Islam Warna Warni, Televisi Hitam Putih

Taufik Andrie

Mon, 2 September 2002

AWAL Agustus lalu, Fauzan al-Anshari, aktivis Majelis Mujahidin Indonesia, menerima SMS dari Bilal, seorang aktivis dan rekan al-Anshari di Solo.

AWAL Agustus lalu, Fauzan al-Anshari, aktivis Majelis Mujahidin Indonesia, menerima SMS dari Bilal, seorang aktivis dan rekan al-Anshari di Solo. Bunyinya, “SCTV tayangkan iklan JIL, Islam warna-warni. Tidak hanya satu macam, yang penting bersatu.”

Saat itu, al-Anshari belum sekali pun melihat iklan itu. Tapi Minggu, 4 Agustus, ia nonton televisi dan kebetulan RCTI menayangkan iklan tersebut. Al-Anshari punya sejarah kejengkelan tersendiri terhadap Jaringan Islam Liberal. Awal tahun ini dia mengadukan Sukidi, seorang kolumnis Islam liberal ke polisi dengan tuduhan mencemarkan agama Islam dalam sebuah kolom harian Republika (polisi menutup kasus ini).

Iklannya secara artistik menarik dan santun. Sutradara terkemuka Garin Nugroho dari Yayasan SET memvisualkannya dengan suasana khitanan massal diringi lantunan lagu Perdamaian ciptaan Rofiqoh Dharto Wahab oleh sebuah kelompok qasidah. Tampak ibu-ibu berkerudung, bergerombol. Merah. Oranye. Rebana. Kuning. Warna-warna keemasan. Meriah. Anak-anak laki yang kesakitan menangis hebat habis disunat. Kaum laki-laki sedang salat. Akhirnya, keceriaan anak-anak meramaikan khitanan. Tanpa pesan, tanpa narasi, kecuali teks akhirnya, “Islam warna-warni. Tak cuma satu. Banyak ragam saling menghargai.”

Al-Anshari terperanjat. “Agama Islam kok dibilang warna-warni, kalimat itu bisa menyesatkan umat.” Dia langsung teringat pada dua ayat Qur’an. Pertama, surat al-Anbiyya (21) ayat 92, “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” Kedua surat al-Mukminun (23) ayat 52-54, “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.”

Sore itu pula al-Anshari membuat surat somasi untuk SCTV dan RCTI. “Setelah kontak-kontak dengan bos di Yogja,” katanya. Bos yang dimaksud adalah Irfan S. Awwas, masing-masing ketua lajnah tanfidziyah dan Abubakar Ba’asyir, ketua dewan syuro Majelis Mujahidin Indonesia. Bila dalam tiga hari iklan tak dihentikan, al-Anshari bakal lapor ke polisi.

Somasi diterima dua televisi itu hari Minggu juga. Jawaban baru diberikan Rabu 7 Agustus. Intinya, RCTI tak keberatan sebab pada hari itu kontrak iklan habis. Gupuh Widayadi, staf hubungan masyarakat RCTI, mengatakan, ”Setelah disomasi kami langsung menghubungi agensi, bagaimana baiknya. Tapi agensi bilang jam tayangnya sudah habis, jadi ya nggak masalah.”

Di kantor SCTV kehebohannya berbeda. Mereka masih punya jam tayang agak banyak. Masalah ini dibawa ke rapat direksi. SCTV punya empat direktur. Direktur utama dijabat Agus Mulyawan. Direktur operasional diemban Lanny Ratulangi, sedang direktur keuangan Budi Hariyanto. Karni Ilyas, mantan pemimpin redaksi majalah Forum, menggawangi pemberitaan. Ratulangi dan Mulyawan orang lama di sana, mereka kerja di SCTV sejak televisi ini masih ada di Surabaya. Karni masuk ke SCTV menggantikan Riza Primadi, kini direktur pemberitaaan Trans TV, sesudah Presiden Soeharto lengser.

Hasil rapat disampaikan Budi Dharmawan, manager hubungan masyarakat SCTV, kepada al-Anshari lewat telepon. “Setelah memperhatikan dengan seksama, tayangan iklan tersebut telah mengakibatkan polemik dalam satu agama yang sangat sensitif, karena itu iklan ini di-drop.”

Menurut al-Anshari, “SCTV mengucapkan terima kasih karena merasa telah diingatkan oleh Majelis Mujahidin. Saya bilang, ‘Bagus SCTV berani tidak hanya membela yang bayar tapi juga berani membela yang benar.’”

Budi Dharmawan menganggap kasus ini sebagai keteledorannya. “Mestinya SCTV tidak menayangkan iklan ini sejak awal. SCTV tak mau menjadi ajang silang pendapat kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tadi.”

