MEREKA memulai perjalanannya dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya. Sekitar 700-an serdadu dari Batalyon Infanteri (Yonif) 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer, dari asrama mereka di Kediri. Di dermaga, seorang gadis berambut kepang mencari-cari sesosok wajah. Saat kapal beringsut meninggalkan Surabaya, pipinya basah dengan air mata.

Suasana di atas kapal mirip pasar tumpah. Orang lalu lalang tapi ruang terbatas. Prajurit hanya diizinkan menggunakan anjungan geladak. Ada terpal besar yang menutup seantero geladak. Para serdadu ini sukar tidur nyenyak. Matras tak dapat diandalkan melawan permukaan dek yang keras. Ruangan sempit. Tidur berdesak-desakan. Punggung yang semestinya rebah di matras terganjal ransel. Hanya kaki yang bisa diluruskan.

Mereka mengisi waktu luang dengan bercengkerama atau bermain kartu. Sesekali mereka menyumpahi nenek moyangnya saat melihat kapal perang mereka disalip kapal barang di laut lepas. Kedongkolan itu bertahan sehari, dua hari, lima hari, sepekan …. hingga kapal Teluk Bayur merapat di pelabuhan Malahayati, Banda Aceh, 18 Juni 2002. Untuk pelayaran yang biasa ditempuh tiga hari dengan kapal komersial, para serdadu Kediri ini menghabiskan delapan hari.

Sehari sebelum merapat di Banda Aceh, Teluk Bayur membongkar sebagian muatannya di Lhokseumawe. Pertimbangannya, perairan Malahayati relatif dangkal. Sukar merapat jika muatan kapal penuh. Di Lhokseumawe, empat truk Mercedes-Benz, satu ambulans dan satu jip komandan batalyon diturunkan dan segera bergerak ke Banda Aceh, menyusul rekan mereka yang akan tiba di sana keesokan harinya.

Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim ditunjuk sebagai pemandu jalan.

"Kami berangkat," kata Rokhim, "(Dikawal) tim khusus satu peleton. Tiga puluh orang. Senjata lengkap. Saya bilang ke anak-anak, di sini sudah masuk Aceh, jangan kaya’ tugas di Ambon, Timor Timur. Tidak ada apa-apanya. Di Aceh, sejengkal tanah tidak ada yang aman."

"Keluar dari Lhokseumawe, kita menuju ke Bireun. Bireun ‘kan rawan? Perjalanan Lhokseumawe ke Bireun aman. Lepas Bireun ke Peudada. Saya kasih tahu ini titik rawan. Medan terbuka. Waspada!"

"Masuk ke Bandar Dua. Saya kasih tahu juga."

"Uleglee, hati-hati!"

"Habis Trienggading masuk Luengputu. Nah di situ kelapa-kelapa ‘kan banyak! Saya kasih tahu, ‘Awasi ketinggian!’ Mobil jalan terus. Sampai Luengputu dua mobil yang mengawal sejak dari Lhokseumawe pulang. Alasannya sudah dekat kota. Sigli 100 persen aman. Saya tetap nggak yakin. Tidak ada di sini aman. Saya juga (pernah) di sini. Lama. Saya bilang ke kawan-kawan, ‘Hati-hati di depan, samping kanan-kiri.’"

Sebelum bertolak ke Sigli, konvoi berhenti di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Geulumpang Minyeuk, kecamatan Geulumpang Tiga, kabupaten Pidie. Letnan Dua Ruben Rihi turun menanyakan kondisi perjalanan ke Sigli. "Saya jamin sini ke Kodim Pidie," kata orang Koramil. Ruben Rihi lega. Konvoi kembali bergerak. Ruben ikut truk Rokhim, jalan paling depan. Selepas kitar 200-an meter, laju kendaraan yang berlapis baja tiga milimeter itu terganggu. Ada segerombolan sapi melintas.

Perasaan Rokhim mendadak tak enak. Tapi dia tak ingin menurutinya. Medan di seputarnya berbicara lain: bukan medan kritis. Tak ada ketinggian. Di kiri jalan, ada pertigaan yang menghubungkan jalan besar dengan sekolah di sana. Dia melihat serombongan murid bergerak ke arah simpang itu. Tak jauh dari sekolah ada rimbunan pohon kelapa, sagu, dan nipah.

Sapi telah lewat. Jalan telah bersih. Konvoi kembali bergerak. Truk paling belakang telah melewati simpang tiga itu. Lewat jendela, Rokhim melihat ada mobil penumpang dan sepeda motor bergerak dari arah berlawanan. Ada pompa bensin tak jauh di depan sana. Ramai orang di situ.

Konvoi telah bergerak sekitar 500 meter meninggalkan Koramil.

Tiba-tiba …. rrrreetttttttttttt-ret-rettttttttt …. tang-tang-tang.

Ada AK-47 yang menyalak dari rimbunan kelapa tadi. Sekitar dua menit lamanya, menyasar bak truk paling depan. Baja pelindung tangki angin mobil Rokhim jebol. "Tang-tang-tang …. tang-tang-tang."

Di bak belakang, Ruben Rihi dan beberapa serdadu pengawal terperanjat. Belum sehari mereka di Aceh sudah disiram tembakan. Seisi bak sontak menyembunyikan kepala. "Peluru sejengkal di atas kepala," kata Ruben.

Sersan Satu Handoko ada di jip komandan. Dia berjuang mengatasi kekagetannya. Untung, peluru sudah di kamarnya. Buru-buru dia membuka kunci. Senjata otomatis Minimi buatan Belgia di tangannya menyalak. Sayang, sentakan gas mobil membuat tembakannya tak terarah. Dia terpelanting. Jatuh.

"Kami," kata Rokhim, "Mau turun (tapi) ngeri juga karena medan terbuka. Melarikan diri itu jalan satu-satunya."

Konvoi meninggalkan tempat penghadangan selekas mungkin. Tak ada yang celaka siang itu. Tapi ketegangan di wajah mereka baru cair sejam kemudian. "Goreng jagung" di siang bolong itu, demikian beberapa prajurit menyebut dentingan proyektil menghantam pelat baja mobil, membekas di benak banyak serdadu Indonesia yang ditugaskan di Aceh. "Sejak itu saya ndak percaya lagi sama orang Aceh. Ini menyangkut nyawa. Kalau ada (orang) Koramil waktu itu, sudah saya hantam. Orang Aceh itu (memang) tidak bisa dipercaya," kata Letnan Dua Ruben Rihi.

Punya Pengawal

SAYA menemui pasukan yang bermarkas di Kediri itu awal September silam-sekitar tiga bulan sesudah mereka mendarat di Malahayati-setelah mendapatkan izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh Mayor Jenderal Djali Yusuf. Saya ingin tahu bagaimana serdadu-serdadu Indonesia bekerja di provinsi yang bergolak sejak 1970-an ini. Djali Yusuf setuju dan menunjuk Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha. Batalyon teritorial ini tugas utamanya mengamankan wilayah Aceh Barat, dari Lambaro hingga Beutong, yang dari ujung ke ujung jaraknya ada 150 kilometer.

Ada sejumlah hal yang harus saya patuhi bila ingin tinggal dengan pasukan. Saya, misalnya, dilarang meninggalkan pos sekali pun untuk membeli rokok tanpa dikawal seorang prajurit. Kalau jaraknya lebih 200 meter dari pos, yang kawal sedikitnya mesti tiga orang.

Hari pertama, saya banyak mendengar peringatan seperti ini:

"Mas ini orang sipil. Tapi akan sering dilihat orang jalan sama tentara. Bahaya. Di luar sana, mungkin ada cuak (mata-mata) GAM."

"Peluru di sini tak ada matanya, lho."

"Kamu harus hati-hati karena kalau ada apa-apa, semoga tidak yah, siapa yang akan tanggung jawab ke Pangkoops (Djali Yusuf)."

Para serdadu itu, ternyata seperti saya, dilarang meninggalkan pos tanpa membawa teman. Mereka hanya bebas bergerak radius 100 meter dari pos. Begitu keluar pos, serdadu membawa senapan sudah terkokang. Serdadu yang kekhawatirannya lebih tinggi kadang sudah membuka kunci senapannya.

Jika hendak berbelanja kebutuhan dapur ke pasar, orang pos selalu berangkat dengan jumlah besar, minimal lima orang. Bila sudah di pasar, dua orang berbelanja dan sisanya melakukan pengamanan. Kondisi itu berbeda dengan keadaan sewaktu mereka tugas di Timor Timur, Maluku, atau Papua. Sewaktu di Timor Timur, kata seorang kopral kepala, mereka berani lenggang kangkung sendiri ke pasar.

Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan taruhannya nyawa. Sebuah satuan Lintas Udara dari Makassar, misalnya, kehilangan 11 orang anggotanya hanya dalam tempo 10 bulan. Enam di antaranya tewas setelah kontak senjata dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka terlambat dievakuasi saat pendarahan hebat. Sisanya karena faktor non-pertempuran: seorang tewas dalam kecelakaan bermotor, dua orang tenggelam di laut, seorang salah tembak oleh pasukan Indonesia lainnya, dan seorang lagi ditembak komandan sendiri di sebuah hotel karena dianggap melakukan insubordinasi.

"Di sini perangnya perang gerilya. Siapa yang lengah dia yang kalah," kata komandan Batalyon 521/Dadaha Yodha Letnan Kolonel (Infanteri) Ucu Subagja.

Dan saya belum pernah menjumpai tentara yang kewaspadaannya seperti Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan kurus untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 centimeter. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol. "Ini," katanya menunjuk rahang kanannya, "Sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran."

Ke mana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang nampak jadi bahan perhatian. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya.

Di Meulaboh, sekitar 250 kilometer selatan Banda Aceh, saya sering mengajaknya minum kopi di kedai, yang jaraknya kurang dari semenit jalan kaki dari pos. Begitu masuk, perhatian Rokhim langsung tertuju ke seisi kedai. Dia selalu memilih tempat di pojok agar punggungnya aman dan leluasa memperhatikan semua orang yang keluar masuk. Kemudian dia memeriksa bagian belakang kedai, mengecek jalan pelolosan kalau ada gangguan dari depan dan sekaligus mencari tahu kemungkinan ada yang masuk ke kedai, lewat belakang, tanpa sepengetahuannya.

Dia juga selalu memperhatikan wajah pemilik kedai. Kadang dia mendekat, memperhatikan si empunya kedai meracik kopi, seperti ingin memastikan kalau kopi itu tak beracun.

Awalnya, tingkah Rokhim itu membuat saya geli. Tapi dia selalu punya jawaban setiap kali saya menertawakan kekhawatirannya. Pertama, dia tak ingin setor nyawa di Aceh. Dia punya seorang istri dan anak di Kediri. Kedua, dia membawa senjata yang harus dijaga. "Kalau ini jatuh ke tangan musuh, bisa lebih banyak tentara yang mati."

Rokhim membawa SS-1-senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Ke mana pergi selalu dibawa. Bahkan saat tidur pun, dia ada dalam pelukan Rokhim. Saya jarang melihat dia melipat popor senapannya. Teorinya, popor yang terlipat membuat prajurit sukar menembak tepat. Menembak dengan popor terlipat hanya akan menghasilkan berondongan. Risikonya, yang bukan sasaran bisa berdarah dan amunisi dijamin mubazir.

Rokhim selalu memanjangkan tali sandang senjatanya. Dia yakin, itu akan memudahkan dirinya merapatkan popor ke bahu dan segera membidik. Itu belum semua. Tangannya selalu lengket di pistol grip (pegangan pelatuk) sementara telunjuk tegang di picu. Dia masih terbawa-bawa hukuman pelatihnya dulu yang mengikat tangan serdadu yang tak menempel di picu.

Di kalangan sejawatnya, Rokhim dikenal sebagai "raja" Taman Wisata Pagora, Kediri. Dia kadang melancarkan jalan serdadu yang kepengen berfoto dengan artis yang manggung di taman hiburan itu. Dia mengenal hampir semua orang yang kerja di situ. Istrinya, Yuni Wijayanti, bekerja sebagai penjaga loket di sana.

Rokhim suka musik dangdut. "Setiap tanggal muda artis datang. Cici Faramida sering. Yang paling mahal bayarannya itu yah, Vetty Vera …. sama kita itu biasa, lho. Mau foto-fotoan …. Ine Sinthya yang ketus orangnya. Nggak mau diajak ngobrol-ngobrol. Susah."

Rokhim termasuk serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya, apa saja akan dilakukan untuk kenalannya. Sekali waktu, saya panik karena bloknot saya hilang sementara truk yang saya tumpangi akan berangkat. Tanpa diminta Rokhim turun mencari catatan itu. Komandan batalyon dan dua truk serdadu terheran-heran melihat Rokhim mengubek-ubek semak-semak di sana. Sekiranya saya tak segera menemukan bloknot yang terselip di tas, saya kira dia tak akan naik ke truk.

Dia juga pernah merogoh kocek sendiri karena prihatin melihat saya kehabisan uang. Dia, seperti orang-orang pos lainnya, selalu memperhatikan keperluan saya. Pernah sekali dia menyindir saya karena urusan makan. "Situ kok nggak makan? Makanlah, tidak enak kalau teman-teman tersinggung. Mereka sudah masak, lho. Apa situ harus seperti raja. Makanannya diantarkan tiap saat?"

Urusan makan, Rokhim terbilang unik. Ada banyak makanan yang tak bisa lewat di tenggorokannya. Dia, misalnya, tak suka daging sapi, daging ayam (kecuali ayam kampung), ikan laut, telur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi. Menu favoritnya: nasi panas, tahu, tempe plus jus alpukat pakai susu kental manis coklat.

Di asrama dulu, istrinya rutin menyajikan sarapan termasuk membuatkan susu saban pagi. Yuni Wijayanti risih melihat berat badan suaminya tak naik-naik sementara prajurit lain berbadan subur. Tapi Rokhim tetap dengan seleranya. Jarang-jarang dia menyentuh sarapan yang dibuat istrinya.

Suatu malam, saat merebus mi di pos, Rokhim berikrar melahap apa saja yang disajikan istrinya jika bisa pulang selamat dari Aceh. Dia merasa gaya makannya selama ini tak menunjukkan kecintaannya pada istri.

