun dibawa langsung oleh Sara, dengan menggunakan mobil ayahnya.

Saya juga ingat kejadian lain, taruh saja, saat resepsi peringatan kemerdekaan Indonesia di gedung Kedutaan Besar Indonesia, September 2003. Wolfowitz datang tanpa pengawal. Dia santai saja mengambil piring dan beberapa tusuk sate. Untuk kelas pejabat tinggi Amerika sekaliber Wolfowitz, pengamanan, termasuk makanan, sangat diperhatikan pengawal. Tapi itu tak berlaku buat Indonesia rupanya. Gedung itu layaknya “rumah” sendiri bagi Wolfowitz. Ketika saya tanyakan soal ini, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Soemadi Brotodiningrat mengatakan bahwa Indonesia merupakan tempat yang hangat untuk Wolfowitz.

Brotodiningrat bercerita pengalamannya yang senantiasa lancar dalam kontak dengan Wolfowitz. Contohnya, tiap pejabat Indonesia yang berkunjung ke Washington DC dan pihak Kedutaan ingin mempertemukan mereka dengan Wolfowitz, mulus terus. Wolfowitz merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Bush yang paling dekat dengan Indonesia. Brotodiningrat menambahkan, memang ada perbedaan pandangan Wolfowitz dengan Indonesia pada isu tertentu, misalnya Irak. Tapi itu tak masalah. “Bahkan saya masih lega, meskipun dia punya pemikiran mengenai Irak itu beda dari Indonesia, itu tidak memengaruhi hubungan dia dengan Indonesia.”

Kecintaan Wolfie pada Indonesia bukanlah buta. “Kalau ada hal-hal yang dia anggap, taruhlah mengenai pelanggaran hak asasi manusia segala, dia juga terus-terang pada kita. Kita tahu bahwa pemberitahuan itu, meskipun pahit kita terima, datang dari seorang teman. Bukan mencari-cari atau tidak senang Indonesia. Tidak,” kata Brotodiningrat.

Wakil Presiden Usindo Dan Getz mengatakan kepada saya, “Paul Wolfowitz memiliki komitmen abadi pada Indonesia. Juga kuat cinta dan apresiasinya untuk Indonesia, masyarakatnya, dan hubungan Amerika-Indonesia.” Keberadaan Wolfowitz dalam administrasi Bush sekarang cukup kondusif bagi hubungan Indonesia-Amerika kini. Tak hanya saat sekarang, namun lebih-lebih di masa depan. “Untuk masa-masa mendatang, dalam konteks perhatian dan hubungan Amerika terhadap Indonesia, kita bisalah berharap banyak pada Paul Wolfowitz.”

Ada banyak cerita kedekatan dan kecintaan keluarga Wolfowitz pada Indonesia. Menurut Clare, pada 1962 Clare menghabiskan musim panas dengan berkunjung ke Yogyakarta, ikut program pertukaran pelajar, dan tinggal bersama keluarga dokter Soetarto, kepala rumah sakit dan punya sebuah klinik. Wolfowitz yang sedang menjabat asisten Menteri Luar Negeri Amerika untuk urusan Asia Timur menyempatkan diri menengok keluarga Soetarto. Kunjungan ini sangat mengesankan Wolfowitz. “Bagi Paul, ini memberikan gambaran sekilas yang istimewa tentang Indonesia,” tutur Clare.

Clare bilang, sebagai duta besar Wolfie belajar keras bahasa Indonesia, walau kebanyakan orang Indonesia tetap saja lebih suka berbahasa Inggris dengan mereka. Wolfie juga melahap apa saja bacaan menarik Indonesia, mulai novel sampai sejarah. Selain itu dia juga suka bertanya kepada orang-orang berusia lanjut tentang pengalaman perang mereka.

