PERKELAHIAN dua pemuda berbeda agama terjadi pada hari raya Idul Fitri, Selasa, 19 Januari 1999, di Ambon, ibukota provinsi Maluku. Begitulah awal mula kehancuran di Maluku. Mengapa perkelahian dua pemuda menyebabkan Ambon tenggelam dalam lautan darah? “Itu tradisi tahunan. Justru kalau mereka tak berkelahi orang malah bertanya-tanya,” tutur Zairin Salampessy, akrab disapa Embong, aktivis Tapak Ambon, lembaga swadaya masyarakat yang terlibat dalam penyelesaian konflik Ambon.

Konflik berkembang menjadi konflik bersenjata, dari senjata tajam, senjata api rakitan hingga senjata api organik. Dari perkelahian dua pemuda inilah kemudian lahir lika-liku perdagangan senjata dan keterlibatan orang-orang tentara dan polisi dalam konflik ini.

Tentara dan polisi yang terseret dalam konflik menjadi berita yang jamak didengar. Beberapa orang dari pihak Islam maupun Kristen yang saya wawancarai melihat, institusi tentara dan polisi tidak netral dalam penanganan konflik.

Max Markus Tamaela, mantan panglima komando daerah militer (Kodam) XVI Pattimura, seperti dimuat dalam buku Luka Maluku Militer Terlibat mengakuinya. “Isu keterlibatan aparat ini bahwa aparat tidak netral, sejak kita masuk di awal kerusuhan memang ada. Saya sendiri melihatnya. Kita melihat ada sebagian kecil prajurit. Saya mengatakannya oknum,” ujar Tamaela.

Thamrin Ely, ketua Partai Amanat Nasional setempat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku, heran militer tak mampu mengatasi konflik awal itu. Ely saya temui di Jakarta. Keheranan Ely beralasan. Pasalnya, dua jam setelah peristiwa pertengkaran antara Yopie dan Salim, di beberapa tempat terjadi pengumpulan massa secara hampir bersamaan, lengkap dengan berbagai atribut dan perlengkapan perang. Sebagaimana ditulis dalam buku Luka Maluku Militer Terlibat, “Muncul orang-orang tak dikenal yang hilir-mudik membawa alat komunikasi dan memberikan komando kepada massa.”

Diki, anak seorang perwira tentara pensiunan berpangkat kapten yang tinggal di asrama tentara OSM bercerita, sebelum peristiwa 19 Januari itu, telah ada isu akan ada kerusuhan. Waktu itu diperintahkan supaya seluruh perwira mengembalikan senjatanya. Ayahnya sebagai perwira saat itu memiliki pistol. Tak lama setelah penarikan senjata itu terjadi perpecahan di dalam asrama, yaitu ketika terjadi penyerangan dari Kudamati dan Gudang Arang. Menurut Diki, karena saat itu tidak ada pengamanan dan senjata, para perwira itu kemudian menghubungi Komando Resort Militer (Korem) Ambon untuk minta bantuan. “Ternyata bantuan yang diminta tidak datang. Bantuan baru tiba setelah asrama dan rumah saya hancur berantakan,” ujar Diki. Kini Diki dan keluarganya tinggal di desa Liang, sekitar 15 kilometer sebelah timur kota Ambon.

Hal lain yang terkuak adalah peristiwa ketika Salim berteriak, “Ada orang Kristen mau bunuh saya. Mereka bilang saya maling.” Dalam persidangan Salim, mengatakan ia meneriakkan kata-kata itu karena dipaksa polisi. “Saya dihajar polisi untuk menyebut begitu,” demikian pengakuan Salim.

Dalam persidangan Salim divonis lima bulan penjara. Dino Umahuk dari Maluku Media Center (MMC), di Ambon, menambahkan pada saat kejadian itu, ada satu mobil Toyota Kijang putih yang membagi-bagi kain merah tanda pengenal untuk warga Kristen dan kain putih untuk warga Islam ke sudut-sudut kota Ambon.

Salampessy bercerita, saat kejadian 19 Januari, dari rumahnya di simpang tiga asrama Batu Merah, ia melihat sekitar tujuh orang bergerak dengan gesit sambil membawa golok yang diikat dengan kain putih dari arah bioskop Amboina. Ketujuh orang itu berlari sambil membawa jerigen yang ditumpah-tumpahkan di depan rumahnya.

“Selama saya tinggal di Ambon sejak 1975, inilah untuk pertama kalinya perkelahian pemuda Batu Merah dan Mardika sampai ada bakar-bakaran. Saya yang baru selesai salat Idul Fitri menelepon komando distrik militer dan polisi militer soal peristiwa itu tapi tak ada tanggapan. Alasannya prajurit lagi liburan Idul Fitri,” ujar Salampessy kepada saya di kantornya Jalan Mampang Prapatan.

“Siapa ketujuh orang itu?” Tanya saya.

“Saya kan pernah jadi anggota resimen mahasiswa, kalau mau bilang itu tentara silakan nilai sendiri,” ujarnya.

KERUSUHAN pertama ini mulai mereda pada 24 Januari 1999. Tapi tak berbilang bulan, 2 Februari 1999, bertepatan dengan kedatangan enam menteri kabinet B.J. Habibie ke Ambon, pecah lagi pertikaian yang bermula dari pasar Mardika. Dalam kerusuhan ini bom-bom rakitan mulai meledak dan mengguncang kota Ambon. Dari mana datangnya bahan peledak? Ketakutan pun semakin menebar.