Dia juga mencanangkan program "menggencar" Yuni dengan surat. Setiap tiga hari sekali, katanya, dia mau menulis surat. Khusus untuk anaknya, dia selalu mengingat dengan menuliskan namanya di kasur lipat: Muhamad Ikhsan Bagaskara.

Ada yang bilang, 90 persen penyakit tentara kita adalah suka mabuk. Rokhim masuk golongan 10 persen. Dia bahkan tak merokok sejak seorang komandannya di Timor Timur pada 1997 menghukumnya jungkir sampai muntah. Sembahyang dan mengajinya tak putus. Saat salat berjamaah, dia yang selalu melantunkan azan. Saban Jumat, dia rutin merapal Yasin dan Tahlil.

Kadang, tanpa diduga, dia bertanya tentang hal-hal yang membuat saya tak habis pikir. "Menurut situ apa kebebasan pers itu harus dibatasi?" Pertanyaan itu merujuk aneka jenis tabloid esek-esek yang banyak beredar di Aceh -gambar-gambar syurnya jadi hiasan dinding hampir semua pos.

Atau kali lain dia bertanya begini, "Jujur yah, Indonesia ini bagusnya kesatuan atau federal?"

"Mas, Munir itu ibunya PKI, yah?"

"Cut Keke itu apanya Abdullah Syafi’ie?"

Munir seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Jakarta. Cut Keke artis cantik asal Banda Aceh, yang menempuh karier di Jakarta dan pernah menemui Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie sebelum Syafi’ie meninggal ditembak pasukan Indonesia pada 22 Januari 2002.

Rokhim termasuk serdadu yang dari kecil memang bercita-cita jadi tentara. Dia lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 29 tahun silam. Berbekal ijazah SMA dia masuk dinas militer berpangkat prajurit dua, sembilan tahun lalu.

Di batalyon, kekuatan fisiknya masyhur. Dia dikenal jago lari dan renang. "Kalau ada junior saya yang malas-malas lari pasti saya tendang." Dia senewen karena dulu pernah diperintahkan lari berkilo-kilo meski butiran-butiran batu menempel di tumitnya yang lecet.

Tapi sekarang Rokhim tak lagi bersemangat ikut lomba olahraga tempur. Kekecewaannya muncul setelah dia dua kali gagal mengikuti tes Sekolah Calon Bintara. Padahal, katanya, pernah ada perwira yang menjanjikan serdadu yang berprestasi akan direkomendasikan untuk ikut tes dan dibantu kelulusannya. Banyak serdadu yang mumpuni secara fisik dan mental, gondok setelah tahu kalau beberapa tentara yang kerjanya "hanya makan dan minum di batalyon" bisa lulus tes.

Nasib juga yang mempertemukan saya dengan Rokhim. Dia tahu saya hanya bermodal dengkul ikut dengan pasukan. Dia meminjami saya beberapa baju lengan panjang dan kaos tangan untuk jalan malam di hutan. Dia rela digigit nyamuk dan menyerahkan shebo-nya (penutup kepala) untuk saya pakai. Dia juga memberikan isi kotak obatnya; obat sakit perut, cairan antinyamuk, pembalut luka, Betadine, dan lain-lain. Dia bahkan menyerahkan karet pengikat ujung celananya dan membiarkan betisnya jadi sasaran empuk lintah.

Dari Rokhim juga saya mendapat kursus singkat tentang gerakan militer. Pelajaran pertama teknik melompat dari truk. Ini penting karena banyak tentara berdarah-darah karena menyepelekan teori. Lompatan salah bisa bikin patah gigi, memar siku, atau luka lutut. "Saat menjejak tanah jangan tumit duluan. Syaraf bisa rusak. Kaki harus dalam posisi menjinjit dengan badan condong ke depan. Setelahnya, langsung lari cari perlindungan."

"Kalau ada tembakan, jangan panik. Tanam kepala. Cari perlindungan secepatnya di batu, pohon atau apa saja yang kira-kira kuat. Jangan berlindung di pohon karet atau kelapa. Itu tembus peluru AK."

"Kalau ada nyamuk atau lintah tahan saja. Nanti pas berhenti baru lepas lintahnya. Tapi jangan terburu-buru. Cari tembakau, perciki air sedikit dan teteskan ke tempat melengketnya. Nanti lintahnya jatuh sendiri. Kalau dipaksa dikeluarkan, sementara giginya masih menancap, akan gatal sekali."

"Jangan banyak mengeluh. Tidak baik karena menghambat gerak pasukan."

"Kalau jalan malam, jangan berisik. Harus senyap. Kaki jangan diseret-seret. Setiap melangkah, tumit duluan yang menjejak tanah. Baru kemudian bagian telapak kaki lainnya."

"Jangan jalan paling belakang. Usahakan di dekat yang bawa senapan otomatis atau radio. Kalau ada tembakan, yang bawa SO (senapan otomatis) tugasnya mengikat tembakan. Dia akan diam di tempat dan tidak ikut lari bersama pasukan yang melambung. Mas nggak tahu medan, jadi mending tidak usah ikut. Kalau ketinggalan bagaimana?"

"Sebaiknya pakai lars. Nanti saya pinjami. Sepatu yang Mas pakai itu bisa hilang kalau kita masuk rawa."

"Boleh merokok kalau sudah siang."

"Kalau jalan jauh, jangan banyak minum. Kaki pasti berat melangkah. Di betis ini seperti digandoli air. Minum banyak nanti kalau pasukan berhenti lama. Kalau haus dan tidak ada air minum tahan saja. Kalau ditawari air, jangan ditenggak semua. Minumnya sedikit saja. Asal kerongkongan basah. Gelasnya pakai penutup veples. Praktis. Tidak usah takut sakit minum air tidak dimasak. Minum saja, nanti dimasak di perut."

"Mas ini orang sipil. Kalau ada gerak pasukan di lapangan yang Mas tidak suka jangan diperlihatkan. Simpan dalam hati saja."

SAYA tak bisa mengikuti nasihatnya agar selalu diam. Saya pernah merepet seharian setelah melihat seorang Aceh bernama Ruslan tewas ditenggo (ditembak) akhir September silam. Hari itu kami datang terlambat. Mayat Ruslan sudah tertelungkup di atas kolam ikan nila di belakang sebuah rumah di desa Tanjung, sekitar seperempat jam dari Meulaboh.

Beberapa serdadu di situ bilang kejadiannya baru saja. Tapi mayat pria yang seluruh rambutnya memutih itu sudah kaku. Rahangnya sulit dirapatkan. Saya kira kejadiannya sudah lebih dari sejam.

Satu regu serdadu yang ada di sana saat kejadian, sudah bergerombol di simpang jalan desa. Mereka sepertinya enggan berkotor-kotor mengurusi jenazah itu. Mereka cerita kalau Ruslan sudah dua kali mencoba melarikan diri. Saat mencoba peruntungannya yang ketiga, di hari yang sama, dia berubah jadi "laron merah"-istilah tentara untuk orang GAM yang mati tertembak.

Seorang serdadu mencoba membalik mayat yang telah membengkak itu. Jelaslah kalau ada sebutir peluru bersarang di perutnya. Saya juga melihat ada sebutir lagi di paha dan dada.

Tapi apa salah Ruslan sampai ditembak? Menurut seorang prajurit, Ruslan memang "target operasi." Ruslan dianggap bagian logistik GAM. Saat ditangkap di rumahnya dan hendak digiring ke pos tentara terdekat, Ruslan melarikan diri meski telah diberi tembakan peringatan.

Saya sulit mengecek klaim itu. Dua-tiga letusan senapan di siang bolong sudah cukup membuat warga desa meringkuk ketakutan di rumah masing-masing.

Yang saya heran tak ada bekas ikatan di pergelangan tangan Ruslan. Kenapa tak ada yang berinisiatif mengikatnya setelah percobaan melarikan diri pertama kali? Saya juga heran kenapa mereka tak berpikir taktis sehingga memilih menembak seseorang yang informasinya mungkin sangat berharga? Berapa jauh sih larinya kakek berumur 51 tahun di area persawahan sehingga serdadu-serdadu muda itu tak dapat mengejarnya? Saya menaksir dari tempat Ruslan melarikan diri hingga tertembak, dia hanya sanggup berlari sekitar 30 meter.

Okelah kalau memang harus ditembak, tapi kenapa bukan dilumpuhkan saja? Tembak di paha saja? Tidak adakah satu di antara belasan serdadu itu yang bisa menembak tepat sasaran dalam jarak 30 meter?

Saya tak sempat menggali lebih dalam. Hanya 10 menit saya di dekat jenazah Ruslan. Setelah itu, truk yang saya tumpangi pergi ke tempat lain.

Sebelum cabut, dengan menahan mual mencium amis darah, Rokhim berinisiatif menutup mata Ruslan yang membelalak itu dan mengangkat mayat Ruslan ke tanah kering. Seorang serdadu lainnya menutupi jenazah dengan atap rumbia.

Keesokan harinya, saya bertemu lagi dengan beberapa serdadu yang ada saat penembakan Ruslan. Saya ingin mengorek informasi lebih dalam. Tapi saya mengurungkan niat itu setelah seorang di antaranya ngeles, beralasan tak berada di tempat kejadian. Padahal jelas-jelas dia yang mengulurkan kepada saya kartu tanda penduduk Ruslan, penduduk desa Palimbungan, kecamatan Kaway XVI.

Saya protes kepada Rokhim. Dia lebih banyak diam mendengarkan repetan saya.

"Semoga saja benar-benar GAM," katanya.

Ucapan singkatnya itu mengingatkan saya pada salah satu butir "Prinsip-Prinsip Dasar Menghancurkan Insurjensi" yang diterbitkan Komando Resort Militer Teuku Umar yang salinannya ditempel di setiap pos tentara. Bunyinya kira-kira begini: menghilangkan satu nyawa tak berdosa sama dengan menciptakan 1.000 musuh.

Rokhim mungkin tahu saya tak akan diam. Tapi hubungan kami tetap baik. Dari teman-temannya saya tahu kalau dia termasuk serdadu yang disegani kendati sehari-hari dia hanya bertugas sebagai sopir cadangan. Jarang-jarang ada serdadu yang berani sesumbar jika ada Rokhim di situ.

Di atas truk, Rokhim jaya. Disuruh mengemudikan mobil apa saja dia bisa. Dari yang pakai per keong sampai yang bannya 10 biji. Dia juga pemegang rekor 10 kali selamat dari penghadangan GAM di atas truk.

Rokhim dua kali ikut pendidikan pasukan penyergap Rajawali, 1997 dan 1999. Kurun itu, dia ikut sebagai pasukan pemburu di Timor Timur dan Aceh. Baru pada 2002 dia ikut sebagai pasukan kerangka atau teritorial.

Pada 1999, Jakarta mengirim sekitar 1.500 orang Pasukan Rajawali ke Aceh Utara dan Pidie. Rokhim dapat Pidie. Dia masih ingat sebagian pengarahan komandan Kopassus Mayor Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto, sebelum Rajawali diterbangkan ke Aceh.

"Gini pesannya," kata Rokhim menirukan Prabowo, "Prajurit saya harus seperti Hanoman. Tidak boleh sombong. Berani …. kalau dapat satu pucuk M16, saya bayar Rp 5 juta …. kalau SP (senjata kayu) Rp 1 juta. Kalau dapat gembongnya GPK …. Rp 100 juta. Saya akan datang ke tempat TKP. Saya tidak bisa datang, kirim kepalanya!"

"Bilang gitu. Aaaaapa nggak gila! Saya senang bener itu …. saya masih ingat. Wah, mantap bener," kata Rokhim.

Di Pidie, Rokhim melihat bangunan-bangunan sekolah dan kantor-kantor pemerintahan yang luluh lantak. Dia juga menyaksikan kecemasan warga Aceh saat melihat tentara kembali masuk ke pedalaman Aceh pascapencabutan status Daerah Operasi Militer oleh Presiden B.J. Habibie pada akhir 1998.

Sekitar sembilan bulan Rokhim di Pidie. Dan dia paling senang bercerita tentang pengalamannya mengubek-ubek hutan dan mengendap-endap di pelosok.

"Apa khasnya pengendapan (Rajawali)?" tanya saya suatu waktu.

"Pake sandi. Hari ini pake ikat kepala hijau, umpamanya. Besok pagi, lengan baju kanan dinaikkan. Kadang baju dibalik. Celana pun kadang dibalik."

"Apa kalau ada (GAM) langsung sikat?"

"Yang bersenjata aja."

"Apa diberhentiin dulu?"

"Ngapain? Bersenjata sikat langsung. Nggak ada berhenti. Itu pun nembaknya kalau sudah bener-bener bersenjata. Kalau nggak bersenjata ya nggak ditembak. Masyarakat berarti. Dulu itu buka tembakan di sini susah. Nggak boleh nembak-nembak. Kalau tidak bersenjata nggak boleh ditembak. Kalau ada yang bersenjata, kita tembak yang bersenjata. Yang nggak, ya nggak. Harus titik bidik titik kena. Tapi kalau orang sini ‘kan kernetnya yang banyak. Satu pucuk kernetnya lima. Jadi satu ditembak satu ngambil lagi. Ya ditembak lagi …. hahahaha …. sampai lima orang …. kan repot. Maunya pimpinan ditembak satu. Saya sebenarnya kasihan ‘kan. Tapi kalau dia ngambil tembak lagi. Ngambil tembak lagi."

"Bagaimana pertama kali nembak?"

"Biasa. Saya yakin kalau pertama takut. Nggak kena. Ngawur. Kalau perasaan kena, ya kena itu. Nggak yakin berarti nggak kena. Tapi kalau udah dua kali tiga kali ya pasti kena. Harus tenang."

Di Aceh Rokhim baru bisa menembak musuh dan pertama kali kena pada 5 November 1999. "Jam tujuh pagi (kami) istirahat. Mau lanjutkan perjalanan dengar suara motor Honda GL Pro …. truuunggg. Kita sembunyi. Dia tujuh orang, empat motor. Kita ada satu kompi. Waktu lewat wah …. ternyata GAM. Kita hajar. Pang-pang-pang. Kena semua."

