Tabloid, Banyumas, dan Kebebasan Pers

Slamet Susanto

Mon, 2 September 2002

PERTENGAHAN Juli lalu, selepas magrib, jalanan ujung kota Purwokerto, tepatnya Jalan Gang Mas Cilik, tampak sepi. Sebuah rumah gedong menghadap selatan berpagar besi, tampak kokoh berdiri.

PERTENGAHAN Juli lalu, selepas magrib, jalanan ujung kota Purwokerto, tepatnya Jalan Gang Mas Cilik, tampak sepi. Sebuah rumah gedong menghadap selatan berpagar besi, tampak kokoh berdiri. Meski bukan perkantorn, dari rumah itulah terbit tabloid Suara Gerilya.

Agus Pandoman, lelaki 40-an tahun kelahiran Cirebon, pemilik rumah itu. Dia pendiri sekaligus pemimpin umum tabloid Suara Gerilya. Tapi tak sama dengan penerbitan berkala lain, yang harus terbit secara berkala, tabloid itu kadang terbit, kadang tidak. Ia terbit jika sudah mempunyai kepastian calon pembelinya. Tapi kalau belum ada pembeli, mereka menunggu hingga ada pesanan.

Inilah Purwokerto. Awalnya, Agus Pandoman sempat jadi pengacara. Dia pernah bekerja pada Lembaga Bantuan Hukum Kosgoro di Yogyakarta. Pada 1991, Agus Pandoman pindah dan menetap di Purwokerto sebagai notaris.

Ketika pada Mei 1998 Presiden Soeharto turun tahta dengan tidak terhormat, gelora demokratisasi juga terasa di Purwokerto. Ingar-bingar pemilihan umum 1999 ikut diramaikan Pandoman. Ia didaulat beberapa ulama setempat memimpin Partai Bulan Bintang sebagai ketua cabang Banyumas.

Namun, seusai pemilihan umum, karier politiknya berakhir tragis. Kepengurusan Pandoman dibekukan oleh Yusril Ihsa Mahendra, ketua Partai Bulan Bintang di Jakarta. Alasannya klasik: dia dianggap menyimpang dari garis partai. Pandoman mengadukan Yusril ke polisi.

Pandoman mengatakan kepada saya bahwa selain politik, ia sejak dulu bercita-cita terjun ke dalam bisnis media. Meski sebagai notaris sudah cukup penghasilannya, dia kurang merasa puas sebelum bisa mengelola sebuah media.

Pada akhir 1998 harian Soedirman Pos di Purwokerto mati. Pandoman ibarat mendapat durian jatuh. Suatu hari ia digerudug mantan wartawan dan karyawan Soedirman Pos. Mereka tak punya suratkabar tempat bernaung lagi. Pandoman mengatakan mereka minta ia membentuk wadah baru dan akan membeli Soedirman Pos.

“Modal cekak (sedikit), mau mengikuti harian yang kaya duitnya. Ya bangkrut,” kata Pandoman mengomentari ambruknya Soedirman Pos.

Tapi ia tak putus asa. Sambil berpolitik lewat Partai Bulan Bintang, ia mengusahakan surat izin terbit penerbitan baru. Pada 13 Agustus 1999 tabloid Suara Gerilya didirikannya. Bekalnya surat izin terbit dari Menteri Penerangan Muhammad Yunus dari kabinet Presiden B.J. Habibie. Di Indonesia, Yunus dianggap berjasa besar karena membongkar sistem perizinan suratkabar.

Yunus mempermudah peraturan mengenai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Untuk menerbitkan sebuah suratkabar, Yunus memutuskan tak memerlukan lagi rekomendasi berbagai organisasi macam Persatuan Wartawan Indonesia—sebuah lembaga wartawan yang berubah fungsi jadi alat kontrol rezim Orde Baru.

Cukup dengan akta notaris, siapa pun sudah sah membuat usaha penerbitan. Tak ayal, bak cendewan tumbuh di awal penghujan, suratkabar pun lahir bertebaran di seantero Indonesia. Begitu banyaknya, hingga kadang orang tidak tahu, ada berapa suratkabar baru terbit di negeri ini.

Begitu juga di Purwokerto. Sebuah kota Jawa ukuran menengah dengan penduduk tak lebih dari satu juta jiwa. Di kota yang terhampar di kaki Gunung Slamet itu, suratkabar lahir silih-berganti. Tercatat ada tabloid Gelar, harian Poros Indonesia, dan harian Soedirman Pos. Koran-koran itu kini telah almarhum. Mati oleh berbagai sebab.