Semakin hari luas wilayah dan jumlah korban kerusuhan makin bertambah. Dari Ambon melebar ke kecamatan Kairatu di Pulau Seram, terus menuju desa Karius dan desa Pelauw di Pulau Haruku sebelah timur Ambon. Tak lama berselang, kerusuhan kembali pecah di Waihaong, Batumerah, Batunaga, Tulehu, Saparua, Waai, dan Sirisori di Pulau Seram.

Selama masa kerusuhan itu peran aparat keamanan yang mencegah konflik sangat kecil. Bahkan, pada kerusuhan 4 Februari di desa Kairatu, dusun Watasi, petugas hanya berdiam diri di markas polisi sektor dan tidak mempedulikan permohonan bantuan warga.

Itu sebabnya, setiap upaya perdamaian yang digalang berakhir dengan kegagalan. Misalnya, pada Minggu, 28 Februari, diadakan kesepakatan damai yang ditandatangani para latupatti (kepala desa), tokoh agama, tokoh adat, pemuda, dan camat Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut di markas Korem Maluku, Ambon. Belum 24 jam berselang, kerusuhan kembali berlangsung selama seminggu di beberapa wilayah, seperti kampung Rinjani desa Batumerah, sekitar Tugu Trikora, desa Nania, Benteng Atas, desa Waai, dan Passo.

Keterlibatan aparat ini membuat kedua pihak yang berkonflik tak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Yang di pihak kita kawan, yang di sana musuh. Itulah yang dirasakan. Warga muslim, misalnya, merasa tentara mendukung mereka. Sementara warga Kristen lebih dekat dengan Brigade Mobil (Brimob), satuan tempur Kepolisian Republik Indonesia.

Karena protes dari berbagai pihak mengenai kelambanan dan ketaknetralan aparat di lapangan, pada 7 Maret 1999, panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) membentuk Tim 19 yang dipimpin Suaidi Marasabessy. Tim 19 ini terdiri dari lima orang perwira tinggi dan 14 perwira menengah. Pada saat tim khusus dibentuk, telah dikirim pula ke Ambon pasukan sebanyak satu brigade plus, yang terdiri dari empat batalion berkekuatan 4.000 personel militer dari Jawa. Pasukan baru ini dimaksudkan untuk mengganti pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dari Makassar, yang diprotes karena dituduh berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai.

Demikianlah, kerusuhan terus berlanjut, semakin lama semakin besar. Sementara itu saat-saat menjelang pemilihan umum semakin dekat. Diprakarsai Wiranto, panglima TNI, dibuat kesepakatan damai antara tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari kedua kelompok yang bertikai pada 12 Mei 1999 di lapangan Merdeka Ambon. Ikrar perdamaian itu dibacakan tiga pemuda: Husain Tuasikal dari remaja masjid, Perry Nahusona dari Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku, dan Simon Petrus Matruty dari Pemuda Paroki Keuskupan Amboina.

PERJANJIAN damai itu berjalan cukup efektif. Selama hampir tiga bulan Ambon berangsur-angsur tenang. Roda-roda kehidupan sepertinya sudah mulai berputar kembali. Tak ada insiden yang cukup mencekam kecuali sedikit gangguan saat Peristiwa Obor Pattimura, 15 Mei 1999. Menurut Oktavianus Pinontoan, redaktur pelaksana Suara Maluku, pada pelaksanaan pemilihan umum penduduk yang tinggal di komunitas Islam-Kristen bisa bepergian untuk mengisi suara di tempat-tempat pemungutan suara tanpa ada konflik, apalagi pembunuhan.

Sementara itu di dalam suasana yang tenang itu struktur komando Maluku berubah. Pada 15 Mei pula Korem Maluku yang dipimpin Karel R. Rahaluhu, perwira berpangkat kolonel, ditingkatkan statusnya menjadi Kodam, yakni Kodam Pattimura yang dipimpin oleh Max Markus Tamaela, seorang brigadir jenderal. Sebelumnya parlemen setempat meminta peningkatan status Kepolisan Daerah (Polda) Maluku dari tipe C ke B. Implikasinya, jumlah personel akan bertambah, dari yang sebelumnya berkekuatan sekitar 10 ribu orang dan dipimpin perwira berpangkat kolonel, menjadi sekitar 15 ribu pasukan dan dipimpin perwira berpangkat brigadir jenderal.

Pembentukan Kodam Pattimura, tampaknya merupakan upaya TNI untuk mempercepat penyelesaian konflik. Namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Pada 15-17 Juli 1999, kerusuhan kembali pecah di beberapa daerah. Parade kerusuhan yang meletus pada pertengahan Juli ini oleh Jusuf Ely, pensiunan marinir yang kini menjadi aktivis Baku Bae Maluku, disebut sebagai kerusuhan tahap kedua yang eskalasi konfliknya semakin tinggi, tak terkendali. Korban jiwa dan kerusakan harta benda makin memuncak, melebihi kerusuhan tahap pertama. Keterlibatan aparat juga makin tampak jelas. Misalnya, pertikaian antara warga kelurahan Amanatelu dan tentara dari kesatuan artileri medan (Armed) yang bertugas di kawasan itu. Menurut warga setempat, saat mereka mendapat serangan dari kelompok lain, pada saat menyelamatkan diri, mereka juga harus menyelamatkan diri dari tembakan pasukan Armed.