Kenapa Wolfowitz suka mendengarkan kisah zaman perang? Menurut Clare, Wolfowitz mengerti bahwa pada zaman perang banyak orang mempertaruhkan hidup demi kebebasan. Saya kira, kisah-kisah perang itu juga mengingatkan Wolfowitz dengan masa kecilnya dulu atau masa-masa dia mendengar banyak kisah kekejaman Nazi zaman Perang Dunia II.

Paul Wolfowitz adalah anak bungsu pasangan Jacob Wolfowitz dan Lillian Dundes. Pada 1920, saat Jacob berumur 10 tahun, dia bermigrasi ke Amerika menyusul kakek Paul yang lebih dulu tiba tahun 1914.

Menurut Laura Wolfowitz, kakak Paul yang sekarang bermukim di Israel, keluarganya dulu sering membahas situasi dunia dan tanggung jawab moral Amerika. Mereka mendiskusikannya di meja makan. Saat itu pula Jacob, kata Laura, berulang kali menceritakan pada Paul dan Laura kecil betapa beruntung mereka bisa keluar dari zaman kengerian Eropa dulu.

Ketika Wolfowitz jadi duta besar di Jakarta, Clare bertutur, dia dan suaminya sering melakukan perjalanan ke pelbagai daerah di Indonesia. Lebih-lebih acara-acara penting kebudayaan, keduanya tak mau ketinggalan. Salah satu hobi mereka menonton pertunjukan wayang semalam suntuk di Senayan. “Saya terangkan kepada Paul bahwa bagian yang menarik adalah pada tengah malam. Lalu kami pun tidur dulu dan pergi kemudian. Tapi ketika kami tiba di sana, gerbangnya sudah dikunci.”

What would you do? Jangan kaget, bagai muda-mudi pacaran, keduanya nekat: memanjat gerbang! Tak berhenti sampai di situ. Terengah-engah, mereka tiba tepat pada momen yang mereka tunggu: Petruk!

Kebudayaan Jawa tampaknya memiliki tempat penting dalam pengalaman mereka. Prosesi pemakaman Sultan Hamengkubowono IX merupakan pengalaman tak terlupakan bagi Clare dan Paul. Mereka berdiri dalam lautan manusia di pinggir jalan, dan ikut berdoa buat sang Sultan.

Selalu terinspirasi oleh Clare, setahun kemudian Paul berinisiatif menyelenggarakan American-Indonesian Cultural Festival, yang kata Clare sukses besar dan mendapat banyak pujian di mana-mana. Dari semua proses yang berjalan, kata Clare, suaminya kian paham betapa penting kehidupan kebudayaan dan kesenian di mata orang-orang Indonesia, di seluruh penjuru negeri.

Clare masih menyimpan banyak kenangan bersama Wolfowitz di Indonesia. Salah seorang anak mereka, Rachel, lahir ketika Clare mendampingi Wolfowitz bertugas di Indonesia. Rachel kini tengah beranjak jadi gadis remaja, berpenampilan pemalu, tak banyak bicara. Dia sering diolok-olok di lingkaran keluarga Wolfowitz sebagai “anak Indonesia.”

BANYAK orang Indonesia memuji habis dan bangga pada Paul Wolfowitz. Tapi, begitu menyentuh soal Irak, kalangan pengkritik pun enteng mencibir. Mereka menyesalkan kebijakan Amerika menginvasi Irak. Ini tak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika sendiri. Pidato Wolfowitz bukan sekali-dua diinterupsi. Pawai-pawai demo antiperang di Washington DC, Los Angeles, dan bahkan New York, kota asalnya, selalu mengusung nama dan gambarnya dalam sisi yang paling jelek.

Ada yang menarik. Ketika demo antiperang marak di Amerika, anak sulung Wolfie, Sara Wolfowitz, ikut dalam barisan menentang kebijakan dan sikap Amerika. Sara bergabung dengan lautan demonstran Washington DC. Ada insiden menggelikan di sini. Sara keluar dari barisan demonstran karena mendengar nama hewan diteriakkan dengan merujuk nama belakang ayahnya. Dia terkesima, kaget tak percaya. Sebab, hujatan itu berarti sama dengan nama belakang Sara.