Wartawan eks-Soedirman Pos ramai-ramai masuk Suara Gerilya. Mereka hanya mampu bertahan enam bulan. Oleh Pandoman, anak buahnya itu dianggap tak mampu menyesuaikan diri dengan karakter wadah baru. Kebiasaan lama Soedirman Pos, masih kuat mengental. Perilaku mereka sering bertentangan dengan visi dan misi Suara Gerilya. Bahkan dalam penulisan berita pun, menurut Pandoman, sudutnya sering menyimpang dari pakem.

“Akibatnya, tak ada kelompok yang melirik untuk membeli hasil cetakan Suara Gerilya atau pun memasang iklan. Semua saya pecat dan menghentikan aktivitas percetakan,” ujar Pandoman.

Beberapa bulan tak menampakkan diri, pasukan baru kembali dibentuk oleh Pandoman. Kali ini hanya orang-orang yang memahami dan bisa berkerja sama dengan Suara Gerilya yang direkrut untuk bergabung. Di bawah pemimpin redaksi Heri Suryono, Suara Gerilya terbit lagi. Citra sebagai media oposisi tetap dipertahankan.

Satu tahun lamanya Suara Gerilya versi kedua bisa berjalan layaknya media dengan siklus terbit normal. Namun, lagi-lagi penyakit lama datang. Para awak dianggap melenceng oleh Pandoman. Karakter sebagai media oposisi sudah ditinggalkan. Penulisan berita di akhir kepemimpinan Heri Suryono dianggap kurang mendalam.

Untuk menyelamatkan bisnis medianya, Januari lalu, dengan segala pengalamannya, Pandoman turun tangan langsung. Kali ini jabatan pemimpin umum dan kebijakan keredaksian langsung ia pegang sendiri.

Pandoman juga menciptakan istilah sendiri: jualan koran dan news. Jualan koran menurutnya manajemen “media konvensional.” Sedangkan jualan news berarti menjual “fakta di balik berita.” Walau Pandoman tak menjelaskan makna “fakta di balik berita”—sesuatu yang dalam jurnalisme dipahami sebagai kerja redaksi—tapi jargon-jargon itu dijajakannya ke khalayak Purwokerto.

Kali ini, Pandoman juga memilih keputusan yang janggal. Jika tak ada kepastian pembeli dalam jumlah besar ia memilih tak terbit. Dengan kata lain, tabloid bisa terbit kalau pemborongnya sudah jelas. Bahkan tak masalah jika satu edisi dicetak ulang karena memang masih ada peminatnya.

”Pernah suatu edisi sampai kita cetak ulang sebanyak tiga kali karena konsumennya masih banyak,” katanya.

Suara Gerilya, menurut Pandoman, tak seperti media umumnya yang manajemennya konvensinal. Dalam manajemen konvensional media mengandalkan iklan sebagai sumber keuangan. Tanpa iklan, koran akan mati. Padahal untuk meyakinkan klien, media harus terbit rutin. Tak boleh telat, tak boleh berhenti.

“Seberapa pun besar modal yang dimiliki Suara Gerilya, dengan manajemen konvensional belum tentu eksistensinya terjamin. Bangkrutlah. Kalau ada iklan ya diterima, (kalau) nggak ada (pun), media tetap bisa jalan. Iklan dalam Suara Gerilya hanya sampingan,“ kata Pandoman.

Sadar diri akan keterbatasan modal serta daya saing sumber daya manusianya, manajemen Suara Gerilya memang terbilang nyleneh dan lain daripada yang lain. Dalam hal distribusi, Suara Gerilya, menurut Pandoman, tidak memerlukan divisi pemasaran. Promosi pun tak penting.

“Buat apa pemasaran, toh kita ini tidak berjualan koran,” tegasnya.

“Sewaktu ada orang ngomong ‘berita ini jangan ditulis,’ pastilah ada pihak lain yang menginginkan berita itu. Hal seperti ini kalau bisa di-manage, akan mendatangkan keuntungan finansial,” ujarnya. Makanya yang diperlukan bukan bagian pemasaran. Cukuplah dengan pembentukan “biro khusus.”

