Benny Moerdani 70 Tahun

Toeti Kakiailatu

Mon, 2 December 2002

KETIKA laporan Time ramai dibicarakan orang banyak media Indonesia kurang memperhatikan bahwa al-Faruq juga dilaporkan hendak melindas Jenderal Benny Moerdani serta 40 tokoh masyarakat Indonesia lainnya.

KETIKA laporan Time ramai dibicarakan orang—karena antara lain ada pengakuan Omar al-Faruq dalam tahanan Amerika bahwa ia hendak membunuh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri—banyak media Indonesia kurang memperhatikan bahwa al-Faruq juga dilaporkan hendak melindas Jenderal Benny Moerdani serta 40 tokoh masyarakat Indonesia lainnya.

Benar-tidaknya “pengakuan” al-Faruq itu belum final. Tapi 2 Oktober lalu Benny Moerdani—orang intelijen, pensiunan jenderal, yang pernah menjabat panglima tentara Indonesia— merayakan ulang tahun ke-70. Acaranya dibikin rekan-rekannya sendiri. Sebuah buku, bertajuk Kesan dan Kenangan Kawan-kawan serta Anak Buah, dipersembahkan rekan-rekannya kepada Moerdani. Buku ini ditulis tak kurang dari 24 orang pensiunan jendral Indonesia.

Acaranya diadakan di gedung Persada, kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Rencananya dimulai pukul 10.00. Tapi hingga jam menunjukkan angka 10, yang berulang tahun belum juga muncul. Pukul 11.00, satu dua pensiunan jenderal rekan Moerdani mulai menyanyi, mengisi waktu, termasuk Basofi Sudirman, bekas anak buah Moerdani dan mantan gubernur Jawa Timur. Basofi menembangkan lagu-lagu dangdut. Sebuah puisi karangan Jenderal Soekarno dibacakan, “Kini Anda sudah usia, namun wajah dan sorot mata Anda masih penuh makna ….”

Mendekati pukul 12.00, terlambat dua jam, Moerdani tak muncul-muncul juga. Nyonya Hartini Moerdani gelisah dan menyilakan tamu-tamunya mencicipi hidangan. “Ayoh, tak usah ditunggu. Silakan, ayo silakan!”

Hartini membelah tumpeng. “Sering tiba-tiba dia (Moerdani) menyatakan tak mau datang. Kalau datang, mungkin hanya 10 menit. Mungkin setengah jam. Mungkin lebih. Tergantung suasana hatinya,” kata Hartini.

Ada banyak penilaian terhadap Moerdani. Dia dibilang salah satu tentara terkemuka Indonesia. Orangnya tegas, pemberani, cerdas, dan terlibat banyak operasi militer berbahaya macam Operasi Naga pada 1960-an dan menghadapi pembajak pesawat Garuda Woyla di Bangkok pada 1970-an. Raut mukanya dingin, jarang tersenyum, dan lebih sering mendengar ketimbang bicara.

Barbara S. Harvey, akademikus Amerika dan penulis buku Pemberontakan Setengah Hati, pernah mengatakan kesannya ketika mewawancarai Moerdani, “Saya mengharapkan akan bertemu dengan tokoh yang galak dan kasar. Karena dia seorang prajurit yang berani, seorang paratrooper khusus. Ternyata dia seorang yang romantis. Seorang gentleman dan intelektual.”

Sebaliknya, banyak yang belum hilang dari ingatan publik, tentang “penembakan misterius” terhadap ratusan orang yang dicurigai sebagai penjahat, yang dilakukan militer Indonesia. Juga pembunuhan terhadap puluhan aktivis Muslim, jika bukan ratusan, di daerah Tanjung Priok 1984. Moerdani dianggap bertanggungjawab terhadap pembunuhan itu.

Lebih sulit lagi, Moerdani secara formal seorang penganut agama Katolik Romawi. Kategori ini memperkuat persepsi sementara kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim, bahwa rezim Orde Baru, pada 1970-an dan 1980-an, memberikan kekuasaan yang disproporsional kepada orang-orang Kristen. Moerdani sendiri mengatakan, “A mob beda dengan a crowd. Akibatnya sebuah tindakan militer harus diambil.”

Kesan bahwa ia misterius mungkin terbentuk karena selama sembilan tahun jadi intel di luar negeri (Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan). Moerdani berada di luar struktur komando militer Indonesia. Pada 1974 ketika di Jakarta meledak huru-hara yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari, dari Seoul, Korea Selatan, mendadak Moerdani dipanggil pulang untuk diangkat menjadi asisten intelijen. Suatu jabatan di luar dugaan, karena selama sembilan tahun Moerdani bergerak di luar operasi komando.

Tak lama di Jakarta, Moerdani memborong hampir semua jenjang penting intelijen: asisten intelijen Departemen Pertahanan dan Keamanan, asisten intelijen Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiba, dan wakil kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Sejak itulah Moerdani pelan-pelan jadi orang yang ditakuti, sekaligus dikagumi, karirnya mencapai jenjang tertinggi kemiliteran. Banyak kolega hormat padanya.

Ini tergambar dalam suasana pesta siang itu. Setelah terlambat lebih dari dua jam, Moerdani tua tiba dengan kursi roda. Wajahnya pucat. Baju batik. Celana gelap. Badannya kelihatan sudah dimakan usia. Stroke membuatnya agak bungkuk. Moerdani terharu melihat sekian banyak rekan dan bekas anak buahnya, masih mengelu-elukannya. Dia tak bisa mengendalikan cucuran air mata.

Bahkan duduk di meja pun, dikelilingi rekan-rekannya, jendral tua ini tak lepas menitikkan air mata. Entah apa yang dipikirkannya. Sahabat-sahabatnya menyanyikan lagu, “Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia .…”*

kembali keatas

by:Toeti Kakiailatu