Membungkus Senyum, Merengkuh Untung

Dedy Ardiansyah

Mon, 2 September 2002

JALAN Kesawan adalah kawasan penting kota Medan. Ruas jalan itu satu arah, lebarnya tak lebih dari empat meter itu, tak bisa menampung puluhan kendaraan yang tiap menit melintas.

JALAN Kesawan adalah kawasan penting kota Medan. Ruas jalan itu satu arah, lebarnya tak lebih dari empat meter itu, tak bisa menampung puluhan kendaraan yang tiap menit melintas. Di kawasan ini pula berdiri kantor redaksi harian Analisa –suratkabar paling besar sirkulasinya di Sumatra Utara.

Suatu sore Juli lalu, ketika sebagian karyawan mulai berbenah pulang, saya datang ke sana. Suhu dalam ruang lantai dasar cukup dingin. Puluhan meja tersusun kurang beraturan. Ada satu meja yang lebih sembrawut dibanding meja di sekitarnya. Macam manalah tak dibilang centang perenang. Ratusan kertas bertumpuk, berserakan dari satu meja ke meja sebelahnya. Beberapa kertas tercecer di lantai. Meja tambahan yang ada di sisi kanan meja utama tak sanggup menampung banyaknya kertas-kertas itu. Inilah meja Basuki, kreator karakter Pak Tuntung, serial kartun yang tiap hari menghiasi Analisa.

Pak Tuntung adalah Analisa. Rubrik tiga kolom ini hadir tiap hari, kecuali Minggu, di sudut kiri bawah halaman lima –halaman olahraga. Agak janggal memang karena sebagian besar suratkabar dunia, menempatkan kartun mereka di halaman editorial.

Tapi Pak Tuntung memang beda. Tokoh Pak Tuntung digambarkan sebagai pria Indonesia keturunan Tionghoa berbusana ala 1970-an. Dia mengenakan kemeja putih yang lengannya selalu digulung plus celana cut brai bergaris hitam putih. Pak Tuntung berpasangan dengan wanita gendut berambut keriting yang tak lain istrinya. Mereka dikaruniai sepasang anak. Ada enam tokoh lain yang bergantian muncul dalam rubrik tersebut. Tak ada nama untuk istri, anak ataupun pendamping Pak Tuntung. Pembaca Analisa mengenal sosok-sosok itu hanya sebagai Bu Tuntung, anak-anak Pak Tuntung, Pak Tua dan sebagainya.

Kartun Pak Tuntung pertama kali muncul di Analisa pada 1973. Saat itu hidung kartun Pak Tuntung panjang, mencuat ke atas, gabungan antara bentuk hidung boneka Pinokio dan Petruk, tokoh pewayangan. Telinganya seperti angka enam. Rambut Pak Tuntung lurus sedikit bergelombang, ada jambul mencuat ke atas, menyerupai penyanyi legendaris Elvis Presley asal Amerika.

Pak Tuntung dalam penampilan perdana digambarkan tengah ikut pesta kostum. Pak Tuntung mengenakan kostum Gorilla dan berdansa dengan seseorang yang bertopeng wanita cantik. Selesai dansa, Pak Tuntung membuka topengnya. Teman dansanya juga melakukan hal sama. Alangkah kagetnya Pak Tuntung. Pasangannya ternyata seekor Gorilla. Wajah kagetnya itu menimbulkan senyum!

Tema kartun Basuki memang kebanyakan berputar soal sosial atau lingkungan. Ia jarang mengusung tema politik. Karakter Pak Tuntung juga diciptakan sangat santun. Humornya jauh dari isu peka macam agama dan ras. Pak Tuntung anti-kejahatan. Suka mengkritik, memperhatikan lingkungan hidup namun takut istri. Tak jarang digambarkan Pak Tuntung lagi diomelin, dicuekin hingga bahkan digebukin pakai pemukul kasur oleh Bu Tuntung yang karakternya cerewet, galak, pencemburu, tapi mencintai suaminya.

Pak Tuntung juga ikut demam Piala Dunia maupun gejala populer lain. Ketika ramai dibicarakan film Spiderman dan serial Meteor Garden dari Taiwan, Basuki pun menggambar Pak Tuntung ala Spiderman dan Meteor Garden. Semuanya segar, umum dan jauh dari primordialisme.

“Saya kurang suka politik,” kata Basuki kepada saya, seakan-akan mengacu pada sempitnya ruang gerak orang Indonesia keturunan selama 30 tahun diskriminasi anti-Cina oleh rezim militer Orde Baru.