"Habis kontak ada dua orang masuk. Bawa semprotan padi. Kita periksa di BOD (basis operasi depan). Kita tanya baik-baik."

"Apa dibilang Bapak saya, Bang," kata seorang pemuda yang diinterogasi pagi itu, "’Nak, kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM."

Si pemuda kembali meyakinkan dengan mengulang kalimat yang sama. Beberapa serdadu sudah berpikir untuk melepas pemuda itu.

Tapi seorang serdadu yang sedari tadi mengamati interogasi itu bertanya-tanya. Dia terus berpikir dan teringat secarik foto-guntingan koran-di ranselnya. Foto itu memuat pose Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie, yang dikelilingi sejumlah pengawalnya. Buru-buru dia mengambil foto itu dan mengamatinya. Anak muda itu …. anak muda itu ternyata berdiri memegang handy talky di samping Syafi’ie!

"Ini foto siapa?"

"Bukan saya, Bang."

"Apa kau bilang …!"

"Ini foto siapa?"

"Betul Bang, ini bukan saya Bang. Ayah saya bilang, ‘Nak kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM."

"Akhirnya dia …. pura-pura goblok ‘kan dia. Ngomong sama orang goblok ya ‘disekolahkan’ biar pandai."

"Disekolahkan" adalah bahasa slang tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah "kosong-satu" untuk hal yang sama.

Cerita soal kontak di Cot Mamplam, Keumala, itu juga saya dapatkan dari seorang bintara yang juga ada di lokasi. Dia membenarkan cerita Rokhim. Dia sendiri malah ingat identitas salah seorang yang "disekolahkan" itu.

Menjelang akhir September, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak.

"Cerita sebenarnya ada di front," katanya, "Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa."

Rokhim berharap-harap saya bisa ketemu GAM di hutan. Dia pernah mengatai saya penakut karena tak mau ikut penyerbuan ke daerah Kuala Tripa. "Itu kesempatan emas. Kenapa tidak diambil? Kapan lagi bisa dapat kesempatan seperti itu? Kalau ikut, situ akan tahu tentara kita berani apa tidak kalau dengar AK."

Saya cerita kalau saya sungkan ikut karena yang punya hajat pasukan gabungan dari Kostrad dan Kopassus. Saya belum "diserahterimakan" kepada komandan dua pasukan itu. Saya juga tak mau dikira tergila-gila bertemu GAM. Selain itu saya sudah diberi tahu kalau medannya berat. Mesti pakai berenang di sungai dan masuk rawa segala.

Tapi Rokhim tak percaya. Hampir seharian dia menyindir saya. "Kalau takut sama sungai lebar, berenang pakai ponco saja. Lepas baju lepas celana. Sepatu digantung di leher. Ponco diikat ujungnya trus …. kluk-kluk-kluk …. pasti mengapung sampai di sebelah. Ah, situ memang penakut!"

Memang, pasukan gabungan yang berangkat ke Kuala malam itu bertemu GAM. Dua orang serdadu GAM tewas dan satu pucuk senapan pelontar granat rakitan berhasil disita. "Semalam kita sudah masuk killing ground. Kontak selama berjam-jam. Untung nggak ikut," cerita seorang sersan satu.

Sekitar sebulan lamanya saya pergi dengan Rokhim. Ke mana dia pergi saya ikut. Sampai suatu saat Rokhim jengah setelah seorang perwira pertama bertanya, "Rokhim, mana body system kamu?"

Body system adalah istilah yang sering digunakan pasukan gerak. Dalam setiap gerakan, setiap prajurit punya seorang pendamping. Bukan sekadar pendamping. Pendamping itu harus tahu segala hal menyangkut rekannya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, dari warna celana dalam hingga berapa jumlah uang di dompet.

Ditanyai begitu, Rokhim sepertinya menyadari sesuatu. Selama ini dia praktis menghabiskan waktunya dengan saya. Ke mana dia pergi selalu ada saya. Dia nyaris tak punya banyak kesempatan bergaul dengan rekan-rekannya. Suatu malam, Rokhim membuka pembicaraan, "Mas ini saudara saya. Tapi mulai sekarang kita jaga jarak yah. Saya nggak enak sama anak-anak yang lain. Mas hanya dua bulan di sini."

Saya berpisah dengan Rokhim awal Oktober silam. Saat itu, dia masih menanggung sakit yang sudah sebulan tak mau hilang: sariawan. "Mas kalau ketemu istri saya tidak usah cerita yang sengsara-sengsara di sini, yah."

Markas Burung

RASA bosan adalah salah satu beban dalam peperangan. Saya juga merasakannya. Rekor saya tinggal di pos hanya tiga hari. Memasuki hari keempat, saya mulai mencari informasi kapan ada lanjutan ke kota atau ke pos lain.

Orang-orang pos punya berbagai macam cara untuk mengatasi kebosanan. Mereka punya dunia sendiri. Bangun pagi, seisi pos sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang memelihara burung akan memandikan piaraannya. Makhluk-makhluk itu disuapi makanan, diajari bicara, diajak berjemur menikmati matahari pagi, diperbaiki sangkarnya. Kadang mereka menyetelkan lagu buat piarannya itu. "Biar suaranya bagus," kata seorang serdadu.

Banyak tentara dari Jawa suka memelihara burung. Saya pernah mendapati pos dengan 40 buah sangkar burung, dua kali lipat dari jumlah penghuni pos. Kicauan burung-burung terdengar hampir setiap saat. Suaranya bahkan lebih nyaring ketimbang kicauan teman-temannya di hutan belakang pos.

Burung memang mudah didapatkan di Aceh Barat. Biasanya, warga yang datang berobat (gratis) ke pos menyerahkan burung atau makanan burung. Ada banyak jenis burung. Murai batu yang paling sering saya lihat di samping perkutut, beo, dan tekukur.

Membuat sangkar burung jadi kesibukan tersendiri. Rangkanya dari kayu, jerujinya dari bambu. Orang pos membuatnya bermodalkan sangkur dan besi panas untuk melubangi rangka. Ukurannya bervariasi. Yang paling besar yang pernah saya lihat seukuran tempat tidur anak lima tahun. Dipernis dan dicuci tiap hari. Mereka kadang menamai burung piaraannya dengan nama orang-orang GAM yang jadi target operasi di Aceh Barat, seperti "Juragan" dan "Cut Man."

Biasanya, setelah merawat binatang piaraan, orang pos merawat diri. Di setiap pos, selalu ada peralatan fitness seperti barbel, erekan, dan samsak. Mereka tak ingin pulang tugas dengan perut buncit.

Sudah itu mandi. Tentara umumnya mandi telanjang bareng-bareng. Yang tidak suka, biasanya mandi pakai celana kolor atau pas sumur sepi. Mandi dan sekalian mencuci pakaian. Baju dan celana loreng biasanya dicuci dua kali seminggu. Kalau lebih dari itu, di baju ada garis-garis putih yang kalau banyak seperti peta saja. Awalnya saya kira peta itu terbentuk karena mereka tak bersih saat membilas. Kemudian seorang serdadu bercerita kalau peta itu karena air keringat (bergaram) yang menempel di baju. Pakaian yang kering habis dijemur biasanya langsung dilipat.

Kegiatan bersama orang pos sudah direncanakan sejak malam sebelumnya. Komandan peleton atau bintara sudah menunjuk siapa giliran patroli dan jaga pos. Porsinya setengah-setengah. Sepuluh orang patroli, sisanya jaga pos plus memasak.

Mereka bergiliran masak. Sejak lepas subuh, mereka mandi asap kayu bakar di dapur. Pagi sarapan dengan telur dadar dan nasi panas. Baru siangnya ada sayur dan ikan. Kalau ada kelapa, mereka bikin sayur santan. Ikannya rata-rata digoreng. Nanti kalau banyak bawang merah dan cabai besar, ikan goreng itu diberi bumbu. Soal rasa bergantung pada siapa yang memasak. Terkadang terlalu asin dan seringkali anyep karena kurang bumbu.

Ada satu menu yang tak pernah hilang di pos: sambel. Kalau ada terasi, pakai terasi. Kalau tidak, ya cabai, tomat, bawang, garam dan sedikit vietsin diulek. Tentara Jawa biasanya bawa ulekan akar pring dari Jawa sana. Mereka tak nyaman memakai ulekan Aceh yang besarnya seperti lesung penumbuk padi.

Masih soal menu, saya pernah terperanjat menyaksikan mewahnya daftar menu pos Rajawali di Kabong. Menu ditulis jelas-jelas di papan dapur. Pagi: Nasi Putih, Telur, Teh Manis, Krupuk. Siang: Ayam Goreng, Sop, Empal, Lodeh, Sayur (asam/bening), Ikan Asin, Sambal, Lalap. Sore: Sarden, Cornet, Ikan Bakar, Opor Ayam, Gudeg, Soto, Telur. Makanan tambahan: Susu, Jeruk, Mi (rebus/goreng), Telor setengah matang, Kelapa muda. Ternyata ini hanya fantasi orang dapur saja. Realitasnya ya sama dengan pos lain.

Jadwal makan orang pos teratur, pagi biasanya antara pukul tujuh dan pukul delapan, siang sebelum masuk duhur, dan makan malamnya menjelang magrib. Mereka biasanya makan dengan serba plastik: piring plastik, sendok plastik, dan gelas plastik. Semua peralatan makan itu, termasuk peralatan masak, dibeli dengan uang sendiri.

Setiap bulannya, mereka dapat pembagian beras dan beberapa kaleng konserven (makanan kaleng). Praktis orang pos tinggal mencari lauknya. Rata-rata per orang menyetor Rp 1.000 setiap makan. Mereka kadang minta ikan kepada nelayan atau penjual yang lewat depan pos.

Semua mengambil makanan di dapur kecuali komandan pos. Bos satu ini memang spesial. Dia yang paling duluan dapat jatah makanan, porsinya lebih banyak, dan diantar ke kamarnya. Kalau saya datang, orang dapur punya dua bos. Seringkali apa-apa wartawan duluan. Saya pernah mendengar seorang serdadu menegur temannya karena mengambil makan terlalu banyak. "Nanti wartawan tidak dapat."

Suatu saat, saya iseng bertanya kepada orang dapur, "Kok kita nggak pernah makan daging?"

"Bagaimana kalau saya tembakkan Bandung Ambon Bandung Irian?"

Saya menolak karena tak makan babi.

"Kalau (saya tembakkan) burung rangkong mau?"

"Kelelawar?"

Saya tetap menggeleng dan iseng-iseng bertanya, "Orang pos bagaimana bisa marah kalau tidak makan daging?"

"Bang, tentara itu biar tidak makan daging sudah sangar."

Patroli adalah saat orang pos bergaul dekat dengan warga desa. Satu hingga enam bulan pertama mereka masih menikmatinya. Tapi kalau sudah lewat enam bulan, istilah tentara sudah masuk yang namanya "masa bodoh." Di kepala prajurit yang terpikir cuma kapan pulang. Mereka biasanya kembali hapal hari dan tanggal berapa sekarang. Satu sampai enam bulan pertama boro-boro.

Saat patroli mereka akan bertegur sapa dengan setiap orang desa. Kadang mereka singgah sekadar untuk tahu berapa jumlah penghuni rumah dan siapa-siapa saja orangnya.

Setiap pekan, orang pos sudah punya jadwal desa mana yang harus mendapatkan apel. Mereka memilih hari Jumat karena orang kampung di Aceh tak pergi ke ladang hingga usai jumatan.

Saya pernah mengikuti apel di desa Mugah Rayeuk. Jangan bayangkan apel yang kaku. Ini tanpa baris-berbaris, terkesan santai saja. Warga desa, tua muda laki perempuan, berkumpul di tempat yang teduh dan komandan pos berdiri di depan.

Acara pertama absensi. Orang-orang desa diabsen. Kalau seisi rumah tak bisa datang, mesti ada yang mewakili. Mereka utamanya yang pernah terlibat GAM. Orang pos punya catatannya. Mereka mendapatkan catatan itu dari pasukan yang bertugas sebelumnya. Mereka yang ada namanya di daftar itu harus melakukan registrasi ulang setiap pasukan di pos berganti. Pemutihan, istilahnya.

Selepasnya, ada pengarahan dari komandan pos. Isinya macam-macam. Tapi intinya ini: "Jaaaaaaaaaaaaangan sekali-sekali ikut GAM. Tidur di hutan itu tidak enak. Saya di pos sana nyamuknya saja sudah minta ampun. Anak ditinggalin, istri ditinggalin. Kalau ikut ke sana akibatnya rugi semuanya. Nggak usah gaya-gayaan bawa senjata, bapak-bapak. Tidak ada gunanya! Mendingan kita ambil cangkul, pergi ke ladang, ada hasil bisa dimakan sama-sama dengan keluarga."

Kalau ada apel, mungkin keuchik (kepala desa) yang paling terbebani pikirannya. Dia harus punya jawaban kalau orang pos bertanya kenapa si A atau si B tak ikut apel. Dia juga kadang jadi sasaran awal kekesalan tentara terhadap apa yang terjadi di desa.

Pernah suatu hari saya bertanya kepada orang pos apa yang akan dilakukannya kalau pos diserang. "Gampang," katanya, "Cukup panggil keuchik dan suruh orang desa apel dan guling di jalan sampai aspal di depan pos ini rata."

Keuchik juga kadang jadi sasaran kekesalan orang GAM. Sudah banyak keuchik yang mati karena berselisih dengan orang GAM. Biasanya soal pajak. Pajak Nanggroe, istilahnya. Saya tak pernah melihat langsung orang GAM memungut pajak, tapi saya punya contoh kwitansinya. Isinya memuat keterangan nama barang yang diserahkan dan berapa jumlahnya dalam bahasa Aceh. Di pojok bawah kwitansi tertera keterangan "aseuli meuwarna, fotocopy hana sah" (asli berwarna, fotokopi tidak sah).

Sepulang patroli, orang pos beristirahat. Selepas asar, mereka berolahraga. Ada yang turun main voli (enam yang main, empat mengamankan) dengan warga desa. Ada juga yang kembali menekuni alat-alat fitness.

