Balada Danudjaja

Agus Sopian

Mon, 2 December 2002

SEMULA, Budiarto Danudjaja ragu-ragu meninggalkan Kompas. Ia sudah mapan di sini. Tanggungjawab redaktur pelaksana, yang dipercayakan kepadanya sejak 1994, barangkali dapat dijadikan ukuran.

SEMULA, Budiarto Danudjaja ragu-ragu meninggalkan Kompas. Ia sudah mapan di sini. Tanggungjawab redaktur pelaksana, yang dipercayakan kepadanya sejak 1994, barangkali dapat dijadikan ukuran.

Jabatan itu sekaligus melengkapi karir kepemimpinannya di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia, payung induk penerbit Kompas. Debut Danudjaja dimulai 1989 ketika mengisi jabatan pemimpin redaksi majalah Jakarta-Jakarta, yang ditinggalkan Noorca Massardi. Setahun kemudian, Danudjaja menggantikan posisi Arswendo Atmowiloto sebagai wakil direktur Kelompok Tabloid dan Majalah Gramedia –Wendo dipecat setelah dirinya tersangkut perkara hukum hingga dibui gara-gara angket main-main tabloid Monitor.

Bagi Danudjaja, Kompas memberi gambaran masa depan yang jelas. Setidaknya, ia punya peluang besar untuk menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. “Ini cita-cita saya.”

Itu sebabnya, ketika datang tawaran untuk bergabung di LippoStar.com—salah satu cabang bisnis yang dipersiapkan Lippo Group untuk jadi portal internet terbesar di Indonesia—Danudjaja tak serta merta menganggukkan kepala. Ia nyaris menolaknya. Ada kecemasan yang menghantui dirinya.

Saat itu, bisnis internet sedang dirundung masalah. Pasar saham Wall Street pada Februari-Maret 2000 memperlihatkan gejala-gejala kemerosotan. Pertahanan Danudjaja bobol setelah mendengar penjelasan dari kanan-kiri. Tak kurang Roy E. Tirtadji, salah seorang eksekutif puncak Lippo Group, meyakinkan Danudjaja bahwa Lippo akan merespons seluruh perkembangan, tak terkecuali bila LippoStar.com bernasib buruk kelak di kemudian hari. Danudjaja mengenang ucapan Tirtadji.

Bukan jaminan itu saja yang membuat Danudjaja tambah yakin. Ia merasa Lippo punya nyali besar. Betapa pun kelompok ini masuk ke bisnis internet pada saat badai kejatuhan saham-saham perusahaan dotcom belum reda betul.

Sulit dipercaya memang. Lebih-lebih setelah Boston Consulting Group, salah satu perusahaan konsultan internet terbesar di dunia, telah memberinya peringatan dini bahwa LippoStar.com diperkirakan akan mengalami negative cashflow hingga tahun ke tujuh. Titik impasnya diproyeksinya tercapai pada tahun ke-10. Biaya operasi dalam rentang waktu ini diperkirakan akan makan dana US$ 24 juta.

Kaki Budiarto Danudjaja pun pindah ke LippoStar.com. Ia mendapatkan upah sebesar Rp 30 juta per bulan plus inventaris sebuah sedan BMW seri 318i. Ia menempati posisi wakil pemimpin redaksi. Ace Suhaedi Madsupi, tandemnya di Kompas, duduk sebagai pemimpin redaksi. “Saya dibawa ke sana oleh Pak Ace juga,” kata Danudjaja. Ace, menurut sejumlah karyawan LippoStar.com, mendapatkan upah senilai Rp 50 juta berikut inventaris mobil juga.

Dalam soal gaji dan fasilitas kerja, LippoStar.com pun terbilang punya nyali. Lihat misalnya gaji buat redaktur yang dipatok sekitar Rp 6 juta plus inventaris kendaraan Isuzu Panther. Sedang redaktur senior mendapatkan Suzuki Baleno, dengan gaji yang lebih tinggi tentunya Gaji reporter pemula bervariasi. Namun, umumnya, dari 30-an reporter yang diperkerjakan LippoStar.com, rata-rata mendapatkan upah dalam kisaran Rp 2,5-2,8 juta.