Ruang gerak terbatas membuat Basuki bekerja keras untuk menghasilkan kelucuan. Ia merenung, melihat sekeliling, dan membaca. Intinya, kartun yang dicoret-coretnya bisa mengajak pembaca masuk ke alam ilusi sambil tersenyum.

Pemberian nama Pak Tuntung menurut sekretaris redaksi Analisa War Djamil diilhami dari sebuah daerah bernama Tuntungan di pinggiran Medan. Daerah ini pada 1970-an dikenal sebagai arena pacuan kuda. Karena ramai setiap akhir pekan, daerah ini dirasa cukup memberikan arti untuk nama kartun koran itu. Akhiran “an” dibuang, kemudian ditambah kata “Pak.”

Kalau dalam bahasa Mandarin, “Tung-tung” artinya anak-anak. Pak Tuntung memang dekat dengan masyarakat Cina di Medan karena Analisa, walau pun bukan pembagian yang secara sosial bisa dianggap tepat, dianggap sebagai suratkabar masyarakat Cina Medan. Iklan kematian orang Tionghoa kebanyakan dimuat oleh Analisa.

Andi Kurniawan Lubis, redaktur foto Analisa, berpendapat Basuki memiliki kekuatan imajinasi. Basuki bisa menangkap persoalan dari segala tempat, orang dan peristiwa. Lalu menuangkannya dalam sebuah gambar yang bergerak dari satu adegan ke adegan lainnya.

PAK Tuntung bukan satu-satunya serial kartun Medan. Hampir setiap suratkabar Medan melahirkan karakter kartun. Misalnya Medan Pos ada Jaluntung, Sinar Indonesia Baru ada Si Suar Sair. Beberapa tahun lalu, harian Waspada juga punya tokoh kartun bernama Si Gumarapus. Bahkan Waspada membungkusnya dalam suplemen khusus mingguan. Di suplemen ini pembaca dimanjakan dengan karikatur, kartun dan komik warna warni. Ada tokoh koboi bernama Toma, ada juga Rimba yang hidup di hutan belantara. Sampai tokoh heroik Elang Sakti. Sayang, Waspada tak menggarap suplemen itu lagi.

Rubrik kartun ataupun karikatur tadi seolah hanya jadi pelengkap suratkabar. Si Suar Sair dan Jaluntung, menurut saya, terkesan monoton dan kering senyum. Bisa jadi karena gambarnya yang agak kasar atau tema-tema yang dimunculkan kurang menarik bagi pembaca.

Kondisi ini diikuti pula beberapa kartun lain yang diusung media baru. Tak ada isu segar dan lucu yang dimunculkan. Sebutlah seperti Bang Kombur (Mediator), Si Ponden (Analog), Si Luncai (Sumatra) dan beberapa tokoh lainnya. Kalau pun kartun-kartun tadi bisa menyerap perhatian sekelompok pembaca, itu tak lain karena peruntukannya sudah bergeser.

Kartun-kartun tersebut kerap menemani para abang becak, pemuda-pemuda di warung kopi sampai inang-inang (ibu-ibu) di rumah. Mereka menjadikan kartun untuk bahan membahas toto gelap atau KIM Medan -ini semua undian berhadiah. Hampir semua tokoh kartun ini dibahas tiap hari. Bahkan ada beberapa tokoh kartun yang terkesan sengaja diciptakan untuk meraih pasar ini. Sebagai contoh, di rubrik kartun Bang Kombur milik harian Mediator. Terkadang terselip sejumlah nomor tertentu atau kata-kata sandi yang dimaksudkan untuk mengilhami pembaca untuk merangkainya. Hal serupa bisa juga ditemui di kartun Jaluntung milik Medan Pos.

Inilah yang membedakan mereka dengan Pak Tuntung. Analisa setia pada misi suratkabar sebagai medium hiburan dan kritik sosial (bukan medium berjudi). Dari segi grafis dan penggarapan, Pak Tuntung jauh lebih baik. Setiap tema yang diciptakan kreatornya juga menyegarkan dan up-to-date. Tak heran, redaksi Analisa amat menyayangi rubrik Pak Tuntung.

War Djamil mengatakan kalau kehadiran Pak Tuntung membawa berkah bagi Analisa. Redaksi sering kerepotan menampung banyaknya iklan masuk. Sebagian pengiklan minta supaya dipasang dekat Pak Tuntung. Karena itu rubrik ini selalu posisinya dari halaman sebelas lalu ke halaman dua.