Kalau capek gerak badan seharian, begitu habis isya orang pos langsung tidur. Jangan bayangkan ada kasur dan ranjang di pos. Mereka tidur beralaskan matras dan berjejer di sebuah ruang panjang seperti bangsal rumah sakit. Biasanya, dari rumah mereka sudah membawa bantal, yang kadang ada sulaman nama istri dan anak-anaknya.

Yang belum ngantuk biasanya nonton VCD. Orang pos punya banyak koleksi VCD dari film Mickey Mouse, Tom and Jerry, hingga film India Kuch-Kuch Hota Hai. Tapi yang sering diputar VCD Dangdut Koplo (itu lho, dangdut yang penyanyinya berpakaian superketat dan melenggok-lenggok menirukan adegan di film porno). Kadang, kalau punya persediaan, mereka nonton VCD porno yang mudah dicari di rental VCD di kota terdekat.

Tidurnya serdadu di pos selalu disela jadwal jaga serambi. Biasanya mereka berjaga selang sejam. Ini berlaku buat semua penghuni pos. Saat jaga, semua lampu dipadamkan. Di pos jaga selalu ada senapan otomatis.

Kalau pas malam Jumat, di pos biasanya ada yasinan. Tahlilan kalau orang pos mendengar ada tentara Indonesia mati di Aceh. Dan kalau malam Minggu, orang pos biasanya gitar-gitaran. Banyak yang pintar menyanyi. Dangdut biasanya. Instrumen musik yang digunakan lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi …. semuanya dengan mulut.

Minggu siang waktunya pelesiran. Pelesiran tentara di Aceh tetap saja dengan senjata sudah dikokang. Tujuan mereka biasanya ke kota kecamatan atau ibukota kabupaten. Tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya warung telekomunikasi. Di situ mereka melepas rindu dengan orang di rumah.

Saban minggunya, ada ratusan tentara yang turun gunung untuk menelepon. Mereka yang seringkali bayar mahal adalah serdadu yang sudah berkeluarga. Makin banyak anak makin besar yang mereka bayar. Kadang sampai Rp 90 ribu sekali telepon.

Selain telepon, banyak serdadu yang memilih berkomunikasi lewat surat. Saya pernah melihat seorang serdadu yang sekali duduk menulis sampai 10 surat. Dia masih bujangan.

"Banyak fans," katanya.

Operasi Penyergapan

MALAM itu 100 orang serdadu disiapkan menyergap persembunyian GAM di wilayah Jeuram. Sebuah kekuatan besar untuk menghadapi musuh yang ditaksir 30 orang. Ada pengarahan tambahan setelah seorang mayor memberikan perintah operasi. "Kalian jangan salah lirik," katanya, "Ada empat orang sipil yang ikut dengan kita. Tiga orang ini adalah panah (penunjuk jalan). Yang di belakang itu wartawan. Dia sudah dapat izin dari Pangkoops. Liat baik-baik mukanya."

Mayor itu sepertinya dapat membaca kecemasan saya. Saya satu-satunya orang yang berpakaian preman malam itu. Tiga sipil lainnya mengenakan setelan loreng tentara. Salah seorang bahkan menyembunyikan wajahnya di balik shebo karena mengira saya bisa membongkar identitasnya.

Pengarahan ditutup dengan doa. Sesudah doa, seluruh serdadu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan: mengokang senjata. Seratus-seratusnya. "Krak-krak-krak-krak-krak ….." Ramai tangkai pelocok beradu dengan besi pembungkus kamar senjata.

Beberapa prajurit juga dibekali senapan pelontar granat. Panjangnya sekitar dua jengkal. Hitam manis warnanya. Diameter larasnya seukuran kaleng soft drink. Granat yang ditembakkan dari laras itu berbentuk tabung. Setengah jengkal panjangnya, kaliber 40 milimeter. Sebagian serdadu menyebutnya granat lintas mekar. Bila mengenai sasaran, serpihannya akan bermekaran seperti bunga kol. Bayangkan jika itu mekar di tubuh manusia …..

Soal suara, jangan ditanya. Bila meletus, granat itu cukup untuk membuat musuh kecut. "GAM hanya ketawa kalau dengar SS-1. Mereka itu hanya takut sama Minimi, TP, dan SPG," kata seorang prajurit kepala.

Senapan Pelontar Granat atau SPG memiliki banyak kesamaan dengan GLM (Grenade Launching Machine). Peluncur granat GLM melekat di M16 sedangkan SPG melekat di senapan serbu SS-1.

Minimi. Senapan Belgia ini sanggup menghamburkan ratusan butir peluru hanya dalam hitungan detik. Panjangnya sekitar semeter, hampir sama dengan panjang SS-1. Amunisinya sama-sama berkaliber 5,56 milimeter kendati pada Minimi amunisi dalam renteng sepanjang dua meter.

Di setiap rentengnya, amunisi terikat empat-empat. Setiap treknya ada tiga amunisi Anti-Personel dan satu amunisi pembakar. Rumput kering akan terbakar jika tersiram amunisi pembakar itu.

Soal ukuran diameter, laras Minimi sedikit lebih besar daripada laras SS-1. Jika 200 butir peluru muntah dalam sekali tarik picu, laras Minimi akan memerah seperti besi tempa. Karena itu, penembak Minimi selalu membawa laras cadangan di ransel.

Malam itu saya melihat banyak prajurit yang menggantung Tabung Pelontar atau TP di pinggang. Ada TP Anti-Tank dan TP Anti-Personel. Yang Anti-Tank berwarna hitam dan yang Anti-Personel berwarna hijau. Mereka hanya membawa TP Anti-Personel.

TP Anti-Personel tersimpan dalam sebuah tabung plastik. Barangnya sepanjang dua jengkal orang dewasa. Modelnya seperti roket mini. Ada serdadu yang pernah kurang ajar menakut-nakuti seorang kakek dengan menyelipkan roket itu di bajunya. Kakek itu menangis sesegukan karena cemas roket itu meledak di perutnya.

Jika Anda ingin mendengar letusan TP, pasang saja di laras SS-1. Proyektil yang keluar dari laras SS-1 akan menghantam picu TP dan membuat granat di ujungnya melenting hingga 400 meter. Begitu mengenai permukaan keras, granat itu akan meledak. Apa saja yang rapuh dalam radius 15 meter dari lokasi ledakan akan terhambur. Yang kering akan terbakar.

"Ini jangan dinyalakan yah," kata Kapten Dedi Hardono ketika melihat saya membawa tape recorder. Kapten Dedi adalah perwira seksi operasi. Dia panglima perangnya Batalyon 521 di Aceh Barat. Dia tak ingin lampu merah penanda rekaman di tape recorder saya merusak kerahasiaan gerak pasukan di gelap malam.

Tepat tengah malam, kami berangkat menumpang empat truk Mercedes-Benz. Nyaris tak ada pembicaraan selama perjalanan. Serdadu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam, karena mereka tak bisa merokok dalam operasi.

Truk melaju dengan kecepatan sedang. Deru mesinnya berpadu dengan embusan angin yang seolah hendak merobek terpal mobil. Jalanan sepi. Di luar sana gelap.

Sekitar sejam kemudian, gerak konvoi tiba-tiba berhenti di depan Komando Rayon Militer Jeuram, kecamatan Nagan Raya.

"Diaannncuk! Kenapa berhenti di sini?"

"Kenapa?"

"Wes nggak rahasia lagi. Bocor pasti. Cuak GAM pasti sudah melapor ke hutan. Orang Koramil ini tidak bisa dipercaya."

Ada jeda sebelum sersan satu itu kembali mengumpat, "Diannnnnnnnncukkkkk!"

Selang beberapa menit, saya tahu kalau konvoi ternyata salah jalan. Kami harus balik kanan.

Konvoi lalu bergerak ke sebuah simpang empat yang telah terlewati. Truk masuk ke jalan berbatu. Kiri-kanan persawahan. Makin ke dalam, makin gelap. Perumahan penduduk makin jarang.

"Sebentar lagi sampai," kata seorang serdadu yang duduk di samping saya. Kami masih tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Melihat rokok saya hampir habis, dia menawarkan yang baru. "Santai saja," katanya, tersenyum.

Kami akhirnya sampai di "titik bongkar." Muatan dibongkar depan sebuah pasar kecil. Belasan penduduk yang ronda malam itu terkejut melihat serdadu berlompatan dari bak mobil. Mereka dikumpulkan, diberi pengarahan singkat, dan ancaman. Intinya, cukup mereka saja yang tahu kehadiran pasukan malam ini.

Lima menit kemudian, truk yang telah kosong balik kanan, meninggalkan serdadu yang mulai berbaris menurut kelompoknya.

Si kapten nampak kesal melihat beberapa serdadu lupa di mana kelompoknya.

"Kamu jangan jauh-jauh dari saya," katanya kepada saya.

Empat tim itu mulai bergerak dengan selang keberangkatan sekitar lima menit. Tim Kopassus dan Kostrad yang berangkat pertama.

Tiba giliran tim saya bergerak. Tak sampai dua menit, kami telah mencapai ujung kampung. Pasukan telah melewati lampu jalan yang terakhir.

Gelap menyergap. Saya tak dapat melihat apa-apa dalam jarak setengah meter. Yang saya tahu harus terus melangkah, mengikuti derap lars di depan.

Lima menit, 10 menit. "Har …. Har …. berhenti dulu. Saya ketinggalan." Kapten Dedi Hardono, dengan suara lirih, mencoba meminta prajurit yang bergerak paling depan berhenti.

Panggilan di handy talky itu tak berjawab.

Orang di depan saya mulai jalan setengah berlari. Ternyata kami tertinggal jauh di belakang. Sekitar lima menit setelah kehilangan kontak, tim kembali utuh.

Pasukan terus bergerak. Sekitar setengah jam kemudian, voor spiets (bahasa Belanda; prajurit terdepan dalam formasi tempur) tiba-tiba menghentikan langkahnya. Semua di belakangnya kaget. Kami seperti nenek kehilangan tongkat. Ada yang nyaris mencium tanah karena ditubruk dari belakang. Kaki serdadu di belakang saya rupanya tidak punya rem juga. Larasnya menghantam betis saya.

Pasukan berhenti. Semua jongkok. Saya dapat mendengar gemercik air dari kejauhan. Kami sepertinya jalan dekat saluran irigasi.

Enam meter di depan sana, muncul suara yang lamat-lamat di telinga. "Ssstttttttttttt ….." Rupanya, serdadu paling depan menyuruh yang di belakangnya senyap. Yang di belakangnya juga mengulangi pesan serupa hingga ke telinga serdadu terakhir.

Ada sekitar lima menit kami berjongkok. Tak jelas apa yang melatari sampai voor spiets tiba-tiba berhenti. Tapi tindakannya itu menyebabkan ketegangan yang sedari tadi mengiringi makin menjadi.

Pasukan bergerak lagi …. berhenti lagi …. bergerak lagi …. berhenti lagi.

Sekali dua, pemberhentian tiba-tiba itu meremas-remas jantung. Tapi setelahnya banyak serdadu yang mulai santai. Sudah ada yang berani duduk berselonjor dan melepas kentut. Kewaspadaan mulai menurun.

Saya juga capek. Lutut rasanya mau copot. Mata letih memelototi kegelapan di sekeliling.

Ah, sudah pukul tiga. Sudah dua jam kami berjalan. Kaki rasanya otomatis melangkah mengejar langkah orang di depan. Seandainya tak malu, saya rasanya ingin bilang ke Kapten Dedi agar berhenti dulu dan baru jalan saat tanah sudah terang.

Pasukan berhenti lagi. Kali ini, belum sempat jongkok, ada kata yang merayap dari depan, "Balik kanan. Balik kanan."

Ternyata pasukan salah jalan lagi!

Hampir pukul empat subuh tapi pasukan terus bergerak. Kali ini setengah merunduk saat melintas di sebuah tanah lapang. Setelahnya, semak-semak menghadang. Berkali-kali saya tersandung. Dalam hati saya berharap semoga kami tak salah jalan lagi.

"Mundur. Mundur. Sasaran sudah di depan! Sasaran sudah di depan!"

Pendadakan itu membuat banyak serdadu gelagapan mundur.

Sasaran ternyata sudah di depan sana dan kami hampir menerobos begitu saja tanpa persiapan.

Kapten Dedi menyiapkan formasi penyerangan.

"Mana Minimi," bisiknya, mencari serdadu yang menenteng Minimi.

"Minimi …. Minimi ….." Beberapa serdadu mengulangi panggilan itu. Ada 12 belas pucuk Minimi malam itu tapi tak satu pun yang berada di dekatnya.

Selang sebentar, yang dipanggil akhirnya datang merayap. "Kamu ini ….!" Kapten Dedi berbisik dengan nada membentak.

"Mana wartawan?" bisiknya ke seseorang di dekatnya. Hari masih gelap. Dia tak dapat melihat saya yang tiarap di semak dua meter di kirinya.

Terang-terang tanah, 25 serdadu bergerak mendekat. Sedekat mungkin ke bangunan yang mereka incar. Tiga puluh meter, 20 meter …. 10 meter. "Diancukkkkk!" Setengah terperanjat, beberapa prajurit menyumpahi bangunan 10 meter di depan sana, yang ternyata kandang kambing.

Saat itu baru jelas. Sasaran sebenarnya ada 50 meter sebelah kanan kandang kambing itu. Sebuah gubuk dan beberapa petak rumah kopel beratap seng.

Kokok ayam kian jelas terdengar. Sebentar ini mungkin ada nyawa yang akan meregang.

Pasukan mengepung perumahan di tengah hutan sawit itu dalam formasi L.

"Tang-tang-tang." Beberapa serdadu menghujani rumah beratap seng itu dengan batu. Mereka ingin tahu reaksi penghuninya. Senyap. Tak ada senjata menyalak dari sana.

Prajurit dari Kopassus dan Kostrad bergerak cepat. Mereka telah mengepung rumah itu dari jarak sekitar lima meter. Saya dapat melihatnya jelas dari balik pohon sawit. Mereka terus mendekat.

Lalu sebuah teriakan memecah keheningan, "Ujang, Awewe, Barudak. Kaluar! Kaluar!" Teriakan seorang prajurit Kopassus dari Sunda.