Ketika keadaan di kota Ambon makin tak terkendali, suatu hari pada Juli 1999, di Amahai, sebuah desa di Pulau Seram, tempat tinggal Abdullah Hairy alias Buce, yang di kemudian hari meninggalkan medan perang dan jadi aktivis Baku Bae Maluku, beredar kabar bahwa kampung Batumerah di kota Ambon telah jatuh ke tangan kelompok Kristen. Masyarakat muslim dari luar kota diminta supaya membantu. Kalau tidak komunitas muslim dalam kota akan habis. “Mereka kini telah terkurung di masjid al-Fatah,” demikian bunyi kabar itu.

Berdasarkan kabar tersebut akhirnya di kampung diadakan pengumuman bahwa dalam satu kepala keluarga wajib menyumbangkan satu orang untuk berjihad ke kota Ambon. Menurut Buce, mereka kemudian mendaftarkan diri hari itu juga dan sorenya mereka dikumpulkan ke masjid.

Dalam pertemuan itu hadir seluruh pemuka agama, tokoh adat, dan kepala desa (bapa Raja) tokoh-tokoh masyarakat. Topik pembicaraan mengenai siapa yang harus memimpin pasukan yang akan berangkat ke kota. Buce bercerita, di kampungnya telah menjadi kebiasaan bahwa pemilihan ketua dilihat berdasarkan garis keturunan. Setelah diteliti akhirnya diputuskan bahwa dirinya yang diberi kepercayaan itu.

“Kenapa harus saya yang ditunjuk. Pertimbangannya apa?” ujar Buce menirukan dialognya dengan para tokoh di desanya saat itu.

“Menurut mereka pertimbangannya pertama, dilihat dari silsilah saya sudah sesuai. Kedua, memimpin orang itu bukan cuma dia kuat, tapi kalau otaknya tak jalan percuma. Mereka punya pertimbangan, karena saya ini sarjana teknik pertukangan dan pernah bekerja di Jakarta, sayalah yang tepat untuk memikul tanggung jawab itu.”

“Apa cuma itu pertimbangannya?” tanya saya lagi.

“Tidak,” ujar mereka.

Menurut ketua adat, orang yang lebih tahu ketika menunjuk seseorang, Buce pantas untuk memimpin dan ia tak punya wewenang untuk menolak. Buce sebenarnya keberatan karena ia akan memimpin 165 orang. Ia menangis karena merasa tak mampu. Lebih-lebih ada pesan, Buce harus kembali dengan selamat bersama mereka. “Ini tanggung jawab yang sangat berat karena ini bukan acara pergi piknik,” ujar Buce mengenang kejadian itu pada saya.

Sore hari itu juga, pasukan Buce berangkat menuju Ambon. Setelah melewati jazirah Leihitu, mereka bermalam di desa Hitu dan melapor kepada Bapa Raja Hitu lama. Paginya mendaki perbukitan, tiba di Kota Jawa saat magrib, lalu mereka berbuka puasa. Lantas mereka menggunakan speedboat menuju Ambon. Pasukan ini kemudian tinggal di sebuah rumah kosong di depan gereja Silo. Waktu itu gereja Silo belum terbakar.

“Selama dalam perjalanan yang saya pikirkan adalah perang, perang antara muslim melawan Kristen. Kalau ketemu jika bukan kita yang membunuh, kita yang dibunuh,” jawab Buce.

“Mengapa sampai Anda punya pikiran bahwa ini adalah perang antara muslim lawan Kristen?” tanya saya.

“Saya kira kami waktu itu dipengaruhi oleh khotbah-khotbah para ustaz bahwa agama kita diserang, kita harus mengangkat senjata. Kalau kita tidak mengangkat senjata maka habislah agama kita,” kata Buce.

Khotbah itu, menurut Buce, pengaruhnya luar biasa. Apalagi situasinya sangat mempengaruhi, siang-malam serang-menyerang, begitu terus-menerus. Komunikasi juga terbatas.

Buce bersama 165 pasukannya melibatkan diri dalam pertempuran hidup mati yang tak berkesudahan. Mati syahid, menjadi tujuan akhir. Tetapi, ketika makin terlibat dalam konflik, Buce merasakan, perang ini tak memiliki tujuan.

“Ketika kita menyerang satu tempat, semuanya rata dengan tanah, orangnya sudah tak ada, kita kemudian menarik diri dari tempat itu. Besoknya tempat itu sudah ditempati lagi pemilik sebelumnya. Besoknya lagi, tempat itu diserang lagi. Saya melihat ini ada yang tak beres,” ujar Buce.

Salah satu tujuan perang, menurut Buce, menguasai wilayah yang sudah direbut. Namun perang di Maluku ini sasarannya komunitas manusia. Jadi tidak untuk menguasai wilayah. “Dan itu lebih sadis. Anda kalau wawancara komunitas Kristen, polanya juga sama karena pada saat mereka menguasai daerah-daerah muslim, setelah itu ditinggalkan,” ujar Buce lagi.

Buce juga menyaksikan sendiri peran aparat keamanan yang membiarkan kerusuhan ini berlanjut terus. Menurut Buce, selama kerusuhan berlangsung, di daerah-daerah perbatasan antara komunitas Islam dan Kristen ada pos-pos pasukan keamanan. Jadi ketika kelompok Islam hendak menyerang kelompok Kristen, atau sebaliknya, mereka terlebih dahulu harus meminta izin dari pos-pos keamanan itu. “Pak kami mau masuk menyerang daerah Kristen,” ujar Buce menceritakan kembali dialognya dengan petugas yang berjaga di pos perbatasan. “Ya kalian boleh masuk tapi jangan lewat jalan sini, lewat sana biar tak kelihatan,” begitu jawab petugas.

Dari kenyataan itu Buce berpendapat aparat keamanan membiarkan dan memelihara konflik. “Mestinya mereka bisa mencegahnya,” ujar Buce.