“Kita tidak bisa menolak permintaan pengiklan. Tapi lama-lama hal ini mengganggu berita-berita Medan yang juga kian banyak,” tutur War Djamil. Sejak lima tahun lalu, akhirnya diambil keputusan memindahkan rubrik Pak Tuntung ke halaman olahraga.

War Djamil memperkirakan para pengiklan, terutama dari etnik Tionghoa, percaya feng shui bila dekat rubrik ini. Lainnya lebih praktis, karena ingin iklannya langsung diketahui pembaca. Soalnya, pembaca Analisa tak lupa membuka halamannya Pak Tuntung.

BASUKI sendiri lahir 50 tahun lalu di Serbelawan, Kabupaten Simalungun, sekitar 120 km dari Medan. Orang tuanya memberi nama Hu Wie Tian. Nama yang digantinya saat Orde Baru memaksa orang-orang Tionghoa menekan identitas diri mereka, antara lain, dengan mengganti nama tiga-suku-kata ini.

Dari kecil, Basuki suka menggambar. Ia mencoret apa saja. Bakatnya makin berkembang saat duduk di bangku sekolah menengah. Wali kelasnya, Paulus M Tjukrono tertarik. Tjukrono juga jadi wartawan wartawan Analisa. Tjukrono inilah yang mengajak Basuki jadi kartunis.

Pertama kali membuat kartun itu, sosok Pak Tuntung sangat sederhana. Gaya pakaiannya mirip Elvis Presley. “Elvis kan simbol generasi muda saat itu. Dia digandrungi anak-anak muda, jadi saya pikir sosok Pak Tuntung akan mudah diterima masyarakat,” jelas Basuki. Perjalanan waktu membentuk Pak Tuntung lebih dewasa. Basuki ikut menikmatinya. Kartun itu lebih hidup.

Sekarang Basuki membuat coretan-coretan dasar Pak Tuntung di kertas sepanjang 23,5 cm dan lebar 9 cm. Finishing touch dilakukan dengan tinta hitam yang sudah halus dan kasar. Sosok Pak Tuntung selalu diikuti dengan latar belakang yang juga munculnya sangat detail. “Saya tidak mau serampangan,” ujarnya.

Ini yang membedakan Pak Tuntung dengan kebanyakan kartunis Medan. Kebanyakan kartun Indonesia, termasuk Medan, dibuat tanpa konteks sosial. Basuki mau menghabiskan waktu dan tenaga untuk menggambar latar –sebuah teknik yang membantu kartunis untuk memunculkan konteks sosial kartunnya.

Kalau temanya kota Medan, maka Basuki akan memunculkan gambar menara Perusahaan Air Daerah Tirtanadi sebagai ciri khas Medan. Pekerjaan itu dilakukannya malam hari. Pagi hari, Basuki harus masuk kantor Analisa, karena ia juga nyambi di bagian periklanan Analisa.

Kalau merasa jenuh, sesuatu yang wajar karena pekerjaan itu sudah digarapnya selama 29 tahun, ia menggali ide dengan membolak-balik suratkabar dan majalah atau bertanya pada orang lain. Tak ada libur untuk Pak Tuntung kecuali Analisa tidak terbit. “Maret tahun depan, usia kartun Pak Tuntung genap 30 tahun,” kata Basuki.

Basuki sesekali membuat kartun lain dan mengirimnya ke suratkabar lain. Harian Lianhe Saobao, suratkabar berbahasa Mandarin terbesar di Singapura, adalah pilihannya. Ini menyegarkan Basuki karena sesekali keluar dari format Pak Tuntung.

Sampai saat ini Basuki sendiri tak tahu sudah berapa banyak kartun yang dibuatnya. Tapi ada kartunnya yang masuk Divisi Filateli PT Pos Indonesia. Pak Tuntung dibuat dalam bentuk prangko bersama dengan beberapa tokoh kartun lain seperti Panji Koming (Kompas), Mang Ohle (Pikiran Rakyat), Pak Bei (Suara Merdeka), dan I Brewok (Bali Post).

“Satu penghargaan yang tinggi buat saya pribadi dan kebanggaan bagi perusahaan. Setidaknya dalam hidup, saya sudah bisa berbuat sedikit untuk negara ini,” ucapnya.

Tapi Basuki tetaplah Basuki. Basuki tetap sosok sederhana. Sama seperti tokoh kreasinya yang cuma berdandan ala 1970-an, berkemeja putih dengan lengan digulung. Ramah, murah senyum dan bersahabat.*

kembali keatas

by:Dedy Ardiansyah