Ambient Music dan Brian Eno

Eric Sasono

Mon, 3 February 2003

SUATU hari, musikus dan produser Brian Eno tertabrak taksi. Rekannya, penyanyi bernama Judy Nylon, membawakan sebuah rekaman permainan harpa abad ke-19.

SUATU hari, musikus dan produser Brian Eno tertabrak taksi. Rekannya, penyanyi bernama Judy Nylon, membawakan sebuah rekaman permainan harpa abad ke-19. Sambil terbaring, Eno mendengarkan musik itu rumah sakit. Rupanya amplifier dipasang terlalu rendah dan fungsi stereo alat itu mati. Karena tak bisa membetulkannya, Eno membiarkan saja rekaman sayup-sayup itu.

Eno belakangan sadar. Bunyi musik itu begitu lembut dan seakan bersatu dengan suara ruangan kamar tempatnya berbaring. Suara hujan di luar juga menambah kesan kesatuan ruang dengan musik itu. Dari sini kemudian muncul ide Eno untuk membuat rekaman musik yang menyatu dengan ruang. Muncullah albumnya, Discreet Music yang dianggap pelopor untuk jenis musik ambient.

Kisah ini diceritakan Eno dalam catatan untuk album Discreet Music. Mulailah Eno kemudian membuat berbagai rekaman musik ambient sampai ia meluncurkan seri album Ambient Music, termasuk karyanya yang monumental Ambient 1: Music for Airport yang idenya didapat ketika ia sedang menunggu di bandar udara. Album itu diputar di La Guardia Airport, New York.

Musik ambient tidak berangkat dari notasi dan ritme, melainkan berangkat dari usaha membangun mood, menyatukan antara musik dengan ruang. Aspek horisontal (kiri-kanan dan kedalaman) serta vertikal (ketinggian) dieksplorasi melalui jenis musik ini. Secara filosofis, musik ini menghadirkan ruang dalam dunia auditif sebagaimana temuan seni rupa akan perspektif dalam dunia seni lukis.

Eno bukan pelopor jenis musik ini. Pernah ada John Cage dan Philip Glass, misalnya. Namun menurut Mark Pendergast dalam buku The Ambient Century, Eno-lah yang berperan penting membawa jenis musik ini ke kalangan luas. Eno melakukan produksi musik ambient ini secara sistematis. Pentingnya peran Eno dirumuskan oleh Eric Tamm, yang pernah menulis buku Brian Eno, His Music, Ideas and Vertical Color of Sound, yaitu dalam metodenya mengubah cara mengkomposisi musik. Sejarah pengkomposisian musik di dunia Barat umumnya dimulai dari notasi, interval, dan ritme yang dituangkan ke atas kertas. Eno mengubahnya dengan memulainya dari warna nada (timbre) dan tekstur musik. Hal itu dilakukannya langsung di studio di atas pita rekaman. Caranya adalah dengan mengumpulkan dulu suara-suara yang dihasilkan kemudian langsung “melukiskannya” dengan merekam di atas pita dan mengedit untuk memberikan kesan adanya “ruang” dalam komposisi tersebut.

Metode produksi Eno tak sama sekali baru, tapi sebagai sebuah gagasan yang dikembangkan dengan sangat luas, Eno punya pengaruh kemana-mana. Awalnya lewat beberapa musisi rock yang sempat diproduserinya seperti David Bowie dengan album Low atau U2 dengan album Joshua Tree. Sesudahnya pengaruh musik ambient meluas ke mana-mana hingga Bob Dylan yang album terakhirnya, Time Out of Mind, diproduksi oleh Daniel Lanois, salah satu tokoh musik ambient.

Pengaruh Eno dan ambient music-nya meluas juga ke dunia radio. Bukan dunia radio di Indonesia, di mana para personelnya masih terbatasi oleh faktor di luar kemampuan kreatifnya, tapi setidaknya pada sosok Torben Brandt, salah satu tokoh penting dalam dunia kreatif radio di Danmark Radio, Denmark. Torben pengagum Brian Eno. Dia mengatakan pada saya banyak terinspirasi musik ambient. Gagasan menghadirkan “ruang” lewat suara dan musik, menurut Torben, adalah sesuatu yang sangat menarik dan ini yang dikerjakan sepanjang karirnya selama 27 tahun di Danmark Radio.

Beberapa progam radio diproduksinya dengan menggunakan metode yang dipelopori oleh Eno. Ia memberi contoh program acara “Soundbyte of the Day” yang merupakan sebuah program eksperimental yang berisikan potongan-potongan suara (soundbyte) tanpa narasi apapun selama kurang lebih lima menit –untuk membangun mood dan kesadaran lokasi bagi para pendengarnya. Torben memproduksi program ini dengan menggunakan pendekatan Eno.

Pertama, Torben mengumpulkan dulu bahan-bahan dari lapangan. Bahan-bahan ini direkam dengan menggunakan peralatan audio analog berstandar tinggi semisal Nagra buatan Swiss. Dalam merekam ia membedakan tiga kategori perekaman untuk menghasilkan efek ruang. Pertama perekaman close-up untuk menghadirkan obyek sedekat mungkin; seperti gambar close-up wajah manusia. Kedua middle shot untuk menghadirkan konteks ruang bagi obyek tersebut; bagai potret manusia setengah badan. Dan ketiga long-shot yang menghadirkan ruang dengan obyek di dalamnya; bagai gambar manusia sepenuh badan di lokasi tertentu. Lokasi tersebut tampak dengan jelas ketimbang obyek. Jadi ia memperlakukan mikrofon selayaknya kamera.

Kemudian ia memilih sedikitnya tiga potong suara yang berbeda dan kemudian melakukan mixing. Disini Torben mengubah level suara, melakukan ekualisasi, dan seterusnya hingga ketiga suara itu “memasuki sebuah dimensi yang baru sama sekali.” Dimensi baru itu dijelaskannya sebagai kehadiran ruang lewat proses “panning” (meletakkan suara di “kanan” atau “kiri” pada mesin stereo) dan menghadirkan kedalaman.

Kratifitas ini tak terhenti pada radio. Dalam sebuah pertemuan Eropa-Asia baru-baru ini, Torben mengepalai departemen sound-art dan ia minta pada peserta merancang sebuah audio show untuk pelataran parkir. Idenya mirip dengan Ambient Sound karya Brian Eno. Audio show itu harus berangkat dari inspirasi natural sound lokasi parkir tersebut. Para seniman itu harus mewujudkannya dalam bentuk audio show yang baru sama sekali.

Gagasan ini mungkin terasa jauh dengan kondisi radio di Indonesia yang masih dikungkung masalah-masalah mendasar. Namun kemungkinan mengeksplorasi gagasan ini sampai yang dilakukan oleh Torben Brandt bagai mengingatkan bahwa masih banyak yang belum dikerjakan sepenuh tenaga di negeri ini.*

kembali keatas

by:Eric Sasono