Lombok Post versus Pemerintah Kota Mataram

Nurul Chayati

Mon, 6 January 2003

SEJAK Senin, 25 November 2002, pemerintah kota Mataram berhenti berlangganan harian Lombok Post. Mereka juga meminta jajaran di lingkungannya sampai kelurahan untuk berhenti berlangganan.

SEJAK Senin, 25 November 2002, pemerintah kota Mataram berhenti berlangganan harian Lombok Post. Mereka juga meminta jajaran di lingkungannya sampai kelurahan untuk berhenti berlangganan suratkabar terbesar di Mataram dari Kelompok Jawa Pos.

Menurut kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Mataram Bondan Wisnu Jati, Lombok Post dianggap menulis berita yang tak proporsional dan ini bisa melemahkan semangat serta motivasi kerja para pejabat.

Pemberitaan tersebut membuat pemerintah kota merasa tak dihargainya jerih-payahnya. "Padahal kami merasakan selama ini kekurangan waktu untuk membangun kota Mataram dalam tugas kita," kata Bondan.

Berita yang membakar jenggot pejabat itu menyoalkan penerimaan calon pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kota Mataram. Lombok Post menulis ada unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proses seleksinya. Dalam terbitan Minggu, 24 November 2002, harian ini memuat pernyataan Muhammad Faesal, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatakan ditelepon seseorang bahwa calon pegawai yang ingin diterima harus membayar Rp 20 juta.

Namun, Bondan Wisnu Jati tak terima, "Sepertinya kerja kita dibenturkan dengan orang-orang yang tidak mengerti substansi dari kerja ini (proses penerimaan calon pegawai)."

Sampai kapan pemerintah kota berhenti langganan Lombok Post? Menurut Bondan, pemerintah kota masih menunggu perkembangan sikap Lombok Post. "Yah, semoga dari kejadian ini masing-masing pihak bisa introspeksi," katanya.

Alam Basri, pemimpin redaksi sekaligus penanggung jawab Lombok Post, belum mengetahui dengan alasan pemerintah kota berhenti melanggani suratkabarnya.

"Saya belum bisa ngomong apa-apa. Karena sampai Senin, 2 Desember 2002, saya belum berhasil bertemu dengan walikota meskipun sudah beberapa kali mencoba. Menurut saya, semua ini terjadi bisa saja karena persepsi yang berbeda," kata Basri.

Lho, buat apa bertemu walikota? Menurut Bondan Wisnu Jati, keputusan tersebut tak datang dari walikota tapi justru dari orang-orang di instansinya.

Basri menerima kabar tersebut pada Minggu, 24 November 2002. Ia ditelepon Bondan. "Tidak ada penjelasan apa-apa dari Pak Bondan. Kata-katanya singkat dan telepon segera ditutupnya," tutur Basri.

Basri menangkis tuduhan bahwa Lombok Post tak mendukung kerja pemerintah kota. Menurutnya, Lombok Post juga berkomitmen turut membangun Mataram, sesuai cara dan kerja mereka. Tapi, ia ingin masalah ini selesai secara kekeluargaan.

"Seandainya pemerintah kota Mataram merasa ada yang tidak sesuai atau dirugikan dari berita di Lombok Post, harusnya dia menggunakan hak jawab yang ada," katanya.

Selama ini pemerintah kota tak pernah mengajukan hak jawabnya. "Berita yang kami terbitkan saya rasa sudah seimbang dan memenuhi kaidah jurnalistik yang berlaku," lanjut Basri.

Kegencaran Lombok Post memberitakan penerimaan calon pegawai negeri sipil itu berkaitan dengan besarnya jumlah pelamar. Tahun ini sekitar 5.000 orang mengajukan lamaran, sedang tahun sebelumnya, bahkan mencapai 8.000 orang. "Ini soal yang banyak diminati orang," kata Basri, lagi.

Harian Lombok Post dan pemerintah kota menjalin kerja sama sejak 1993. Kerja sama tersebut berupa fasilitas berlangganan Lombok Post untuk semua jajaran pemerintah kota sampai ke kelurahan, sekitar 60 eksemplar. Bondan malah menyebutkan angka lebih besar, ratusan eksemplar. Selain itu, ada halaman khusus yang memuat informasi dari pemerintah kota atau tepatnya, dari Dinas Informasi dan Komunikasi Mataram, divisi yang dikepalai Bondan. "Untuk kerja sama langganan di seluruh jajaran ini ada perjanjiannya," kata Alam Basri.

Achmad Sukisman Azmi, pemimpin perusahaan yang juga menangani bidang pemasaran dan iklan Lombok Post, mengungkapkan sebanyak 114 pelanggan berhenti pada November ini, tapi 98 pelanggan baru telah mendaftar pada bulan yang sama. Menurut Sukisman, penjualan eceran Lombok Post justru meningkat. Bisa saja orang yang berhenti berlangganan, membeli secara eceran karena memang butuh berita.

Tapi, penghentian langganan suratkabar ternyata tak diikuti dengan penghentian halaman khusus tadi. Tidak fair? Inilah risiko bermitra dengan pemerintah padahal posisi media sering kali harus kritis terhadapnya.

Atmakusumah Astraatmadja, atas nama Dewan Pers, pada 14 November 2002 lalu, bahkan menyerukan agar pengelola media pers tak mengadakan kontrak "kerja sama pemberitaan" dengan lembaga-lembaga pemerintah, seperti menyediakan rubrik khusus. Hal ini demi menjaga independensi pers agar bisa bekerja secara sehat serta profesional. Ya, biar tak didikte atau disetir pihak mana pun.*

kembali keatas

by:Nurul Chayati