SCTV juga memberitahu Nong Darol Mahmada dari Komunitas Islam Utan Kayu, koordinator program iklan itu dari Jaringan Islam Liberal. Komunitas Islam Utan Kayu terkait dalam Institut Studi Arus Informasi –yayasan yang menerbitkan majalah ini.

Nong kecewa dan mengirim email ke milis islamliberal@yahoogroups.com. “Hari ini perasaan saya sedang hancur lebur … saya merasa sudah mendapatkan akibat dari kesewenang-wenangan yang mengatasnamakan Islam itu. Padahal saya merasa dan menjalankan Islam sesuai banget dengan keislaman yang saya pahami dan saya mampui.”

Email Nong mengundang tanggapan dari 20 orang lebih. Intinya, mereka usul Nong bikin petisi, somasi balasan, pertemuan pers, dan sebagainya. Ada yang menyalahkan Majelis Mujahidin, ada yang memaki dua televisi itu, ada yang usul Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama diminta menjelaskan kepada SCTV dan RCTI bahwa iklan itu tak salah. Berita ini juga didiskusikan di milis lain, misalnya islam_liberal@yahoogroups.com di mana dibicarakan Islam itu idealnya memang satu (das sein) tapi umatnya dan penafsirannya beda-beda (das sollen). Soal iklan itu, masalah linguistik. Diskusinya riuh rendah.

Luthfi Assyaukanie, salah seorang penggagas frase “Islam warna warni,” menulis di Koran Tempo, “Islam adalah agama yang beragam ketika dia dipraktekkan. Secara gamblang, pesan itu mengajak umat Islam menolak pemahaman satu Islam, karena pemahaman seperti ini dapat menjurus pada pembenaran kelompok tertentu dan menafikan kelompok lainnya.”

“Al-Quran sendiri dengan gamblang mengingatkan kita semua bahwa banyaknya wajah Islam adalah ‘kesengajaan’ yang dibuat oleh Allah. Dalam surat Hud (11) ayat 118-119 … dengan sangat jelas Allah menolak ketunggalan (wahidah) dan sebaliknya menciptakan keanekaragaman (mukhtalifin).”

Abubakar Ba’asyir, pendiri pondok pesantren al-Mukmin Ngruki, yang disebut “bos” oleh al-Ashari, dan sempat dituduh teroris oleh pemerintah Singapura dan Malaysia, mengatakan, “Iklan yang di televisi itu merugikan Islam, Islam itu ya satu, hanya umatnya yang terpecah karena perselisihan pendapat tapi tetap saling menghargai. Perselisihan pendapatnya pun bukan pada hal-hal yang pokok, sifatnya hanya furu’iyah atau pada hal-hal kecil yang menjadi cabang. Misalnya dalam salat subuh ada yang pakai qunut ada yang nggak, saat takhiyat ada yang jarinya lurus, ada yang gerak-gerak, hanya hal-hal kecil saja.”

Debat Islam itu satu atau lebih mungkin tak ada ujungnya kecuali kita bisa wawancara Rasulullah. Lain lagi soal televisi. Jumat 9 Agustus lalu, rombongan Jaringan Islam Liberal, dipimpin Ulil Abshar-Abdalla, salah satu pendirinya, mendatangi RCTI dan SCTV untuk minta penjelasan. Mereka menemui masing-masing Budi Dharmawan dan Gupuh Widayadi. “Kenapa pihak televisi men-drop iklan tersebut tanpa konfirmasi atau pemberitahuan, tanpa melakukan musyawarah dengan kami? Kami juga meminta mereka agar menayangkan kembali iklan tersebut tanpa mengubah apapun,” kata Ulil.

“Kami berniat memasang iklan lagi dengan materi dan isi yang sama, tapi mereka menolak. Kami juga memberikan dukungan pada pihak televisi agar tindakan-tindakan yang berbau ancaman seperti ini tak usah diindahkan, karena mereka hanyalah kelompok kecil dan bukan bagian yang besar dalam umat Islam. Jangan sampai hal-hal seperti ini akan membatasi kebebasan berekspresi kelompok lain,” katanya.

Sayang, dukungan ini jadi niskala. Sebab, ya perbedaan tafsir ini. Jika ada ketaksesuaian paham antara Jaringan Islam Liberal dengan Majelis Mujahidin, iklan sejenis tak bisa nongol lagi di layar RCTI.

“Masalahnya bukan takut atau nggak takut pada somasi, tapi media seperti televisi kan harus independen, tidak memihak pada kelompok tertentu. Dan kalau mau ditayangkan lagi kami bersedia, asal masalahnya diselesaikan dulu,” kata Gupuh Widayadi.

