Ketika Air Mata Cinta Masih Bicara

Marissa Haque Fawzi

Mon, 3 February 2003

FILM bukan hanya sekedar mise en scène –apa yang tampak di layar. Film juga bisa menjadi medium ekspresi si sutradara, tentu saja, kalau sutradaranya punya kemampuan bagus

FILM bukan hanya sekedar mise en scène –apa yang tampak di layar. Film juga bisa menjadi medium ekspresi si sutradara, tentu saja, kalau sutradaranya punya kemampuan bagus, dan Garin Nugroho menunjukkan ini lewat Aku Ingin Menciummu Sekali Saja –sebuah film berformat digital Betacam yang ditransfer ke dalam pita seluloid 35 mm. Garin menjadikan film ini sebagai medium tentang multikulturalisme atau meminjam kata-katanya sendiri, “Ini film feature saya dengan khotbah yang paling jelas.”

Aku Ingin Menciummu Sekali Saja bertutur tentang pencarian cinta dengan background kekerasan di tanah Papua. Tokoh sentralnya Arnold (Oktavianus Rysiat Muabuay), seorang anak Papua, yang berusaha melepaskan diri dari trauma kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Arnold ingin lepas dari lingkaran kekerasan ini.

Suatu saat di sebuah dermaga, hati Arnold tertambat pada seorang perempuan non-Papua tanpa identitas (Lulu Tobing). Sebuah hasrat muncul tak tertahankan: ia ingin mencium dara itu. Tapi kemudian, Arnold sampai pada kesadarannya untuk mengubah orientasi seksual menjadi rasa cinta atas sesama manusia, Papua atau bukan, secara bijak.

Dalam film yang terinspirasi oleh Kidung Agung, sebuah kitab dalam Perjanjian Lama yang berisi surat-surat Raja Israel Salomon, Garin merekam keindahan bumi Papua sembari memotret kekerasan di dalamnya. Perubahan politik yang terjadi di sekitar para tokoh-tokohnya pun tak luput dari bidikan. Garin berusaha memadukan unsur dokumentasi dengan narasi yang kuat. Garin “beruntung” –walau dia sendiri sama sekali tak menganggapnya beruntung—bahwa syuting terjadi ketika, secara tak terduga, beberapa serdadu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Indonesia membunuh Theys Eluai, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Papua yang menempuh cara-cara damai melawan Jakarta.

Syutingnya cuma sebulan, dengan kru belasan orang. Sebelumnya, Garin melakukan riset selama dua tahun, mulai 2000 hingga 2002. Dari sini, kematangannya untuk menggarap tema besar multikulturalisme terbentuk.

Film ini sekali lagi juga membuktikan Garin sebagai petarung sejati. Ketika permintaan pasar akan film nasional pada era 1990-an berada di titik nadir, umpamanya, Garin justru bersemangat menelurkan karya-karyanya. Ia jadi penanda perubahan sinema Indonesia, sekaligus jadi medium transisi lahirnya generasi multimedia di Indonesia.

Sebagai seorang sineas dengan banyak karya—enam judul film layar lebar, beberapa iklan layanan masyarakat di televisi terutama saat pemilihan umum pertama pasca-rezim Orde Baru 1999, film dokumenter, video musik, film pendek, esai film—Garin sudah mengantongi 23 penghargaan nasional maupun internasional. Garin juga dikenal sebagai dosen Institut Kesenian Jakarta dan orang nomor satu Yayasan SET (Sains, Estetika, dan Teknologi).

Karya-karyanya juga menembus Cannes, Berlin, Tokyo dan berbagai festival di berbagai belahan dunia lainnya. Tak jarang ia melangkah secara kontrovesial. Percobaan penuh resiko—dari pemilihan lokasi yang tidak biasa, teknologi, serta tema film itu sendiri—terus dijajalnya. Dan di tengah krisis multidimensi Indonesia sekarang ini, Garin tampil menawarkan alternatif pembuatan film lewat penggunaan teknologi digital. Eksperimen ini telah ia mulai dengan Puisi Yang Tak Terkuburkan pada 1990-an lalu.