Tapi itu sudah cukup. Seorang perempuan menampakkan diri. Nurhayati yang tak memahami ucapan itu dan tak pernah membayangkan gubuknya akan disatroni serdadu tergopoh-gopoh keluar. Di badannya hanya melekat baju kusam yang kancingnya tak tertutup semua dan selembar sarung coklat yang warnanya memudar.

"Mana Bapak?"

Dibentak begitu, Nurhayati takut. Tangisnya pecah. Pelan-pelan, dari balik pintu, suaminya keluar dengan hanya mengenakan handuk yang juga kusam.

Para serdadu bergerak cepat. Gubuk digeladah bersamaan pemeriksaan rumah kopel di dekatnya. Hasilnya sama. Tak ada senjata.

Beberapa prajurit penasaran. Bagaimana mungkin informasi A-1 salah?

Mereka mendatangi Muhammad yang berdiri kaku di halaman rumahnya. Dua meter di sampingnya, Nurhayati masih berusaha meredakan tangis anak mereka Nurinsana.

Ada dialog. Beberapa serdadu berkali-kali bertanya dalam bahasa Indonesia, sementara Muhammad, dengan sepenuh perhatian, menjawab dalam bahasa Aceh.

Seorang sersan dua yang berdiri di samping saya mulai gerah. Dia pikir satu-dua kali jotosan ke muka Muhammad akan membuat komunikasi nyambung. Bohong kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia! Masak tidak bisa sih!?

"Kalau Bapak itu saya pukul, Mas tulis atau tidak?" sersan itu bertanya kepada saya.

Saya jawab dengan menjauh dari tempat itu. Bukannya saya tak mau menulis tapi repot sekali menjawabnya. Dari jarak 20 meter, saya lihat berkali-kali dia menepuk-nepuk senjatanya. Sepertinya dia bertanya apakah pasangan itu pernah melihat orang membawa barang seperti senjata yang disandangnya.

Dia menyerah. Saat sarapan pagi di depan rumah kopel itu, dia berkomentar singkat, "Memang belum rezeki."

Yang kebagian rezeki pagi itu justru Nurhayati dan tetangganya. Lepas sarapan, beberapa serdadu membagikan jatah biskuit atau nasi kaleng yang tak menarik selera mereka. Seorang ibu yang lewat di depan rumah Nurhayati ikut ditawari. Awalnya, dia menolak karena mengira nasi kaleng itu bom.

KAMI pulang pagi itu juga. Berjalan kaki melintasi rute yang sama tapi dengan waktu yang lebih cepat, sekitar 1,5 jam. Semalam kami ternyata melintas di jalan padat karya yang membelah hutan sawit milik PT Fajar Bayzuri & Brother di Paya Malim.

Serdadu kalau pulang penyergapan kosong, jalannya biasanya ngawur. Banyak yang bergerombol kendati sudah diperingatkan agar tetap waspada. Mereka sudah capek. Kami hanya sanggup berjalan hingga saluran irigasi di sebuah persimpangan. Lewat radio PRC (portable radio communication), truk diminta menjemput lebih ke dalam.

Sejam menunggu, truk belum juga datang. Beberapa serdadu mengajak berkenalan. Kami ngobrol banyak hal. Di situ saya sempat melihat peta topografi wilayah Jeuram yang dibawa seorang serdadu.

Besarnya seukuran kertas A1. Fotokopian, dibungkus plastik. Ini peta standar Tentara Nasional Indonesia di Aceh. Setiap pos punya satu peta. Peta itu yang jadi batas sekaligus acuan gerak mereka.

Peta ini isinya mendetail. Setiap karvah punya koordinat posisi. Kontur tanah jelas terlihat. Demikian pula jalanan, perumahan penduduk, rawa, kebun sawit, kebun karet, sungai, persawahan …. pokoknya orang dijamin tak akan tersesat jika menggunakannya.

Di pojok peta itu saya membaca catatan kalau peta itu dibuat Dinas Topografi TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan sebuah lembaga Australia. Peta ini, peta yang menjadi acuan semua serdadu Indonesia di Aceh, dibuat berdasarkan pencitraan satelit pada …. 1974! Hampir seperempat abad lalu atau dua tahun sebelum pecah pemberontakan bersenjata di Aceh. Bisa dimengerti kalau mereka sering tersesat.

Selang sebentar, datang tim penutup. Semalam, mereka bertugas menutup jalan pelolosan GAM. Jarak yang mereka tempuh lebih jauh tapi raut wajah mereka menyiratkan kemenangan.

"Laron!" kata seorang serdadu yang menunjuk GAM yang tertangkap.

"Laron" itu sudah berdarah. Bibir atasnya lebam. Sepertinya habis dinyonyor laras. Ada luka sayatan sekitar tiga centimenter di pipi kirinya. Cipratan darah membasahi bajunya. Namanya Ismail. Umur 34 tahun. Tingginya sekitar 160 centimeter. Pekerjaannya makelar karet. Pagi itu dia ditangkap karena gugup saat berpapasan dengan pasukan. Ada yang mengenali wajahnya.

Sebentar saja, puluhan serdadu mengelilinginya. "Tadi malam dia melihat kita lewat di irigasi," kata seorang serdadu menjawab pertanyaan rekan-rekannya apakah Ismail yang membocorkan kehadiran pasukan semalam.

Truk ternyata tak bisa menjemput ke dekat irigasi. Kami harus jalan lagi sambil mengawal Ismail. Tangannya tak diikat sehingga dia bebas mendorong sepedanya. Dalam hati saya berharap semoga dia tak melarikan diri selama perjalanan.

Kami jalan terus. Sambil jalan, beberapa serdadu yang gemas mendekatinya. Ada yang sekadar ingin bertukar sapa, ada juga yang mengancam akan menembak jika Ismail mencoba melarikan diri. "Itu ada wartawan. Kamu akan dikirim ke Jakarta." Raut muka Ismail sontak berubah. Dia termakan gertakan itu.

Kami sampai di titik penjemputan. Ismail dan sepedanya dinaikkan ke truk, dijaga sekitar 25 orang serdadu. Dari belakang, ada yang menghardik, "GAM! Anjing kamu. Babi!" Seorang perwira segera menimpali, "Ojo dikerasi lho. Ojo! (Jangan dikerasi lho. Jangan!)"

Dua-tiga hari setelah penyergapan di Paya Malim itu, saya kembali bertemu Ismail. Sudah banyak perubahan. Lebam di bibirnya sudah hilang. Sayatan kemarin seperti tak pernah ada saja. Saya dengar pulihnya Ismail berkat keterampilan bintara kesehatan merawat Ismail saat diterungku (dikerangkeng).

Hari itu wajah Ismail nampak cerah. Bajunya tak ada bercak darah lagi. Berkali-kali dia mencoba tersenyum ke arah saya. Saya membalasnya, tapi tak berani mendekat. Selalu saja ada serdadu di sampingnya.

Apa kesalahan Ismail sampai ditahan? Sehari setelah penahanan, satu regu serdadu mendatangi rumah-kebunnya di Paya Malim. Di situ, tentara menemukan barang bukti berupa antena handy talky, belerang (bahan dasar pembuatan bom), dan TP (tabung pelontar) yang kadaluwarsa. Tapi tak ada amunisi atau senjata. Habis mengambil barang bukti, rumah itu dibakar.

Saat diinterogasi, Ismail mengatakan barang-barang itu bukan miliknya. Itu, katanya, milik orang GAM yang kebetulan singgah makan ke rumahnya. "Sampai mati pun jawaban saya tetap begitu, Pak," kata seorang bintara menirukan Ismail.

Seorang perwira intel senior tak membeli alibinya itu. Ismail sudah jelas-jelas GAM. "Kalau saya yang dapat pertama kali saya tembak langsung."

Sekitar sepekan setelahnya, Ismail dibebaskan. Tapi dia masih kena wajib lapor ke pos pasukan teritorial satu kali seminggu.

Pasangan suami-istri Cut Ali bin Nasir tak seberuntung Ismail. Mereka ditangkap karena ada laporan bahwa ada pelarian GAM dari Aceh Selatan yang tinggal di Suak Nyamuk, kecamatan Darul Makmur.

Laporannya cukup detail. Dia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah kebun. Tak punya anak. Di telunjuk kirinya ada luka bekas tertusuk duri.

Subuh itu menjelang peringatan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia 5 Oktober silam, Nasir memang apes. Saat berjaga di kebun, dia tak dapat mengenali kalau 20 meter dari tempatnya duduk, di sela-sela bedeng kacang tanah, ada belasan serdadu yang mengincarnya.

Begitu tanah terang, dia dan istrinya ditangkap. Di rumah itu, tentara tak menemukan satu pun barang bukti yang mendukung Nasir adalah GAM. Tapi keduanya tetap digelandang ke pos tentara teritorial di Meulaboh. Nasir tak sempat memakai sandal saat digiring bersama istrinya.

Dan di sanalah penderitaan mereka bermula.

Nasir lebih dulu diinterogasi. Dia diminta bertelanjang dada. Di hadapan seorang mayor dan beberapa staf intel, Nasir membantah kalau dia terlibat GAM. Bantahan itu mengundang kemarahan.

Saya hanya tahan sebentar mengintip Nasir diinterogasi. Saya mencari Sersan Satu Handoko yang ikut menangkap pria bertato itu. Handoko orangnya simpatik. Banyak warga desa Aceh yang menyenanginya. Seingat saya, Handoko satu-satunya serdadu di Aceh Barat yang fasih berbahasa Aceh. Dia menikah dengan seorang gadis Pidie 1999 silam.

Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka.

Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu?

Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita kepada beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit.

Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pula Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh.

Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes.

Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan.

Siang itu dia mengenakan jins yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah.

Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala Ultimate Fighting Championship (UFC) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir.

Tingginya dapat 175 centimeter. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker.

Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh.

Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berkata: "Wis pateni ae (sudah bunuh saja)." Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya "wis pateni ae." Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja.

Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai paha suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus.

Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak setegar siang itu.

Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan besi. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu.

Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3 x 5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umum. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah.

Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki.

Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Yonif Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. "Matanya ditatap saja kita sudah digertak …. ada salah sedikit main tempeleng," kata seorang warga.

Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lebam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya.

Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. "Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir." Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu.

Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri.

"Melarikan diri?" tanya saya tak percaya.

"Iya," katanya, "Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata."

Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam Abubakar Sabir menampung sejumlah orang GAM.

Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga "laron" yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante, dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya)

Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besar diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat.

Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, "laron" tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang "laron" yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya.

Bukit Tengkorak

SAAT bergabung dengan pasukan Rajawali awal Oktober silam, seorang sersan satu dari Grup I Kopassus (Serang) mendekati saya. Dia tahu saya belum punya kawan hari itu. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya tujuh bulan tugas di Aceh. Saya sebenarnya ingin menggali sindrom "mata kuning" di kalangan serdadu yang telah enam bulan lebih di medan tugas. Dengar-dengar, kalau kena penyakit itu, sapi pun akan terlihat cantik. Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. "Biasa saja," katanya, "Di sini itu perangnya (seperti) perang-perangan. Tapi kalau mati, mati beneran."

Soal perang-perangan itu ada benarnya. Saya pernah mendatangi sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perang TNI dan GAM. Rumah itu rumah seorang transmigran Jawa yang tak lagi berpenghuni di Sarana Pemukiman I, Alue Peunyareng, Meurebo.

Di dindingnya ada banyak tulisan. Isinya tantangan dan sumpah serapah TNI untuk GAM. Di tempat yang sama, GAM juga menorehkan tantangan dan cemoohannya.

Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi saya kira, kemarahan serdadu Indonesia dipicu tulisan arang di dapur rumah itu:

"I Paie Alias Anjing Jalanan. I Paie Sulid orang. (Orang)nya mati dibilang tidak mati …. mati 20 orang dibilang lecet …. TNI Cumak Ngomong yg bisa. Rakyat dia tahu yang salah dgn benar! TNI takut pada GAM. Kalau TNI Tidak takut pd GAM tidak perlu pi gi ramai2. GAM tak takut …. TNI Cari Uang ke Aceh. Honda orang diambi. Punya sendiri tak ada. TNI Budak orang."

Balasannya …. oh mak, sampai memenuhi tembok di rumah itu, luar dan dalam.

Ini sebagiannya: "GAM. Gerakan Anak Murtad. Juragan Babi Tgk. Syafei. Linud 700/Kombet …. Yonif 521 siap menumpas GAM (Gerakan Anak Murtad) ….. Kalau memang GAM jangan nembak dari jauh, tho!!! …. GAM ….!!! Cantoi, jelas kamu hanya pengisap keringat rakyat dan kamu tak ada bedanya dgn pacet ….. Bacalah ini wahai GAM. Semoga kamu sadar …. GAM pengecup!!! Habis nembak lari. Pemerkosa, perampok, anjing, babi, monyet!!!"

Tapi ada juga yang nadanya kalem. Ada yang menuliskan beberapa penggalan ayat al-Quran yang intinya menyerukan perlunya semua muslim saling menyayangi. Saya kira yang menulis itu berharap ada GAM yang tergerak hatinya dan bertobat setelah membaca tulisannya.

Perang-perangan juga berlangsung di udara. Di radio frekuensi umum, GAM dan serdadu Indonesia seolah berlomba memasukkan beberapa hewan penghuni kebun binatang ke situ.

"Jangan begitulah, Bang. Kita perang, tapi tidak usah di radio," kata suara di seberang sana.

"Memang kau GAM, anjing, babi!"

Kadang GAM juga yang memulai: "Danki (komandan kompi) apa kamu ini. Tadi saya minum kopi di kedai depan posmu. Sama anak buahmu! Kamu tidak tahu, yah? Makanya kalau ada orang lihat-lihat."

Balasannya: "Kamu ke sini aja, Anjing! Saya tunggu sekarang kalau berani!"

Tapi sepertinya belum pernah ada yang mengalahkan rekor perang-perangan pasukan Rajawali dari Yonif Linud 432/Kostrad (Makassar) di Bukit Tengkorak medio Mei silam.

Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalyon 433 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal.

"Dulu waktu di Bukit Tengkorak …. oh mak ….," prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggoroknya leher seseorang.

"Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi," sambungnya.

