Rekaman Mitos Dan Ritual Seks

Ni Luh Dian Purwati

Mon, 3 February 2003

PERLU keberanian untuk memulai sesuatu. Begitu juga untuk masuk dalam kehidupan yang asing. Rama Surya, seorang fotografer freelance, memulainya dengan keraguan

PERLU keberanian untuk memulai sesuatu. Begitu juga untuk masuk dalam kehidupan yang asing. Rama Surya, seorang fotografer freelance, memulainya dengan keraguan, perut sedikit mulas karena gugup ketika ia membayangkan akan masuk ke wilayah prostitusi. Mau tak mau ia harus menjelajah wilayah Pekerja Seks Komersil (PSK) ketika terlibat dalam penggarapan buku Bali Living in Two World yang diterbitkan oleh Museum der Kulturen. Basel, Swiss.

Semawang adalah nama yang identik dengan prostitusi di Bali. Semawang sendiri adalah sebuah desa di Denpasar Timur dengan beberapa kompleks pelacuran terselubung. Tempat itulah yang didatangi Rama. Oleh kawannya, ia diberikan pedoman, cari rumah atau tempat yang nomernya diakhiri dengan huruf X, seperti 88X, 123XX, dan yang sejenisnya.

Dia memilih salah satu tempat di Semawang. Tempat yang bernomer diakhiri huruf X. Suasananya remang-remang. Ia memilih meja dengan lampu penerang berwarna hijau berkekuatan lima watt. Di sebuah beranda belasan gadis berpenampilan seksi ngobrol sambil menunggu panggilan. Tempat ini mulai hidup di atas pukul tujuh malam hingga tutup pada pukul dua dinihari. Malam itu sekitar 40-an lelaki datang dan pergi. Kalau cocok dengan selera, pemakai jasa langsung menunjuk pilihannya kepada makelar. Pelanggan dan gadisnya langsung menuju bagian belakang. Ada tujuh kamar berukuran 3×3 meter dengan kamar mandi di dalamnya, juga disediakan handuk dan sabun. Waktu itu tahun 2001, tarif untuk sekali short time Rp 70 ribu. Sekarang sudah naik menjadi antara Rp 100 ribu sampai Rp 125 ribu. Bila seorang pelanggan sungkan untuk main di lokasi tersebut, dia dapat memesan untuk diantar ke hotelnya. Si gadis pilihan akan diantar oleh kurir dengan sepeda motor. Tentu ada tambahan biaya.

Awalnya Rama Surya datang hingga tiga kali hanya untuk duduk, minum bir, sambil pura-pura merokok. Ia masih bingung dan khawatir. Kamera Leicanya yang kecil masih tersimpan di balik jaket. Untuk memulai pembicaraan terasa sulit. Makelar akan datang menyapa tamu yang datang dengan ramah. Tak ada tekanan untuk memilih sesegera mungkin. Biasanya makelar akan memanggil beberapa gadis untuk menemani tamu bila diminta. Karena tak juga mengajak ke kamar, si fotografer yang berlagak pelanggan ini akhirnya ditinggalkan oleh gadis-gadis tersebut. Hampir saja kedatangan keempat tanpa hasil kalau seorang perempuan tak memanggilnya di depan cafe remang-remang sekitar 20 meter dari rumah bordil pertama.

“Psst … psst…,” demikian suara panggilan perempuan itu. Saat itu pukul tiga pagi dan Rama baru saja memutuskan untuk pulang. Ia tertegun. Perempuan itu bilang belum dapat pelanggan malam itu, padahal harus beli susu untuk anaknya. Keberanian sebagai Om Senang pun muncul. Ia menyanggupi short time seharga Rp 50 ribu.

Ketika pintu kamar telah tertutup, perempuan yang berusia 30-an tahun itu langsung menanggalkan busana mininya. Kurang dari hitungan lima detik perempuan itu sudah telanjang. “Ayo buka bajumu cepat, waktu kita tak banyak,” kata perempuan itu.