Apa sesungguhnya karakter Wolfie? Dia bisa digambarkan dengan satu kata: kontradiktif. Sebagian orang Amerika menyebut dia “a man full of contradictions.” Di balik pernyataan cinta damainya, Wolfie setuju penyelesaian militer. Di balik kelembutan hatinya, dia merekomendasi operasi kekerasan penggulingan Presiden Irak Saddam Hussein.

Di satu sisi sorot mata dan air mukanya begitu ramah, namun dia bisa begitu dingin dan bengis tatkala menentukan nasib rezim-rezim yang dinilainya jahat. Dia membela anak-anak, kaum perempuan, kalangan orang tua, rakyat jelata, dan peradaban dengan cara memerangi tanpa kompromi terhadap kelompok-kelompok yang dianggapnya penindas.Tak sedikit yang menerakan namanya dengan julukan keji. Ada yang mengatakan dia unilateralis, kanan keras, neokonservatif, conservative ideologue, Israel-centric, hardcore rightist, Wolfowitz cabal, aktor intelektual hawkish administrasi Bush, tak manusiawi, dan seabrek hujatan lain.

Tapi Wolfie pribadi tenang dalam menghadapi kritik, kecaman, bahkan makian. Lihat saja ketika dirinya diinterupsi tatkala jadi pembicara dalam pertemuan besar yang diadakan majalah The New Yorker akhir September lalu. Saat itu, sehabis menerima kecaman, Wolfie masih menerima juga yel-yel “war criminal!” dan “murder.”

“Itulah keindahan Amerika,” komentarnya.

Pengkritik Wolfowitz bukan hanya demonstran jalanan, tapi juga kalangan top Amerika, terutama para mantan jenderal yang juga veteran Perang Vietnam. Wolfie dikritik atas invasi Amerika di Irak dan kebijakan Amerika yang pro-Israel.

Yang menarik, ketika diminta naik panggung dan bicara di depan puluhan ribu orang pro-Israel alias anti-Palestina, Wolfowitz juga dicerca massa. Mereka minta Wolfowitz berhenti bicara. Kenapa? Gara-garanya, Wolfowitz mengatakan bahwa korban konflik Timur Tengah juga kalangan perempuan dan anak-anak Palestina. Sikap Wolfie terhadap Palestina dianggap lembek.

Kritisi juga mengatakan bahwa Wolfie tak tahu apa-apa soal perang, tak mengerti Islam dan Timur Tengah. Wolfie tegas mengatakan, dia mengerti Islam dan Timur Tengah. Salah seorang kritikus Wolfowitz adalah pensiunan Jenderal Anthony C. Zinni, yang juga terlibat dalam proses mediasi damai di Aceh. Zinni mengatakan, jika saja Wolfowitz muda pernah ikut perang, maka Wolfowitz dan para garis keras administrasi Bush akan berpikir seribu kali sebelum menginvasi Irak

Dalam buku terbaru Paul Waldman, Wolfowitz masuk daftar orang yang menghindarkan diri ikut Perang Vietnam. Dalam buku Fraud The Strategy Behind the Bush Lies and Why the Media Didn’t Tell You, Waldman menulis bahwa Wolfie dan mereka yang properang dan garis keras seperti Bush, Dick Cheney, Trent Lott, Dick Armey, Tom Delay, Bill Frist, Dennis Hastert, Bill O’Reilly, dan Steve Forbes malah di masa mudanya menghindar dari kewajiban dikirim ke medan perang membela Amerika.

Cibiran Waldman itu senada dengan umpatan Zinni, seperti ditulis Thomas E. Ricks, “Holding Their Ground,” dalam The Washington Post, 23 Desember 2003. “Mereka kan dulu sezaman dengan saya. Mereka mestinya dulu ada di sana (Vietnam), mereka cari jalan supaya tidak dikirim ke sana,” kata Zinni.