Pasukan yang dikirim ke Maluku sangat banyak. Menurut Oktvianus Pinontoan redaktur pelaksana harian Suara Maluku, pada akhir 1999 hingga 2000, jumlah pasukan TNI di sini sebanyak satu divisi plus, sekitar 12 batalion, atau minimal terdapat 7.200 tentara. Jumlah ini belum ditambah pasukan dari satuan Brimob. “Jumlah sebesar itu, dan untuk Pulau Ambon yang luasnya hanya seperti kota Jakarta, apa itu tidak gila?” tambah Pinontoan.

Kecurigaan Buce makin menjadi ketika pasukan dari Artileri Medan VIII menembaki siapa saja yang ada di sepanjang jalan menurun dari perbukitan Karang Panjang, Agustus 1999. Menurut Buce, jumlah korban cukup banyak padahal saat itu tidak terjadi konflik sedikit pun.

Tetapi pengalaman diri sendirilah yang membuat Buce pada akhirnya meninggalkan seluruh medan pertempuran di daerahnya itu. Suatu hari, September 1999, tepatnya di desa Talake, Buce dan pasukannya ditembaki dari jarak lima meter oleh pasukan marinir Angkatan Laut. Lima tewas, 23 orang luka berat. “Padahal kami tak menyerang mereka, kami hanya memaksa melewati karena mereka tidak mengizinkan. Lalu kami maju selangkah demi selangkah,” ujar Buce.

Pasukan marinir menembaki pasukan Buce karena ada pasukan dari daerah lain yang mengebom pos marinir. Pasukan Buce tiarap sekitar setengah jam. “Ketika tembakan berhenti saya bangun. Mereka berhenti menembak karena mencari perlindungan,” ujar Buce.

KETIKA kerusuhan makin tak berujung, senjata-senjata api mulai digunakan. Jika pada kerusuhan tahap pertama senjata yang digunakan kedua kelompok yang bertikai masih sebatas persenjataan tradisional seperti tombak, parang, panah, dan pedang maka dalam kerusuhan tahap kedua mulai dengan senjata api rakitan.

“Dari kerusuhan pertama sampai kira-kira masuk tahun 2000, kami masih menggunakan peralatan tradisional seperti golok, panah, dan tombak. Sekitar Juli sampai September 1999, senjata rakitan mulai digunakan. Memasuki tahun 2000 sudah ada satu hingga dua senjata organik,” ujar Buce.

Menurut Ivan A. Hadar, direktur Institute for Democracy Education, yang pernah melakukan riset tentang pengadaan senjata dalam konflik Maluku, penggunaan senjata rakitan sebenarnya sudah tampak sejak Februari 1999. “Kepolisian setempat dikabarkan sempat menyita sejumlah senjata yang ditemukan di desa Hila yang dipendam di dalam tanah,” ujar Hadar kepada saya di kantornya, di daerah Pejompongan, Jakarta Selatan.

Tetapi penggunaan senjata rakitan ini secara masif baru terjadi pada saat kerusuhan tahap kedua. Menurut Thamrin Ely, selama konflik terjadi senjata rakitan yang terlihat seragam dan dalam jumlah besar, dimiliki kelompok Kristen. Senjata rakitan itu dibuat dengan menggunakan fasilitas politeknik di Universitas Pattimura (Unpatti). “Ketika selesai penyerangan ke Unpatti, saya sempat ke sana dan saya melihat di bengkel-bengkel itu ada bekas-bekas laras senapan. Dan itu diakui kalangan universitas bahwa memang mereka membuat suku-suku cadang itu di bengkel-bengkel politeknik,” ujar Ely.

Tetapi menurut Jusuf Ely, bagi orang Maluku, membuat senjata rakitan adalah hal yang sangat mudah. “Orang Maluku punya ketrampilan membuat senjata. Kualitasnya tidak kalah dengan senjata asli. Bisa semi otomatis, bisa otomatis,” ujarnya.

Cara lain memperoleh senjata rakitan, menurut Hadar, dengan membayar beberapa orang dari Kalimantan Barat untuk merakit senjata dan bom. Diperkirakan setiap orang dibayar sekitar Rp 500 ribu untuk merakit senjata.“Dulu beta pegang rakitan laras pendek tapi bagus. Senjata itu beta dapat dari seorang teman. Katanya, kalau ndak salah, dia suruh orang di Manado yang bikin senjata itu,” ujar Berty Loupatty, pemimpin kelompok preman Cowok Keren (Coker) yang dekat dengan satuan Komando Pasukan Khusus, pasukan elite Angkatan Darat, kepada saya di rumahnya di kampung Kudamati.

Loupatty kini ditahan di Markas Besar Kepolisan di Jakarta setelah menyerahkan diri di Solo, Jawa Tengah. Loupatty bisa keluar dari Maluku dengan menyamar sebagai pasukan laskar jihad yang pulang ke Jawa setelah laskar itu dibubarkan Oktober 2002.

Permasalahannya, dari mana asal amunisi yang digunakan? Menurut Jusuf Ely, amunisi yang digunakan adalah bekas-bekas Perang Dunia II yang diambil di Teluk Ambon. Tetapi, menurut Pinontoan, memang senjata yang digunakan adalah senjata rakitan, tetapi pelurunya organik, seperti peluru senapan SS-1 dan M-16 buatan PT Pindad, Bandung. Menurut temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan dan Lembaga Rekonsiliasi dan Perdamaian Indonesia, peluru dari PT Pindad itu buatan 1990, 1991 dengan kaliber 5,56 untuk senjata laras panjang, dan kaliber 38 untuk senjata laras pendek. Ada juga peluru buatan pabrik Winchester dengan kaliber yang sama.

