Bahasa Praktis dan Eufimistis

Heru Widhi Handayani

Mon, 2 September 2002

SEORANG pembantu rumahtangga di Hong Kong melayangkan surat ke tabloid Nova Agustus lalu. “Entah disuruh orang atau kebetulan, pembicara dalam pengajian itu bercerita tentang TKW.

SEORANG pembantu rumahtangga di Hong Kong melayangkan surat ke tabloid Nova Agustus lalu. “Entah disuruh orang atau kebetulan, pembicara dalam pengajian itu bercerita tentang TKW. Tapi, maaf Bu, dia tidak mengucapkan kata TKW atau PRT, melainkan dengan sebutan BABU luar negeri.”

Pengasuh rubrik tabloid Nova Rieny Hasan menulis, “Mudah-mudahan setelah membaca ini, hati Anda tenteram kembali, tidak merasa terhina menjadi NAKERWAN (karena memang tidak ada alasan untuk itu).”

Apa yang salah? Dan apa beda TKW, PRT, dan nakerwan?

TKW kependekan dari tenaga kerja wanita, sedang PRT pembantu rumahtangga, sedangkan nakerwan, tenaga kerja wanita. Ketiganya sama-sama merujuk kepada perempuan yang bekerja sebagai babu –sebuah profesi yang sangat mungkin paling tak diminati gadis-gadis desa miskin tapi sering mereka tak punya pilihan lain. Nakerwan dipakai sebagai pengganti singkatan PRT atau TKW yang dianggap berkonotasi negatif, kasar, atau bernada penghinaan. Lebih-lebih setelah banyak kejadian buruk menimpa babu di negara tempat mereka bekerja.

Akankah dengan sebutan nakerwan menghasilkan perubahan nasib atau peningkatan status sosial? Sama sekali tidak. Kenyataannya, tetap saja tindak kekerasan dan penghinaan terhadap babu terjadi. Dalam maupun luar negeri. Akronim dan singkatan itu sekadar menghaluskan arti atau eufimistis.

Atau kita simak kalimat berikut yang diambil dari situs Lampungonline: “Selain itu, lanjut Kapolsek, melalui RT, RW, dan lurah diharapkan masyarakat berperan aktif mencegah segala macam bentuk dan tindak kriminalitas, khususnya curat, curas, narkoba, dan perjudian.”

Kepala subdirektorat penerangan umum Markas Besar Kepolisian Republik lndonesia Saleh Saad mengatakan istilah curat atau curas itu dalam kepolisian disebut crime index, yaitu kejahatan yang menonjol, yang harus mendapatkan perhatian tertentu yang terlahir secara universal dan berlaku umum di kepolisian di seluruh dunia.

Munculnya kata curat (pencurian dengan pemberatan), curas (pencurian dengan kekerasan), curwan (pencurian hewan), atau curanmor (pencurian kendaraan bermotor) awalnya untuk efisiensi bahasa di kalangan polisi. Tapi pemakaian istilah itu melebar di masyarakat umum yang bahkan memperlakukannya sebagai kata tanpa harus menuliskan kepanjangannya.

Begitu pun dengan akronim lain semisal lalin untuk lalu lintas, banpol untuk bantuan polisi, kamtibmas untuk keamanan dan ketertiban masyarakat. Semua ditulis berdiri sendiri, seolah menjadi kata.

Saleh Saad mengatakan terminologi dalam lingkungan kepolisian, biasanya bermula dari pernyataan resmi dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia yang kemudian diikuti bawahannya.

Dosen bahasa Bambang Kaswanti Purwo dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dalam sebuah email berkomentar, “Kepolisian atau kemiliteran kan salah satu, yang lain pun juga banyak, kan? Misalnya, di departemen/kementrian (mendiknas, juklak) juga di antara kaum remaja (misalnya, curhat) kan terasa efisien menyatakan curhat daripada curahan hati.”

Efisiensi memang alasan yang bisa diterima asal pemakaiannya terbatas dalam lingkungan itu saja, tak melebar ke mana-mana juga ke media.

Abdul Gaffar Ruskhan, kepala bidang bahasa Pusat Bahasa, mengatakan banyak akronim yang membingungkan masyarakat. “Singkatan dan akronim di media jadi kurang komunikatif. Akhirnya menyebabkan kurang ada informasi yang diserap apabila dikaitkan dengan negara-negara tetangga.”