Zinni benar ketika mengatakan bahwa Wolfie memang tak terjun ke Perang Vietnam. Namun itu mungkin tak berarti Wolfie sosok pengecut. Sekurang-kurangnya, Wolfie dua kali ke Irak, bulan September dan Oktober 2003, masa-masa banyak tentara Amerika tewas pascaperang besar Amerika menumpas rezim Saddam Hussein Mei 2003. Tanpa pengawalan memadai, Wolfie menemui rakyat Irak di jalan-jalan, dan bahkan ke Tikrit, basis kekuatan pendukung Saddam Hussein. Kunjungan terakhirnya, Oktober 2003, bahkan nyaris merenggut nyawanya, ketika tempat Wolfie menginap, al-Rashid Hotel di Baghdad, diroket musuh. Belasan roket meluncur dan bertubi-tubi menghantam hotel yang terletak di tepi barat Sungai Tigris.

Ada cerita menarik di balik peristiwa tragis yang nyaris bikin naas itu. Dari hotel al-Rashid itu juga Wolfie buru-buru menelepon ke Washington DC. Tidak ke siapa pun, kecuali ke Clare. Wolfowitz mencoba menenangkan istrinya bahwa dirinya aman-aman saja dan roket-roket musuh tak sampai menciderainya. Clare yang ditelepon pagi buta belum mengerti perkembangan dan karenanya sempat terheran-heran. Usai meletakkan gagang telepon, Clare menyalakan pesawat televisi dan ada tayangan breaking news yang memberitakan hotel pejabat Amerika di Baghdad diroket.

Kendati sering dikritik dalam kebijakan Irak, Wolfowitz kukuh menganggap invasi Amerika ke Irak sah dan harus dilakukan. Sejak lama, Wolfie melihat Irak dan Saddam Hussein sebagai ancaman bagi warga Irak, negeri-negeri tetangga, Amerika, dan dunia.

Sejak tahun 1979, tatkala dia bertugas di Pentagon, garis kerasnya atas Irak sudah muncul, namun administrasi Jimmy Carter maupun Ronald Reagan tak menggubrisnya. Tahun 1998 bersama para koleganya di Committee for Peace and Security in the Gulf, Wolfie pun menulis surat terbuka untuk Presiden Bill Clinton supaya menyikat Irak. Namun ini pun tetap tak digubris. Baru di era George W. Bush sekarang, ide Wolfie “dibeli” dan diaktualisasi. Lebih-lebih itu pas dengan psikologi massa Amerika yang traumatis pasca 11 September 2001.

Itulah maka tiga hari setelah tragedi itu, ketika tak satu pun petinggi Amerika bicara Irak dan masih terfokus pada Afghanistan, Wolfie malah memulainya. Lalu ketika 15 September 2001 Bush mengumpulkan para penasehat intinya di “Ruang Perang” di Camp David, Wolfie diikutkan Rumsfeld. Saat jeda sebentar, dan mengobrol santai, lagi-lagi Wolfie malah menyorot Irak di depan Bush. Menurutnya, tanggapan 11 September mestinya lebih fokus ke Irak, karena perangnya jauh lebih mudah dibandingkan Afghanistan.

WARTAWAN terkemuka Bob Woodward dalam buku Bush At War, cermat sekali menceritakan peran Paul Wolfowitz. Datanya kuat, bersumber pada wawancara dengan Bush dan para petinggi Amerika lainnya. Bukunya makin menarik karena disajikan bagaikan cerita roman.

Buku ini secara komprehensif menulis “Kabinet Perang Bush,” yang membuat pembaca cepat mengerti letak dan peran Wolfowitz. Di rapat 15 September itulah Bush kemudian tertarik menarget Irak setelah Afghanistan.