Melihat keberadaan amunisi yang diproduksi PT Pindad itu, Oktvianus Pinontoan, redaktur pelaksana harian Suara Maluku menduga ada keterlibatan militer karena selama ini PT Pindad memegang monopoli pembuatan senjata dan amunisi. “Pada saat-saat konflik, harga peluru itu antara Rp 2.500 sampai Rp 5.000 per butir. Dan itu dijual dalam jumlah ribuan bahkan masih dalam kemasan yang asli karena di sana tercantum label PT Pindad,” ujar Pinontoan.

Besarnya harga per butir peluru sebesar Rp 2.500 dibenarkan Sandra, aktivis relawan kemanusiaan di Ambon. “Makanya ada yang bilang, nyawa orang Ambon harganya Rp 2.500 sesuai harga peluru,” tambah Buce.

Menurut Ely, amunisi seperti peluru, biasanya diperoleh melalui para tentara. Biasanya jika tugas mereka usai dan bersiap meninggalkan Ambon, amunisi yang tersisa dan harus dibawa pulang dijual.

Munculnya senjata rakitan di lapangan, di kedua kelompok mulai ketika terjadi pengorganisasian massa yang lebih rapi, lebih tertib, dan lebih memiliki kemampuan tempur tinggi. Dari sinilah muncul istilah-istilah seperti, sipil terorganisasi, sipil terlatih, dan sipil yang dipersenjatai atau disebut juga paramiliter. Kelompok-kelompok inilah yang paling banyak menggunakan senjata rakitan. Munculnya senjata rakitan dan kelompok sipil bersenjata ini melahirkan apa yang disebut sebagai pasukan siluman, yang beroperasi secara tidak terorganisasi. Hal ini juga masih ditambah dengan hadirnya penembak jitu yang beroperasi di gedung-gedung bertingkat.

Bisa ditebak, konflik bukannya mereda malah menggila. Jika sebelumnya setiap terjadi rentetan tembakan, dentuman bom, warga kedua kelompok bertikai bisa dengan segera mengidentifikasi aparat sebagai pelakunya, kini hal itu lebih sulit.

Memasuki September 1999, di daerah konflik mulai ditemukan sejumlah senjata api yang menyalak dari tangan massa. Hadar mengatakan senjata-senjata api tersebut diperoleh dari penjarahan beberapa instalasi tentara dan polisi, seperti penjarahan kantor polisi resort (Polres) Pulau Ambon dan Kepulauan Lease. Loupatty mengaku ketika terjadi pembersihan di asrama militer OSM, ia memperoleh senjata api jenis M-16.

“Tapi, saya memegangnya hanya selama dua minggu. Setelah itu saya kembalikan kepada kepala staf Kodam XVI Pattimura,” ujar Berty Loupatty sambil tertawa.

Memasuki 2000, penggunaan senjata api semakin meningkat, terutama sejak Mei 2000. Menurut Hadar, diperkirakan sekitar 600 pucuk senjata api beredar di tangan kelompok sipil bersenjata dan masyarakat umum. Menurut Pinontoan dan Corputty, jenis senjata yang ditemui di lapangan berjenis AK-47 buatan Rusia, Revolver, Jingle, Roger Mini, SS-1, senjata serbu M-16 buatan Amerika Serikat, pistol 9 mm buatan PT Pindad Bandung, Gerund, Moeser, AR , dan Brand. Dari mana asal-muasal senjata api yang makin banyak itu? Menurut Hadar, sumbernya bisa dari senjata rampasan milik anggota tentara atau polisi yang terbunuh di lapangan. Tetapi sumber utama keberadaan senjata organik itu, menurut Sandra, dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, dari Pulau Jawa, dan ada yang diimpor dari Filipina melalui Manado. Sumber lainnya dari militer dan polisi.

Rolly Leatemia, mantan anggota pasukan siluman dari pihak Kristen, kini aktivis Baku Bae Maluku, mengatakan senjata yang berada di kelompok Kristen umumnya diperoleh dari Kupang, terutama dari senjata bekas milisi Timor Timur. Modusnya, mereka melakukan transaksi di Timor Timur lalu di bawa ke Kupang. Kemudian ada agen yang pergi ke Kupang untuk membawa senjata ini ke Maluku. “Dengan kapal masuk ke Maluku Tenggara, baru ke Ambon. Kalau dengan kapal Pelni dia akan ketangkap,” ujar Leatemia. Kapal Pelni yang dimaksud Leatemia adalah kapal penumpang milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), maskapai milik pemerintah.

Mereka menggunakan kapal penyeberangan antarpulau. Dari Maluku Tenggara ada kapal penyeberangan antarpulau yang biasa disebut kapal perintis. “Saat itu aparat tidak pernah melakukan sweeping terhadap kapal-kapal perintis. Mereka hanya mememeriksa kapal-kapal Pelni,” ujar Leatemia.

Kapal-kapal perintis tidak diperiksa mungkin karena kondisinya yang buruk. Di Ambon ada ungkapan, manusia yang naik kapal itu sama dengan hewan karena manusia dan hewan di kapal itu dijadikan satu. Leatemia menduga aparat tak yakin bahwa senjata itu akan disuplai lewat kapal-kapal itu karena perjalanan dari Maluku Tenggara ke Ambon memakan waktu empat hari dan kapal perintis itu tak sanggup mengarungi lautan selama itu.