Dari berbagai eksperimennya, wajah karya Garin menerobos dua wilayah sekaligus: kesenian dan pasar. Untuk film layar lebar, sebuah pilihan dengan tujuan komersial, dengan kesadaran penuh Garin sengaja bermain di wilayah side stream yang jarang menjadi pilihan para pembuat film, baik dalam maupun luar negeri. Barangkali ini pulalah yang menjadi strategi Garin dalam mengatur kehadirannya agar selalu “kelihatan.” Dalam artian, dirinya mampu terlihat dan berbicara dengan cara berbeda. Tidak selalu berarti hasilnya njlimet. Film Daun di Atas Bantal, contohnya, mudah dicerna.

Hampir semua film Garin memadukan elemen romantisme yang ekspresif dan multikultur, dengan segala metafor yang menyertainya. Garin menggunakan metafor-metafornya sebagai salah satu kendaraan dan energi dalam menyampaikan ekspresi imajinya ke dalam alur cerita film.

Menyaksikan Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, yang juga sarat dengan metafor itu, alam pikiran saya melambung pada karya sineas Iran Madjid Madjidi, terutama karya terakhirnya, Baran. Sejumlah sudut pandang yang menarik, komposisi yang matang, shot-shot yang rajin, moment-moment yang pas, merupakan kesamaan Garin dan Madjidi. Mereka berdua juga sangat peka terhadap kondisi sosial dan politik negerinya.

Kesamaan lain, tentu saja, seringnya mereka memasang anak-anak dan remaja sebagai pemeran utama, yang biasanya (juga) orang-orang kebanyakan alias bukan aktor sungguhan. Dalam film mereka, suguhan gambar dengan garis-garis lengkung yang keras, kotak-kotak, bulatan-bulatan, sudut melonjong, pun sering tampak. Malahan, kalau diperhatikan dengan seksama, gradasi warna alam misalnya—dari matahari terbit sampai terbenam, awan bergerak, air mengalir, menetes, bunga-bunga, daun-daun, pasir, tanah, sampai gerak-gerik binatang mulai katak sampai capung dan kupu-kupu—bagi mereka jadi semacam cara untuk “membahasakan alam.”

Dalam beberapa hal, mereka pun bergerak ke apa yang disebut the hidden worth of film, menghadirkan film dengan kekayaan makna untuk dikaji ulang lewat berbagai disiplin pemikiran. Dalam Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, umpamanya, Garin mengetengahkan metafor burung kasuari untuk mengekspresikan Papua.

Ia memakainya sejak awal scene, saat sang guru berinteraksi dengan dan murid-murid di kelas sampai munculnya adegan bentuk burung kasuari yang persis menyatu dengan bentuk gambar pulau Papua di papan tulis. Dengan sendirinya, sejak awal penonton dibawa kepada pengenalan dasar tentang sebuah negeri yang berbentuk kepala burung kasuari itu. Adegan ini juga menjadi introduksi bagi penonton bahwa patung kepala burung kasuari ini akan menjadi benang merah dari seluruh rangkaian cerita. Ia memilih setting aktual Papua dengan sebuah alasan kuat. Ia merasa, dalam soal multikultur, Papua berada di tepian perbincangan. Bahkan, setelah puluhan tahun bergabung dengan Indonesia merdeka, cerita tentang Papua hampir tak pernah ada.

Ekspresi Garin terkadang bisa saja membuat orang bingung. Tak kurang sutradara Jajang C. Noer kebingungan melihat tokoh Lulu Tobing yang tiba-tiba datang dan pergi tanpa jelas sebagai apa. Ada jawaban untuk ini. Konon karakter manusia dalam film jumlahnya 64 buah. Dan tokoh seperti “hantu” yang datang dan pergi tanpa keterangan, jelas dimungkinkan buat hadir. Dalam kenyataan sehari-hari pun sebenarnya banyak kejadian dan peristiwa tanpa identitas yang ternyata sanggup mengubah situasi. Jadi, untuk hal yang satu ini, Garin pun layak diacungi jempol.*

kembali keatas

by:Marissa Haque Fawzi