Saya jadi tertarik menggali adegan mirip-mirip Mel Gibson menggorok leher musuhnya dalam film Braveheart itu. Suatu hari sebelum ikut penyerangan bersama Pasukan Rajawali ke wilayah Patek, saya menyempatkan mewawancari belasan serdadu yang ikut operasi di Bukit Tengkorak. Ada banyak versi cerita dari beberapa kali wawancara dengan orang-orang yang sama. Tapi garis besarnya sama:

10 Mei 2002-Sekitar 60 orang serdadu yang terbagi ke dalam tiga tim berangkat dengan berjalan kaki dari Lhoksari menuju Bukit Tengkorak. Sebelum berangkat, prajurit Yonif Linud 700 sudah memperingatkan bahaya yang akan menghadang. Di puncak bukit, kabarnya, GAM telah memasang senapan mesin berat 12,7 milimeter.

Pasukan bergerak jam dua malam dan baru sampai pada sasaran saat terang-terang tanah. Letnan Dua Daulat Marpaung memimpin tim terdepan.

Di depannya kini berdiri dua bukit kecil setinggi 15 meter. Ada jalan beraspal yang memisah kedua bukit itu. Satu relatif gundul, sana sini ditumbuhi semak-semak. Satunya lagi ditumbuhi lumayan banyak pohon karet muda.

Marpaung tak melihat ada tanda-tanda aneh di bukit itu. Burung-burung silih berganti datang dan pergi.

"Majuuu!" Sekitar 20 orang serdadunya menyelaber kedua bukit. Kosong tak ada apa-apa. Ternyata cuma onggokan dua bukit kecil saja!

Sekitar pukul tujuh pagi, Komandan Kompi Yonif 433 Kapten Tumiko Susanto memerintahkan Marpaung membawa serdadu masuk untuk memeriksa keadaan di Seumara, sekalian menggali informasi intelijen yang menyatakan banyak simpatisan GAM di situ.

Seumara jaraknya kurang 100 meter dari tempat pasukan berdiri. Sekitar 10 meter dari jalan yang membelah bukit, ada jembatan sepanjang empat meter yang mengantar ke perkampungan di sana.

Marpaung berangkat. Semuanya 13 orang. Begitu masuk desa, dia melihat anak-anak muda dan ibu-ibu berkumpul di depan-depan rumah. Bukankah ini jam bertani?

Marpaung meneruskan langkahnya ke rumah keuchik. Begitu sampai, dia memperhatikan seorang pemuda gelisah, mondar-mandir depan rumah keuchik. Ada serdadu yang iseng menyuruhnya mengambil kelapa. Dia menolak. "Saya tidak bisa manjat," katanya.

Di rumah keuchik, Marpaung mulai gelisah. Terutama setelah melihat sekelompok anak muda sibuk membabat rumput dekat rumah keuchik. Seorang serdadu juga merasakan hal serupa. Dia tak tahan lagi.

"Kau Pak Keuchik," katanya setengah menghardik, "Sempat ada tembakan sebentar kau yang pertama saya babat."

Eh, Kapten Tumiko turun ke kampung juga. Dia ingin bertemu langsung dengan keuchik di situ.

"Kamu lapar?" Tumiko bertanya ke Marpaung yang memang sedari pagi belum sarapan. Tumiko mengusulkan merebus mi di rumah keuchik yang sudah menawarkan kopi.

"Nggak usah. Nggak usah," jawab Marpaung cepat, sembari menatap wajah komandannya dalam-dalam. Dia ingin mengisyaratkan kegelisahannya. Komandan itu akhirnya paham.

Pasukan kembali ke bukit dengan langkah terburu-buru. Beberapa di antaranya berjalan dengan sesekali melihat ke belakang. Seolah akan ada sesuatu.

Sesampainya di bukit, pasukan makan siang. Sembari beristirahat, mereka membicarakan sejumlah keanehan di desa tadi. Menjelang pukul empat sore, ada serdadu yang menyeduh kopi. Marpaung memperingatkan serdadu yang istirahat di bukit. "Eh hati-hati. Kampung sepi sekali. Nggak ada orang."

Rencananya, pasukan akan bermalam dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Pante Ceuremeun. Tahu akan bermalam, Prajurit Satu Bakri dan beberapa serdadu lainnya mulai melepas sepatu. Tiba-tiba datang tembakan dari desa.

"Dududung-dudung-dudung-dududung." Rentetan senapan AK-47 ke arah bukit mengagetkan seluruh pasukan.

Peluru berterbangan di atas kepala.

Dalam hitungan menit, semua serdadu di bukit tiarap sambil berusaha melindungi kepala, khawatir kejatuhan ranting-ranting kayu yang patah akibat hantaman peluru.

Tembakan setidaknya dari tiga penjuru: dari rumah-rumah penduduk sekitar 70 meter di bawah sana; dari tanggul persawahan sekitar satu kilometer di depan bukit pertama; dan dari rawa-rawa di depan bukit kedua.

"Dududung-dudung-dudung-dududung." AK terus menyalak.

Selama dua bulan di Aceh, baru kali ini Rajawali 432 mendengar desing amunisi GAM. Prajurit Kepala Hamka yang berada di balik bukit pertama langsung menyembunyikan kepalanya. Dia baru berani mengintip setelah ada jeda tembakan. Mungkin mereka lagi mengisi magasin.

Orang di bukit mulai membalas. Kapten Tumiko memperingatkan pasukannya agar tetap merunduk. Dia tak ingin satu pun anak buahnya celaka.

"Tunduk kamu …. tunduk! Heeeeee …. tunduk kamu! Tunduk!"

Peringatan itu tak banyak berbekas. Beberapa serdadu yang telah mengatasi kekagetannya mulai membalas tembakan.

Tembakan kian menjadi, dari bawah dan atas bukit.

Kapten Tumiko tak henti-hentinya menyuruh serdadu yang berada di bukit kedua untuk merunduk dan menghitung amunisi yang keluar.

"Hitung amunisi. Hitung amunisi." Perintahnya setengah berteriak.

Baku tembak itu berlanjut hingga pukul tujuh malam. Malam itu semua orang di bukit siaga. Pasukan dibagi. Satu tim di bukit pertama, satu tim di bukit kedua. Di bukit pertama, dipasang tiga Minimi, satu GLM, dan dua SS-1. Satu tim lagi bertahan di bukit kedua yang lebih luas. Tim ketiga dipasang di pebukitan yang sesisi dengan bukit pertama.

Menjelang pukul 10 malam, Kopral Satu Irfan K.N. mengusulkan kepada rekan-rekannya untuk mendirikan tenda. Langit mendung. Usulnya tak digubris. "Rajawali tak perlu tenda," kata seorang rekannya. Irfan mulai mempersiapkan ponconya. Siapa tahu hujan. Eh, hujan betul. Sekitar pukul 10 malam hujan keras diiringi kilat mengguyur seluruh pasukan. Beberapa serdadu di bukit pertama merapat-rapatkan badannya ke ponco Irfan. "Katanya Rajawali tak perlu tenda," kata Irfan menyindir.

Tak ada tembakan hingga pagi harinya.

Begitu terjaga, Marpaung menyuruh bawahannya bergegas sarapan. Dia tak ingin dikagetkan oleh tembakan lagi saat makan. Beberapa serdadu mulai merebus kopi. Tapi belum sempat mencicipi, AK sudah menyalak dari desa.

Awalnya pelan. Lalu, "Dududung-dudung-dudung-dududung."

Seorang serdadu yang jengkel belum sempat menghirup kopinya berteriak kesal: "Ooii, belum sarapan!"

Ajaib. Tembakan berhenti. GAM sepertinya sarapan juga.

Berselang sebentar, baku tembak kembali berlangsung. Dari desa pagi itu, sebuah teriakan terdengar hingga ke bukit: "Paiiii, lonte kamu! Turun kamu kalau berani. Mana Rajawalimu!?"

Mendengar itu, seorang serdadu berbisik ke temannya. "Itu pasti mantan tentara. Pasti pernah melonte."

Baku tembak berlanjut.

Tapi pagi itu, orang-orang di bukit banyak yang penasaran dengan pria setengah baya yang berdiri telanjang dada mengenakan ikat kepala putih menenteng AK dan jalan mondar-mandir di persawahan sekitar 70 meter di bawah sana. Mungkin ada 10 laras di bukit mengarah ke sana.

Koptu Irfan termasuk yang menyasar lelaki itu. "Tang-tang." Lelaki berbadan bongsor itu masih berdiri di sana. Entah ke mana proyektilnya lari.

"Tang-tang. Tang-tang. Tang-tang." Tak kena juga. Lelaki itu malah berjongkok di persawahan, merokok, dan memperhatikan orang yang sibuk menembakinya dari atas bukit.

Irfan dongkol luar biasa. Apa salah senjata? Dia mencoba membidik sebuah batang pinang di dekat pria itu. "Tang-tang." Kena. Senjata yang sudah 14 tahun disandangnya itu, sejak pangkatnya masih prajurit dua, kembali diarahkannya ke lelaki itu.

Sasaran sudah selurus pisir dan pijera. Pasti kena.

"Tang-tang." Tetap tak kena. Tak sedikit pun lelaki itu bergeming. Bagaimana bisa? Padahal saat latihan, tak satu pun pelurunya yang melenceng dari lesan jarak 300 meter.

Irfan penasaran habis. Dia kembali membidik, menembak, membidik, menembak …. hingga 30 butir peluru di magazen habis. Pria itu masih sehat berdiri di situ.

Apa yang salah? Irfan tak habis pikir. Prajurit Satu Asri lebih penasaran lagi. Dia salah satu penembak runduk (sniper) terbaik di batalyonnya. Tapi, sama saja, tak satu pun bidikannya yang kena.

"Memang monyet itu orang. Seumur hidup saya ndak akan lupa," kata Irfan mengingat kejadian itu pada saya.

Irfan masih tak puas. Dia ingin melihat reaksi pria itu ditembaki TP. Kebetulan, dia membawa TP Anti-Tank. Sudut elevasinya sudah diatur tepat. "Siiiiiuuutttttt …. blanggggggg."

Dari tempatnya berdiri, Irfan dapat merasakan tanah di kakinya bergetar.

Tujuh puluh meter di depan sana, lelaki itu masih berdiri menenteng AK di tempatnya semula. TP yang ditembakkan Irfan mengenai pohon pinang sekitar satu meter dari tempat pria bercelana hitam itu berdiri.

TP meledak di atas kepalanya tapi dia tidak lari? Kurang apa lagi? Sudah pisir pijera …. kenapa? Apa salat tahajud malamnya?

Dia perlahan mundur dan berlindung di balik tumpukan batang kelapa.

Hamka menyasar perlindungan itu dengan GLM.

"Ciiiuuuu …. blang." Hamka menikmati suara granat yang lepas dari moncong senapannya dan menggelegar begitu menyentuh tanah.

"Makan itu GAM," teriaknya dari atas bukit.

Dia terus menghantamkan granat ke beberapa titik asal tembakan. Satu kali dia mendengar ada yang berteriak "Allahu Akbar!" Hamka yakin ada yang kena.

Tiga pucuk Minimi di atas bukit tak mau ketinggalan. Mereka yang tiarap di balik bukit kedua juga terus membalas tembakan.

Baku tembak berlanjut hingga sore hari.

Malam harinya, hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Banyak serdadu yang basah kuyup karena tak membawa ponco. "Memang jadi ilmunya GAM," kata seorang serdadu yang percaya hujan dua malam itu "kiriman" GAM.

Menjelang subuh hari ketiga, Daulat Marpaung memimpin 25 orang serdadu masuk ke desa. Dia ingin memenuhi tantangan GAM.

Ketegangan tampak di wajah mereka yang ditunjuk. Bagaimana jika GAM telah menanti?

Dua orang prajurit ditunjuk jadi voor spiets. Pasukan jalan sangat lambat. Nyaris merayap. Selangkah berhenti. Selangkah berhenti. Mereka bergerak rapat. Setiap kali akan melangkah, orang yang di depan menepuk pundak orang di belakangnya.

Saat mendekati jembatan, seorang prajurit satu sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebagai voor spiets. Dia harus mengecek kemungkinan GAM telah menanam bom di situ. Tangannya meraba-raba aspal jembatan hingga menyentuh sebuah benda. Panas. Tapi kok ….? "Pukimae!" Dia bersungut-sungut menyumpahi tahi sapi yang dipegangnya.

Begitu terang tanah, mereka sudah di desa tanpa diketahui siapa pun.

Seisi kampung sudah mengungsi. Pasukan leluasa menggeledah rumah-rumah yang mereka curigai.

Di sisi kanan jalan, Hamka melihat seseorang menenteng AK.

"Batiiiiii," bisiknya memanggil seorang bintara pelatih di dekatnya, "GAM! GAM!" Hamka menunjuk-nunjuk orang yang berdiri sekitar 70 meter di depan sana.

"Bagaimana? Saya tembak?" Hamka memain-mainkan telunjuknya di picu. Izin tak keluar. Komandannya ingin tangkapan banyak.

Sayang, tim yang bertugas menggeledah rumah di sebelah kiri berisik. Bunyi tendangan pintu rumah keuchik sampai ke telinga orang itu. Dia baru sadar kalau pasukan sudah masuk ke desa.

Baku tembak dari jarak dekat tak terhindarkan. Pemisahnya hanya halaman rumah dan sedikit persawahan. Dari pagi hingga sore.

Pasukan bertahan di desa hingga hari keempat. GAM sudah mundur. Kabarnya berkekuatan 70 orang. Sebagian yang mereka lihat menggunakan seragam loreng dan hitam-hitam. Ada yang meyakini kalau yang berpakaian loreng itu dari Pidie sementara yang hitam didikan Libya dari wilayah Jeuram.

Pada hari keempat, logistik habis. Tak ada lagi yang punya biskuit atau nasi kaleng. Terpaksa, TB-3 dimainkan. TB-3 adalah istilah serdadu untuk kelapa milik penduduk. Pasukan akhirnya kembali ke Lhoksari pada 14 Mei 2002.

Sehari setelahnya, mereka membaca di Serambi Indonesia keterangan seorang juru bicara GAM kalau ada sembilan orang tentara yang tewas dalam pertempuran di Bukit Tengkorak.