Tapi pekan kedua Januari 2004 ada versi lain yang bikin heboh. Bush sesungguhnya sudah merencanakan pengerahkan pasukan Amerika menyerang Irak persis beberapa hari dirinya mengantor di Gedung Putih sejak 21 Januari 2001. Yang mengatakan itu bukan orang sembarangan, melainkan mantan Menteri Keuangan Paul O’Neill, dalam wawancaranya di televisi CBS 11 Januari 2004.

Geger pengakuan O’Neill itu diulas lugas di dalam buku terbaru karya eks wartawan Wall Street Journal Ron Suskind, The Price of Loyalty: George W. Bush, the White House, and the Education of Paul O’Neill. Jelas ini bukan buku ecek-ecek. Di buku ini, ada banyak informasi dan dokumen yang dijadikan dasar Suskind. Bahkan ada informasi yang ditandai kata “Secret,” semisal dalam dokumen berjudul “Plan for Post-Saddam Iraq."

O’Neill yang menjabat nyaris dua tahun di administrasi Bush didesak mundur dari Gedung Putih pada Desember 2002, setelah bersilang pendapat dengan Bush dalam masalah pemotongan pajak. Gedung Putih geger atas buku yang sumber utamanya O’Neill itu. Bantahan-bantahan pun segera dilakukan Gedung Putih dan Rumsfeld. Bahkan ada upaya pembentukan tim investigasi pula, melihat kemungkinan terjadi pembocoran informasi rahasia negara lewat O’Neill. Toh sampai sejauh ini pendapat umum di Amerika soal invasi Irak masih berpatokan versi Wolfowitz ketimbang versi terbaru ala O’Neill tadi.

Ciri khas Wolfowitz dan kalangan hawkish di administrasi Bush, kata penulis Phyillis Bennis, adalah kepercayaan bahwa pasca-Perang Dingin Amerika harus memegang hegemoni global yang belum ada presedennya dalam sejarah empirium manapun di dunia. Itu bagian penting buku Before & After US Foreign Policy and the War on Terrorism. Diuraikan pula bagaimana Wolfie dan kawan-kawannya percaya Amerika harus maju terus dan jangan terlalu hirau pada suara-suara sekutunya sekalipun. Kekuatan militer Amerika harus dimanfaatkan untuk kepentingan hegemoni Amerika yang memang sesuai dengan nilai-nilai, kepentingan, dan arah Amerika. Kesannya begitu militeristis, kejam, dingin, dan tanpa pandang bulu..

Ada analisis menarik soal Wolfowitz dan Irak. Wolfowitz sebenarnya trauma dengan tirani, rezim otoriter di dunia ini. Dunia berisi tiran-tiran jahat yang jika tak dibasmi akan membunuh banyak orang. Hitler dan Stalin adalah contoh kasus, yang nilainya sekelas Saddam Hussein yang telah membunuh ratusan ribu rakyat Irak dan negeri-negeri tetangganya. Kim Jong Il di Korea Utara pun masuk hitungan Wolfie. Karena itu, Amerika harus cepat dan jangan pernah kompromi dengan kekuatan-kekuatan rezim jahat, apalagi yang memusuhi Amerika. Wolfowitz tak ingin kekeliruan Amerika terulang, yakni telatnya Amerika turun tangan di Perang Dunia II yang mengakibatkan jutaan Yahudi di Eropa terlanjur jadi korban Nazi.

Di era totalitarianisme Eropa, banyak pula keluarga Yahudi di Polandia mati dibunuh Nazi, termasuk keluarga Paul Wolfowitz sendiri. Ini merupakan luka yang paling diingat di keluarga Wolfowitz. Walau Wolfie sendiri sangat enggan membuka kisah-kisah ini secara terbuka.