Alhasil, orang Banyumas dan sekitarnya kadang sulit menemukan Suara Gerilya di tempat yang ajek. Bisa jadi hari ini di kawasan Banyumas ramai dan banyak didapatkan di agen-agen, tapi sepi di kota lain. Dan begitu juga sebaliknya. “Jadi koran kami itu aneh, kok. Larisnya berpindah-pindah. Kadang laris di Tegal, Brebes, dan di tempat-tempat tertentu,” kata Pandoman.

Wartawan Suara Gerilya pun diberi kelonggaran oleh Pandoman. Wartawan bebas dan diperkenankan bergabung dengan media lain. Asal berita yang diperoleh, harus masuk terlebih dahulu ke redaksi Suara Gerilya.

”Jadi kalau ada media lain ingin memuatnya, nanti hubungannya dengan saya untuk menentukan negosiasi penghargaan suatu berita penemuan wartawan di lapangan,” kata Agus Pandoman.

Penemuan lapangan, bagi Suara Gerilya merupakan copy rights dan harus ada penghargaannya. “You mau data dari kami silahkan, tapi kuat berapa you menghargainya?” katanya.

Entah sampai kapan manajemen media tak berkala ini bisa menopang hidup Suara Gerilya. Saya pesimistis tabloid ini bisa bertahan lama. Saya juga khawatir wartawan-wartawannya menyalahgunakan pekerjaan mereka untuk menjaga asap dapur.

Agus Pandoman bukan orang yang berpengalaman di bidang media dan kurang mengerti bagaimana membangun kepercayaan warga Banyumas terhadap jurnalisme Suara Gerilya. Mungkin juga saya yang kurang memahami dinamika media baru di Purwokerto.

SELASA pagi, 9 Juli lalu, saya mengikuti jalan setapak yang tak lebih 1,5 meter lebarnya. Tepatnya di Gang Maulana Malik Ibrahim, Grumbul Canggih, di sekitar kampus Universitas Muhamadiyah Purwokerto. Rumah-rumah berjejal di sepanjang pinggir jalan yang tak bisa dilalui mobil. Paling-paling hanya sepeda motor atau becak yang bisa mengantar sampai depan rumah. Di pemukiman padat di pingiran kota ini, ada sebuah bangunan berlantai dua yang jadi pusat operasional tabloid Canggih. Di samping pintu masuk rumah, dua bilik kios warung telekomunikasi berjajar. Tepat bawah pintu, sebuah huruf dari stereofoam terpampang jelas: Yayasan Candi Kemayung, Tabloid Canggih.

Saya menemui seorang pria bertubuh besar. Boediono Oentoeng Sapoetro namanya. Dia pendiri sekaligus pemimpin umum, pemimpin perusahaan serta pemimpin redaksi Canggih.

Boediono bercelana panjang kain warna biru dongker. Telepon di rumahnya yang merangkap kantor redaksi itu tak henti-hentinya bersahutan dengan dering dua telepon seluler di saku bajunya. Tak kurang dari 20-an menit Boediono sibuk melayani si penelepon sebelum menoleh ke arah saya.

“Maaf Mas, baru sibuk. Maklum baru mau naik cetak,” kata Boediono.

Boediono sudah sejak lama ia ingin terjun dalam bisnis koran.. “Namun mimpi itu harus saya pendam dalam-dalam selama bertahun-tahun. Kontrol pemerintah terhadap media di era Soeharto sangat ketat. Jangankan koran, untuk mendirikan radio saja, harus ada SIUPP. Tanpa kantong tebal, koneksi kuat dan menghamba pada pemerintah, mustahil mendapat izin,” katanya.

Dunia jurnalisme, sudah sejak sekolah menengah lekat dengan Boediono. Sewaktu kuliah pun ruang tulis-menulis tak pernah luput dari Boediono. Ketika lulus sarjana hukum, ia jadi pengacara.

“Jadi pengacara, itu mengasyikkan. Kita sering berdiskusi membahas suatu kasus. Bagaimana selayaknya kasus ditangani,” katanya. Tapi sekarang, keluh Boediono, jangankan diskusi yang terjadi malah sikut-sikutan.

Faktor umur membuat Boediono tak ngoyo lagi menggeluti dunia pengacara. Sudah tua, mencari ketenangan hidup. Saat itulah bakat menulis mengoda lagi. Mimpi Boediono mulai menyeruak ke permukaan ketika Soeharto jatuh. Bowo Sukoco, pengelola tabloid Gelar di Purwokerto mengajaknya bergabung.

“Ini langkah awal yang bagus daripada harus babat alas sendirian,” kata Boediono.