Rama tertegun. Agak panik, dia minta perempuan itu memakai lagi bajunya dan memintanya agar tak terburu-buru. Untunglah perempuan itu menurut walau terlihat ia agak heran. Untuk mengalihkan situasi, Rama memancing perempuan itu untuk bercerita tentang dirinya. Ketika perempuan itu bertanya balik pada Rama, iapun menjelaskan profesinya sebagai fotografer yang suka memotret cewek-cewek. Suasana jadi lebih santai. Mereka saling bercerita satu sama lainnya. Keberanian yang menghasilkan informasi dan beberapa foto.

Perempuan itu bernama Lily. Ia memutuskan untuk datang ke Bali setelah bercerai dengan suaminya. Ada satu anak yang dibawanya. Anak itu memerlukan nafkah. Baginya tak apa menjadi pekerja seks asal ada uang untuk makan. Waktu satu jam hampir lewat, Lily sempat menolak ketika Rama membayarnya. Katanya ia tak bisa menerima uang tanpa bekerja. Rama sendiri mengaku tak bisa melakukannya dengan alasan lelah.

“Saya bukan pengemis, ayo main saja,” kata Lily. Rama mendesak dan akhirnya Lily menerima juga uang pembayaran itu. Pukul 4 dinihari Lily membayar sewa kamar kepada seorang perempuan setengah baya.

PERJALANAN kedua adalah Batam. Kali ini lebih percaya diri. Dari informasi sopir taksi, Rama Surya menginap di sebuah hotel yang dikenal sebagai penginapan untuk sewa kamar short time. Ia booking satu perempuan dengan tarif Rp 300 ribu dari satu tempat karaoke di kawasan Nagoya, pusat kota Batam. Namanya Sriti.

Sriti berasal dari Jawa Tengah. Ia merantau ke Bandung untuk mencari kerja ternyata terjerumus jadi pekerja seks. Di Bandung beberapa lama, ia berpikir untuk pindah. Batam adalah pilihannya. Terlalu banyak saingan di Bandung. Batam bukan tanpa saingan, tapi yang datang ke Batam umumnya lelaki Singapura. Standar pembayarannya lebih tinggi ketimbang orang lokal.

Sriti tak mau bicara banyak tentang masa lalunya. Dia menolak manjawab. Masa lalu itu ibarat kubangan hitam yang menganga. Melihat ke masa lalu rasanya menyakitkan.

Saat bersama Rama, Sriti sedang lelah karena dia termasuk laris. Namun, ia tak bisa menolak tugas. Ia hanya minta agar jangan menggunakan obat kuat karena akan sangat melelahkan dan menyakitkan alat vitalnya. Ini sering dilakukan konsumennya agar dapat melakukan senggama selama dua jam tanpa henti. Mereka tak mau tahu bagaimana keadaan perempuan yang sedang dikencani dan seolah tak mau tahu.

RAMA Surya datang ke Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, karena tertarik pada legenda setempat. Berdoa di makam Pangeran Samudra dan Nyai Ontrowulan dipercaya bertuah rezeki. Apalagi kalau diiringi ritual seks dengan orang yang bukan pasangan sah di sekitar tempat itu. Kepercayaan ini menumbuhkan praktek prostitusi di sekitar tempat ziarah itu.

Perempuan-perempuan yang berdiam di sekitar tempat itu umumnya bukan warga desa setempat. Marni adalah salah satunya. Ia tinggal di sebuah warung kecil dengan enam ruangan tambahan. Dapur, kamar mandi, dan empat bilik tidur kecil, yang masing-masing hanya dapat memuat dipan dan meja kecil. Dinding bangunan terbuat dari kayu, lantai tanah, dan beratapkan seng.

Marni berasal dari salah satu desa di Jawa Tengah. Ia datang hanya pada saat ramai, yaitu setiap Kamis dan Jumat Pon. Pada hari biasa, ia bekerja sebagai pekerja seks di tempat lain.

Marni tak akan ada di warung itu bila suami tak mengkhianatinya. Mereka bercerai dan sang suami meninggalkan Marni bersama dua anaknya. Ia harus menghidupi anak-anak itu. Ia memilih prostitusi.