Dalam konteks obsesi Wolfowitz atas Irak paling konkret terjadi tahun 1980. Ketika itu dirinya sudah membaca gejala Saddam dan rezim Irak yang berambisi menduduki Kuwait dan Arab Saudi demi mengontrol ladang-ladang minyak dua negeri ini. Saat itu, Wolfowitz pula yang menyerukan perlunya persiapan militer yang lebih serius. Maksudnya, untuk jaga-jaga kemungkinan pernyerangan Kuwait. Analisis dan prediksi Wolfowitz ini mendekati kebenaran sempurna, sebab 10 tahun kemudian dunia menyaksikan rezim Saddam Hussein betul-betul menyerang Kuwait.

Wolfowitz mengatakan dia punya bukti-bukti tak langsung bahwa para teroris ada di belakang aksi-aksi serangan terhadap Amerika, termasuk tragedi 11 September 2001, dan mereka punya hubungan dengan rezim Saddam Hussein. Saksi-saksi nyata juga ada bahwa rezim Baghdad dulu melatih para tersangka teroris internasional. Fakta-fakta yang dipegang Wolfowitz ini makin menebalkan kecurigaan setelah dulu Saddam menolak menjawab atau memberikan informasi ihwal senjata-senjata, yang kata Saddam Hussein, sudah dimusnahkannya, terutama senjata kimia dan biologi. Fakta-fakta itu pula yang meyakinkan Wolfie bahwa rezim Baghdad berbahaya, penuh ancaman, dan karenanya harus dihentikan.

Menurut jejak pendapat yang dilakukan Washington Post Agustus 2003, sejumlah 69 persen warga Amerika percaya Saddam Hussein punya keterkaitan dengan peristiwa 11 September. Angka ini jelas cukup tinggi. Tapi, hingga kini kontroversi benar-tidaknya Saddam Hussein tersangkut al-Qaeda belum lagi usai. Seorang konsultan Pentagon urusan terorisme, Michael Pillsbury, menyampaikan logika yang jelas ganjil terdengar di Pentagon. Pillsbury mengatakan, al-Qaeda tak menilai Saddam Hussein sebagai teman, melainkan musuh karena tak hendak mendirikan negara Islam. Saddam bagaimana pun seorang sosialis. Pernyataan ini memukul Wolfie. Dan pukulan yang lebih telak diterima Wolfie dari Bush. Dalam pernyataannya pada 19 September 2003, Bush menyatakan bahwa Saddam tak tersangkut peristiwa 11 September 2001.

Yang barangkali melegakan Wolfie, pengakuan Bush itu tak menjadi agenda setting media. Menurut laporan majalah Editors and Publishers, hanya tiga dari 12 koran bertiras paling besar Amerika memuat berita itu di halaman depan.

PAUL Wolfowitz bercita-cita mendemokratisasikan Irak, sehingga menjadi contoh sukses untuk menularkan demokratisasinya ke seluruh Timur Tengah, yang akhirnya melenyapkan penguasa otoriter dan rezim-rezim teror. Tapi bagaimana dengan weapons of mass destruction (WMD) atau senjata pemusnah massal yang selama ini jadi alasan utama Amerika menyerbu Irak dan hingga kini tak jelas ujung-pangkalnya?

Menurut Wolfowitz, WMD adalah satu isu yang disepakati semua pihak dalam administrasi Bush. Isu-isu lainnya, seperti pergantian rezim dan pembebasan rakyat Irak, ternyata tak sekuat alasan WMD. Saddam Hussein dan Irak pernah mengembangkan WMD. Jika WMD jatuh ke tangan kekuatan jahat atau teroris, maka korban yang jatuh bakal luar biasa besar. Itu yang diyakini Wolfie.

Pengkritik Wolfowitz dalam soal senjata pemusnah massal ini lagi-lagi Zinni. Sebagai mantan panglima militer Amerika di Timur Tengah, Zinni jelas bukan sosok sembarangan. Zinni menceritakan bahwa selama menjabat dia tak pernah sekali pun mendapatkan keterangan intelijen yang menyebutkan Irak memiliki senjata pemusnah massal. Menurut Zinni, sebelum invasi Amerika pun kekuatan Saddam Hussein sudah habis. “Dia (Saddam) pun bukanlah ancaman bagi kawasan (Timur Tengah).”