Awal Juli 2000, LippoStar.com memulai operasinya. Masih segar dalam ingatan karyawan, di awal perjalanan, Billy Sindoro, salah seorang petinggi Lippo Group, menjelaskan komitmennya untuk menopang operasi LippoStar.com sampai tujuh tahun ke depan. Danudjaja memahami komitmen ini sebagai upaya Lippo untuk membangun, “satu integrated business dalam dunia maya.”

Kalau LippoStar.com tak diharapkan untung pada tahun-tahun pertama, bahkan sampai satu dasawarsa, kata Danudjaja, itu karena portal internet tersebut lebih difungsikan untuk memperlancar perputaran roda bisnis perusahaan-perusahaan lain dalam lingkup Across Asia MultiMedia (AAM), induk LippoStar.com. Dalam AAM, berhimpun anak-anak perusahaan lainnya, di antaranya LippoShop (toko maya), LinkNet (jasa provider) serta Lippo Online (pusat data bisnis). Tak semua anak perusahaan sama gesit. LippoShop, misalnya, menurut Danudjaja, cenderung susah melangkah lantaran tak punya karakter yang jelas.

Berkontraksi dengan situasi persaingan dunia dalam bisnis serupa, LippoStar.com tak urung megap-megap dari waktu ke waktu hingga manajemen mengambil keputusan untuk menyudahi operasinya pada pertengahan tahun ini. Alasannya, buat efisiensi. Anehnya, demikian Asep Mulyana dari Serikat Kerja LippoStar.com, manajemen Lippo justru membuat induk perusahaan baru, PT Media Investor, yang antara lain bakal memayungi Media Investor Online, situs berita yang hampir sama dengan LippoStar.com. Dalam Media Investor, berdiri pula suratkabar harian bisnis Investor Indonesia serta majalah dwimingguan bisnis dengan nama sama. PT Media Investor juga sedang mengambil ancang-ancang untuk menggulirkan pula tabloid bisnis.

Operasi awal induk perusahaan ini dikabarkan mendapatkan kucuran dana dari grup sebesar Rp miliar, ditambah pinjaman lunak Rp 5-6 miliar. Saham perorangan antara lain berada di tangan Roy E. Tirtadji yang punya opsi sampai 40 persen. Tirtadji, yang sedang berada di Singapura, menyangkal, “Saya ini profesional. Saya tak ikut-ikutan.” Jawaban senada juga meluncur dari ujung telepon ketika ia diminta berkomentar soal penutupan LippoStar.com.

Media Investor dikemudikan Toto Sulistyo sebagai presiden direktur, dengan wakil Ace Suhaedi Madsupi. Di lingkungan LippoStar.com, Ace terkesan kurang disukai. Orang ini sempat meninggalkan LippoStar.com pada April 2001 dan mencalonkan diri pada pemilihan gubernur Banten. Gagal. Namanya tak pernah kedengaran lagi. Baru Januari lalu, Ace kembali ke habitatnya dan jadi salah seorang direktur AAM.

Ketika LippoStar.com berada di puncak masalah, Ace berada dalam posisi berseberangan dengan kebanyakan karyawan. Asep Mulyana mengatakan, Ace memegang peran besar di balik penggabungan LippoStar.com dengan Media Investor Online. Hanya sebagian kecil karyawan saja yang dibawa Ace ke markas PT Media Investor. Sisanya, bagian terbesar masih terkatung-katung dalam ketidakpastian nasib.

Awal November lalu, mereka masih bertahan di gedung LippoStar.com di Karawaci, Tangerang. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Telepon diputus. Listrik dan air kadang-kadang dimatikan. Satu-satunya yang mereka lakukan, barangkali hanya menunggui aset perusahaan yang kapan waktu bisa diambil pemiliknya. “Kami akan bertahan sampai manajemen mengabulkan tuntutan karyawan,” kata Asep Mulyana, seraya menerangkan bahwa salah satu tuntutan di antaranya uang pemutusan hubungan kerja 45 kali bulan gaji. Sampai kapan mereka bisa bertahan?*

kembali keatas

by:Agus Sopian