Sekitar setengah bulan setelah pendudukan itu, pasukan kembali ke Bukit Tengkorak. Bukit itu kini sudah gundul. Pengakuan beberapa penduduk, GAM mengerahkan warga desa sekitar untuk membabat pepohonan di situ.

Masuk Kolam Ikan

TENTARA punya istilah khas berburu GAM di hutan-hutan Aceh: masuk kolam mencari ikan. Sekiranya diizinkan ikut, saya diminta menyiapkan perlengkapan standar masuk kolam seperti matras, ransel serbu, shebo, kaos tangan. Paling tidak, saya harus berbaju dan bercelana gelap.

Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam rompi antipeluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan.

Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah seperti setrika. Saat hujan, ia berubah seperti balok-balok es. Dingin, menusuk tulang.

Pertama kali mencobanya, perut saya sakit. Serasa mau kencing tiap menit. Pasalnya, lempengan baja di dada itu menekan-nekan perut. Saya terlalu tegang untuk memeriksa kalau lempengan baja di rompi itu bisa disetel-setel posisinya. Posisi yang benar adalah menyejajarkan bagian atas lempengan baja dengan tulang dada.

Banyak serdadu yang juga mencopot pelat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogram-untuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram.

Sekali waktu saya sempat keki berurusan dengan rompi itu. Ceritanya, kami lagi mengendap di pinggir hutan karet. Saya gerah dan ingin melonggarkan rompi yang melilit badan. Perekatnya saya lepas pelan-pelan. Kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk …. kraakkkkkkkkkkk ….. Semua mata tertuju ke saya hingga rompi tanggal dari badan. Dengan isyarat dari jauh, seorang letnan dua mengajari saya cara melonggarkannya tanpa harus membangunkan seisi hutan.

Soal makanan selama masuk kolam, saya diminta tak khawatir. Tentara punya aneka ransum. Saya paling suka dengan TB-1. Satu kotak isinya 12 keping biskuit kering. Ini makanan perang bintang tiga kendati ada serdadu dari Makassar yang menyamakannya dengan kanre kongkong (makanan anjing). Rasanya memang anyep. Tapi makan pagi sebiji saja, perut sudah bisa terganjal sampai sore.

Biskuit ini pas dengan teh panas. Praktis dibawa ke mana-mana. Sekali jalan ke hutan, saya sanggup menghabiskan sekotak. Medio September silam, saya terkejut membaca informasi yang tertera di kemasannya. Biskuit yang saya makan dan dibagikan ke seluruh serdadu di Aceh Barat ternyata "Produksi Bulan Juli 2001. Berlaku sampai Juni 2002 …. jangan dimakan bila terdapat kelainan warna, bau, rasa, dan berjamur."

Serdadu-serdadu itu banyak yang tak memperhatikan kalau itu sudah kadaluwarsa. Atau mungkin tahu tapi tak acuh. Mau apalagi kalau perut lapar dan sudah tak ada yang bisa dimakan?

Saya juga suka dengan ransum yang namanya T2FD. "Nasi bantal" istilah sebagian serdadu. Kalau nasi di dalam plastik kemasan itu-ada rasa soto ayam, ada rasa gule-disiram air panas dan dibiarkan tertutup hingga 15 menit, plastiknya akan menggelembung seperti bantal bayi. Enak dimakan panas-panas. Tapi jaga-jaga saja. Soalnya kalau (maaf) kentut, baunya sengit. Entah kenapa.

Tapi selapar apapun di dalam kolam, saya tak pernah tertarik menyentuh yang namanya TB-2. Ini nasi kalengnya tentara. Macam-macam jenisnya. Ada rasa gudeg, ada rasa kari ayam pedas. Masing-masing dikemas dalam kaleng seukuran mi cepat saji. Sebelum dimakan, sebaiknya direbus atau dibakar dulu. Biar enak melewati di tenggorokan.

Biar begitu, rasanya tetap …. yakkkk. Ada serdadu yang baru mencium baunya sudah muntah. Saya hanya tahan dua suap. Sudah itu, rasanya di tenggorokan baru bisa hilang setelah disiram kopi seharian.

Hanya segelintir serdadu yang senang makan TB-2. Saya mengenal seorang serdadu Rajawali yang sanggup menghabiskan ransum itu sekali duduk dengan beberapa teguk air minum.

Mungkin dia terbiasa. Dia dua kali ditugaskan di Timor Timur dan dua kali di Papua. Pangkatnya masih kopral satu. Umurnya 34 tahun. "Mungkin saya yang paling tua di tamtama," katanya, "Tapi semangat boleh lawan. Saya ndak mau kalah. (Junior) harus malu kalau koptu bisa naik gunung sementara prada loyo-loyo. Saya kasih malu mereka itu kalau sudah di atas."

Suatu malam, saya ikut gerak bersamanya ke pelosok Patek, sekitar 130 kilometer dari Banda Aceh. Gerakannya lincah, tapi senyap. Sepertinya dia punya mata cadangan di kegelapan malam. Dia tak pernah tersandung. Dia pemburu yang lihai.

Ada keresek sedikit saja, langsung didekatinya. Malam itu, saat melintas di dekat rawa, dia buru-buru membuka kunci senapannya. Saya kira sudah ada GAM yang menunggu kami di situ. Uh, ternyata hanya babi hutan.

Sampai siang keesokan harinya, gerak pasukan nihil. Tak ada GAM yang dijumpai. Dia kesal bukan main.

Kopral itu sanggup tidur di medan apapun. Di atas rawa basah, di bebatuan hanya dengan menggelar rompi baja sebagai alas tidur sekaligus bantal. Di situ saya mengajaknya berdiskusi soal penyekolahan tawanan. Saya anggap dia dengan segudang pengalamannya akan lebih memberikan gambaran yang lebih jelas.

"Kenapa tidak diserahkan ke polisi saja? Polisi membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), diserahkan ke pengadilan dan pengadilan memberi hukuman yang setimpal (kalau memang bersalah)?"

"Kalau diserahkan ke polisi," katanya dingin, "Ya sama saja (nasibnya)."

Dua-tiga hari sebelum kami berkenalan, dia baru menghantamkan balok 8×12 centimeter ke kepala seorang tawanan. Setelahnya, dia menawarkan ke beberapa juniornya untuk menyekolahkan tawanan yang "nyawanya tinggal sedikit" itu.

Tak ada yang menyambut.

"Ada yang sampai pergi sembahyang," katanya.

Dan itu membuatnya heran. Menurutnya, "Tuhan Mahatahu …. dia (tawanan) itu sudah mengancam nyawa puluhan orang. Membuat anak-anak tidak bisa sekolah. Dia ikut menghadang konvoi 433 di Geurutee. Ada serdadu yang korban. Sekarang masih di rumah sakit pusat Gatot Subroto."

Tawanan itu namanya Maimun. Dia ditangkap setelah ada bapak-bapak yang melapor ke SGI (Satuan Gabungan Intelijen) karena diancam akan dibunuh jika tak menyerahkan dana perjuangan GAM. Belakangan, Ayah Lian ditemukan mati terbunuh. Nama Maimun disebut-sebut.

Mainum ditangkap saat main bola voli. Awalnya, tak ada serdadu yang tahu wajahnya. Warga di situ tak ada yang mau buka mulut. Serdadu jengkel. Setelah direntet tembakan ke arah kaki, barulah mereka menunjuk hidung Mainum.

Mainum digiring ke pos. Seorang pemuda datang melihatnya. Dia bercerita kalau betul Maimun yang membunuh ayahnya. Mainum berkilah. Katanya, dia memang ada di tempat saat pembunuhan terjadi, tapi bukan dia yang melakukannya.

"Itu lagu lamanya GAM. Kalau ditangkap jadi suci sekali."

Saat ditahan di sebuah pos, saya melihat Mainum dikerumuni sejumlah serdadu. Saya menyesal tak berani turun dari truk dan melihat langsung wajah pemuda jerawatan itu. Dua tiga hari setelahnya, seorang serdadu bercerita kepada saya kalau Mainum sudah disekolahkan. Mayatnya dibuang ke daerah Lageun.

DI ACEH, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentara terlatih dengan kualitas fisik prima, yang memang dilatih khusus untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli.

Ada yang menyebutnya Pasukan Sayap Lebar. Isinya gabungan prajurit Kostrad dan Kopassus. Saat ini, sekitar 2.000 orang Rajawali di Aceh disebar dalam lima datasemen tempur dari hanya dua datasemen pada 1999.

Naluri tempur mereka di atas rata-rata. Mereka dibekali latihan militer yang sebelumnya hanya didapat anggota Kopassus seperti mengesan jejak (pelatihnya antara lain orang Dayak), sermujam (serangan amunisi tajam), mobud (mobil udara), dan perang rawasuntai (rawa laut sungai dan pantai).

Rajawali terbiasa bergerak dengan jumlah kecil. Satu regu, delapan sampai 12 orang. Jika ada pasukan yang jalan di hutan-hutan Aceh membawa ransel besar, bisa dipastikan itu Rajawali. Jika Anda melihat tentara yang berbelanja di pasar-pasar Aceh dengan dompet terbungkus plastik atau tidur dengan sarung sambung (dua sarung dijahit jadi satu), itu pasti Rajawali.

Mau tahu isi ranselnya? Jika hendak "masuk kolam" lebih dari seminggu, biasanya di setiap ransel itu ada satu setel pakaian loreng cadangan, kaos kaki dua sampai tiga pasang, celana dalam sebanyak-banyaknya, kelambu kepala, matras kedap air, dan sarung sambung.

Untuk logistik, mereka menyiapkan dua kilogram beras per orang, ikan kering setengah kilogram, supermie 30 bungkus, kecap botol kecil, saos botol kecil, minyak goreng botol kecil, bawang, terasi, garam, gula, kopi atau teh, sendok, piring dan gelas plastik.

Selain itu, tiap-tiap serdadu membawa tali perorangan 10 meter dan tali tubuh lima meter. Tali itu diperlukan kalau misalnya pasukan harus berenang di sungai deras atau meluncur dari ketinggian tebing. Bintara pembawa radio biasanya menambahkan 20 biji baterai cadangan ke ranselnya.

Jika ditotal-total, beratnya ransel bisa mencapai 25 kilogram. Berat, cukup membuat bahu keple dan kulit terkelupas. Bila beban berat, jarak yang mereka tempuh relatif dekat. Untuk 10 hari, mereka ditargetkan memeriksa sasaran duga yang total jaraknya 10 kilometer. Praktis dalam sehari, pasukan hanya jalan satu kilometer. Demi kehati-hatian, seringkali jarak 100 meter ditempuh hingga satu jam.

Sekalipun rutenya pendek, tapi medan di Aceh Barat seringkali tidak mendukung. Untuk sampai ke sasaran, mereka kadang harus menggergaji beberapa bukit, berenang di sungai lebar, dan masuk rawa.

Dan kalau sudah rawa atau sungai, alamak …. siksaannya luar biasa.

Saya pertama kali masuk rawa di Peulanteu, kecamatan Samatiga. Rawa itu baru bisa ditembus setelah jalan dua jam. Namanya jalan di rawa yang tak ada embusan angin dan ada pelat baja 10 kilogram di dada, badan jadi keringatan. Peluh menetes dari setiap pori, di kepala, di belakang telinga ….. Bila itu berlanjut, tetesannya akan membuat mata perih. Jalan makin jauh, keringat sudah tidak asin lagi. Badan ini sudah kekurangan cairan.

Para serdadu seperti tak mempedulikan lagi badan yang tenggelam hingga dada di rawa. Mereka berkonsentrasi menjaga agar SS-1 tidak masuk lumpur. Senjata mereka akan macet kalau kena lumpur atau terendam air.

Gerak mereka jadi lebih lambat. Hanya Tuhan yang tahu apa jadinya kami jika ada gerilyawan GAM yang menghadang di rawa itu. Soalnya, mau sembunyi di mana? Tidak ada perlindungan yang aman di tengah rawa.

Soal lintah tak usah ditanya. Lintah ada di sela-sela jari kaki, di betis, di paha, di perut, di selangkangan, dan bahkan menempel di penis. Kalau sudah mengisap darah, dia baru jatuh sesudah menggelembung sebesar jempol kaki, dari hanya seukuran satu ruas kelingking.

Tapi siapa sangka, di tengah hutan rawa itu ada markas pembuatan senjata rakitan GAM. Di situ ditemukan puluhan senapan rakitan setengah jadi, ratusan bendera dan kartu anggota GAM. Di antara empat gubuk pembuatan senjata itu, tentara menemukan seperangkat komputer, printer, dan genset. Saya tak habis pikir bagaimana GAM mengangkat genset raksasa itu melewati rawa.

Mereka tinggal di empat gubuk yang letaknya berdekatan. Gubuknya memang memprihatinkan. Saya mengira orang yang tinggal di situ termasuk di antara mereka yang meyakini kalau usia Aceh merdeka tinggal sebatang rokok lagi. Tiang-tiangnya dari batang-batang kayu seukuran betis anak kecil. Atapnya dari daun rumbia. Nyamuknya tak usah ditanya. Markas itu punya sistem pengamanan berlapis. Ada tiga pos tinjau yang masing-masingnya memiliki pemancar radio.

Melihat barang yang berceceran di gubuk itu saya mengira ada beberapa remaja yang menghuni dan melarikan diri begitu tahu ada tentara. Saya menemukan banyak bungkus rokok Marlboro, botol splash cologne, minyak rambut, dan lain-lain. Saya juga menemukan selembar kartu nama John Aglionby, koresponden harian The Guardian untuk wilayah Asia Pasifik.

Selesai masuk rawa, telapak kaki jadi pucat. Kerutan itu baru bisa hilang setelah dua hari. Saat itu saya memakai sepatu lars. Larsnya kesempitan. Untuk ukuran kaki 42 mestinya lars nomor tujuh sementara lars yang saya pakai nomor enam. Jadinya, kaki terkungkung. Tumit lecet dua-duanya. Lecetnya bersusun-susun. Luka di atas luka.

"Ah, itu belum biasa saja," kata seorang serdadu menertawakan.