Kongreswan Charles Rangel di WNBC menjelang tutup tahun 2003 menjelaskan, “Kita (Amerika) sudah menangkap Saddam Hussein. Namun sudah lupakah kita bahwa adalah Presiden George Bush yang menyatakan dirinya tidak punya bukti bahwa Saddam Hussein bertanggung jawab atas serangan 11 September? Sudah begitu lupakah kita bahwa kita tidak memiliki bukti bahwa dia mempunyai senjata pemusnah massal yang bakal menaruh kita dalam marabahaya? Sudah lupa pulakah kita, tak ada bukti sekarang ini bahwa dia pernah terkait dengan al-Qaida?”

Laporan tutup tahun 2003 Carnegie Endowment for International Peace juga menampik keterkaitan Saddam Hussein dengan al-Qaida. Laporan ini mencemooh posisi Amerika dalam perang Irak. Dinyatakan bahwa tak ada bukti solid kerja sama pemerintah Saddam dan al-Qaida, dan tak ada pula bukti upaya Irak mentransfer senjata pemusnah massal ke tangan para teroris. Data ini tentu mengecewakan Judih Miller, wartawati terkemuka The New York Times, yang sebelum perang begitu getol menulis betapa berbahaya Irak dengan segala senjata pemusnah massal yang dimiliki rezim Saddam Hussein. Miller dan kalangan wartawan yang sering dituding ikut menabuh genderang perang ke Irak kini hanya bisa mesem-mesem. Miller sering mendapat cemooh.

Eric Alterman, seorang senior fellow dari Center for American Progress, makin memojokkan mereka yang properang. Dia menuding Wolfie dan kawan-kawan, yang sudah lama berencana menyerang Irak, sekadar mengeksploitasi trauma 11 September. “Amerika tidak pernah diancam Irak. Tidak ada yang namanya senjata pemusnah massal itu, tidak ada koneksi (Irak) dengan al-Qaida.”

Kepuasan dan kelegaan pascatumbangnya Saddam Hussein berlalu cepat. Protes dan kekecewaan cepat berbalik lagi ke administrasi Bush. Coba tengok polling The Washington Post. Sembilan dari 10 orang Amerika menganggap problem besar masih belum hilang di Irak. Makin menguat jumlah orang Amerika yang berpendapat bahwa perang membuat situasi menjadi lebih buruk dibandingkan menjadi lebih baik. Orang-orang pun skeptis pada Ahmad Chalabi, tokoh oposisi Irak yang dulu getol melawan rezim Saddam, tapi kini mulai dihujat bahwa dia sendiri sering berlaku tak demokratis. Chalabi pula yang ditengarai memberikan informasi mengenai WMD kepada wartawan macam Judith Miller.

Menurut sebuah jajak pendapat yang diterbitkan Associated Press, hampir separuh penduduk Baghdad mengatakan bahwa Irak lebih buruk sekarang dibandingkan sebelum invasi Irak. Namun, masih dalam jajak pendapat yang sama, dua per tiga rakyat Irak merasa keadaan akan lebih baik dalam lima tahun ini dibandingkan yang dialami era Saddam Hussein.

Isu Irak, kini dan mendatang, akan menentukan di mana Wolfie berada sekiranya Bush menang lagi dalam pemilihan presiden Amerika mendatang. Wolfie bisa saja menduduki posisi menteri luar negeri, menggantikan Colin Powell yang lembek dan bahkan kini sakit-sakitan, atau naik ke nomor satu Pentagon, menggantikan Donald Rumsfeld yang sudah sepuh, 70 tahun. Bukan tak mungkin Wolfie pun menggeser penasehat keamanan Gedung Putih, Condoleezza Rice. Tapi, bagaimana kalau Bush kalah? Ah, Wolfie belum lagi tua.*

by:Ramadhan Pohan