Tak jarang ia mendapatkan kritikan dari negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam, sesama pemakai bahasa asal Melayu, berkenaan dengan banyaknya pemakaian akronim.

Akronim memang tak bisa dihindari pemakaiannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga ada beberapa lembar suplemen yang berisikan singkatan dan akronim kata. Bagaimana tim penyusun kamus pusing menentukan sekian banyak kata dan singkatan yang bertaburan di rimba kosakata bahasa Indonesia?

Abdul Gaffar Ruskhan mengatakan mereka mencantumkan singkatan dan akronim dari nama-nama lembaga, organisasi yang permanen dalam arti mempunyai daya tahan lama, kata yang umum digunakan masyarakat secara umum. Ia juga memberi catatan bahwa singkatan dan akronim yang lintas departemenlah yang digunakan.

Mengapa pemakaian akronim begitu pesat di Indonesia? Salah satu penyebabnya tak adanya kaidah yang tegas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Bandingkan dengan pengertian akronim dalam kamus Websters’s New Twentieth Century Unabridged bahwa acronym is a word formed from the first (or first few) letters of several words, as radar, from radio detecting ranging.

Dalam bahasa Inggris pembentukan akronim tegas disebutkan tapi tidak dalam bahasa Indonesia. Pola pembentukan akronim bahasa Indonesia bisa dari mana saja, strukturnya kacau. Bagaimana menjelaskan stuktur pembentukan akronim timus (tim perumus), timor (teknologi industri mobil rakyat), timsus (tim khusus), pemkot (pemerintahan kota)? Orang dengan gampang membentuk akronim, bahkan tinggal ambil sebuah kata lalu dikarang-karang jadi singkatan. Artinya jelas jauh berbeda dengan kata awal. Jagung pun menjadi tak lagi enak dimakan, lantaran bukan lagi merujuk makanan, melainkan jaksa agung. Ada juga kudatuli, bukan sembarang kuda, tapi kerusuhan 27 Juli 1996.

Layaknya guru kencing berdiri, murid berlari. Masih ingat Harmoko, menteri penerangan masa Orde Baru? Namanya dipanjangkan menjadi hari-hari omong kosong. Lalu bupati (buka paha tinggi-tinggi) atau sekwilda (sekitar wilayah dada). Kata selingkuh menjadi selingan indah keluarga utuh.

Suatu kali Ruskhan mengalami sendiri. Kadang dalam rapat kegiatan secara guyonan ada teman yang berkata, “Kita sudah membentuk panteknya.” Pantek (alat kelamin perempuan) maksudnya petunjuk teknis. Ada pula yang menyingkat menjadi—maaf—penis.

Karena itulah Ruskhan menganjurkan agar akronim yang dibentuk berkonotasi yang enak dan mempertimbangkan keanekaragaman budaya di Indonesia.

Khasanah kosakata bahasa Indonesia dibombardemen dengan akronim. Ditambah lagi akronim itu seolah menjadi kata baru yang berdiri sendiri. Bila ini dibiarkan, bisa-bisa, kelak saat terbit kamus bahasa Indonesia, misalnya versi Pusat Bahasa, akan muncul lema baru untuk curas, curat, curanmor, dan sebagainya. Kalau lema ini muncul. Lalu bagaimana menjelaskan akronim curhat (curahan hati) atau curah (kucuran murah). Dua hal yang sama-sama bersuku awal “cu” tapi beda rujukan, satunya “curahan” satu lagi “kucuran.”

Nah, siap-siap saja Anda untuk menjumpai kalimat yang bertaburan akronim macam ini:

Seorang nakerwan curhat tentang curat, curas, dan curanmor yang sering terjadi selama ada curah minyak tanah di pasar inpres.

Novelis Sutan Takdir Alisyahbana pada 1976 berkata, “… akronim sudah menjadi amat sukar sebab akronim tidak menambah pengertian, tetapi hanya menambah beban ingatan dengan kata-kata yang tidak menambah pengertian, tetapi hanya menambah beban ingatan dengan kata-kata yang membawa isi baru.”

Kekhawatirannya mulai terbukti.*

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani