Biara Trappist

Hendra Wibawa

Mon, 2 February 2004

SUATU pagi di paruh akhir 2003. Hujan deras jatuh seperti ribuan jarum perak menghujam ke lahan perkebunan sepanjang wilayah Getasan, sebuah kawasan di daerah Jetak Salatiga.

SUATU pagi di paruh akhir 2003. Hujan deras jatuh seperti ribuan jarum perak menghujam ke lahan perkebunan sepanjang wilayah Getasan, sebuah kawasan di daerah Jetak Salatiga. Dari balik kabut hujan, beberapa atap bangunan berwarna merah mencuat dari rimbunan pohon. Sekilas bangunan-bangunan itu menyerupai kastil Eropa pada abad pertengahan. Baru setelah didekati, tampaklah jajaran bangunan biara, sebuah tempat penyepian.

Bangunan tersebut terletak di Bukit Gedono, 15 kilometer arah barat daya kota Salatiga, Jawa Tengah. Luas arealnya mencapai delapan hektar. Sehektar untuk bangunan, selebihnya ditumbuhi pepohonan, palawija, dan pemakaman.

Hujan telah berganti gerimis ketika saya melangkahkan kaki ke rumah tamu, bangunan yang cukup besar bagi para tamu yang tak setiap hari ada. Bangunan ini menghadap ke utara, dengan bentuk memanjang, berkoridor. Temboknya terbuat dari batu alam yang tersusun rapi. Berdiri di atas gundukan tanah dengan dua undakan tangga di depannya. Tangga pertama langsung menghubungkan area parkir dengan tempat pendaftaran tamu. Tempat pendaftaran tamu hanyalah sebuah jendela kayu berbentuk kubah, satu jadwal biara, serta satu bel listrik di sampingnya. Bel listrik itulah satu-satunya alat komunikasi verbal yang disediakan khusus untuk tamu biara. Suster tamu akan datang usai bel itu dibunyikan.

Tangga kedua berfungsi menghubungkan rumah tamu dengan retreat, rumah penyepian diri khusus untuk tamu. Tangga ini berbentuk tiga sengkedan dengan atap di atasnya. Kesan yang terbentuk amat harmonis. Rumah retreat menjadi salah satu kawasan yang steril dari kebisingan.

Ada dua rumah retreat dan satu rumah toko di depan rumah tamu. Letaknya di bagian bawah area parkir. Bangunannya berbentuk persegi, beratap limasan. Sama dengan rumah tamu, rumah retreat dan rumah toko menggunakan tembok berbahan batu alam. Rumah toko menyediakan beragam hasil kerja tangan para rubiah, sebutan untuk biarawati. Rumah retreat, sesuai namanya, memiliki fungsi penyepian diri bagi para tamu. Untuk tamu yang sekadar melihat apalagi tanpa tujuan jelas dilarang mendekat.

Biara ini disebut Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, yang didesain Darwis Khudori dan almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya –atau biasa disapa Romo Mangun.

Romo Mangun dikenal sebagai pastor, pendidik, arsitek, sastrawan, sekaligus budayawan. Dia meninggal pada 10 Februari 1999. Sebagai seorang arsitek, karyanya cukup banyak. Satu karya termasyhurnya, pemukiman Kali Code di Yogyakarta, memeroleh Aga Khan Award tahun 1992, semacam penghargaan Nobel untuk karya arsitektur. Darwis Khudori seorang insinyur dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Darwis kini bermukim di Paris dan menjadi dosen senior di Lembaga Bahasa-bahasa dan Peradaban Timur di Universitas Le Havre, Prancis. Kerja besar mereka mendapat penghargaan utama dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori Desain Arsitektur.

MENJELANG siang, hujan berhenti. Samar-samar matahari mengintip dari balik awan. Saya kini berada di salah satu ruang tamu dari tiga ruang tamu. Tempatnya tak begitu besar, tapi suasananya amat terang. Ornamennya ada dua pintu yang saling berseberangan, empat jendela berbentuk kubah, serta banyak kisi jendela berbentuk persegi dan bulat. Satu ventilasi cahaya lagi berada di atap yang membawa cahaya matahari jatuh ke lantai ubin dan berpendar ke seluruh ruangan. Itu pun masih ditambah variasi cahaya buatan dari dua bola lampu yang tergantung apik.

Dekorasi interiornya amat minimalis. Hanya ada satu meja panjang yang memisahkan wilayah tamu dari rubiah di ruangan ini. Ada dua kursi plastik yang tersedia di wilayah tamu dan puluhan lainnya bersandar di pojok ruangan dalam posisi terlipat. Elemen tembok dari batu alam yang mayoritas berwarna hitam menambah suasana magis. Di ruangan yang nyaman inilah saya ditemui Martha E. Driscoll, seorang suster kelahiran New York 59 tahun lalu. Di sana dia menjabat Abdis, pemimpin komunitas para rubiah di pertapaan.

Kata Driscoll, rencana Romo Mangun membangun pertapaan dengan bahan alam bukanlah tanpa alasan. Areal yang berada di lerengan bukit Gedono ternyata menyimpan beragam bahan alam untuk bangunan. Pasir mudah diperoleh dari sungai di samping bukit. Begitu pula kayu jati yang sudah tersedia di lahan milik pertapaan. Selain itu, ada satu alasan yang bernuansa sosial. Ceritanya, Romo Mangun menemukan bebatuan di pinggir jalan sekitar pertapaan. Kebetulan selain bekerja memecahkan batu, sebagian penduduk di sana berprofesi sebagai penjual batu. Maka diputuskanlah menggunakan batu sebagai bahan dasar bangunan pertapaan.

“Dia,” kata Driscoll mengacu Romo Mangun, “melihat di jalan kok banyak orang jual batu-batu yang dikeluarkan dari ladangnya. Dan justru itu memberi ide kepadanya untuk membangun dari batu untuk membantu orang miskin di sekitar sini.”

Begitu rencana diamini, tahun 1985 panitia pembangunan mulai mendekati warga. Mereka menyambut dan menyediakan bahan baku batu.

Ketika pembangunan usai, mereka bukan saja memiliki bangunan pertapaan tapi juga sejarah. Patut dicatat, tempat itu merupakan pertapaan pertama rubiah Ordo Cisterciensis Observansi Ketat di Indonesia. Orang lebih mengenalnya sebagai pertapaan rubiah Ordo Trappist.

Prinsip yang dipegang teguh oleh para rahib dan rubiah Ordo Trappist adalah hidup monastik dan kerja tangan. Kedua prinsip ini pula yang dipakai dalam pembangunan pertapaan. Hidup monastik diwujudkan dalam kebersamaan membangun gedung-gedung pertapaan. Tak memandang laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua menyatu dalam fungsi masing-masing. kerja tangan berarti benar-benar meninggalkan peralatan modern dan menggantinya dengan peralatan seadanya. Ciri khas ini diilhami oleh generasi pertama Ordo Trappist sekitar abad ke-6 yang hidup dari bekerja tangan.

Dalam pergerjaan pertapaan, prinsip tersebut benar-benar dipraktikkan. Dari mematahkan batu, menyusunnya menjadi tembok, semua dikerjakan dengan melibatkan rahib, rubiah, serta warga sekitar. Semuanya dengan keahlian tangan. Hasilnya menakjubkan. Penonjolan batu alam pada bangunan pertapaan membuat pemandangan jadi eksotis. Selain itu, dari sebongkah batu yang disusun menjadi tembok, seperti menyimpan sebuah kisah keterampilan dan ketekunan para pembuatnya. Harmonisasi dengan alam ini juga diwujudkan dalam porses pengerjaannya. Tak ada mesin, kecuali satu gergaji listrik. Semen dicampur sendiri, segala-galanya dibuat sendiri.

Bukti lain betapa manusiawi desain dan pembangunan pertapaan bisa dirunut dari penggunaan bahan-bahannya yang bukan untuk struktur utama. Misalnya plafon, dinding bambu, serta kayu harus sering dibersihkan, diperbaiki, dan diganti dalam selang waktu tertentu. Oleh Romo Mangun, bahan-bahan itu tak dimaksudkan untuk bertahan selamanya. Maksudnya, agar memberi pekerjaan pada para tukang dari warga desa sekitar. Konsekuensinya, biaya menjadi sedikit lebih mahal. Sekurangnya 40 sampai 50 orang terlibat ketika pertapaan sedang dibangun.

Keterlibatan mereka memudahkan Romo Mangun untuk menajamkan visi ekologinya, hingga karyanya memiliki bobot “eko-desain.” Ini tunjukkan pada rancangannya yang amat memperhatikan kontur tanah yang menanjak. Bentuk akhir bangunan menjadi terasering, dengan total tujuh tingkat, dua puluh tujuh bangunan, serta seratus lima puluh anak tangga. Bentuk ini sedikit mirip dengan desa-desa lain di Salatiga yang akrab dengan desain lerengan.

Agar pesona alami tak didominasi tembok berbahan batu alam, Romo Mangun mengaksentuasikan desain pintu dan jendela. Setiap jendela memakai bentuk geometri yang berbeda-beda di tiap ruangan. Dia ingin memberi cahaya, yang tak hanya dihasilkan dari jendela, pintu, dan atap tapi juga dari kisi-kisinya. Meski hanya berbentuk bulatan dan persegi seluas jari-jari tangan orang dewasa, desainnya amat apresiasif. Kisi-kisi ini dibuat tak monoton dengan merangkainya secara berbeda di tiap ruangan.

Driscoll berrcerita, sekitar 1990 seorang master tukang kayu dari Eropa diundang oleh Pendidikan Industri Kayu Atas Semarang untuk berceramah di pertapaan. Namanya Heinz Frick, yang saat itu sedang menjalani pendidikan di Eropa. Kedatangannya juga untuk melihat secara khusus desain Romo Mangun. Heinz Frick mengatakan, kisi-kisi yang berbeda itu mengandung filosofi Jawa yang amat kental. Kisi-kisi yang bulat dan persegi menggambarkan dunia ruang dan waktu. Yang bulat menggambarkan waktu yang berputar, sementara yang persegi melambangkan ruang.

DRISCOLL benar-benar memahami pembagian wilayah pertapaan yang didesain Romo Mangun. Sebaliknya Romo Mangun juga mengetahui kebutuhan ruang dan sistem di pertapaan monastik. Bagi Romo Mangun, pembagian ruang mesti teratur dan efisien layaknya hidup monastik yang teratur dan terjadwal. Maka masing-masing bagian gedung dibuat terpisah satu sama lain. Bangunan fisik pertapaan akhirnya memungkinkan ruang menjadi hidup dan menghidupi pertapaan dengan fungsi yang berlainan. Misalnya ruang ibadah dalam satu gedung, ruang cuci satu gedung, ruang dapur dan makan satu gedung, serta ruang tidur dari empat gedung berbentuk rumah panggung.

Lengkapnya, pembagian gedung pertapaan layaknya susunan kulit manusia. Ada wilayah terluar dan terdalam. Untuk memisahkan bagian luar dari bagian dalam dibangun pagar pembatas yang terbuat dari pasangan conblok berornamen floralistik. Prinsipnya seperti rumah dengan ruang-ruang terbuka, ruang-ruang yang tertutup bagi tamu, dan tempat berdoa bersama.

Bagian paling depan diperuntukkan bagi para tamu. Kawasan ini diistilahkan dengan wilayah pelayanan tamu. Bangunannya terdiri atas tiga kamar pelayanan tamu dan satu ruang penjaga kamar tamu. Bagian berikutnya disebut wilayah spiritual. Di wilayah ini ada gereja yang menjadi sentrum pertapaan. Di pertapaan gereja memiliki fungsi sangat vital, yaitu sebagai tempat perayaan ekaristi (Misa Kudus), menderaskan mazmur dan doa-doa, serta ibadah harian. Di wilayah ini terdapat juga ruang baca khusus pertapaan dan kamar abdis untuk pelayanan bimbingan rohani bagi penghuni pertapaan. Fungsi wilayah spiritual ialah sebagai tempat berekonsiliasi dengan Allah. Bisa dipahami kalau suasana di wilayah ini hening.

Setelah wilayah spiritual ada wilayah kehidupan. Letaknya lebih mendalam. Wilayah ini di antaranya rumah untuk makan dan dapur, rumah cuci pakaian, serta rumah untuk tidur. Di wilayah ini suasana memang sedikit berbeda. Suasana akrab antarrubiah tercipta. Di wilayah ini yang ingin dimunculkan adalah suasana untuk menghayati dengan sadar persekutuan iman antaranggota komunitas pertapaan. Dalam kehidupan pertapaan, keutuhan hidup diciptakan dalam bentuk hidup berkomunitas.

Wilayah berikutnya adalah Novisat, suatu tempat khusus untuk pembentukan rubiah muda. Letaknya makin ke dalam. Di wilayah inilah para rubiah muda bertempat tinggal. Istilahnya prakondisi di pertapaan. Tentang letaknya yang amat tinggi, sambil terkekeh Driscoll menjawab, “mereka punya daerah yang lebih tinggi, karena mereka muda dan masih punya kaki kuat untuk naik-turun.”

Wilayah terakhir yang paling atas adalah wilayah kerja. Para rubiah yang berjumlah 34 orang –terdiri atas 16 suster berkaul agung, delapan berkaul sementara, lima novis, dan lima potulan–bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup berkomunitas. Di tempat ini mereka membuat hosti, selai, serta sirup. Mereka juga mencetak kartu-kartu bergambar dan teks-teks rohani, membuat rosario serta ikon. Semuanya dengan tangan. Letak bangunannya amat ke dalam. Sangat berjarak dengan wilayah spiritual.

Dalam kehidupan Ordo Trappist, kehidupan duniawi dan spiritual mesti berjarak. “Semua itu dipikirkan oleh Romo Mangun, tak hanya fungsi tapi arti-arti, nilai-nilai hidup. Misalnya dengan membuat rumah-rumah panggung kecil untuk tidur itu dipikirkan untuk kami,” kata Driscoll.

Yang disebut rumah panggung kecil untuk tidur olehnya adalah bangunan panggung berbahan kayu. Jumlahnya empat rumah. Masing-masing memiliki empat kamar tidur. Rumah panggung dibangun melingkar dengan taman di tengah-tengahnya. Antara rumah panggung satu dan lainnya tersambung tangga beratap. Rumah panggung ini beralaskan papan yang disusun renggang. Tak ada karpet apalagi kasur. Meski begitu, dari luar, rumah panggung itu tampak indah.

Para rubiah sempat mengeluh. Mereka merasa kedinginan di malam hari akibat angin yang menerobos masuk dari bawah tempat tidur. Beberapa rubiah lain bahkan terserang virus influenza. Kejadian itu dilaporkan langsung ke Romo Mangun. “Saat itu saya bilang tak begitu praktis kalau kita hidup. Dia bilang, ‘O, ndak pa-pa, di Eropa sana juga dingin. Lebih penting artinya daripada keenakkannya,’” katanya.

Driscoll pernah lama tinggal di Eropa. Karenanya dia sepaham dengan Heinz Frick. Menurut Driscoll, Frick mengurai pilihan desain Romo Mangun secara kritis. Arsitektur Barat lebih memperhatikan interior daripada eksteriornya. Alasannya, bagian dalam dibuat sebagai tempat orang berkumpul. Sementara arsitektur Jawa tidak.

Bagi Driscoll sendiri, dari luar arsitektur Asia tampak bagai patung. Sebagai patung penampakan luarlah yang diperhatikan. Arsitektur Borobudur bisa jadi contoh betapa penting luaran daripada isi dalamnya. Arsitektur Borobudur juga menonjolkan bagaimana lekukan dan kehalusan hasil pahatan tangan di relief-reliefnya yang bernilai artistik tinggi.

Meski begitu semua itu tak menyurutkan penghargaannya pada karya Romo Mangun. Terlebih pada desain pertapaan di Salatiga ini. “Dia (Romo Mangun) sangat menghargai panggilan hidup kami. Juga banyak unsur yang dia buat agar suasananya semadi. Yang penting nilai, dia tahu itu. Dia mau ini sebagai tempat di mana orang bisa mendekatkan diri pada Tuhan. Karena itu penting juga keindahan alamnya,” katanya.

AWAL tahun 1990. Gereja Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono belum juga terbangun. Martha E. Driscoll akhirnya berangkat ke Yogyakarta untuk menemui Romo Mangun. Tujuannya, membuat suatu kontrak untuk merealisasikan pembangunan gereja. “Saya ajukan sekurangnya kontrak,” kata Driscoll kepada Romo Mangun.

“Saya tidak sanggup. Kalau mau cari arsitek lain boleh.”

Driscoll akhirnya memutuskan untuk membangun gereja sendiri dengan bantuan Ari Sumardi Siulbertus, rahib dari Pertapaan Cisterciensis Santa Maria Rawaseneng, Temanggung, sebagai pelaksana. Romo Suilbertus, begitu dia dipanggil, mahir dalam masalah pembangunan dan pertukangan. Dia awalnya pengawas kerja pembangunan Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono. Karenanya dia akrab dengan para tukang. Dia tak sungkan membantu para tukang menggergaji kayu atau mengaduk semen. Selain itu, hubungan eratnya dengan Romo Mangun memungkinkan Suilbertus mengerti gaya dasar desain Romo Mangun.

“Waktu Romo Mangun bilang tidak sanggup untuk terus, dia datang satu kali untuk melihat medan, karena kami akan teruskan sendiri. Dia menyetujui beberapa hal dasar tentang di mana dan bagaimana,” katanya. “Dia senang kami mau teruskan dengan gaya yang sama. Sesudah itu dia datang dan kami menentukan tempatnya yang kira-kira kami akan buat dan dia setujui.”

Driscoll kembali menceritakan betapa asyik berbincang dengan Romo Mangun di Yogyakarta. Di penghujung tahun 1990 itu mereka berdiskusi tentang konsep gereja. Sebelumnya Romo Mangun mau membuat gereja yang sangat berbeda, dengan tujuh atap.

Rencana Romo Mangun itu tak terealisasi. Gereja dan satu bangunan Kapel yang terbangun di pertapaan merupakan rancangan para suster dengan bantuan Heinz Frick. Gereja berbentuk menyiku menghadap ke arah timur. Karena menyiku, gereja memiliki dua ruangan besar; satu ruangan sejajar dengan rumah tamu dan satunya sejajar dengan lerengan bukit Gedono. Yang sejajar rumah tamu diperuntukkan khusus bagi tamu pertapaan. Sementara yang sejajar dengan lerengan khusus diperuntukkan para rubiah. Masing-masing ruang memiliki fungsi yang berbeda. Ornamen yang ditonjolkan bangunan gereja juga tak berbeda jauh dari rumah tamu. Perbedaannya cuma pada elemen cahaya yang amat dominan, terutama di bagian altar. Mulai dibangun bulan Januari 1990 dan selesai 21 Juni 1991.

Darwis Khudori bilang, gagasan dasar desain pertapaan berasal dari tiga sumber pokok. Pertama, dari pemilik bangunan, yang waktu itu diwakili Romo Frans Harjawijata OCSO dari Pertapaan Santa Maria, Rawaseneng, Temanggung. Kebutuhan ruang, jenis-jenis dan ukuran-ukurannya, begitu pula skema tata letaknya, sudah dirumuskan dan digambarkan dengan jelas oleh pemilik bangunan. Kedua dari Darwis Khudori yang ditugaskan Romo Mangun untuk membuat rancangan awal berdasarkan skema tersebut. Ketiga dari Romo Mangun sebagai arsitek kepala.

Bagi arsitek Andy Siswanto, Romo Mangun biasanya akan memunculkan semua material alam yang bisa diperlihatkan. “Material menurut dia punya language sendiri. Tak perlu ditutup-tutupi tapi ditonjolkan. The art of detailing-nya bagus sekali,” katanya.

Andy Siswanto pengagum gaya arsitektur Romo Mangun. Karya desainnya di bantaran kali Anyar di Mojosongo, Solo, tahun 1999, diilhami keberhasilan Romo Mangun membangun permukiman Kali Code di Yogyakarta. Karya desain Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, bagi Andy, termasuk desain modern yang menyentuh wilayah regionalisme. Arsitektur pertapaan Romo Mangun diupayakan bisa hening, tenang, diam, kontemplatif dengan ada cloister (ruang terbuka di tengahnya).

Hal lain, Romo Mangun tertarik pada cahaya. Cahaya itu dipantau terus untuk menegaskan eksistensi dan kualitas ruang, seraya sesekali menciptakan suasana melalui cahaya. Itu sebabnya, pembukaan-pembukaan jendela bagi Romo Mangun penting, termasuk komposisi detailnya.*

kembali keatas

by:Hendra Wibawa