Pada pertengahan 1999, Boediono resmi menekuni bisnis koran. Ia jadi salah satu pemilik modal yang bernaung di bawah bendera Gelar. Selama jadi pengelola Gelar, banyak permasalahan yang harus ia hadapi. Koran mingguan itu harus bersaing dengan suratkabar lokal lain yang sudah ada dengan modal yang lebih kuat seperti Radar Banyumas milik Kelompok Jawa Pos dari Surabaya. Radar Banyumas muncul di Purwokerto dengan memanfaatkan jatuhnya Soeharto dan kemudahan menerbitkan suratkabar.

Gelar hanya sekali terbit lalu mati. Edisi tunggal Gelar lumayan. Setidaknya dilihat dari laporan utama yang diangkat, terkesan kontekstual dengan wacana lokal. Gelar mengulas wayang kulit serta para aktornya. “Sebagai balas jasa, dalang yang dipromosikan membayar sejumlah uang. Tapi uang yang rencananya untuk biaya cetak edisi kedua, nggak tahu dibawa lari,” keluh Boediono.

Selagi hanyut menceritakan pengalaman pahitnya, cerita Boedino sempat terhenti. Seorang lelaki muda muncul dari balik pintu. Lelaki yang bernama Usman Sulthoni, membawa sebuah naskah untuk diperlihatkan kepada Boediono. Isinya, pengajuan grasi dan permohonan penangguhan eksekusi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyumas, Tri Waluyo Basuki. Setelah membaca naskah, Boediono mengingatkan yang dikabulkan itu bukan grasinya melainkan permohonan penangguhan eksekusi. “Sudah cross check belum? Jangan sampai tidak berimbang,” kata Boediono.

Boediono mendirikan Canggih pada 27 Juli 2001 lewat notaris Maria Haryati di Purwokerto yang mengesahkan akta pendirian Yayasan Candi Kemayung, yang jadi penerbit Canggih. Boediono kemudian menghimpun sejumlah wartawan yang tersebar di Banyumas. Sejumlah wartawan eks-Gelar dan Soedirman Pos diajak bergabung dengannya.

“Mereka menjadi wartawan tanpa suratkabar bukan karena jahat tapi keadaanlah yang mendesaknya. Kalau mereka mau serius dan baik, kenapa tidak dinaungi dalam suatu wadah. Asal kalau nanti jadi wartawan jangan jadi tukang corong. Salah satu tujuan saya memang membuat wadah yang menaungi para wartawan tanpa suratkabar yang terdesak karena keadaan itu,” kata Boediono.

Setelah bisa menggaet sejumlah wartawan, Boediono memulai bisnisnya. “Pokoknya untuk biaya cetak awal, itu sudah disediakan oleh yayasan,” kata Boediono.

Boediono membutuhkan tim yang solid guna membangun dan memulai pekerjaan babat alas. Untuk itu, wartawannya diwajibkan berkumpul di kantor pada siang hari. Di kantor itu, ia menyediakan makan siang sekaligus membangkitkan rasa kekeluargaan di kalangan wartawannya. Untuk keperluan liputan dan tugas kantor, yayasan menyediakan dua sepeda motor dan dua buah mobil.

Akhirnya, Januari lalu edisi perdana Canggih muncul. Halaman muka tabloid itu menampilkan sosok yang memang tak asing bagi warga Banyumas. Rektor Universitas Jenderal Soedirman Profesor Rubiyanto Misman menghiasi halaman depan Canggih.

Untuk edisi perdana, dicetak sebanyak 3.000 eksemplar dengan harga Rp 2.500 per eksemplar. Untuk promosi, 3.000 eksemplar pertama itu tidak ditarik ganti ongkos cetak dan disebarluaskan melalui agen-agen.

“Untuk edisi perdana karena jelas belum ada iklan, semua ongkos cetak ditanggung yayasan,” ungkap Boediono.

Sampai terbitan keempat oplah tetap bertahan 3.000 eksemplar. Baru pada edisi kelima dan seterusnya, oplah meningkat sedikit demi sedikit. Bahkan untuk beberapa edisi terakhir, Canggih tercetak 6.000 eksemplar.

Untuk perbandingan, Radar Banyumas menurut Doddy Agus dari bagian pemasaran Radar Banyumas dicetak sekitar 7.500 tiap hari. Doddy mengatakan masing-masing sirkulasi Suara Gerilya dan Canggih “di bawah” Radar Banyumas.