Masak dan makan bersama adalah hiburan satu-satunya bagi Rajawali selama "masuk kolam." Serdadu biasanya masak dengan misting. Satu misting-seukuran dua batu bata ditumpuk-untuk empat orang. Apinya lebih sering pakai kayu bakar (pembagian parafin jarang ada). Masaknya hanya pagi dan sore. Supaya asapnya tak mencolok, di atas misting ditutupi dahan, biar asapnya menyebar.

Kalau pagi, supermie jadi sayurnya. Kalau ada bayam yang ditemui di kampung-kampung, pakai bayam. Kalau ada tewel (nangka muda) dan kelapa, menu sedikit membaik. Kelapa diparut untuk diperas diambil santannya untuk dimasak dengan nangka muda. Parutnya kaleng sarden yang dilobang-lobangi dengan paku. Ikan keringnya digoreng di atas wajan kecil. Untuk mengulek sambel, terasi bakar dan cabai dimasukkan ke kaleng sarden dan digerus dengan kayu.

Makan saat begitu sedap, bisa sampai keringatan. Semua memang enak kalau perut keroncongan.

Serdadu Indonesia kalau tak merokok sehabis makan mukanya sumpek. Kalau rokok sudah habis, akal mereka jadi panjang. Serbuk teh digulung dengan kertas apa saja sebagai pengganti rokok. Mengepul juga.

Urusan minum, biasanya dua sampai tiga gelas dipakai untuk semua mulut. Mereka sudah biasa dan itu urusan kecil.

Kalau ada teman sakit parah, semuanya merawat. Ransel si sakit dicopot dan isinya dibagi rata ke yang sehat. Sakitnya Rajawali tak jauh-jauh dari tipus, turun bero, bahu keple, dan gatal-gatal.

Jika Basis Operasi Depan (BOD) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah seolah tak pernah diinjak lars.

Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada "Purpa" (Pertemuan Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesurupan.

"Ciiiiihuuuyyyy!"

"Ciiiiihuuuyyyy!"

"Ciiiiihuuuyyyy!"

"Ciiiiihuuuyyyy!"

"Ciiiiihuuuyyyy!"

"Ciiiiihuuuyyyy…!"

Sambil berteriak, mereka berlari zig zag, mendekati sasaran. Tapi larinya hanya sebentar-sebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik.

Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal. Mereka dilarang menemui penduduk. Selama itu, mereka akan mengecek setiap sasaran-duga yang sudah digariskan dalam perintah operasi. Kadang, mereka akan mengendap di tempat-tempat tertentu yang berdasarkan informasi intelijen sering dilewati GAM.

Sebelum pengendapan, separuh regu sudah melakukan pengintaian medan, sore harinya. Separuh kekuatan masuk. Menjelang malam, separuh dari serdadu yang berangkat mengintai medan kembali menjemput sisa pasukan.

Di tempat pengendapan, biasanya di pinggir desa, mereka akan membuat formasi bersaf. Ujung empat orang, tengah empat orang, ujung satu lagi empat orang. Ujung ke ujung disambung dengan tali. Tali itu jadi sarana komunikasi utama selama pengendapan yang wajib hukumnya senyap dan tak boleh ada cahaya.

Anda harus jeli kalau lewat di depan tempat pengendapan dan tahu kalau tiga-empat meter dari tempat Anda berdiri ada serdadu yang tengah membidikkan larasnya ke wajah Anda. Mereka memang dibekali cat wajah untuk penyamaran. Warnanya ada yang hitam, coklat, abu-abu, dan hijau.

Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD.

"Hujan kawan. Panas kawan," kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri.

Rajawali telah dididik untuk menembak tepat: titik-bidik-titik-kena. Latihannya banyak. Ada tembak jarak, ada tembak reaksi. Tembak jarak, mereka dididik untuk menembak sasaran berdasarkan aba-aba pelatih. Saat pelatih meneriakkan "Dua 50" misalnya, serdadu mesti menembak sasaran 50 meter dari posisinya, arah jam dua. Ya, kurang lebih miriplah dengan gaya jejaka kota membisiki rekannya kalau ada gadis cantik yang berdiri di suatu tempat.

Tembak reaksi lain lagi. Di sini mereka dilatih menembak skip bergerak dan statis, muncul sesaat lalu tenggelam. Skipnya selalu tiga berdampingan: pak haji, pemuda berpakaian loreng dan perempuan berjilbab. Salah satu dari tiga orang itu bersenjata. Hanya mata yang awas yang bisa menembak tepat. Salah dihukum. Hukumannya, menembak lesan hingga amunisi dalam dua boks peluru habis. Satu boksnya sekitar 1.500 amunisi.

Seorang kopral kepala yang pernah ikut pendidikan Rajawali pada 1996 bercerita saat latihan dulu Prabowo Subianto menyediakan tiga truk amunisi tajam. Katanya, biaya latihan untuk 2.000 orang waktu itu sampai Rp 5 miliar. "Memang yang harus jadi pimpinan di militer itu orang kaya."

Bagi pasukan Rajawali, anggota Kopassus utamanya, menembak dengan peluru tajam bukan hal asing. Tiap hari di markas latihannya ya itu: menembak, menembak, dan menembak. Kalau tidak menembak sambil tiarap, ya menembak sambil duduk, atau menembak sambil berdiri, atau menembak sambil berlari. Seorang prajurit Kopassus sampai bilang ke saya, "Mas kalau ada keluarga yang mau dagang kuningan datang saja ke Serang. Selongsong di sana tinggal disekop."

Sebenarnya, batalyon teritorial yang diberangkatkan ke Aceh juga mendapat latihan menembak. Mereka hanya dibekali beberapa lusin peluru hampa. Kalau itu habis, menembak kadang pakai mulut: "Dor-dor-dor."

Ada yang latah. Seorang bintara bercerita kepada saya kalau ada anak buahnya yang nyaris menembak GAM. Sasaran sudah segaris dengan pisir-pijera. Kunci senapan sudah dibuka. "Dorrrr!" Yang ditembak tidak apa-apa. Dia hanya terkejut mendengar suara tembakan seperti saat latihan perang-perangan.

Bukan Rajawali kalau tidak hapal yel-yel dan mars Rajawali. Mereka biasanya meneriakkan yel-yel dan mars itu saat latihan atau sehabis mendapat sepucuk. "Uh, gembiranya sukar dilukiskan," kata seorang sersan satu yang bersama anak buahnya pernah mendapat sepucuk Garand.

Marsnya singkat: "Majulah Satgas Rajawaliiii/ Kembangkan sayap-sayapmu/ Dideru angin/ Diterpa badai/ Diterjang peluru/ Tak gentarrrrr jiwa kamiiii/ Rajawaliiii …. Rajawaliiii. Hei!"

Tapi saya kira Anda akan tertawa kalau melihat mereka meneriakkan yel-yel Rajawali. Ini perpaduan suara keras, kepalan tangan, dan sedikit kelenturan jemari. Pertama, dengan tangan terkepal, mereka akan meninju langit dua kali diiringi teriakan: "Rajawali! Rajawali!" Lalu dengan tangan kiri mereka melakukan hal serupa sambil berteriak: "Pemburu. Pemburu." Setelah itu, mereka akan mengayunkan tangan kanan dua kali dengan bergetar-getar, meniru kepak sayap burung rajawali, dan diiringi teriakan: "Ciiiihuuyyy! Ciiiiihuuuyyy!" Sudah itu, tangan kanan yang sama disentak ke bawah disertai teriakan "Merah Putih, Yes!"

Untuk mengetahui apakah yel-yel itu sudah dilantunkan dengan benar, komandan biasanya hanya melihat urat leher serdadu. Kalau sudah menonjol, itu artinya teriakannya sudah pas. Kalau belum, ulangi sampai bisa.

Mereka yang pernah ikut pendidikan Rajawali akan menempelkan brevet Rajawali di seragamnya. Brevet itu bergambar burung rajawali bermata merah sedang mencengkeram sebilah pedang. "Brevet ini pakainya saja yang gagah. Tapi tugasnya …. alamak!"

Jadi prajurit Rajawali memang susah apalagi kalau komandannya gemar kontak senjata. Saya pernah bertemu seorang komandan pos Rajawali yang sikapnya membuat 30 orang anak buahnya tak pernah bisa istirahat tenang dalam seminggu. "Di pantatnya seperti ada paku. Maunya masuk ‘kolam terus,’" kata seorang serdadu.

Sayang, saya tak bisa akrab dengan komandan itu. Persoalannya sederhana. Dia alergi melihat di leher saya selalu tergantung kartu pers. "Tutup-tutup ini …. saya risih banyak pelanggaran HAM," katanya saat saya duduk di dekatnya suatu waktu.

Entah pelanggaran hak asasi mana yang dimaksudkannya. Tapi dari seorang anak buahnya, saya mendengar cerita suatu malam pasukannya mengendap di wilayah Babah Aweh, kecamatan Jaya. Ada tiga orang yang melintas di tempat pengendapan. Mereka terkejut begitu mengetahui ada belasan tentara tiarap di pinggir jalan.

Saat disuruh berhenti dan angkat tangan, ketiga orang itu segan melakukannya. Pelan-pelan mereka mundur ke bahu jalan. Salah seorang di antaranya berusaha meraih sesuatu di kantong plastik yang dijinjingnya. Belum sempat, tembakan menggema.

Keadaan gelap. Yang tidak melihat dengan baik ketiga orang itu ikut menembak.

Tembakan berhenti. Begitu didekati, ternyata masih ada seorang yang hidup. Tak sedikit pun badannya lecet akibat tembakan beruntun itu. Rupanya, dia menenggelamkan badan di gundukan tanah di pinggir jalan.

"Sekolahkan saja. Siapa yang mau?" komandan peleton itu menawari anak buahnya. Dia yakin ketiga orang itu GAM. Di kantong plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan.

Dari belakang, seorang serdadu muda bergegas. "Danru …. Danru …. biar saya."

Tawanan itu diminta berjongkok. Sebutir peluru menembus kepalanya, "Crook …. crookk." Darah muncrat dari kepala. Mengira masih hidup, serdadu muda itu mengarahkan larasnya ke punggung korban. "Tak-tak-tak." Tiga peluru 5,56 milimeter bersarang.

Setelahnya, komandan regu minta serdadu muda itu untuk mencicipi darah orang yang ditembaknya. Ada kepercayaan di kalangan tentara (dari Makassar) bahwa mencicipi darah orang yang telah dibunuh akan menghilangkan bayang-bayang wajah korban yang bakal menghantui.

Saat pulang ke pos, serdadu muda itu mengeluh ke komandan regunya.

"Danru, perut saya mual."

"Kau minum apa tadi?"

"Darah itu," katanya seraya menunjukkan ukuran darah yang diminumnya: dua genggaman tangan!

Vila Serdadu

TENTARA di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya cukup rapat. Kendati belum dapat menyamai kerapatan pos tentara di Timor Timur dulu. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara di Aceh ini, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa.

Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.

Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.

Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula.

Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu.

Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata "vila" untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau "vila" sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.

Urusan "vila" beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.

Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.

Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.

Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.

Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang "tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan." Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.

Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater …. semuanya terkunci.

Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik.

Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.

Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.

Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan.

Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.

Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.

Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.

Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh.

Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.

Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.

Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.

Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.

Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.

GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. "Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk," kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. "Biar kalau ada apa-apa langsung loncat."

GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.

Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.

Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar.

Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.

GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya.

Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.

Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting "rempah Aceh" itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.

Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil ‘kerupuk’ Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.

Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh.

Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.

Lambaian Tangan

SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.

Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.

"Siapa tahu ada tembakan," kata saya menjawab keheranannya.

"Tuh kan, doanya saja sudah jelek," Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?

Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.

Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.

Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.

Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.

Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. "Anak-anak Aceh," kata seorang serdadu, "Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita."

Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.

Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.

Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. "Jangan ditulis mereka takut sama kita," kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, "Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan."

Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi …..

Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.

Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. "Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan."

Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.

Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.

Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I’m Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya "habis dimakan ransel."

Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.

Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.

Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.

Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.

Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.

Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.

Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.

Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.

Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.

Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.

Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.

Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.

"Tidak tahu gunung apa itu," kata seorang serdadu dari Makassar, "Selalunya kita takut kalau lewat." Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.

Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.

Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.

"Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas," keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak …. gatal luar biasa.

Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.

Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.

Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan "ikan di kolam." Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.

Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.

Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.

Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar "Solo Garut Irian" disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.

SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.

Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk "berekspresi." Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.

Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.

Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. "Bang, dia mengira Abang camat di sini." Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.

Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.

SERINGNYA berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada yang leluhur mereka datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan kelapa sawit pada 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh pada 1980-an sebagai transmigran.

Seingat saya, ada 10 atau mungkin lebih sarana permukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng. Sebagian orang menyebut daerah itu Bukit Jaya. "Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana," kata seorang transmigran.

Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, "Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa)

SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu.

Saya sempat singgah di sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki semak belukar. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa! Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan diri untuk menjadi orang Aceh, membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ.

Saat memasuki ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15×8 meter, belum termasuk garasi 3×4 meter persegi di kiri bangunan. Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ.

Di halaman ada banyak pohon buah; mangga, rambutan, jambu batu dan lain-lain.

Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, tiap-tiap transmigran mempunyai kebun kelapa sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga mempunyai 300 hektar. Sejak ditinggal, banyak kelapa sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani memanen.

Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebun kelapa sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang-sebagian besarnya asli Aceh-yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi pekerjaan pada mereka yang menganggur. "Dari pada dipanen GAM," katanya.

Panenan dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.

Saya pernah menanyakan kepada Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak mengetahui keadaan di sini? Katanya, "Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini."

Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, "Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara."

Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10 ribu yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan.

Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000. Sisanya untuk membeli barang-barang kebutuhan harian seperti sabun cuci, sampo, dan rokok-kalau memang merokok.

"Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya," kata seorang prajurit kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha …..

Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jenderal Djali Yusuf.

Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan rasa iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotek di bilangan Kota, Jakarta. "Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telepon saya saja nanti. Percaya deh gratis."

Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. "Sayang yah, Abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat ‘kan orang di batalyon bisa lihat." Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. "Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya."

Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang "baik-baik saja" kalau tak mau "disekolahkan." Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan)

Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, ada yang menenteng piring dan sendok.

Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: "Cek-cek-cek …. sound-sound-sound …. gendang-gendang … kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes … tuk-tuk-tuk … volume-volume-volume … bas-bas-bas. Udah-dah-dah."

Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: "Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiii….." *

by:Alfian Hamzah