NATALI berusia 15 tahun ketika kedua orang tuanya meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Ia anak tunggal tanpa sanak saudara. Usia 15 tahun adalah usia yang labil. Tiba-tiba saja semuanya terampas. Ia terhenyak dan tak tahu harus bagaimana.

Pucuk dicinta ulam tiba. Seorang tetangga desanya mengajak Natali ke Surabaya. Ia dijanjikan pekerjaan yang mudah dengan hasil yang lumayan. Jadilah ia masuk ke salah satu tempat prostitusi di Surabaya. Ia tinggal di sebuah wisma dengan delapan temannya yang berprofesi sama. Dia daun muda di sana.Tempat itu cukup ramai. Pelaut-pelaut asing sering mendatanginya untuk mencari hiburan.

Natali memiliki paras yang cantik. Dia juga centil dan suka menggoda. Terlebih lagi ia masih muda. Tak heran ia termasuk primadona. Dalam usia 17 tahun ia menerima US$25 untuk pelanggan lokal. Orang asing US$100 jika mau booking. Natali lebih senang melayani orang asing, yang kebanyakan pelaut Filipina. Mereka lebih murah hati memberi tips besar. Tapi ancaman virus HIV membayangi mereka setiap saat.

Seorang ibu pemilik kios telekomunikasi yang berada dekat wisma tersebut bercerita. Dia pernah menerima dan merawat pekerja seks yang menderita AIDS. Mucikarinya mengusir ketika mengetahui perempuan itu kena penyakit tak tersembuhkan itu. Tanpa uang sepeserpun. Setelah kondisinya membaik, si ibu pemilik memberikan sedikit modal untuk berjualan bensin eceran. Agar perempuan tercampak itu tak menularkan penyakitnya dengan kembali bekerja sebagai pelacur jalanan.

Kehadiran wisma-wisma itu meresahkan warga kelurahan setempat. Pekerjaan mereka dianggap rendah dan sesat. Namun ada rasa tak tega juga untuk langsung mengusir mereka. Aparat kelurahan bekerjasama dengan ustad-ustad dari Nahdlatul Ulama membuat pengajian untuk mereka. Setiap wisma wajib menyertakan satu penghuninya yang Muslim untuk ikut pengajian setiap satu kali seminggu. Mereka didoakan agar cepat mendapat jodoh. Jodoh lelaki yang bertanggung jawab akan menghentikan praktek prostitusinya.

Niat baik tersebut tak selalu mendapat reaksi gembira. Beberapa peserta sebetulnya enggan untuk ikut. Mereka merasa jengah dengan dakwah-dakwah yang diberikan karena mereka juga tahu pekerjaan mereka adalah haram. Tapi pengajian tetap berjalan dan selalu saja satu anggota penghuni wisma yang harus pergi mewakili. Pemilik wisma harus mematuhi peraturan ini bila tak ingin kena sanksi.

Karmi, perempuan berumur sekitar 40-an tahun. Ia tinggal di wisma yang lain. Ada lima perempuan lain yang juga umurnya mendekati separuh baya. Tarifnya jauh lebih murah dari yang muda-muda.

Ibu Karmi seperti perempuan lain di wisma itu. Ketika senja tiba ia mempersiapkan diri untuk menyambut, menerima dan melayani tamu-tamunya. Aktivitas melelahkan yang ia kerjakan hingga subuh. Pagi hingga siang ia membayar tidur malam yang tak sempat dilakukannya. Siang sekitar jam sepuluh ia bangun, lalu masak, atau membersihkan kamarnya. Pekerjaan sehari-hari yang tak jauh beda dengan teman sewismanya.

Ada satu aktivitas unik membuatnya berbeda dengan perempuan lain di wisma itu. sesuatu yang tak dikerjakan PSK lain di waktu senggang mereka. Membuat kristik. Menyulam benang diatas plastik berlubang segi empat kecil. Macam-macam yang ia buat. Di antara semua karyanya, ia paling suka menyulam gambar wajah Presiden Sukarno dan Pancasila. Ia penggemar berat Sukarno. Pada waktu pemilu yang lalu dia memilih PDI-P.