George Corputty, aktivis yayasan Baileo sependapat dengan Leatemia. Menurutnya, ia pernah berkenalan dengan beberapa kapitan perang yang mengatakan bahwa ada pasokan senjata dari Kupang. Modusnya, para kapitan ini datang ke Timor dan membayar di sana tetapi diterima di Ambon. Modus ini dianggap aman karena kalau dibawa sendiri risikonya besar. “Tapi itu menurut saya jumlahnya tidak lebih dari 50 pucuk karena mereka tidak punya uang banyak untuk membelinya,” tambah Corputty.

Menurut hasil Survey Perdagangan Senjata 2002, di Kepulauan Maluku, harga senapan serbu M-16 yang diperdagangkan secara illegal sebesar US$ 700. Menurut Hadar, jika dibandingkan dengan Thailand dan Kamboja, harga satu buah AK-47 di Indonesia relatif mahal. “Kalau di Kamboja, harga AK-47 sekitar US$ 40, di Thailand sekitar US$ 100-200. Di Indonesia tergantung momentum, kalau di daerah konflik seperti Maluku, harganya bisa mencapai Rp 5 juta sampai Rp 10 juta,” ujar Hadar.

Jalur lain lain yang digunakan sebagian kelompok Kristen, seperti Berty Loupatty dan mendiang Agus Wattimena, menurut Sandra, adalah membeli dari Kupang lewat Bali.

Jalur lain peredaran senjata di Ambon, melalui pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Menurut Sandra, jalur ini merupakan jalur pembelian senjata dari Filipina. Hadar menambahkan senjata dari Filipina dibeli dari gerilyawan Moro National Liberation Front (MNLF) yang sudah berdamai dengan pemerintah, juga dari gerilyawan Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang butuh duit. Dari Bitung dengan menggunakan kapal-kapal kayu kecil, seperti kapal motor Wahai Star atau Nusa Teratai, mereka melayari rute Bitung-Ternate-Ambon. Kapal-kapal ini lolos karena tidak masuk ke pelabuhan besar, tapi berlabuh di pelabuhan kecil di Gudang Arang. Jalur lain melalui kapal Pelni, tapi sebelum memasuki pelabuhan Halong, Ambon, senjata-senjata itu dibuang di perairan di luar teluk di Tanjung Alang. Setelah keadaan dianggap aman senjata-senjata itu nanti dijemput speedboat.

Sedangkan senjata yang ada di tangan kelompok Islam, terutama yang dipegang laskar jihad, menurut Hadar dibawa masuk dari Pulau Jawa. Barang selundupan itu dimuat dalam empat kontainer dengan kapal barang dari Surabaya, melalui Pulau Buru. Empat kontainer itu berisi senjata, peluru, dan rompi antipeluru. Namun senjata ini tak sempat masuk ke Ambon karena keburu disita aparat. “Senjatanya dari mana saya tak tahu, tapi kalau dilihat dari jenis-jenisnya, sebagian kecil senjata yang bisa diperoleh dari tentara,” ujar Hadar lagi.

Menurut Oktvianus Pinontoan, penyelundupan empat kontainer itu terjadi ketika Pangdam Pattimura masih dijabat oleh Max Tamela. “Memang ada yang mengatakan kontainer-kontainer itu isinya hanya bahan-bahan baku, baju, sepatu, dan obat-obatan. Tapi kenapa satu kontainer hilang?” tanya Pinontoan.

Buce ikut membongkar kontainer-kontainer milik laskar jihad. Ketika laskar jihad datang, cerita Buce, ada isu mereka membawa senjata yang dimuat bersama barang-barang lainnya dalam dua kontainer. Jenderal Tamaela hendak memeriksa dua kontainer itu. Namun warga muslim menghalangi pemeriksaan itu dengan membuat konflik di depan pelabuhan Halong sehingga dua kontainer itu bisa dibawa pergi. “Saya ikut membongkar dua kontainer itu dengan harapan dapat senjata. Begitu kontainer itu dibongkar, semua barang ada dalam 16 peti dan diangkut ke kampung Rata. Tetapi, begitu peti selesai dibongkar, tidak ada satu pun senjata. Yang ada mesin las dua biji, pipa kecil-kecil, ratusan seragam tentara, sepatu, kopel, sangkur, dan helm. Itu semua barang tentara, lalu ada baju olahraga. Saya kecewa betul,” kata Buce.

Jusuf Ely juga membantah. “Bagaimana senjata masuk, setiap kapal berlabuh selalu digeledah di pelabuhan. Saya tahu persis tidak pernah laskar jihad bawa senjata dalam kontainer-kontainer itu,” ujarnya dengan mimik serius.

Tetapi, menurut Thamrin Ely, justru penyelundupan senjata paling aman melalui pelabuhan laut. “Saya kira di semua pelabuhan tidak ada detektor, itu dilakukan secara insidental. Apalagi di Ambon pemeriksaan itu kadang-kadang saja dilakukan,” ujarnya.

Lemahnya pengawasan aparat keamanan di daerah pelabuhan memungkinkan kegiatan penyelundupan senjata berjalan mulus. Menurut Hadar, masih ada ribuan senjata organik yang dicoba diselundupkan masuk ke Maluku pada April-Mei 2000.

DARI seluruh jalur pengadaan senjata organik, jumlah terbesarnya adalah senjata yang sebelumnya dimiliki aparat dan polisi. Dari penelusuran di lapangan, ada tiga asal-muasal memperoleh senjata dari tentara dan polisi. Pertama, dengan menyewa dari anggota TNI atau polisi. Tidak banyak informasi tentang tarif penyewaan senjata api ini.