“Mereka datang kesini sebanyak 18 orang kurang lebih. Mereka mengajukan keberatan atas penghentian iklan, kami terima dan saya sampaikan ke direksi. Tapi kami tetap tidak bisa, sebab masalah ini, sekali lagi, terlalu sensitif,” kata Budi Dharmawan.

Jaringan Islam Liberal berpendapat penghentian itu sendiri sudah memihak. Ulil, Nong dan kawan-kawan membuat pertemuan pers 14 Agustus lalu. Mereka mengeluarkan pernyataan yang didukung 26 organisasi, menyesalkan sikap SCTV dan RCTI. Mereka berpendapat somasi sebagai prosedur hukum adalah wajar dan jadi hak tiap warganegara. Namun, bagaimana media menghadapinya, itu soal lain.

Ada banyak pertanyaan dan gugatan bersliweran di pertemuan itu. Pembicaranya termasuk ketua

Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, Lies Marcoes, direktur organisasi perempuan Islam bernama Rahima, Goenawan Mohamad, mantan pemimpin redaksi Tempo, Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute, Afnan Malay dari Aliansi Jurnalis Independen dan Ulil sendiri.

Semua menyesalkan televisi. Goenawan mengatakan mereka “menggali liang kuburnya sendiri” karena membatasi kebebasan pers di Indonesia yang justru paling dinikmati televisi. Mallarangeng cerita bagaimana ia pernah mengecam Majelis Ulama Indonesia dalam programnya di Metro TV. Akibatnya, Metro TV diancam akan dibakar sekelompok aktivis muslim. Direktur Metro TV Surya Paloh bilang pada Mallarangeng jalan terus, “Kalau dibakar ya kita bangun lagi.” Astraatmadja mengatakan manajemen media cenderung mau aman, tak mau repot, pokoknya bisnis.

Lebih dari 40 media datang ke pertemuan ini. Menariknya, SCTV dan RCTI tak meliput pertemuan yang menggugat diri mereka sendiri. “Tidak ada undangan sampai ke saya, mungkin ke bagian liputan ya. Lagipula tidak semua konferensi pers bisa kita datangi. Mungkin karena alasan teknis dan banyak lainnya,” kata Budi Dharmawan.

Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, menolak memberi komentar, “Sudah diputuskan dalam rapat direksi, bahwa yang akan memberikan jawaban adalah divisi iklan atau pemasaran dan hubungan masyarakat. Kamu tanya saja sama Bu Lanny Ratulangi atau Budi Dharmawan.”

Justru Fauzan al-Anshari yang esoknya membuat pernyataan pers. “Kami salut pada SCTV yang telah menyerap aspirasi umat Islam,” katanya. Tanggapan lainnya berupa kritik terhadap Mallarangeng. “Anda tidak bisa mengatakan, bahwa bermain dengan ayam India adalah hak asasi! Tidak ada yang bisa mentolerir Anda bertelanjang di depan publik atas nama kebebasan berekspresi, kecuali kita semua orang gila!”

“Ayam India” adalah tuduhan bahwa Mallarangeng memesan pelacur ketika Maret lalu ikut rombongan Presiden Megawati Soekarnoputri ke New Delhi. Tuduhan ini, oleh seorang mahasiswa Indonesia, namanya Esty Angela, belakangan dicabut Esty karena ia hanya dengar-dengar saja. Mallarangeng juga membantah. Soal iklan ini tampaknya sudah menjalar ke isu pribadi.

Namun, tunggu dulu, masih ada yang terlupa. Bagaimana tepatnya SCTV mengambil keputusan? Jika RCTI pengambil kebijakan cukup di jajaran manajemen menengah, mengapa di SCTV keputusan langsung diambil direksi? Budi Dharmawan menolak memberi komentar.

Tapi Ulil Abshar-Abdalla punya informasi menarik di balik keputusan direksi SCTV. “Kalau saya sih berani saja (tak menanggapi somasi), yang lain itu lho,” kata Ulil menirukan ucapan Karni –yang sempat bicara dengan Ulil. “Yang lain” tentunya anggota direksi SCTV selain Karni.

Lain lagi dengan yang dibisikkan Don Bosco Selamun, wakil pemimpin redaksi SCTV, pada Ulil. ”Ada dua orang direksi yang nggak setuju,” kata Ulil menceritakan obrolannya dengan Don Bosco.

Ide yang melatari keputusan dua orang direktur SCTV itu masih samar. Satu hal yang patut dicatat. Somasi, sebagai upaya hukum adalah wajar dalam negara demokrasi. Namun, menjaga ruang bebas berpendapat dan menerima perbedaan tafsir dalam aras publik juga tak kalah bagusnya dalam kerangka demokratisasi Indonesia. *

kembali keatas

by:Taufik Andrie