Tapi Agus Pandoman mengatakan sirkulasi Radar Banyumas sekitar 2.000 eksemplar saja, di bawah percetakan Suara Gerilya rata-rata sampai 5.000 eksemplar.

Di Indonesia, sirkulasi suratkabar tak pernah diaudit secara independen. Kebanyakan suratkabar membesar-besarkan angka penerbitan mereka, termasuk raksasa-raksasa di Jakarta, untuk menyakinkan biro iklan dan perusahaan pemasang iklan bahwa nisbah pembaca per eksemplar cukuplah tinggi.

Sirkulasi Radar Banyumas, tempat saya bekerja, sebenarnya hanya berkisar 4.000 sampai 5.000. Untuk Juli dan Agustus ini, mengalami kenaikan 700 sampai 900 eksemplar. Dari hasil evaluasi, katanya, kenaikan ini terjadi karena wartawan Radar Banyumas menolak angpao (amplop), jadi beritanya lebih independen.

Boediono pun tahu akan persaingan media yang ketat. Mengingat target tahun pertama pengenalan, sampai nomor 14 belum sekali pun Canggih menarik uang ganti cetak. Cetakan dibagi gratis.

“Yang membuat saya agak lega, mulai edisi 10 kemarin, agen menanyakan kapan duitnya diambil. Ini menunjukkan ketertarikan masyarakat mulai muncul,” kata Boediono.

Untuk media yang ditopang modal dan jaringan kuat saja, sulit menembus sirkulasi 2.000 eksemplar. Meteor misalnya, yang sudah enam bulan hidup di Purwokerto, tak lebih 900 eksemplar habis setiap hari. Padahal harian Meteor sirkulasinya kedua terbesar setelah Suara Merdeka—harian terbitan Semarang yang menguasai pasar Jawa Tengah sejak 1970-an. Setiap hari, tak kurang dari 30 ribu eksemplar Meteor habis di seluruh Jawa Tengah.

Tapi membuka pasar Purwokerto, tak segampang membalik telapak tangan. Orang pemasaran harus jeli melihat peluang. Redaksi pun harus bisa mencari berita yang dibutuhkan warga setempat. Suara Merdeka, saya perkirakan tak lebih dari 8.000 sirkulasinya di Banyumas dari total tiras sekitar 100 ribu eksemplar di Jawa Tengah. Purwokerto mengambil antara 2.500 sampai 3.500 dari sirkulasi Banyumas.

Di Purwokerto, persaingan media hanya ada di tangan beberapa pemain: Radar Banyumas, Suara Merdeka yang akan menambah jumlah halaman Banyumas, Kompas dengan edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta, harian Republika dari Jakarta dan Meteor dari Solo.

Ironisnya, semua pemain besar itu bukan tumbuh dari Banyumas sendiri. Canggih dan Suara Gerilya justru yang diterbitkan orang setempat. Bagaimana orang melihat tabloid-tabloid lokal ini?

“Masih ada to media Canggih,” kata Rubijanto Misman, rektor Universitas Jenderal Soedirman, ketika saya tanya soal penampilannya pada edisi perdana Canggih.

Menurutnya, Canggih tak punya kebijakan editorial yang kuat. Canggih mengikuti media yang ada. Orang jadi bosan. Baca Radar Banyumas, Suara Merdeka, atau Kompas, sama beritanya. “Media lokal butuh something new dan something different.”

Setali tiga uang. Sambil membuka tabloid Canggih, kepala bagian hubungan masyarakat kabupaten Banyumas Didi Rudwiyanto mengatakan, “Sebagai media lokal yang tidak terbit harian, beritanya harus mendalam. Masa straight news dengan sampul depan profil melulu. Mana ada masyarakat tertarik?”

Di sisi lain, keberadaan Suara Gerilya dan Canggih, bikin gamang beberapa wartawan Banyumas. Aris Mulyawan, seorang wartawan Radar Banyumas, mengatakan jangan-jangan mereka hanya cari status untuk kepentingan sendiri. Jangan salahkan wartawan mereka kalau menerima duit (suap) asal dapur tetap berasap.

Aris mencoba berfilsafat dengan mengatakan kurangnya mutu wartawan, hadirnya pemain besar dari kota-kota lain, dan ganasnya kompetisi media, bisa saja mengorbankan mereka.

“Kita semua ikut menyumbang kesalahan,” kata Aris.*

kembali keatas

by:Slamet Susanto