Modus lain, dengan membantu praktik penyelundupan senjata melalui pelabuhan-pelabuhan di Pulau Ambon. Seperti dikatakan Sandra, untuk menghindari pemeriksaaan aparat di pelabuhan, senjata-senjata yang diselundupkan itu dijemput polisi atau tentara. “Kalau yang jemput adalah tentara atau polisi, mereka ini kan tidak diperiksa,” ujar Sandra.

Hasil riset yang dilakukan Ivan Hadar juga menunjukkan kesesuaian dengan apa yang dikatakan Sandra. Untuk melakukan ini mereka terpaksa melakukan kucing-kucingan dengan petugas kepolisian dan angkatan laut, baik di laut maupun di dermaga. Beberapa dari mereka bisa ditangkap tetapi pada umumnya berhasil lolos. Bukti mengenai keterlibatan aparat adalah tertangkapnya dua anggota polisi saat mencoba menyelundupkan senjata api ke Maluku di pelabuhan milik Angkatan Laut di Ambon, pada 25 Juni 2000. Pada Agustus 2000, menurut Adi Haryono, panglima Armada Timur Angkatan Laut, pasukannya menyita 4.000 pucuk senjata api yang akan diselundupkan ke Maluku dengan menggunakan perahu motor angkutan antarpulau.

Cara lain untuk memperoleh senjata organik dari aparat militer, berasal dari oknum-oknum yang desertir. Pasokan terbesar senjata organik di lapangan, terutama yang dipegang kelompok Islam, diperoleh dari penyerbuan markas Brimob yang terletak di desa Tantui pada 23 Juni 2000. Menurut cerita Buce yang ikut serta dalam penyerbuan markas Brimob itu, ada beberapa kejanggalan yang terjadi. Misalnya, para penyerbu tidak kesulitan membuka gudang senjata karena kuncinya yang sebesar kepalan tangan orang dewasa, sudah digergaji. “Kuncinya tinggal diputar, lalu dibuka,” ujar Buce.

Proses jatuhnya markas Brimob itu pun relatif mudah, massa tinggal menyerbu masuk sehingga Buce berkesimpulan penyerangan itu tak hanya dilakukan kelompok sipil. Menurut harian Siwalima, gerakan para penyerbu dilindungi berondongan tembakan senjata otomatis yang tiada henti-hentinya. Bunyi senjata dan granat itu diidentifikasi berasal dari senjata yang biasa digunakan oleh kesatuan-kesatuan angkatan darat. “Saya juga tak ngerti panser kok habis dibakar dan senjata yang terletak di atas panser itu diambil. Itu tak mungkin dilakukan oleh warga sipil yang tidak terlatih,” ujar Buce.

Kecurigaan mengenai adanya keterlibatan aparat dalam penyerangan markas Brimob Tantui itu disampaikan sendiri oleh Kapolda Maluku Dewa Astika bahwa ada oknum-oknum TNI dari Batalion 405 dan polisi. Dalam penyerangan itu wakil komandan Brimob Edy Susanto tewas ditembak.

Dari markas Brimob yang jatuh itu jumlah senjata yang berhasil dijarah massa sebanyak 1.063 pucuk senjata api, terdiri dari 660 pucuk senjata genggam, 51 pucuk senjata pinggang, 217 senjata bahu, 115 pucuk senjata jenis SMR, 20 pucuk senjata mortir, 501 buah roket antitank, dan amunisi dari berbagai jenis sebanyak 878 ribu butir. Menurut Buce, senjata rampasan itu umumnya senjata tua. Ia sendiri mengambil senjata jenis SKS yang kekuatannya rendah. “Jika diukur kekuatannya maka yang paling besar kekuatannya adalah M-16, disusul SS-1, M-16 buatan Indonesia, baru AK-47 dan setelah itu baru SKS,” ujar Buce.

Tetapi menurut Diki, anak pensiunan tentara di Ambon yang bertempur di pihak muslim, senjata jenis AK-47, MK-33, SS-1, dan Gerund yang menyalak di lapangan umumnya diperoleh dari penyerbuan terhadap asrama Brimob. George Corputty, aktivis yayasan Baileo, sependapat dengan Diki bahwa senjata yang dijarah dari markas Brimob itu campuran antara senjata baru dan lama.

Bobolnya gudang senjata Brimob Tantui membuat konflik di Ambon mencapai tahap genting. Mungkin atas dasar itu Presiden Abdurrahman Wahid pada Juni 2000 mengeluarkan surat Keputusan Presiden Nomor 88/2000, yang menetapkan Maluku sebagai kawasan darurat sipil. Dilihat dari materinya, darurat sipil yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23/Prp/1959 ini memang memberikan kewenangan yang besar pada pemerintah pusat dan daerah untuk memberangus setiap gejala gerakan massa yang bisa mengarah ke kekerasan fisik.

Sebagai tindak lanjut di lapangan, Gubernur Maluku Mohamad Saleh Latuconsina sebagai penanggung jawab pemerintahan darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara mengeluarkan surat Keputusan Gubenur Nomor 1 pada 27 Juni 2000, yang isinya antara lain: jam malam akan diberlakukan di provinsi Maluku, antara pukul 22.00 hingga 06.00; tidak diperbolehkan berkumpul lebih dari 10 orang tanpa tujuan yang jelas; dan senjata-senjata rakitan maupun tipe standar angkatan besenjata dan kepolisian harus diserahkan selambat-lambatnya pada 30 Juni 2000.