Menurut Rama Surya, bagi orang desa, Pancasila mempunyai arti yang mendalam dan amat lekat dalam hati mereka. Kadang gambar Pancasila juga simbol yang cukup ampuh untuk menyatakan diri pancasilais. Ia mencontohkan, ketika bertandang ke Kedung Ombo, ada penduduk yang memasang gambar Pancasila besar di depan rumahnya. Waktu itu masalah Kedung Ombo sedang hangat-hangatnya. Penduduk memasang gambar itu untuk menghindarkan diri dari tuduhan PKI (Partai Komunis Indonesia). Karena aparat Orba memberi cap PKI bagi yang menentang kebijakan pemerintah.

Gambar kristik itu dipajang di dinding kamarnya. Pernah beberapa tamu yang ia layani tertarik dan membeli gambar Sukarno atau Pancasila. Saat bertemu Rama, ia sedang menyelesaikan gambar R.A. Kartini. Ia juga mengatakan akan membuat gambar Megawati dalam waktu dekat. lagi-lagi alasannya karena Mega adalah idolanya.

“Melayani tamu” baginya lebih menguntungkan daripada menggantungkan hidupnya pada kristik. Tak banyak yang tertarik pada karya tangan ini. Ia tak bisa menjualnya setiap saat selain memerlukan waktu lama untuk mengerjakannya. Itulah yang membuatnya bertahan dengan profesinya sebagai pekerja seks.

Ada hal yang menarik yang ingin diangkat Rama. Ini soal sisi kemanusiaan para PSK tersebut. Ia sudah sedemikian sering menyaksikan di TV, bagaimana aparat menggrebek kompleks PSK, menarik, menyeret dan memperlakukan mereka tak dengan manusiawi. Aparat menyeret para PSK seperti mereka menyeret maling atau pelaku kriminal lain. Apakah mereka juga pelaku kriminal? Selain itu dalam penampilan foto mereka di media cetak, kadang mata mereka dihitamkan, sama seperti penampilan gambar para perampok atau maling.

PSK telah sedemikian sering mendapatkan perlakuan yang tak adil. Mulai dari pengusaha jasa prostitusi, masyarakat, pelanggan bahkan hidup mereka. Padahal di sisi lain mereka tetaplah seorang perempuan, manusia yang punya hak asasi.

Rama mencoba masuk dalam kehidupan mereka. Ia berbicara, saling bercerita, walau kadang dalam keadaan tertentu ia tak menceritakan tentang profesinya secara jujur. Kendalanya di waktu dan dana. Butuh waktu lama untuk pendekatan yang lebih dalam. Dan faktor dana akan selalu mengikuti.

Sebetulnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk dapat masuk dalam kehidupan prostitusi. Mary Ellen Mark, seorang fotografer top di biro foto Magnum, punya cara lain ketika ia meliput prostitusi di Bombay, India. Ia membayar tempat-tempat prostitusi yang ia masuki. Ia membayar para germo atau mucikarinya, membayar petugas keamanannya, hampir seluruh pekerja seksnya, sehingga ia bisa bergerak dengan leluasa. Ia bebas foto sana sini tanpa ada yang melarang. Hanya saja cara ini sangat mahal. Karena itu, Magnum mendapat komplain dari kliennya yang memesan proyek dokumentasi prostitusi Bombay itu. Sebab Mary Ellen Mark telah melakukan pengeluaran yang jauh melebihi anggaran. Sekitar seratusan ribu US dollar.

Suasana Semawang masih remang-remang ketika Rama mengajak saya pergi. Lampu lima watt dan perempuan-perempuan itu masih di sana. Dua kali mobil polisi datang untuk singgah. Mobil dengan lampu atas bertulisan “POLISI” itu langsung pergi beberapa menit kemudian setelah bertemu dengan satpam tempat itu. Sementara perempuan-perempuan itu tetap duduk tak bergeming seolah tak mau tahu siapa yang barusan datang. Yang jelas mereka harus dapat pelanggan hari ini agar dapat uang untuk belanja besok.*

kembali keatas

by:Ni Luh Dian Purwati