Tetapi penguasa darurat sipil ini tidak efektif di lapangan. Dalam razia senjata, petugas hanya bisa menyita 129 pucuk yang dijarah dari gudang senjata Brimob.

Cara mendapatkan senjata dari aparat juga melalui kerja sama penyerangan di lapangan. Menurut Rustam Kastor, mantan kepala staf Kodam Trikora yang ikut berperang di pihak muslim, di bukunya Suara Maluku Membantah Rustam Kastor Menjawab, kerja sama ini terjadi karena ada hubungan emosional antara aparat muslim dan warga muslim di lapangan.

Salah satu momen kerja sama itu, diceritakan Diki, ketika mempersiapkan penyerangan desa Waai, 6 Juli 2000. Waai sebuah desa yang mayoritas penduduknya Kristen, diapit dua desa yang mayoritas Islam yakni, Tulehu dan Liang. Waai diserang dari Liang dan Tulehu. Bunyi ledakan mortir, bom-bom rakitan, dan letupan senapan organik sahut-menyahut. Dari mana asal senjata itu?

“Jujur saja saat itu kami dapat mortir sebanyak 23 buah dari Kodam. Transaksinya kami tunggu di Waihau ada juga di masjid al-Fatah, jadi dua tempat,” ujar Diki yang menyatakan diri sebagai salah satu panitia penyerangan ke desa Waai.

Menurut Diki, pada saat mau menyerang, panitia desa mengumumkan bahwa tanda untuk menyerang atau tidak adalah harus ada aparat. Pada saat itu disepakati, penyerangan harus dilakukan tepat pukul 05.00, dan senjata yang digunakan adalah senjata organik dari jenis M-16, AK-47, MK-3, Minimi, Colt, Revolver, dan pistol. Menurut Diki, ada semacam perjanjian antara pasukan di desa Tulehu dan desa Liang bahwa pasukan Tulehu baru boleh menyerang setelah mendapat persetujuan dari pasukan Liang.

Kalau Liang bilang masuk baru Tulehu masuk karena koordinasinya di Liang, pasukan siluman itu konsentrasinya di Liang. “Saya merasa ada yang aneh di sini, ada skenario TNI, kalau kita mau serang desa Wae yang Kristen, tentu tak perlu menunggu aparat toh. Kalau perang agama kita langsung naik saja,” ujar Diki.

Pasukan seharusnya menyerang tepat pukul 05.00 pagi. Tapi lantaran aparat terlambat, penyerangan diundur sampai pukul 05.30. Pasukan di Tulehu sudah tak sabar, mereka kemudian masuk lebih dulu. Dalam serangan beruntun yang didukung militer itu, menurut Diki, hanya dalam waktu satu jam 15 menit desa Waai direbut. Dalam serangan massal itu, 17 orang Waai tewas, 10 luka berat dan ringan. Selebihnya, tak satu bangunan pun tersisa. Ketika saya mengunjungi tempat itu yang ada hanya semak-belukar dan reruntuhan rangka rumah yang menunjukkan bahwa secara ekonomi penduduk desa ini dulunya terbilang berkecukupan.

PADA 21 Agustus 2001, Abdurrahman Wahid digulingkan dari kursi kepresidenan oleh sebuah koalisi politik di parlemen. Pada hari itu juga Megawati Soekarnoputri diambil sumpahnya sebagai presiden yang baru.

Perubahan peta politik nasional itu sedikit demi sedikit berimbas ke daerah, termasuk Maluku. Selama dua hari, dari 11 sampai 12 Februari 2002, di desa Malino, Sulawesi Selatan, diprakarsai Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, pihak-pihak yang bertikai di Maluku duduk semeja. Pihak muslim diwakili Thamrin Ely sedangkan Kristen diwakili Tony Pariela. Kesepakatan yang dikenal dengan Deklarasi Malino II itu menelurkan 11 butir kesepakatan.

Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Malino II itu aparat keamanan mengimbau kedua pihak yang bertikai agar segera menyerahkan senjata yang dimiliki. Razia senjata digelar dan berhasil mengumpulkan sekitar 1.718 pucuk senjata rakitan dan 249 bom rakitan. Seluruh senjata itu lantas digilas dengan mesin giling dan dibakar di lapangan Merdeka. Para pejabat tinggi Jakarta menyaksikannya.

Meski tampaknya belum semua senjata diserahkan, perlahan-lahan ketenangan mulai tercipta, rakyat dari kedua belah pihak mulai kembali menjalani kehidupannya sehari-hari. Memang akibat konflik, penduduk muslim dan Kristen hidup terpisah. Hanya dalam jarak tempuh 500 meter, kedua kelompok ini tak bisa saling mengunjungi. Apalagi ledakan bom, masih sesekali terdengar di mana-mana. Tetapi ini semua tak menggerakkan rakyat untuk kembali saling serang.

Pasar-pasar mulai ramai dikunjungi pembeli. Para pedagang kaki lima menggelar berbagai dagangan, mulai dari buku agama hingga tabloid yang mengumbar paha dan dada. Sekolah-sekolah juga mulai terisi para siswa. Kaum remaja yang selama masa konflik sibuk menenteng senjata, kini mulai memutar lagu-lagu rock, berjoget bersama meluapkan kegembiraannya. “Saya yakin masyarakat sudah jenuh, saya yakin bahwa masyarakat sudah terlalu susah, jangan tambahkan lagi kesusahan itu,” ujar Jusuf Ely. Maka, ketika bom-bom masih meledak, tak mengherankan jika Abdullah Hairy bertanya, “Siapa yang melakukan itu?”*

by:Coen Husain Pontoh